A. PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai
rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Ajaran-ajarannya
selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia di dunia ini.[1] Artinya
bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk Al Qur’an ini, akan dijamin oleh
Allah SWT. bahwa kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan akherat.
Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan mengingkari ajaran Islam, niscaya
dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan baik di dunia
terlebih kelak di yaumil akhir. Ajaran-ajaran Islam yang
penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini, tentunya mencakup segala aspek lini
kehidupan umat manusia. Tidak ada satupun bentuk kegiatan yang dilakukan
manusia, kecuali Allah SWT. telah meletakkan aturan-aturannya dalam ajaran
Islam. Aspek kebudayaan adalah salah satu dari sisi penting dari kehidupan
manusia, dan Islam pun telah mengatur dan memberikan batasan-batasannya.
Dalam kehidupan masyarakat senantiasa mengalami perubahan dan
yang menjadi pembeda hanyalah pada siafat atau tingkat perubahannya itu
sendiri. Perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat ada yang
terlihat (zahiriyah) dan ada pula yang tidak terlihat (sirriyah),
ada yang cepat dan ada pula yang lambat, perubah-perubahan itu ada yang
menyangkut hal-hal yang sangat fundamental dalam kehidupan masyarakat, ada pula
perubahan yang menyangkut soal-soal yang kecil saja. Hal ini disebabkan karena
manusia tidak hanya merupakan kumpulan sejarah manusia, melainkan
tersusun pula berbagai kelompok dan pelembagaan
(pranata social), sehingga kepentingan anggota masyarakat menjadi
tidak sama bahkan malah sering pada masa ketertinggalan zaman. Namun karena ada
kepentingan yang sama dalam kehidupan masyarakat, maka
mendoroorng timbulnya pengelompokkan di antara mereka.
Di samping pengelompokkan tersebut di atas, timul pula
pelembagaan-pelembagaan (pranata social) dalam kehidupan
masyarakat yang menunjukkan ada suatu usaha bersama untuk menangani
berbagai bidang seperti ekonomi, politik, agama, budaya, pendidikan dan
sebagainya. Semakin berkembangnya suatu masyarakat, maka semakin banyak
pengelompokkan yang terbentuk, yang mengakibatkan susunan masyrakat tersebut
mencari dukungan dari orang yang berpengaruh dalam masyarakat tersebut atau
dari kelompok itu sendiri. Kaitannya dengan pembentukan hukum, adalah
terbentuknya suatu kelompok baru atau bubarnya kelompok karena ada
kemungkinan dalam kelompok masyarakat yang baru itu menimbulkan suatu komunitas
yang lebih baik dari kelompok yang lama, baik dari segi aspek pola pemikiran
maupun cara gaya hidupnya, sehingga pola pikir dari kelompok masyarakat yang
baru tersebut dapat ikut mempengaruhi proses pembentukan suatu hukum (perubahan
hukum) dalam masyarakat yang sudah ada itu yang lama akan mempengaruhi
susunan masyarakat, sebab masyarakat sebagai wadah dalam proses pembentukan
hukum itu akan berpengaruh terhadap perubahan hukum.
B. ARTI PENTING KEBUDAYAAN DAN PANDANGAN ISLAM
TERHADAP KEBUADAYAAN
1. Arti
dan Hakekat Kebudayaan
Jika dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia[2] disebutkan
bahwa: “budaya“ adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “kebudayaan”
adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan,
kesenian dan adat istiadat.Istilah ‘kebudayaan’ itu sendiri, Kamus
Dewan memberikan definisi “cara hidup sesuatu masyarakat, tamadun,
peradaban, kemajuan (akal budi)” yaitu merujuk kepada keseluruhan cara hidup
manusa dalam semua bidang yang melibatkan akal budi dan daya usaha mereka.
Mungkin boleh menyatakan bahawa dalam zaman klasik, istilah kebudayaan itu
tidak digunakan, dan ditempatnya digunakan istilah ‘adat’,
sebagaimana yang disyaratkan oleh Dr Zainal Kling. Dalam bahasa Inggeris
disebut culture, yang merangkumi seluruh cara hidup manusia, lahir
batin, termasuk institusi-institusi yang diwujudkan dan juga nilai-nilai, serta
pengetahuan yang dihasilkan, termasuk alat-alat yang direkakan. Sudah tentu
alam tabii sebagai sesuatu yang bukan buatan manusia tidak
boleh dikatakan kebudayaan.
Para sosiolog mencoba untuk mengartikan kebudayaan dengan
keseluruhan kecakapan (adat, akhlak, kesenian , ilmu dll). Sedang sejarahwan
mengartikan kebudayaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan Antropog melihat
kebudayaan sebagai tata hidup,way of life, dan kelakuan.
Definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan sangatlah
luas. Untuk memudahkan pembahasan, Ernst Cassirermembaginya menjadi
lima aspek : 1. Kehidupan Spritual 2. Bahasa dan Kesusteraan 3. Kesenian 4.
Sejarah 5. Ilmu Pengetahuan. Aspek kehidupan spritual, mencakup kebudayaan
fisik, seperti sarana (masjid, candi, patung nenek moyang, arsitektur),
peralatan (pakaian, makanan, alat-alat upacara). Juga mencakup sistem sosial,
seperti upacara-upacara (kelahiran, pernikahan, kematian). Adapun aspek bahasa
dan kesusteraan mencakup bahasa daerah, pantun, syair, novel-novel. Aspek
seni dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu ; visual arts dan performing
arts, yang mencakup ; seni rupa (melukis), seni pertunjukan (tari, musik)
seni teater (wayang), seni arsitektur (rumah,bangunan, perahu). Aspek ilmu
pengetahuan meliputi scince (ilmu-ilmu eksakta) dan humanities (sastra,
filsafat kebudayaan dan sejarah). Dalam Islam, apabila dibicarakan masalah
kebudayaan, nampaknya perlulah terlebih dahulu dilibatkan semantic
content ataupun kandungan maksud-maksud yang ada dalam
istilah-istilah yang digunakan dalam sejarah Islam bagi menyebut hidup kolektif
Muslimin, antaranya ialah millah, ummah, thaqafah, tamaddun,
hadarah dan akhirnya adab. Kalimat millah,
jamaknya milaldigunakan dalam al-Quran dalam hubungan dengan
Nabi Ibrahim a.s.[3] Perkataan
ini berasal daripada malla, yamullu, mallan dengan pengertian
menjahit (pakaian); kalauimtalla, dengan pengertian meletak (seperti
roti dan daging) dalam bara untuk dimasak;malla diperbetulkan
(seperti busur panah) dalam api; amalla’ala merencanakan
sesuatu (pengajaran) kepada seseorang; tamallala dan intalla bermakna
memeluk sesuatu agama;millah pl. Milal bermakna agama, syariat,
hukum, cara beribadat. Antara pengertian yang menarik hati kita dalam memahami
kedudukan kebudayaan dalam Islam ialah pengertianmillah sebagai
agama, cara beribadat; artinya manusia disebut serentak dengan organisasi serta
hukum dan tujuan keagaman dengan ibadatnya.
Kebudayaan dalam bahasa Arab disebut antaranya dengan
menggunakan kalimatath-tahaqafah; dan ath-thaqafah al-Islamiyah itu
bermaksud keseluruhan cara hidup dan berfikir serta nilai-nilai dan sikap,
termasuk institusi-institusi serta artifak-artifak yang membantu manusia dalam
hidup, yang semuanya itu timbul dan berkembang serta disuburkan dalam acuan
syariat Islamiyah dan sunnah Nabi Muhammad s.a.w. Kalimat itu datangnya
daripada kata dasar thaqifa, yathqafu, thaqafan,
atau thaqufayathqafu, thaqafan,atau thaqafatan, atau thuqufan. Dalam
bahasa Arab klasik bermaksud: menjadi tajam akal seseorang itu, ataupun menjadi
cerdas atau cerdik, ataupun mempunyai keahlian yang tinggi dalam bidang-bidang
tertentu; juga maksudnya mengatasi seseorang lain atau mengatasi sesuatu. Thaqafah pula
maksudnya: membetulkan sesuatu, atau mendidik seseorang atau menjaganya. Tathaqqafa bermaksud:
menjadi terdidik dengan baik; menjadi lebih baik daripada keadaan yang dulunya
tidak begitu baik, ataupun menjadi berdisiplin. Artinya dari segi bahasa,
kalimat thaqafah itu mengandung maksud-maksud: ketajaman,
kecerdasan dan kecerdikan akal, dan keahlian yang tinggi hasil pendidikan yang
dilalui; ataupun kedudukan yang berdisiplin yang timbul daripada ushaha
tarbiyah yang dilaksanakan. Ia lebih menunjukkan pembentukan diri
manusia sebagai insan dilihat dari segi akal dan budi serta disiplin dirinya
sebagai makhluk rohaniah dan akliah. Apabila
aspek-aspek ini terdiri dengan baiknya dalam diri seseorang itu maka dengan
sendirinya aspek-aspek lain dari hidupnya terbentuk sama, oleh karena inilah
yang menjadi paksi bagi dirnya, sebagai makhluk yang theomorphic,
sebagaimana yang dinyatakan oleh F. Schuon.
Berdasarkan hal tersebut, maka apabila membicarakan
kebudayaan Islam dibicarakan juga aspek-aspek kehidupan sosial dan nilai-nilai
yang berkenaan berdasarkan kepada ajaran Islam yang timbul dan diamalkan di
kalangan mereka bila dibentuk kehidupan bernegara dengan kota pertahanannya
serta kehidupan kolektifnya yang tersusun.
