google-site-verification: google9a13747b79e1f4cd.html Artikel Law Office MAH - Hukum Pidana Artikel Law Office MAH: Hukum Pidana - All Post
SEMUA ARTIKEL
M.Ardiansyah Hasibuan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Pidana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Pidana. Tampilkan semua postingan

Angka permohonan praperadilan atas penetapan tersangka terus bertambah. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, perdebatan boleh tidaknya penetapan tersangka diajukan ke praperadilan seharusnya tidak perlu terjadi lagi. Sebab, Mahkamah telah memperluas objek praperadilan di tengah kontroversi isu tersebut.

Permohonan praperadilan atas penetapan tersangka didaftarkan di banyak pengadilan. Tim dari Pusat Penelitian Mahkamah Agung pun sempat melakukan kajian terhadap ‘putusan praperadilan terkait penetapan tersangka’. Hasilnya, penetapan tersangka adalah pengembangan baru objek praperadilan karena sesuai dengan perkembangan yang ada di masyarakat. Praperadilan dianggap sebagai wujud check and balance terhadap penyidik yang selama ini mengatasnamakan penegakan hukum. (Baca juga: Hakim Kabulkan Sebagian Permohonan Praperadilan VSI).

Berdasarkan hasil kajian itu, praperadilan terhadap penetapan tersangka dapat mendorong perlindungan yang lebih baik dari tindakan para penyidik di kemudian hari sekaligus menjadi koreksi atas tindakan penyidik. Lewat praperadilan atas penetapan tersangka, tindakan abuse of power atau penyalagunaan kewenangan oleh penyidik bisa dihindari. Tentu saja, hakimlah yang berwenang memutuskannya.

“Ke depan penegak hukum dituntut untuk lebih profesional dan berhati-hati dalam menetapkan status tersangka terhadap seseorang,” demikian dikutip dari kajian Puslit Mahkamah Agung tersebut. 
 
Perkara terbaru yang mendapat perhatian publik adalah penetapan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan sebagai tersangka pengadaan mobil listrik. Dahlan mengajukan upaya hukum praperadilan itu ke PN Jakarta Selatan melawan penyidik Kejaksaan Agung.

Berdasarkan catatan hukumonline puluhan praperadilan atas penetapan tersangka telah diajukan ke pengadilan negeri yang tersebar di seluruh Indonesia. PN Jakarta Selatan terbilang paling banyak menerima permohonan praperadilan. Dari 10 perkara yang ditelusuri Hukumonline (lihat tabel) 4 perkara ditolak, 4 diterima, dan sisanya diterima sebagian. 
 
Jika ditelusuri lebih lanjut 10 perkara itu, terungkap bahwa ada beragam alasan atau dalil hakim menjatuhkan putusan praperadilan. Adakalanya hakim menilai surat perintah penyidikan tidak sah; dan dalam perkara lain penyidik tidak sah karena bukan dari kalangan jaksa. Kali lain, hakim melihat pada ketersediaan dua alat bukti yang cukup

No Pemohon Kasus Putusan Hakim
1 Dahlan Iskan Kasus aset PWU berdasarkan surat perintah penyidikan bernomor Print 1198/O.5/Fd.1/10/2016 tertanggal 27 Oktober 2016. Dia diduga melakukan pelanggaran pada penjualan aset PWU di Kediri dan Tulungagung pada tahun 2003 lalu Ditolak Hakim Ferdinandus (PN Surabaya
2 Irman Gusman Irman Gusman disangkakan pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar. Ditolak I Wayan Karya (PN Jakarta Selatan)
3 Siti Fadilah Supari Siti Fadilah dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 56 ayat 2 KUHP tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar. DItolak Rivai (PN Jakarta Selatan)
4 Nur Alam Nur Alam diduga menerima aliran dana sebesar AS$4,5 juta.Aliran dana tersebut yang diterima melalui bank di HongKong dan sebagian diantaranya disimpan di tiga polis. Nur Alam diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor. Ditolak I Wayan Karya
5 La Nyalla Dana hibah Kadin Jatim pada tahun 2012 untuk IPO Diterima Ferdinandus (Surabaya)
6 Abidinsyah perkara penipuan, penggelapan, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait penjualan batubara di Kaltim.   Diterima Amat Khusaeri
7 Dahlan Iskan Dugaan korupsi pembangunan gardu induk PLN Jawa, Bali, Nusa Tenggara senilai Rp1,063 triliun. DIterima Lendriaty Janis (PN Jakarta Selatan)
8 Hadi Purnomo Penyalahgunaan wewenang atas kasus BCA, Pasal 2 ayat (1) atau 3 UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 KUHP Diterima untuk sebagian Haswandi (PN Jakarta Selatan)
9 Ilham Arief Sirajuddin Kasus dugaan korupsi kerja sama rehabilitasi kelola dan transfer untuk instalasi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar tahun anggaran 2006-2012. Akibatnya, kerugian negara ditaksir  mencapai Rp38,1 miliar. Diterima untuk sebagian Upiek Kartikawati (PN Jakarta Selatan)
10 Budi Gunawan Transaksi mencurigakan dan tidak wajar pejabat negara (Pasal 12 huruf a dan b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 atau Pasal 12 UU Tindak Pidana Korupsi). Diterima Sarpin (PN Jakarta Selatan)
 
Jika hakim menerima permohonan praperadilan dan membatalkan penetapan tersangka bukan berarti penegakam hukum berhenti. Dalam prakteknya, ternyata penyidik bisa kembali menytakan seseorang sebagai tersangka. Bahkan ada pendapat bahwa putusan MK belum tentu pas dipakai untuk perkara tertentu, seperti yang disampaikan KPK dalam perkara penetapan tersangka Nur Alam. 
 
sumber: hukumonline.com
Memahami Masalah Tindak Pidana Perbuatan Tidak Menyenngkan


Menarik untuk membahas Pasal 335 KUHP ini. Pasal ini sering disebut Pasal Perbuatan Tidak Menyenangkan. Pasal 335 KUHP berbunyi;
“(1) diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah;
1.      Barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain, maupun perlakuan yang tidak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.
2.      Barangsiapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.
(2) dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena.
Berdasarkan bunyi pasal di atas, maka dapat kita tarik unsur-unsur pasal 335 sebagai berikut;
1.      Barangsiapa
Barangsiapa mengacu kepada orang yang  melakukan             (yang   dapat bertanggungjawab secara hukum)
2.      Secara melawan hukum
Berarti melawan hak, atau ada unsur sengaja dan/niat untuk melakukannya.
3.      Memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu.
Memaksa berarti menyuruh orang melakukan sesuatu demikian rupa, sehingga orang itu melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendaknya sendiri.
4.      Dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain, ataupun perlakuan yang tidak menyenangkan
Paksaan tersebut dilakukan dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain atau suatu perbuatan yang tak menyenangkan, ataupun ancaman kekerasan, ancaman perbuatan lain, atau ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan
5.      Baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.