2. Korelasi Islam dan Budaya
Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara agama (termasuk
Islam) dengan budaya, penulis perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah
ini: mengapa manusia cenderung memelihara kebudayaan, dari manakah desakan yang
menggerakkan manusia untuk berkarya, berpikir dan bertindak? Apakah yang
mendorong mereka untuk selalu merubah alam dan lingkungan ini menjadi lebih
baik? Sebagian ahli kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk berbudaya
merupakan dinamik ilahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhan
karya sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan
filsafat tak lain daripada proses realisasi diri dari roh ilahi. Sebaliknya
sebagian ahli, seperti Pater Jan Bakker, dalam bukunya “Filsafat
Kebudayaan” menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya,
karena menurutnya, bahwa agama merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya,
sebagai jawaban atas panggilan ilahi.
Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan pemberian dari
Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia. Sehingga keduanya tidak bisa
ditemukan. Adapun menurut para ahli Antropologi, sebagaimana yang diungkapkan
oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA. bahwa agama merupakan salah satu unsur
kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan bahwa manusia
mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk
menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat
terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci
masing- masing agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut
sesuai dengan kemampuan yang ada. Di sinilah, bahwa agama telah
menjadi hasil kebudayaan manusia. Berbagai tingkah laku keagamaan, masih
menurut ahli antropogi, bukanlah diatur oleh ayat- ayat dari kitab suci,
melainkan oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat suci tersebut.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa para ahli
kebudayaan mempunyai pendapat yang berbeda di dalam memandang hubungan antara
agama dan kebudayaan. Kelompok pertama menganggap bahwa agama merupakan sumber
kebudayaaan atau dengan kata lain bahwa kebudayaan merupakan bentuk nyata dari
agama itu sendiri. Pendapat ini diwakili oleh Hegel. Kelompok
kedua, yang di wakili olehPater Jan Bakker, menganggap bahwa kebudayaan
tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama. Dan kelompok ketiga, yeng
menganggap bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri. Untuk
melihat manusia dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya dari satu sisi
saja. Islam memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur tanah
dan unsur ruh yang ditiupkan Allah SWT. kedalam tubuhnya.[4] Selain
menciptakan manusia, Allah SWT. juga menciptakan makhluk yang bernama Malaikat,
yang hanya mampu mengerjakan perbuatan baik saja, karena diciptakan dari unsur
cahaya (nur). Dan juga menciptakan Syetan atau Iblis yang hanya
bisa berbuat jahat , karena diciptkan dari api (naar). Sedangkan
manusia, sebagaimana tersebut di atas, merupakan gabungan dari unsur dua
makhluk tersebut.
Allah SWT. telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan
dan kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di
sini, Islam mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama
adalah pemberian Allah SWT. untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu
pemberian Allah SWT. kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing
karya-karya manusia agar bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan
mengangkat harkat dan martabat manusia. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk
selalu beramal dan berkarya, untuk selalu menggunakan pikiran yang diberikan
Allah SWT. untuk mengolah alam semesta ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi
kepentingan manusia. Dengan demikian, Islam telah berperan sebagai pendorong
manusia untuk “ berbudaya “. Dan dalam satu waktu Islam-lah yang meletakkan
kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini, mungkin bisa dikatakan bahwa
kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama. Teori seperti ini, nampaknya lebih
dekat dengan apa yang dinyatakan Hegel di atas. Mungkin
perlu diingatkan, apabila membicarakan kebudayaan dalam Islam diteliti juga
kalimat at-tamaddun, dan kebudayaan Islam dipanggil sebagai at-tamaddun
dan kebudayaan Islam dipanggil sebagai at-tamaddun al-Islami. Ini
mengingatkan kita kepada karangan terkenalTarikh at-Tamaddun al-Islami oleh
Jurji Zaidan. Kalimat ini datang dari kata dasar maddana, yamdunu,
mudunan, bermakna datang (ke sebuah bandar); dengan harf bi yang
bermakna menduduki sesuatu tempat; maddana pula
bermaksud membina bandar-bandar atau kota-kota, ataupun menjadi kaum atau
seseorang yang mempunyai peradaban atau tamadun(yaitu sama
dengan civilization dalam bahasa Inggeris).
3. Sikap Islam terhadap Kebudayaan
Islam, sebagaimana telah diterangkan di atas, datang untuk
mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan
seimbang baik jasmani maupun rohani, dunia maupun akhirat. Dengan demikian
Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu
masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat
manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan
membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu
meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju
kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi
Undang-undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945, Pasal 32, walaupun secara
praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok.
Dalam penjelasan UUD 1945 Pasal 32, disebutkan : “Usaha kebudayaan harus menuju
ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan
baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya
kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa
Idonesia“. Dari situ, ternyata Islam telah membagi budaya menjadi tiga
macam:
Pertama: Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam. Dalam
kaidah fiqh disebutkan : “al adatu muhakkamatun“ artinya bahwa adat
istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya
manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu
dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada
ketentuannya, dengan syarat, seperti; kadar besar kecilnya mahar dalam
pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya,
menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam Islam budaya itu
syah-syah saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar yang harus
diberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan Masjid, dibolehkan memakai
arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk Joglo.
Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam,
maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar
hukum. Sebagai contoh adalah apa yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam
sebuah harian yang menyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam
Islam dengan dalil “al adatu muhakkamatun“ karena nikah antar agama
sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di
atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa
seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir.
Kedua: Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan
Islam, kemudian di “rekonstruksi” sehingga menjadi Islami. Contoh yang paling
jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara
yang bertentangan dengan ajaran Islam , seperti lafadh “talbiyah“ yang
sarat dengan kesyirikan, thawaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untuk
meronstruksi budaya tersebut, menjadi bentuk “Ibadah” yang telah ditetapkan
aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantukan
syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap dipertahankan,
tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Ketiga: Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam. Seperti,
budaya “ngaben“ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran
mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan
secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang
yang meninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini
membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh
masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“, sebuah upacara pembakaran mayat.
Bedanya, dalam “tiwah” ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahu
lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan
digali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih.
Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang
besar, karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang
luas. Di daerah Toraja, untuk memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan
biaya yang besar. Biaya tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban
yang berupa kerbau. Lain lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa
Tengah. Mereka mempunyai budaya “Tumpeng Rosulan“, yaitu berupa makanan yang
dipersembahkan kepada Rasul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada
Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan penguasa Lautan
Selatan (Samudra Hindia).
Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang
bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan
mengikutinya. Islam melarangnya, karena kebudayaan seperti itu merupakan
kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan
kebudayaan yang menurunkan derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang
menghambur-hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan
manusia yang sudah meninggal dunia.
Dalam hal ini al Kamal Ibnu al Himam,
salah satu ulama besar madzhab hanafi mengatakan: “Sesungguhnya nash-nash
syariat jauh lebih kuat daripada tradisi masyarakat, karena tradisi masyarakat
bisa saja berupa kebatilan yang telah disepakati, seperti apa yang dilakukan
sebagian masyarakat kita hari ini, yang mempunyai tradisi meletakkan lilin dan
lampu-lampu di kuburan khusus pada malam- malam lebaran. Sedang nash syariat,
setelah terbukti ke-autentikannya, maka tidak mungkin mengandung sebuah
kebatilan. Dan karena tradisi, hanyalah mengikat masyarakat yang menyakininya,
sedang nash syari’at mengikat manusia secara keseluruhan, maka nash jauh lebih
kuat. Dan juga, karena tradisi dibolehkan melalui perantara nash, sebagaimana
yang tersebut dalam hadits : “apa yang dinyatakan oleh kaum muslimin baik, maka
sesuatu itu baik“. Dari situ, jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh Dr.
Abdul Hadi WM, dosen di Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas
Paramadina, Jakarta, bahwa Islam tidak boleh memusuhi atau merombak kultur
lokal, tapi harus memposisikannya sebagai ayat-ayat Tuhan di dunia ini atau
fikih tidak memadai untuk memahami seni, adalah tidak benar.
C. ASPEK PENGUBAH HUKUM DARI PERSPEKTIF
SOSIAL BUDAYA
1. Hukum Sebagai Instrumen Mengatur
Kehidupan Sosial Masyarakat
Hukum (law, recht) merupakan salah satu
sarana dan prasarana yang berfungsi untuk mengatur kehidupan sosial, namun satu
hal yang menarik untuk dikaji adalah justru hukum tertinggal di belakakang
objek yang diaturnya. Dengan demikian selalu terdapat gejala bahwa antara
hukum dan perilaku sosial terdapat suatu jarak perbedaan yang sangat mencolok.
Apabila hal ini terjadi, maka timbul ketengangan yang semestinya harus segera
disesuaikan supaya tidak menimbulkan ketegangan yang berkelanjutan, tetapi
usaha ke arah ini selalu terlambat dilakukan bahkan terkadang terasa jalan di
tempat. Semestinya, pada waktu itulah dapat ditunjukkan adanya hubungan yang
nyata di antara perubahan sosial dan hukum yang mengaturnya, sebab perubahan
hukum baru akan terjadi apabila sudah bertemunya dua unsur pada titik singgung
yaitu adanya suatu keadaan baru dan adanya kesadaran akan perlunya perubahan
pada masyakaarat yang bersangkutan.
Di dalam hubungan antara mansuia dengan manusia lain pada
suatu kelompok, yang paling penting adalah reaksi yang timbul sebagai akibat
dari hubungan tadi. Reaksi tersebut menyebakan tindakan seseorang menjadi
bertambah luas dan dalam memberikan reaksi itu, manusia selalu mempunyai
kecenderungan untuk memberikan keserasian dengan tindakan-tindakan orang lain.
Hal ini karena ada kebutuhan manusia akan keinginan untuk menjadi satu dengan
manusia lain di sekelilingnya dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana
alam sekelilingnya.[5] Untuk
dapat menyesuaikan diri dengan kedua hal ini, manusia mempergunakan pikiran,
perasaan dan kehendaknya sehingga menimbulkan kelompok-kelompok sosial dalam
kehidupan manusia. Kelompk-kelomok sosial ini merupakan himpunan manusia yang
hidup bersama dan dalam kehidupan ini mempuyai kaitan timbal balik yang saling
mempengaruhi dan kesadaran untuk saling tolong-menolong.[6] Walaupun
anggota kelompok selalu menyebar, tapi pada waktu tertentu mereka pasti
berkumpul dan pada waktu itulah mereka saling memberikan pengalaman yang
berakibat pada perubahan dalam kelompok itu baik dalam bidang aktivitas maupun
dalam kerjasama kelompok yang pada akhirnya menetapkan suatu norma hukum yang
harus ditaati dan dilaksanakan, bahkan dalam pergaulan masyarakat prmitif pun
selalu ada norma yang harus ditaati.
Ketika mendiskusikan kelompok-kelompok sosial dalam
masyarakat, haruslah dipahami bahwa antara individu dengan suatu kelompok
merupakan kesatuan yang tidak bisa terpisahkan, di mana masing-masing pihak
tersebut mempunyai kepentingan dan perbedaan-perbedaan di antara mereka. Dari
kelompk-kelompok sosial inilah dapat dimulainya suatu perbuatan yang berasal
dari persamaan dan perbedaan dalam cara pandang mereka terhadap suatu
peristiwa, keadaan, situasi dan lingkungan di mana mereka tinggal dan/atau di
mana peristiwa, keadaan, situasi dan lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan
mereka yang dapat mempengaruhi suatu perubahan kehidupan mereka yang dapat
mempengaruhi suatu perubahan terhadap hukum.
Hukum-hukum yang dibuat tentu saja harus sesuai dengan
tata kehidupan masyarakat yang hidup dalam masyarakat. Dari sinilah timbul
suatu pandangan bahwa hukum tidak dibentuk, tetapi lahir dari masyarakat yang
terus berkembang.[7] Meskipun
pengikut paham ini menyadari bahwa perubahan hukum yang lahir dari masyarakat
itu sendiri akan memerlukan waktu yang sangat lama, karena proses perubahan itu
akan terjadi sangat lambat yang kadang-kadang tidak seimbang dengan
perkembangan masyarakat modern, tetapi mereka menganganggap bahwa hukum yang
baik adalah hukum yang ada dalam masyarakat itu sendiri, tidak dipaksakan oleh
unsur-unsur dari luar.
Dalam masyarakat tradisional, hukum mempunyai sifat
kebersamaan yang sangat kuat dan mempunyai corak magis religius yang
diliputi oleh pikiran yang sangat konkret. Dalam masyarakat modern, hukum
terdiri dari peraturan-peraturan yang uniform dan konsisten dalam penerapannya,
hukum berbentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pihak legislatif
dan adakalanya dibuat oleh pihak eksekutif. Hukum dalam masyarakat modern
bersifat reaksional, di sini hak-hak dan kewajiban tumbuh dari transaksi-transaksi
baik berupa kontrak maupun pelanggaran perdata dan pidana. Hukum dalam
masyarakat modern pada umumnya bersifat universal, bersifat berjenjang dan
diorganisasikan oleh para ahlinya secara birokratis. Tidak bersifat statis,
tetapi selalu dinamis dan bersifat politis, oleh karenanya selalu dapat diubah
dan diperbarui agar sesuai dengan situasi dan kondisi serta perkembangan
zaman. Di dalam hubungan antar manusia dengan manusia lain pada suatu
kelompok, yang paling penting adalah reaksi yang timbul sebagai akibat dari
hubungan tadi. Reaksi tersebut menyebabkan tindakan seseorang menjadi bertambah
luas dan dalam memberikan reaksi itu, manusia selalu mempunyai kecenderungan
untuk memberikan keserasian dengan tindakan-tindakan orang lain. Hal ini karena
ada kebutuhan manusia akan keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain
disekelilingnya dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam
sekelilingnya. Untuk dapat menyesuaikan diri dengan kedua hal ini, manusia
mempergunakan pikiran, perasaan dan kehendaknya sehingga menimbulkan
kelompok-kelompok sosial dalam kehidupan manusia. Kelompok-kelompok sosial ini
merupakan himpunan manusia yang hidup bersama dan dalam kehidupan ini mempunyai
kaitan timbal balik yang saling memengaruhi dan kesadaran untuk saling
tolong-menolong. Walaupun anggota kelompok selalu menyebar, tapi pada waktu
tertentu mereka pasti berkumpul dan pada waktu itulah mereka saling memberikan
pengalaman yang berakibat pada perubahan dalam kelompok itu baik dalam bidang
aktivitas maupun dalam kerjasama kelompok yang pada akhirnya mereka menetapkan
suatu norma hukum yang harus di taati dan dilaksanakan.
Meskipun hukum itu menyesuaikan dengan perubahan sosial,
tetapi hukum tidak boleh dijadikan alat kekuasaan penguasa, melainkan hukum itu
harus dapat memenuhi kepentingan rakyat banyak. Birokrasi yang tidak sehat akan
menimbulkan birokrasi yang tidak efektif, dan tidak efisien, dalam melaksanakan
pelayanan prima kepada masyarakat. Hukum akan berperan secara baik kalau hukum
itu tumbuh dalam masyarakat yang sehat, yaitu masyarakat yang menghargai
ketertiban (order), keteraturan (regularity) dan
kedamaian (peaceful).[8]
Hukum itu harus seimbang antara kepentingan penguasa disatu pihak dengan
kepentingan rakyat dipihak lain. Dalam rangka menjaga keseimbangan ini, maka
hukum harus dijalankan untuk kepentingan rakyat, bukan semata-mata untuk
kepentingan penguasa. Rakyat adalah subjek dari hukum, bukan objek dari hukum.
Oleh karena itu, hukum itu harus dapat menjamin terlaksananya penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia (HAM), baik hak sipil maupun hak-hak politik dan
sosial dalam kehidupan suatu bangsa.
2. Korelasi Hukum
dengan Sosial - Budaya
Dalam sejarah kehidupan umat manusia mulai zaman Nabi Adam as
sampai sekarang, secara naluriah dimana saja dan kapan saja manusia mempunyai
kecenderungan untuk hidup bersama, hidup berkelompok dan bergaul satu sama
lain, pertama kali ia berhubungan dengan orang tuanya, kemudian dengan
saudara-saudaranya, dan ketika ia meningkat dewasa ia akan bergaul dengan orang
lain dalam pergaulan yang lebih luas baik dalam bentuk organisasi informal
sampai formal. Dalam pergaulan itu, seseorang akan menemukan aturan-aturan di
dalam berinteraksi antara satu dengan yang lain. Aturan yang dipakai dalam
berinteraksi itu biasanya bertitik tolak pada norma-norma yang hidup dalam
masyarakat dan norma-norma itu memberikan acuan tentang cara bersikap dan
perilaku yang disepakati untuk ditaati agar tercapai ketertiban dan kedamaian
dalam kehidupan bersama tersebut.
Norma yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat mempunyai banyak
ragamnya dan salah satunya yang sangat penting adalah norma hukum, di samping
norma agama, susila dan kesopanan. Norma hukum dapat dijumpai pada seluruh
kelompok masyarakat, baik yang tradisional maupun dalam masyarakat modern.
Norma hukum itu mengatur hampir seluruh segi kehidupan masyarakat, baik secara
sistematis yang dikodifikasikan maupun yang tidak dibukukan tetapi norma hukum
itu dipakai untuk mengatur lalu lintas kehidupan dan tersebar yang oleh para
ahli hukum dikualifisir sebagai hukum. Namun demikian tidak dapat dipungkiri
bahwa keberadaan hukum yang dikodifikasikan dan sistematis, maupun yang
tersebar dan dikualifisir sebagai hukum tidak selalu dapat menjawab dan
mengimbangi pertumbuhan dan perkembangan masyarakat secara permanen, sebab pada
kenyataannya, hukum-hukum yang berlaku sering kali tertinggal dari pertumbuhan
dan masyarakat yang terjadi.[9]
Tentang perubahan hukum yang dikaitkan dengan perubahan sosial, Lawrence M.
Friedman[10] mempertanyakan
apakah hukum mengakibatkan proses perubahan sosial, atau justru mengikuti
proses perubahan sosial? Apakah hukum menjadi penggerak atau salah satu
penggerak saja yang mengakibatkan perubahan sosial? Ataukah perubahan sosial
selalu berasal dari masyarakat yang besar yang kemudian meluber ke sisitem
hukum? Apakah sistem hukum merupakan sistem yang hanya menyesuaikan diri atau
dengan mengakomodasi perubahan besar yang sedang terjadi di luar sistem hukum?
Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, Lawrence M. Friedman mengatakan bahwa tidak
seorang pun yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu secara tuntas. Yang
jelas secara kenyataan bahwa hukum mengikuti perubahan sosial dan menyesuaikan
dengan perubahan itu.
Perubahan dan perkembangan dalam suatu masyarakat dimanapun
di dunia ini merupakan gejala yang normal, hal ini merupakan konsekuensi dari
akibat melajunya arus globalisasi terutama kemajuan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan tekhnologi. Penemuan-penemuan dalam berbagai bidang ini
menyebabkan terjadinya modernisasi pendidikan, modernisasi dalam ekonomi dan
perdagangan, perubahan dalam perkembangan politik dan sebagainya.