Pasal 335 Ayat 2 KUHP juga punya unsur yang sama dengan Pasal 335 Ayat 1 KUHP. Yang membedakannya, di dalam Pasal 335 ayat 2 KUHP terdapat unsur tambahan yaitu ancaman pencemaran melalui lisan maupun tulisan.
Jadi, berdasarkan bunyi pasal di atas, dapat disimpulkan, Pertama, unsur inti dari pasal ini harus adanya unsur “pemaksaan/paksaan”. Paksaan dimaksud, baik paksaan fisik maupun psikis. Kedua, unsur “menggunakan”. Yang berarti menggunakan cara-cara baik kekerasan, atau perbuatan lain, termasuk perbuatan yang tidak menyenangkan.
Prakteknya, Polisi mudah sekali menggunakan Pasal 335 KUHP ini untuk menjerat orang (masyarakat). Padahal, mereka keliru memahami pasal ini. Yang paling sering misalnya polisi men-tersangka-kan orang karena dianggap telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan.
Kesalahan pertama, unsur “perbuatan tidak menyenangkan” bukan merupakan jenis tindak pidana atau kejahatan. Dalam Pasal 335 KUHP, “Perbuatan tidak menyenangkan” itu adalah cara seseorang melakukan tindak pidana, bukan jenis tindak pidananya. Yang merupakan perbuatan pidana dalam Pasal 335 KUHP ini adalah memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu. Sedang, perbuatan tidak menyenangkan adalah caranya.
Kedua, kita tidak bisa merumuskan secara objektif apa itu perbuatan tidak menyenangkan. Apa itu perbuatan tidak menyenangkan? Kalau saya tatap Anda dengan mata melotot atau saya meludah di depan Anda? Atau saya menawarkan orang lain makan sementara anda tidak, bisa tidak itu dikatakan perbuatan tidak menyenangkan? Menurut Penulis bisa saja secara subjektif. Sebab rumusan perbuatan tidak menyenangkan ini sangat bias, kabur, dan tentu subjektif sekali. Semua tergantung pada penilaian subjektif korban (yang merasa korban). Bila penilaian subjektif tersebut diamini polisi, maka genap sudah. Anda bisa ditetapkan sebagai tersangka hanya karena tidak menawarkan makan kepada seseorang.
Ini lah kenapa oleh sebagian kalangan pasal ini dianggap pasal “karet”. Pasal ini sangat subjektif dan tak punya indikator yang jelas/objektif. Padahal dalam hukum pidana segala sesuatu itu harus jelas rumusannya, objektif, dan tak boleh multitafsir.
Ini juga yang menjadi alasan diajukannya Judicial Review atau Uji Materil terhadap Pasal ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya, MK melalui putusannya No. 1/PUU- XI/2013, mengabulkan permohonan Uji Materil tersebut yang amar putusanya berbunyi sebagai berikut:
Menyatakan frasa, “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia Dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660 Tahun 1958) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan frasa, “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia Dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660 Tahun 1958) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Pasal 335 ayat (1) butir 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia Dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1660 Tahun 1958) menjadi menyatakan, “Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”;[1]
Berdasarkan putusan MK tersebut sudah jelas bahwa frasa “perbuatan tidak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat 1 butir 1 KUHP adalah bertentangan dengan UUD 1945 (Inkonstitusional) dan tidak mempunyai kekutan hukum mengikat lagi. Dengan kata lain, Pasal 335 ayat 1 butir 1 KUHP yang dulunya berbunyi:
barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain, maupun perlakuan yang tidak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”.,
sudah tidak berlaku lagi, dan dirubah oleh MK menjadi:
Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”.
Meski frasa “perbuatan tidak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat 1 butir 1 KUHP sudah dicabut dan dinyatakan tak berlaku lagi. Penting menurut Penulis untuk membahasnya. Bahasannya bukan pada unsur-unsur pasalnya, namun pada sosialisasi pasal ini bahwa telah dicabut.
Jangan sampai pasal yang sudah dicabut ini, karena ketidaktahuan kita, malah masih dijadikan senjata untuk menjerat masyarakat awam. Sebagai manusia kita suka lupa dan tidak update. Jangankan orang awam, bahkan penegak hukum pun juga. Makanya, pembahasan ini setidaknya menginformasikan bahwa pasal ini sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Sehingga jika ada oknum penegak hukum atau siapapun yang mengancam dengan menggunakan pasal ini, bisa kita tepis


[1] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 1/PUU-XI/2013 tanggal 16 Januari 2014.
MEMAHAMI MASALAH TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
Memahami Tindak Pidana Pembunuhan