Perubahan-perubahan tersebut melahirkan berbagai bentuk nilai baru yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat yang sangat berbeda dengan nilai-nilai yang berlaku
sebelumnya. Kondisi seperti ini membuat masyarakat harus mengadakan perubahan
hukum sesuai dengan tuntutan zaman. Hukum-hukum yang dibuat itu harus mampu
membuat masyarakat untuk hidup dalam suasana ketertiban dan ketenteraman dalam
suasana pergaulan yang lebih baik
sebelumnya.
Arnold M. Rose[11] sebagaimana
yang dikutip oleh Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa ada tiga teori umum
perihal perubahan-perubahan sosial yang berhubungan dengan hukum, yakni
pertama: komunikasi yang progresif dari penemuan-penemuan di bidang teknologi,
kedua: kontak dan konflik antara kebudayaan, ketiga: terjadinya gerakan
sosial (sosial movement). Menurut ketiga teori ini, hukum lebih
merupakan akibat dari faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan sosial karena
melajunya arus globalisasi dalam berbagai bidang kehidupan yang pada akhirnya
menghasilkan suatu kebudayaan baru sebagai suatu hasil karya, rasa dan cipta
suatu masyarakat. Demikian juga dengan hukum yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat, betapa pun sederhana dan kecilnya masyarakat itu norma hukum pasti
ada dalam masyarakat tersebut, karena hukum merupakan bagian dari kebudayaan
masyarakat. Hukum tidak dapat dipisahkan dari jiwa dan cara berpikir dari
masyarakat yang mendukung kebudayaan yang lahir dari kehidupan masyarakat itu.
Perubahan sosial dalam suatu masyarakat di dunia ini merupakan suatu hal yang
normal, yang tidak normal justru jika tidak ada perubahan. Demikian juga dengan
hukum, hukum yang dipergunakan dalam suatu bangsa merupakan pencerminan dari
kehidupan sosial suatu masyarakat yang bersangkutan. Dengan memperhatikan
karakter suatu hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat (bangsa) akan terlihat
pula karakter kehidupan sosial dalam masyarakat itu. Hukum sebagai tatanan
kehidupan yang mengatur lalu lintas pergaulan masyarakat, dengan segala peran
dan fungsinya akan ikut berubah mengikuti perubahan sosial yang melingkupinya.
Cepat atau lambatnya perubahan hukum dalam suatu masyarakat, sangat tergantung
dalam dinamika kehidupan masyarakat itu sendiri. Apabila masyarakat dalam
kehidupan sosialnya berubah dengan cepat, maka perubahan hukum akan berubah
dengan cepat pula, tetapi apabila perubahan itu terjadi sangat lambat, maka
hukum pun akan berubah secara lambat seiring dan mengikuti perubahan sosial
dalam masyarakat itu.[12]
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka dapat diketahui bahwa
perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat akan membawa konsekuensi pada
perubahan hukum dalam berbagai aspek kehidupan karena berbagai aspek tersebut
saling kait mengkait satu dengan yang lain. Oleh karena kehidupan masyarakat
terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman, maka berubah pula budaya
masyarakat disuatu tempat yang pada akhirnya diikuti pula dengan perubahan
hukum. Dalam tradisi fiqh pun perubahan hukum yang ada di dalamnya juga
didasari terhadap perubahan sosial dalam kehidupan pengikutnya selama fiqh
tidak dianggap sebagai dogma, namun jika fiqh dianggap dan dikembalikan kepada
pemahaman ilmu maka fiqh akan selalu menyesuaikan dengan perubahan sosial dalam
masyarakat.
3. Aspek
Pengubah Hukum Menurut Perspektif Sosial - Budaya
a. Stratifikasi Sosial
Kata stratifikasi sosial berasal dari bahasa inggris dari kata “stratification”,
asal katanya “statum”, jamknya “strata” yang
berarti “lapisan“. Sedangkan yang dimaksud stratifikasi sosial atau sosial
stratification adalah pembedaaan penduduk dalam kelas-kelas atau
lapisan-lapisan sosial secara vertical.[13] Muhammad
Abduh[14] dengan
mengutip Pitirim A. Sorokim mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sistem
berlapis-lapis itu merupakan ciri tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang
hidup secara teratur dan inilah yang disebut dengan stratifukadi sosial.
Dasar dan inti dari lapisan-lapisan yang terdapat dalam masyarakat itu adalah
ketidakseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban serta tanggung jawab
terhadap nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota masyarakat. Pada
masyarakat yang kebudayaannya masih sederhana lapisan masyarakat pada mulanya
hanya berkisar pada perbedaan antara yang memimpin dengan yang dipimpin.
Kemudian ketika masyarakat sudah berkembang sedemikian rupa, maka
lapisan-lapisan dalam masyarakat itu memasuki ke sektor lain, misalnya status
seseorang karena ia kaya, mempunyai kepandaian tertentu sehingga ia di tokohkan
dalam kelompoknya. Akibat dari stratifikasi sosial ini adalah timbulnya
kelas-kelas sosial tertentu dalam masyarakat yang dihargai oleh masyarakat tersebut,
sebaliknya ada juga masyarakat yang tidak menghargai lapisan-lapisan tersebut
karena mereka menganggap sesuatu yang dimiliki oleh seseorang tidak mempunyai
nilai yang berarti baginya.
Selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dapat dihargainya, maka hal itu
akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam
masyarakat itu. Barang sesuatu yang dihargai itu mungkin juga keturunan dari
keluarga yang terhormat. Bagi masyarakat yang tidak mempunyai sesuatu yang
berharga dari hal tersebut itu, ada kemungkinan masyarakat lain memandang
sebagai masyarakat dengan kedudukan yang rendah. Sesuatu yang berharga dan
tidak berharga ini akan membentuk lapisan masyarakat, yaitu adanya masyarakat
lapisan atas, lapisan bawah yang jumlahnya ditentukan oleh masyarakat itu
sendiri. Lapisan dalam masyarakat ini selalu ada yang jumlahnya banyak sekali
dan berbeda-beda, sekalipun dalam masyarakat kapitalis, demokratis, komunis dan
sebagainya. Lapisan masyarakat itu ada sejak manusia mengenal adanya kehidupan
bersama dalam organisasi sosial. Semakin kompleks dan semakin majunya
perkembangan teknologi sesuatu masyarakat, semakin kompleks pula sistem lapisan
dalam masyarakat.
Terjadinya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat adakalanya terbentuk dengan
sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu seperti tingkat umur,
kepandaian, dan kekayaan. Adapula yang sengaja disusun untuk mengejar suatu
tujuan bersama, hal ini biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang
resmi dalam organisasi-organisasi formal seperti pemerintahan, perusahaan,
partai politik angkatan bersenjata atau perkumpulan.[15] Dari
kelompok-kelompok sosial inilah dapat dimulainya perbuatan yang berasal dari
persamaan dan perbedaan dalam cara pandang terhadap suatu peristiwa, keadaan,
situasi, dan lingkungan tempat mereka tinggal yang memengaruhi kehidupan mereka
dan keadaan ini pula yang dapat memengaruhi adanya suatu perubahan produk
hukum.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi[16] ukuran
atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolongkan anggota masyarakat ke
dalam lapisan-lapisan adalahpertama: ukuran kekayaan atau
kebendaan, siapa yang memiliki kekayaan atau kebendaan yang paling banyak
mempunyai peluang untuk memasuki kedalam lapisan yang paling atas, misalnya
dapat dilihat pada bentuk rumah, mobil, gaya hidup yang dimiliki seseorang,kedua:
ukuran kehormatan, biasanya ukuran ini terlepas dari ukuran kekayaan atau
kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati akan mendapat tempat
teratas dalam kelompoknya dan ukuran seperti ini dapat ditemukan pada
kelompok masyarakat tradisional, ketiga: ukuran kekuasaan, barang
siapa yang memiliki kekuasaan atau mempunyai wewenang yang besar, ia akan
menempati lapisan yang teratas, keempat: ukuran ilmu pengetahuan,
dalam kriteria ini ilmu pengetahuan menjadi ukuran utama untuk menempatkan
seseorang pada lapisan yang tertinggi. Tentang hal ini sekarang sudah mempunyai
banyak menimbulkan efek negatif, sebab ternyata bukan mutu ilmu pengetahuan
yang dijadikan ukuran, akan tetapi ukuran kesarjanaannya, padahal orang
tersebut tidak mempunyai kepintaran sesuai dengan kesarjanaan yang dimilikinya,
karena memperolehnya tidak melalui prosedur normal yang ditentukan.
Ukuran tersebut di atas tidaklah bersifat limitatife, sebab masih banyak ukuran
lain yang dapat dijadikan kriteria dan ukuran dalam menentukan lapisan-lapisan
dalam masyarakat. Akan tetapi ukuran dan kriteria yang disebut disini merupakan
ukuran dan kriteria paling menonjol dalam lahirnya lapisan-lapisan dalam
kehidupan dalam masyarakat. Selain dari pada itu, ada faktor lain yang juga
menentukan dalam mewujudkan sistem berlapis-lapis dalam kehidupan masyarakat
yaitu kedudukan (status) dan peranan(role). Kedua hal ini mempunyai
arti penting dalam sistem sosial masyarakat karena kedua hal tersebut merupakan
pola yang mengatur hubungan timbal balik antara individu-individu tersebut
supaya tidak saling bertabrakan satu dengan yang lain. Dalam kaitan hubungan
timbal balik ini, kedudukan dan peran harus dapat berfungsi secara baik karena
langgengnya kehidupan masyarakat itu harus ada keseimbangan antara
kepentingan-kepentingan individu yang tumbuh dalam masyarakat. Agar hal ini
dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan hukum yang mengaturnya dan oleh
karena itu jika hukum yang lama itu sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi masa
tersebut maka harus diadakan pembaruan dengan kondisi zaman.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dinamika dalam stratifikasi sosial
ditandai dengan adanya lapisan-lapisan kehidupan masyarakat yang tidak statis.
Setiap kelompok masyarakat pasti mengalami perkembangan dan perubahan, yang
membedakannya adalah dalam cara perubahan itu, yaitu ada yang perubahan itu
terjadi sangat lambat dan ada pula perubahannya yang sangat cepat, ada yang
direncanakan dan ada pula yang tidak di rencanakan, ada pula perubahan itu di
kehendaki dan ada pula yang tidak dikehendaki. Pada umumnya perubahan itu
terjadi sebagai akibat pengaruh reformasi dari pola-pola yang ada dalam
kelompok sosial yang sudah mapan. Perubahan sebagai akibat dari pengaruh luar
pada umumnya berupa perubahan keadaan dimana kelompok masyarakat itu tinggal.
Selain pengaruh dari luar sebagaimana tersebut di atas, penggantian
anggota-anggota kelompok sosial juga dapat membawa perubahan pada struktur
kelompok tersebut, yang kemudian akan diikuti oleh perubahan pola piker, pola
pandang terhadap sesuatu persoalan yang terjadi, dan pada akhirnya juga akan
diikuti oleh perubahan pada hukum. Misalnya dapat dilihat pada pergantian
personil dalam tubuh suatu organisasi pemerintahan, pergantian pucuk pimpinan
akan diikuti dengan kebijakan-kebijakan yang harus diikuti oleh anggota
kelompokorganisasi dibawahnya. Sehingga manajemen organisasi tersebut akan
mengalami perubahan pula. Agar kebijakan dari atas dapat berjalan sesuai dengan
yang direncanakan, maka diterapkan peraturan perundang-undangan yang harus
dilaksanakan untuk amannya kebijakan tersebut, yang pada akhirnya terjadi
perubahan hukum.
b. Pengaruh Budaya
Luar
Kata budaya dalam bahasa inggris disebut “culture” yang
berarti kebudayaan. “Kata kebudayaan” berasal dari bahasa Sanskerta yang asal
katanya “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari
kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Secara harfiah
kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal
atau hasil karya, rasa dan cipta manusia. Menurut Hasan Shadilly[17] kebudayaan
adalah keseluruhan dari hasil karya manusia dalam hidup bermasyarakat yang
berisi aksi-aksi manusia yang berupa kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral
hukum,adat istiadat dan lain-lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang
didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan sebagai hasil dari cipta karsa dan rasa manusia mempunyai tingkatan
yang berbeda-beda antara kebudayaan di tempat tertentu dengan kebudayaan di
tempat lain, di tempat tertentu kemungkinan terdapat kebudayaan yang lebih
sempurna di bandingkan dengan kebudayaan di tempat lain. Hal ini tergantung
dari bagaimana reaksi kebudayaan setempat dalam menerima pengaruh-pengaruh dari
luar yang dapat mengubah sistem dan pandangan kebudayaannya. Kebudayaan yang
sudah maju sering juga disebut dengan “peradaban” yang dalam bahasa Inggris
disebut ”civilization” yakni istilah yang sering dipakai untuk
menyenut kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni
bangunan, seni rupa dan sistem kenegaraa, masyarakat kota yang maju dan
kompleks. Istilah peradaban juga sering dipergunakan untuk menyebutkan
bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus, indah, cantik dan
maju seperti kesenian, ilmu pengetahuan, adapt dan sopan santun, kepandaian
menulis, susunan organisasi pemerintahan yang baik, sistem kehidupan yang mapan
dan sebagainya.
Unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat terdiri dari unsur yang besar dan
kecil. Unsur-unsur ini merupakan bagian dari kesatuan yang bulat dan bersifat
utuh. Dalam hal ini Koentjaraningrat[18] menyebutkan
tujuh macam unsur kebudayaan yang dapat di temukan pada semua bangsa di dunia,
yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan
teknologi, sistem mata pencaharian untuk kehidupan, sistem religi dan kesenian.
Sedangkan Bronislaw Marilowski[19] menyebutkan
empat macam unsur-unsur pokok dari kebudayaan yaitu pertama: sistem
norma-norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat agar
menguasai alam sekelilingnya, kedua:terdapatnya organisasi ekonomi
yang baik, ketiga: mempunyai alat-alat, lembaga-lembaga dan
petugas-petugas untuk penyelenggaraan pendidikan, termasuk juga lembaga
pendidikan yang utama yaitu keluarga, keempat: organisasi
kekuatan dalam masyarakat.[20]
Setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang masing-masing berbeda satu dengan
yang lainnya, namun setiap kebudayaan mempunyai sifat dan hakikat yang berlaku
umum bagi semua kebudayaan yang ada di dunia ini. Adapun sifat dan hakikat yang
berlaku umum tersebut antara lain, pertama: kebudayaan itu
terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia, kedua: kebudayaan
itu telah ada terlebih dahulu dari pada lahirnya suatu generasi tertentu, dan
tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan,ketiga: kebudayaan
itu diperlukan manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya,keempat: kebudayaan
itu mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban,
tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan yang diizinkan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas dapat difahami bahwa sifat dan hakikat
dari kebudayaan itu adalah sikap dan tingkah laku manusia yang selalu dinamis,
bergerak dan beraktifitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara
melakukan hubungan-hubungan dengan manusia lainnya, atau dengan cara terjadinya
hubungan antar kelompok dalam masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan mengapa
setiap produk hukum yang di buat dalam rangka memberi ketertiban dan kenyamanan
dalam kehidupan masyarakat harus melihat dan mengikuti kebudayaan masyarakat di
mana hukum tersebut akan diterapkan. Agar hukum itu harus melihat kepada budaya
dan hukum-hukum yang telah ada dalam masyarakat tersebut. Hukum tidak akan
berlaku secara efektif apabila dipaksakan berlaku kepada masyarakat, padahal
hukum tersebut bertentangan dengan budaya yang hidup dalam masyarakat tersebut.[21]
Dalam kaitannya dengan kehidupan suatu masyarakat di mana hidup sebagai warga
negara, maka tidak dapat dielakkan bahwa kehidupannya tidak akan tersentuh
dengan kehidupan bangsa lain, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dengan demikian budaya suatu masyarakat akan bersentuhan dengan budaya
masyarakat luar di luar wilayah negaranya. Apabila hubungan tersebut
berlangsung lama dan terus-menerus, maka bukan suatu hal yang mustahil budaya
bangsa luar itu lambat laun diserap dalam budaya masyarakat yang bersangkutan
dengan tanpa dan atau dapat menyebabkan hilangnya kepribadian dari masyarakat
itu sendiri. Adanya kontak budaya suatu masyarakat dengan budaya di luar
masyarakat itu menimbulkan beberapa masalah antara lain unsur-unsur kebudayaan
asing manakah yang mudah diterima dan sulit diterima, individu-individu yang
dapat menerima unsur-unsur yang baru dan masalah ketegangan-ketegangan sebagai
akibat kontak budaya tersebut. Pada umumnya masuknya teknologi asing sebagai
unsur dari kebudayaan luar merupakan hal yang paling dapat diterima oleh masyarakat,
sedangkan unsur-unsur yang menyangkut sistem kepercayaan seperti ideologi,
falsafah hidup atau nilai-nilai luhur merupakan hal yang sangat sulit bisa
diterima oleh suatu masyarakat. Kalau terpaksa harus diterima karena ada
tekanan baik secara langsung maupun tidak langsung, maka cara yang dipergunakan
adalah dengan menerima kebudayaan itu dan mengolahnya dengan sedemikian rupanya
dan mengadaptasi-kan ke dalam produk-produk hukum yang dibuat oleh suatu
negara, meskipun ada ketidakpuasan terhadap produk-produk hukum tersebut.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat diketahui bahwa adanya kontak budaya
suatu kelompok sosial (masyarakat) dalam suatu negara, maka akan mempengaruhi
terjadinya suatu pembentukan dan perubahan produk hukum di negara tersebut.
Agar gerak dan kontak budaya tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang
diharapkan dan dapat menghasilkan intregasi antara unsur-unsur kebudayaan asing
dengan kebudayaan sendiri dari masyarakat penerima, maka masyarakat penerima
harus menyesuaikan pengaruh asing yang datang itu dengan kesadaran hukum dari
masyarakat itu sendiri.
c. Kejenuhan
Terhadap Sistem yang Mapan
Pada dasarnya masyarakat memiliki kecenderungan untuk memberikan penilaian
terhadap hukum yang berlaku dan kepada norma-norma yang hidup dalam masyarakat.
Norma hukum selalu dijadikan pedoman dan ukuran dalam pergaulan hidup
masyarakat untuk mencapai kestabilan dan ketentraman, sehingga kepentingan
individu yang beraneka ragam macam-nya dapat diselaraskan satu sama lain.
Tetapi adakalanya di dalam penilaian anggota masyarakat tersebut dijumpai
ketidakpuasan terhadap nilai-nilai dan hukum yang sudah mapan. Hal ini
menyebabkan keinginan untuk mengadakan perubahan-perubahan dan hal ini
merupakan suatu hal yang wajar sebab kehidupan manusia dalam suatu kelompok
sosial selalu cenderung dinamis, berkembang sesuai dengan kondisi zaman.