Tindak Pidana Pembunuhan diatur dalam Bab IX KUHP mengenai Kejahatan Terhadap Nyawa yakni dalam Pasal 338 sampai Pasal 350. Pasal pokok tentang pembunuhan (pembunuhan biasa) diatur di Pasal 388 yang berbunyi:
“barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
Berdasarkan bunyi pasal 338 KUHP tersebut, unsur-unsur tindak pidana pembunuhan adalah sebagai berikut:
1.      Barang siapa;
Berarti ada orang yang melakukan (pelaku) yang kepadanya dapat dimintakan pertangggungjawaban secara hukum.
2.      Dengan sengaja;
Unsur “dengan sengaja” ini merupakan unsur subjektif. Rumusan tentang “dengan sengaja” tidak diaur dalam KUHP[1], melainkan harus dicari melaui pendapat- pendapat para ahli di dalam buku-buku mereka. Zainal Abidin Farid menjelaskan, secara umum sarjana hukum telah menerima tiga bentuk sengaja, yaitu[2]:
a.               Sengaja sebagai niat. Menurut Anwar, unsur sengaja sebagai niat adalah hilangnya nyawa seseorang harus dikehendaki atau harus menjadi tujuan si pelaku. Jadi dengan sengaja berarti punya maksud atau niat atau tujuan untuk menghilangkan jiwa seseorang.[3]
b.              Sengaja sebagai kepastian. Yaitu kesengajaan yang menimbulkan dua akibat. Akibat pertama dikehendaki oleh pelaku, sedang akibat kedua tidak dikehendaki namun pasti atau harus terjadi.[4]
c.               Sengaja insaf akan kemungkinan. Yaitu Pelaku pada waktu melakukan perbuatan pidananya itu untuk menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang telah menyadari kemungkinan akan timbul suatu akibat lain dari pada akibat yang memang ia kehendaki.[5] Atau dengan kata lain, adakalanya suatu kesengajaan menimbulkan (kemungkinan) akibat-akibat lain yang tidak dikehendaki.
Jadi berdasarkan uraian di atas, sederhananya untuk memahami unsur “dengan sengaja” ini adalah si pelaku mengetahui dan menghendaki hilangnya nyawa seseorang dari perbuatannya.
3.      Merampas nyawa orang lain.
Unsur merampas nyawa orang lain atau disebut juga membuat orang lain mati. berbeda dengan unsur “dengan sengaja” yang merupakan unsur subjektif, merampas nyawa orang lain merupakan unsur objektif. Artinya akibat yang ditimbulkan jelas yaitu hilangnya nyawa orang lain/mati. Jika tidak mengakibatkan matinya orang lain, itu bukan pembunuhan, tapi percobaan pembunuhan seperti diatur di Pasal 338 Jo Pasal 53 KUHP.

Ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam perbuatan menghilangkan nyawa orang lain, yaitu:
a.    Adanya perbuatan (dari pelaku)
b.    Adanya suatu kematian (orang lain/korban)
c.    Adanya hubungan sebab dan akibat antara perbuatan dengan akibat kematian tersebut.[6]
Menurut Wahyu Adnan akibat dari perbuatan tersebut tidak perlu terjadi secepat mungkin tapi dapat juga muncul kemudian.[7]
Sudah disebut tadi, Pasal 338 KUHP merupakan pasal pokok tentang pembunuhan biasa. Di pasal-pasal berikutnya mengatur soal pembunuhan dengan jenis-jenis tertentu sebagai berikut:
a)      Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh tindak pidana lain diatur dalam pasal 339;
b)      Pembunuhan berencana diatur didalam pasal 340;
c)      Pembunuhan bayi yang dilakukan oleh ibunya pada saat atau beberapa waktu setelah anak dilahirkan diatur dalam pasal 341;
d)      Pembunuhan bayi yang dilakukan oleh ibunya dengan rencana pada saat atau beberapa waktu setelah anak dilahirkan diatur dalam pasal 342;
e)      Pembunuhan atas permintaan korban sendiri daitur dalam pasal 344;
f)       Pemberian bantuan untuk melakukan bunuh diri diatur dalam pasal 345;
g)      Pengguguran kandungan yang diatur didalam pasal 346-348;
h)      Pengguguran yang dibantu oleh bidan, dokter atau juru obat diatur dalam pasal 349.


[1] H.B. Vos, Leeboek Van Nederlands Strafrecht, (Haarlem : Derde Herziene Druk, H.D. Tjeenk Willink & Zoon N.V., 1950), hal. 103.
[2] Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hal. 262.
[3] Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), (Bandung : Cipta Adya Bakti, 1994), hal. 89.
[4] Eddy, O, S, Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta : Penerbit Cahaya Atma Pustaka, 2014), hal. 136.
[5] Laden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cetakan ketujuh, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), hal 18.
[6] Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Nyawa dan Tubuh, (Jakarta : P.T. Raja Grafindo, 2010), hal 57.
[7] Wahyu Adnan, Kejahatan Tehadap Tubuh dan Nyawa, (Bandung : Gunung Aksara, 2007), hal. 45.

Most Trending