Wujud kejenuhan masyarakat biasa terjelma dalam bidang “kekuasaan dan wewenang”
yang ada dalam masyarakat. Hal ini merupakan hal yang wajar sebab kekuasaan dan
wewenang itu mempunyai peranan yang dapat menentukan nasib berjuta-juta umat
manusia. Kekuasaan adalah suatu kemampuan untuk memengaruhi pihak lain menurut
kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan.[22] Kekuasan
terdapat di segala bidang kehidupan, terutama dalm hubungan sosial. Akan tetapi
pada umumnya kekuasaan tertinggi sering memaksakan kehendaknya, kalau perlu
dengan cara otoriter. Negara juga yang membagi-bagikan kekuasaan yang lebih
rendah derajatnya yang dalam bahasa politik disebut dengan “kedaulatan”.
Kedaulatan ini biasanya dijalankan oleh segolongan kecil dari masyarakat yang
menamakan dirinya “the ruling class”. Adanya rasa tidak puas dari
kalangan masyarakat yang menjadi pihak yang diperintah (rakyat banyak)
mempunyai pengaruh terhadap berbagai kebijakan yang dijalankan oleh the
ruling class, termasuk dalam pemrosesan pembentukan suatu hukum.
Kewenangan dapat efektif apabila didukung dengan kekuasaan yang nyata, namun
sering kali terjadi antara kekuasaan dan wewenang tidak berada dalam satu
tangan, sehingga antara keduanya tidak berjalan secara seimbang dalam mencapai
tujuan organisasi. Dalam kelompok masyarakat yang kecil dan susunannya
sederhana, pada umumnya kekuasaan dipegang oleh seseorang atau sekelompok orang
yang menguasai berbagai macam bidang keahlian, sehingga apabila kekuasaan
tersebut dipegang oleh seseorang terlalu lama, maka ada anggapan pemegang
kekuasaan itu adalah “penguasa”. Dalam kelompok sosial masyarakat yang lebih
besar dengan susunannya lebih kompleks, dimana tampak adanya berbagai golongan
yang sifat dan tujuan hidupnya berbeda-beda dan kepentingan tidak selalu sesuai
satu sama lainnya, maka kekuasaan biasanya terbagi kepada beberapa golongan,
sehingga terdapat perbedaan dan pemisahan yang nyata dari kekuasaan politik,
militer, ekonomi, agama dan sebagainya. Adanya kekuasaan yang terbagi itu
tampak jelas dalam masyarakat yang menganut dan melaksanakan demokrasi secara
luas.
Adanya kekuasaan dan wewenang pada setiap masyarakat,
merupakan suatu gejala yang normal dalam kehidupan sosial masyarakat, walaupun
wujudnya kadang-kadang tidak disukai oleh masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu
pada setiap masyarakat diperlukan daya perekat dan pemersatu yang menjelma
dalam hati sanubari seseorang atau sekelompok orang-orang yang memilih
kekuasaan dan wewenang yang sekaligus dapat mempertahankan integritas
masyarakat tersebut. Jika suatu sistem dalam suatu negara bersifat statis
karena dianggapnya sistem tersebut sudah cocok untuk diterapkan dalam suatu
negara, sedangkan masyarakat dalam negara itu sudah tidak menghendaki lagi
sebab sosial budayanya sudah berubah seiring berubahnya zaman, maka sudah
sewajarnya pula kekuasaan dan wewenang itu ditinjau kembali dan ditata kembali
sesuai dengan budaya hukum yang hidup dalam masyarakat.
Wujud ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang
tertentu dapat terefleksi dengan adanya upaya untuk menembus nilai-nilai yang
sudah mapan, dan keinginan untuk mengubah sistem nilai yang sudah dilaksanakan
sebelumnya. Gejolak sosial yang timbul pada kondisi masyarakat dewasa ini
dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan cara unjuk rasa
(demonstrasi). Hal ini timbul diakibatkan aspirasi masyarakat lapisan bawah
tidak diperhatikan oleh penguasa, misalnya kejatuhan kepemimpinan Suharto
sebagai Presiden Republik Indonesia, banyak pakar hukum yang mengatakan bahwa
kejatuhannya itu bukan disebabkan oleh dilaksanakan suatu peraturan atau hukum,
tetapi berdasarkan apa yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat dimana arus
reformasi sudah mulai berkembang yang masuk melalui kontak budaya dengan budaya
bangsa lain, hukum tidak berjalan sesuai dengan aspirasi rakyat, keadilan yang
sangat didambakan oleh masyarakat dalam berbagai kehidupan tidak pernah
terwujud dan gejolak sosial yang terjadi di beberapa daerah merupakan wujud
rasa tidak puasnya masyarakat terhadap sistem hukum yang berlaku selama itu.[23]
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kekuasaan dan
wewenang yang dipegang oleh seseorang dalam waktu yang terlalu lama dalam
kehidupan sosial masyarakat, maka akan menimbulkan kejenuhan dalam kehidupan
organisasi yang pada akhirnya akan menimbulkan gejolak dalam kehidupan
masyarakat. Apabila hal ini terjadi maka pihak-pihak yang berwenang harus
mencari jalan yang terbaik untuk mencari solusi pemecahannya. Salah satu jalan
terbaik adalah mengadakan reformasi hukum dan memfungsikan sebagai alat untuk
merekayasa masyarakat dalam mencapai ketertiban, ketentraman dan keadilan dalam
kehidupan bersama. Di sini hukum harus dilihat sebagai lembaga kemasyarakatan
yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial dalam kehidupan
bersama sebagai suatu bangsa dalam suatu negara.
d. Menipisnya
Kepercayaan Masyarakat terhadap Hukum
Suatu negara dikatakan sebagai negara hukum apabila unsur supremasi hukum
dijadikan sebagai landasan penyelenggaraan negara termasuk memelihara dan
melindungi hak-hak warga negaranya. Jhon Locke[24] menyatakan
bahwa untuk mendirikan suatu negara hukum yang menghargai hak-hak warga negara
harus berisi tiga unsur penting, yaitu adanya hukum yang mengatur bagaimana
anggota masyarakat dapat menikmati hak asasinya dengan damai, adanya suatu
badan yang dapat menyelesaikan sengketa yang timbul antara pemerintah (vertical
dispute) atau sesama anggota masyarakat (horizontal dispute).
Masyarakat menurutnya, tidak lagi diperintahkan berdasarkan diktator atau
siapapun tetapi diperintahkan berdasarkan hukum. Inti dari gagasan Jhon Locke
ini mengisyaratkan bahwa penghormatan terhadap supremasi hukum tercermin dari
adanya hukum secara substantife (law an paper) dan kondisi
hukum oleh badan-badan peradilan(law an action).
Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum apabila supremasi hukum
sebagai landasan penyelenggaraan negara dijalankan tidak hanya sebatas hukum
yang dibuat, tetapi bagaiman hukum dilaksanakan dengan baik. Disetiap negara,
apabila di negara-negara berkembang, pembangunan digerakan melalui
instrumen-instrumen hukum yang dibuat. Hukum difungsikan sebagai alat
legitimasi pemerintah dalam membuat berbagai kebijakan pembangunan. Dalam
kaitannya dengan dinamika pembangunan suatu negara, tidak dapat tidak perubahan
demi perubahan terus terjadi seiring dengan proses pembangunan tersebut,
termasuk perubahan di bidang hukum.
Ada empat kriteria yang dapat dijadikan patokan untuk menentukan adanya
supremasi hukum dalam suatu negara, yaitu:
1. Hukum diadakan berdasarkan dan oleh kemauan rakyat,
rakyat adalah sumber dan berperan dalam membuat hukum yang diperlukan karena
kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, dengan kata lain hukum harus menjadi
panglima.
2. Hukum dilaksanakan untuk kepentingan dan melindungi
rakyat, bukan semata-mata untuk kepentingan penguasa, rakyat adalah subjek dari
hukum bukan objek dari hukum.
3. Kekuasaan pemerintah harus tunduk pada
hukum (rachtat), dan setiap kekuasaan harus diikuti oleh sistem
pertanggungjawaban.
4. Ada jaminan dan pengakuan terhadap hak-hak
asasi manusia (HAM), baik hak sipil maupun hak politik sosial kemasyarakatan.
Prof. DR. Bagir Manan, S.H.,MCL[25] mengemukakan
bahwa supremasi hukum dalam suatu negara dapat ditegakan kalau adanya peraturan
yang dibuat oleh pejabat yang berwenang sesuai yang diatur oleh peraturan yang
berlaku, harus ada sarana dan prasarana yang memadai, kesadaran hukum
masyarakat terhadap hukum yang dibuat itu harus baik dan aparat penegak hukum
yang professional, intelektual, dan bermoral, serta adanya check and
balance antara lembaga negara, baik secara vertikal maupun secara
horizontal.
Keadaan sebagaimana tersebut diatas dapat terlaksana dengan baik jika
masyarakat taat dan patuh kepada hukum. Menurut By. Franz Von Benda Bechmann[26]orang
patuh dan taat kepada hukum karena beberapa hal, antara lain pertama:compliance, yakni
takut terhadap sanksi yang akan dikenakan apabila mereka melanggarnya, kedua:
identification, yakni mereka patuh karena kepentingannya dijamin oleh
hukum. Ketiga: internalization, yakni mereka merasa hukum yang
berlaku sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada dirinya, keempat: kepentingan
warga dijamin oleh hukum yang baru dibuat itu. Menurut Lily Rasyidi[27],
apabila dilihat dari segi teori kedaulatan hukum, masyarakat patuh dan taat
kepada hukum bukan karena negara menghendakinya, tetapi karena hukum itu
merupakan perumusan dari kesadaran hukum masyarakat. Berlakunya hukum secara
efektif karena nilai bathin yang terdapat dalam individu masyarakat itu menjelma
di dalam hukum itu. Hukum yang berlaku itu dapat menjamin ketenteraman dan
kedamaian dalam kehidupan masyarakat tersebut.
Orang tidak taat dan patuh kepada hukum tentu saja bertentangan dengan hal-hal
tersebut di atas. Selain dari itu, masyarakat tidak taat kepada hukum karena
hukum dianggap tidak lagi memihak kepada masyarakat tetapi lebih memihak kepada
penguasa. Untuk memperoleh keadilan dirasakan terlalu mahal, sebab asas
sederhana, cepat dan biaya ringan dalam penyelesaian suatu perkara di
pengadilan dianggap hanya semboyan belaka, dalam hal penegakan hukum.
Masyarakat yang tidak taat dan patuh kepada hukum tentu saja mempunyai perilaku
kebalikan dari hal-hal yang telah diuraikan di atas. Selain dari itu,
masyarakat tidak lagi taat dan patuh kepada hukum, karena hukum dianggap oleh
masyarakat tersebut tidak lagi memihak kepadanya, tetapi lebih memihak kepada
penguasa atau elit lain. Mereka juga beranggapan bahwa mencari keadilan di
negeri ini sangat sulit dan mahal, asas sederhana, cepat dan biaya ringan dalam
penyelesaian perkara di pengadilan merupakan semboyan belaka. Dalam penegakan
hukum, hanya orang-orang tertentu saja yang dapat dijerat oleh hukum, itupun
penjahat-penjahat kecil yang tidak begitu berpengaruh pada level nasional,
sementara penjahat kakap hanya sedikit saja yang dapat dijerat oleh hukum,
kebanyakan diantara mereka kabur keluar negeri dan tidak jelas rimbanya.
Kondisi buruk yang tengah dialami bangsa Indonesia pada masa transisi saat ini,
sulit diingkari, merupakan kulminasi dari kepercayaan rakyat pada pranata
sosial yang ada, terutama pada pranata hukum baik yang berkrnaan dengan
pembentukan, penegakan maupun penegaknya itu sendiri yang belum mencerminkan
adanya keadilan. Berbagai letupan yang terjadi secara sporadik, bahkan ada juga
yang telah membangkitkan gerakan sentrifugal, merupakan ancaman bagi seluruh
bangsa yang akar permasalahannya tidak jauh dari masalah “hukum dan keadilan”
sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tidak berfungsinya hukum dengan baik
merupakan suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri yang membawa akibat yang
pahit dalam berbagai pranata kehidupan. Dalam kaitan ini Harkristuti
Harkrisnowo[28] mencatat
sejumlah masalah dalam bidang hukum yang perlu mendapat perhatian yaitu pertama: sistem
peradilan yang kurang independent dan imparsial, kedua: belum
memadai perangkat hukum yang mencerminkan keadilan sosial,ketiga: inkonsistensi
penegakan hukum, keempat: besarnya intervensi hukum terhadap
masyarakat dan kelima: lemahnya perlindungan hukum terhadap
masyarakat.
Kesemua fenomena tersebut di atas merupakan sebagian dari faktor-faktor yang
telah memudarkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan semua atributnya
(pembuat, penegak, dan simbol-simbol hukum), serta juga mereduksi kepastian
hukum sebagai suatu pilar yang melandasi tegaknya hukum di mana pun. Hukum yang
baik adalah hukum yang mampu menampung dan membagi keadilan pada orang-orang
yang akan diaturnya. Namun sudah sejak lama orang mempunyai keraguan atas hukum
yang di buat oleh manusia Enam ratus tahun Sebelum Masehi, Anarchasis menulis
bahwa hukum sering kali berlaku sebagai sarang laba-laba, yang hanya menangkap the
weak and the poor, but easily be broken by the mighty and rich…. Jhon Locke[29] juga
telah memperingatkan bahwa “wherever law ends, tyranny begins”. Berdasarkan
hal inilah maka jelas bahwa hukum yang berlaku mencerminkan ideologi,
kepedulian, dan keterikatan pemerintah pada rakyatnya, tidak semata-mata
merupakan hukum yang diinginkan rakyat untuk mengaturnya.
Apabila telah terjadi kesenjangan antara hukum dengan keadaan berarti hukum
berjalan sudah tidak efektif lagi, oleh karena itu harus segera diadakan
perubahan. Menurut Hugo Sinzheimer[30] bahwa
perubahan senantiasa dirasakan perlu dinilai sejak adanya kesenjangan antara
keadaan-keadaan, peristiwa-peristiwa serta hubungan dalam masyarakat dengan
hukum yang mengaturnya. Bagaimana pun, kaidah ukum tidak mungkin dilepaskan
dari hal-hal yang diaturnya, sehingga ketika hal-hal yang seyogyanya diatur
tadi telah berubah sedemikian rupa, tentu saja dituntut perubahan hukum untuk
menyesuaikan diri agar hukum dapat efektif dalam pengaturan-nya. Sehubungan
dengan kesenjangan ini, Dror[31] membedakan
antara ketegangan (tention) dan ketertinggalan(lag). Apabila
terdapat ketegangan antara hukum dan peristiwa konkret, hal ini masih bias
dikatakan wajar, namun apabila ketegangan tersebut telah mencapai taraf
ketertinggalan, barulah dibutuhkan segera perubahan hukum untuk menyesuaikan
diri.
Faktor-faktor yang memengaruhi terjadi perubahan hukum dalam suatu negara dapat
berasal dari dalam negeri (internal) yakni adanya suatu perubahan yang cepat
dan radikal sehingga memengaruhi seluruh sistem hukum yang sedang berjalan,
dapat pula berasal dari pengaruh luar (eksternal) yang memengaruhi sistem hukum
nasional yakni adanya keharusan suatu negara untuk menyesuaikan hukum
nasionalnya dengan hukum internasional. Dalam konteks perubahan hukum yang
terjadi di Indonesia, kedua faktor ini secara bersamaan telah memengaruhi
keseluruhan sistem hukum yang ada dan mengharuskan hukum (termasuk
perundang-undangan) diubah dan bahkan dibuat untuk diesuaikan dengan kondisi
yang terjadi, demikian juga sebagai bagian dari anggota masyarakat
internasional. Indonesia tidak dapat mengabaikan hukum internasional yang telah
disepakati dan sebagai konsekuensinya Indonesia harus melakukan harmonisasi
terhadap hukum nasional yang telah ada.
4. Optimalisasi
Membangun Budaya Hukum Masyarakat
Dalam perkembangan hukum dewasa ini, suatu hal yang tampaknya
kurang mendapat perhatian para ahli hukum, yaitu “budaya hukum” atau ”legal
culture”. Konsep ini oleh Poh Ling Tan[32] didefinisikan
sebagai “a set of sosial traditions, attitudes and expectations
concerning the law, a legal profession and an independent judiciary, together
with a respect for these, and internalization of law abidingness and of legal
attitudes, procedures and ways of looking at things…” dari definisi
ini dapat dimunculkan dua hal dalam budaya hukum yaitu ketentuan hukum yang ada
dan bentuk penegakan hukum yang dijalankan, atau dengan kata lain adalah
substansi aturan hukum dan aparat penegak hukum yang professional yang tidak
memihak.
Untuk menciptakan budaya hukum yang positif dan dapat
mendukung tata kehidupan masyarakat, kedua komponen tersebut diatas mutlak
diperlukan. Apabila pemerintah dapat meyakinkan masyarakat bahwa hukum yang
dibentuk itu adalah berorientasi kepada rakyat dan berkeadilan sosial, para
aparat hukum dalam menjalankan tugasnya bersifat non diskriminatif, tentu saja
masyarakat akan memberikan dukungan dan sekaligus akan mengikuti pola tersebut,
demikian sebaliknya. Agar hal ini dapat berjalan dengan baik, maka pemerintah
harus menciptakan masyarakat yang terdidik (an educated public) supayan
masyarakat dapat memahami dengan baik dan melaksanakan aturan hukum yang telah
dibuatnya, sekaligus dapat memberikan saran pendapat kepada instansi yang
berwenang (khususnya pemerintah dan pihak legislative) dalam membuat produk
hukum yangdipergunakan untuk mengatur masyarakat. Jadi masyarakat dilibatkan
dalam membentuk produk hukum, sebab bagaimanapun masyarakatadalah pemakai hukum
tersebut.
Menurut Lawrence M. Friedmann,[33] setiap
sistem hukum selalu mengandung tiga komponen yaitu komponen struktural,
substansial dan kultural. Kebanyakan orang selalu berpendapat bahwa apa yang
dinamakan sistem hukum hanya mencakup komponen structural dan substansial saja
tanpa mempertimbangkan adanya komponen cultural tersebut. Yang dimaksud dengan
komponen struktural dari suatu sistem hukum adalah mencakup berbagai institusi
yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai macam fungsinya
dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Sedangkan komponen
substantive adalah mencakup segala apa yang merupakan keluaran dari suatu
sistem hukum. Dalam pengertian ini termasuk norma hukum yang berupa peraturan
perundang-undangan, doktrin-doktrin sejauh semuanya itu dipergunakan dalam proses
bekerjanya hukum. Komponen yang ketiga adalah budaya hukum atau disebut dengan
“the legal culture”adalah keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana
sistem hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik
masyarakat umum. Jadi apa yang disebut dengan budaya hukum itu adalah tidak
lain dari keseluruhan sikap dari masyarakat dan sistem nilai yang ada dalam
masyarakat yang akan menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam
masyarakat. Budaya hukum ini oleh friedman disebut sebagai bensinnya motor
keadulan (the legal culture provides fuel for the motor of justice).
Berbicara tentang budaya hukum, juga berbicara tentang
kesadaran hukum masyarakat. Kedua hal ini merupakan satu kesatuan yang tidak
bisa dipisahkan, sebab sangat berhubungan dengan pelaksanaan hukum dalam
masyarakat. Untuk mengenal budaya tentang hukum dan kesadaran hukum masyarakat,
tidak cukup hanya mempergunakan secara konvensional yang lazim dikenal dalam
ilmu hukum sekarang, akan tetapi perlu mempergunakan berbagai indikator yang
telah berkembang saat ini, terutama hal-hal yang menyangkut tentang pemikiran
kembali apa yang menjadi tujuan hukum dan redefinisi tentang fungsi dan peranan
hukum dalam masyarakat. Dengan demikian budaya hukum dan kesadaran hukum masyarakat
merupakan dua hal yang dapat dikembangkan dengan baik secara terpadu, sehingga
pembaruan hukum yang dilaksanakan itu dapat diterima oleh masyarakat sebagai
pedoman tingkah laku yang harus dituruti. Walaupun hukum yang dibuat itu
memenuhi persyaratan yang ditentukan secara filosofis dan yuridis, tetapi kalau
kesadaran hukum masyarakat tidak mempunyai respon untuk menaati dan peraturan
hukum yang dibuat itu tidak akan efektif berlakunya dalam kehidupan
masyarakat.
Kesadaran hukum masyarakat merupakan hal yang sangat penting
dan menentukan berlakunya suatu hukum dalam masyarakat. Apabila kesadaran hukum
masyarakat tinggi dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh
hukum, dipatuhu oleh masyarakat, maka aturan hukum itu tidak efektif berlakunya.
Kesadaran hukum masyarakat itu menyangkut faktor-faktor apakah suatu ketentuan
hukum diketahui, difahami, diakui,dihargai dan ditaati oleh masyarakat sebagai
pengguna hukum tersebut. Kesadaran hukum masyarakat merupakan unsur utama yang
harus diperhitungkan dalam berfungsinya hukum secara efektif dalam masyarakat.
Menurut Solly Lubis[34] kesadaran
hukum adalah paduan sikap mental dan tingkah laku terhadap masalah-masalah yang
mempunyai segi hukum yang meliputi pengetahuan mengenai seluk beluk hukum,
penghayatan atau internalisasi terhadap nilai-nilai keadilan dan ketaatan atau
kepatuhan (obedience) terhadap hukum yang berlaku. Sedangkan tingkat
kesadaran hukum adalah bobot pengetahuan, penghayatan dan ketaatan terhadap
hukum yang berlaku, yang diperlihatkan oleh cara-cara berfikir dan berbuat
dalam pergaulan sehari-hari. Tingkat kesadaran ini hanya dapat dikualifikasi
secara pasti, meskipun melalui suatu penelitian secara metodologis. Denga hal
ini jelas bahwa tidak semua anggota masyarakat mengetahui apa saja aturan hukum
yang ada dan berlaku, sebagaimana masyarakat luas itu juga tidak sema tahu
tentang hal tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan-kenyataan yang
ada yakni banyaknya pelanggaran hukum yang terjadi karena buta hukum. Kesadaran
hukum masyarakat merupakan dasar bagi penegakan hukum sebagai proses.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, kesadaran hukum
masyarakat menjadi pedoman bagi penegakan hukum dan ketaatan hukum. Hal ini
berarti kesadaran hukum masyarakat menjadi pilar utama dan parameter utama
dalam proses penaatan hukum. Hukum dijalankan bukan karena adanya aturan sanksi
ataupun karena rasa takut melainkan karena kesadaran (keinsafan) bahwa
hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat, sehingga supremasi hukum harus ditegakkan atau hukum harus ditaati.
Hal ini dapat diukur melalui beberapa indikator yang masing-masing merupakan
suatu proses penahapan bagi tahapan berikutnya, yang menentukan terbentuknya
suatu kesadaran hukum dalam masyarakat, baik secara individual maupun kolektif,
yaitu pengetahuan hukum (law awareness), pemahaman hukum (law
acquaintance) sikap hukum (legal behavior). Pengetahuan hukum adalah
tingkat pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur
oleh hukum, sedangkan pemahaman hukum adalah sejumlah informasi yang dimiliki
seseorang mengenai materi-materi yang dikandung dalam suatu peraturan. Dalam pengertian
pemahaman hukum itu tidak ada syarat mengetahui yang harus dipenuhi oleh
subjek-subjek yang bersangkutan. Fokus pemahaman hukum adalah persepsi
masyarakat dalam menghadapi berbagai hal yang berkaitan dengan norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat.[35]
Untuk dapatnya hukum itu berfungsi sebagai pengayom
masyarakat, maka diperlukan faktor pendukung yaitu fasilitas (yusur)
yang diharapkan akan mendukung pelaksanaan norma hukum yang berlaku dalam
kehidupan masyarakat. Selain dari itu, berfungsinya hukum sangat tergantung
pada hubungan yang serasi antar hukum itu sendiri (perangkat aturan hukum),
aparat penegak hukum dan kesadaran hukum masyarakat. Kekurangan salah satu dari
unsur ini akan mengakibatkan seluruh sistem hukum berjalan pincang. Oleh karena
itu perlu dilakukan penyuluhan hukum agar masyarakat memahami sepenuhnya
tentang peraturan hukum yang di berlakukannya, sehingga melembaga dan menjiwai
dalam kehidupan masyarakat. Memberi informasi secara luas kepada masyarakat
bukan sekedar supaya mereka mengetahui peraturan hukum tersebut, tetapi lebih
dari itu yaitu mengusahakan agr masyarakat taat dan patuh terhadap hukum atas
dasar anggapan bahwa peraturan hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada
dalam kelompok sosial mereka. Penyuluhan yang dilaksanakan itu harus memenuhi
persyaratan logis, etis, dan
estetis.
D. KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka dalam penulisan makalah ini penulis
dapat memberikan ksimpulan sebagai berikut :
1. Bahwa hukum dapat berubah sesuai dengan situasi
dan kondisi yang dilalui oleh masa di mana hukum itu hidup.
2. Bahwa aspek sosial budaya salah satu
bentuk proses pengubah hukum.
3. Bahwa aspek pengubah hukum dari perspektif
sosial budaya dapat saja melalui: stratifikasi sosial, pengaruh budaya
luar, kejenuhan terhadap sistem yang mapan, menipisnya kepercayaan
masyarakat terhadap hukum.
4. Dalam perkembangan hukum dewasa ini, suatu hal yang
tampaknya kurang mendapat perhatian para ahli hukum yaitu membangun budaya
hukum sehingga kadangkala hukum tidak berjalan secara efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Jakarta:
Kecana Prenada Media, 2006.
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian
Filosofis dan Sosilogis, Jakarta: Chandra Pratama, 1996.
Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa: Suatu
Pencarian, MARI, 2004.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Franz Von Benda-Bechmann, Why Law Does Not Behave.
Hasan Shadilly, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia,
Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Harkristuti Harkrisnowo, Menjalani Masa Transisi:
Mungkinkah Hukum sebagai Panglima,2004.
Iskandar Sykur, Bahan Kuliah Pendekatan Kajian Hukum
Islam (Sosiologi-Antropologi).
John Locke, Second Theatise of Government, 1960.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta:
Aksara Baru, 1983.
Lawrence M. Friedman, Legal Culture and Social
Development dalam Law and Society, Vol. 4, 1969.
Lili Rasyidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1990.
Muhammad Abduh, Pengantar Sosiologi, Medan:
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, 1984.
Poh Ling Tan, Asian Legal System, London:
Butterworth, 1997.
R. Otje Sahman, Beberapa Aspek Sosilogi Hukum,
Bandung: Alumni, 1989.
Sorjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.
Solli Lubis, Politik dan Hukum di Era Reformasi, Bandung:
CV. Mandar Maju, 2000.
Otje Salman Soemadningrat, Rekonseptualisasi Hukum
Adat Kontemporer, Bandung Alumi, 2002.
Footnote:
[1] Allah swt sendiri telah menyatakan hal ini, sebagaimana
yang tersebut dalam (QS Toha : 2) : “ Kami tidak menurunkan Al Qur’an
ini kapadamu agar kamu menjadi susah“
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia,Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm. 149
[3] Seperti dalam Surah al-Baqarah, 130, 135; ali ‘Imran,
95; an-Nisa’, 124, an’ Am, 162; an-Nahl, 123; al-Haji, 78; dan dalam hubungan
dengan ahlil-Kitab, al-Baqarah, 120.
[4] Ini sangat terlihat jelas di dalam firman Allah Qs As
Sajdah 7-9 : “(Allah)-lah Yang memulai penciptaan manusia dari tanah,
kemudian Dia menciptakan keturunannya dari saripati air yan hina ( air mani ).
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam ( tubuh )-nya roh (
ciptaan)-Nya “
[14] Muhammad Abduh, Pengantar Sosiologi, Medan:
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, 1984, hlm. 5
[20] Lihat juga, Bahan Kuliah Pendekatan Kajian
Hukum Islam (Sosiologi-Antropologi), oleh Drs. Iskandar Sykur, MA.
[26] Franz Von Benda-Bechmann, Why Law Does Not
Behave, hlm. 64. Lihat juga R. Otje Sahman, Beberapa Aspek Sosilogi
Hukum, Bandung: Alumi, 1989.
[33] Lawrence M. Friedmann, Legal Culture and Social
Development dalam Law and Society, Vol. 4, hlm. 9
[35] Otje Salman Soemadningrat, Rekonseptualisasi
Hukum Adat Kontemporer,Bandung: Alumi, 2002, hlm. 205-207
0 komentar:
Posting Komentar