BAB
I
PENDAHULUAN
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia
serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya. Untuk mewujudkan pernyataan tersebut di atas, melalui TAP MPR
Nomor: IV/MPR/1978, pemerintahan mengadakan usaha peningkatan dan penyempurnaan
pembinaan hukum nasional dengan mengadakan pembaharuan kodefikasi serta
unifikasi hukum dalam rangkuman pelaksanaan secara nyata dari Wawasan
Nusantara. Pembangunan hukum nasional salah satu diantaranya adalah di bidang
Hukum Acara Pidana dengan tujuan agar masyarakat menghayati hak dan
kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak
hukum sesuai fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum,
keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban
serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan UUD
1945.
Pembaharuan Hukum Acara Pidana dilakukan dalam rangka
untuk mengganti Hukum Acara Pidana yang berasal dari Pemerintah Kolonial
Belanda yang termuat dalam Het Herziene
Inlandsch Reglement (Staatblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan
Undang-Undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 81), serta semua peraturan pelaksanaannya dan
ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan lainnya sepanjang hal itu
mengenai hukum acara pidana, perlu dicabut karena sudah tidak sesuai dengan
cita-cita hukum nasional.
Dengan pembaharuan Hukum Acara Pidana, berarti
mengadakan pembaharuan dalam melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum dan Makhamah Agung dengan mengatur hak serta
kewajiban bagi mereka yang ada dalam proses pidana, sehingga dengan demikian,
dasar utama negara hukum dapat ditegakkan. Konsekuensi dari pembaharuan Hukum
Acara Pidana, maka Het Herziene Inlandsch
Reglement (Staatblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan Undang-Undang
Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 81), serta semua peraturan pelaksanaannya dinyatakan dicabut dan
diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mulai berlaku sejak tanggal 31 Desember 1981.
BAB
II
LANDASAN KUHAP
A. Landasan
Filosofis KUHAP:
Landasan Filosofis KUHAP adalah berdasarkan Pancasila
terutama yang berhubungan erat dengan Ketuhanan dan kemanusiaan.
Dengan landasan sila Ketuhanan, KUHAP mengakui setiap pejabat aparat
penegak hukum maupun tersangka/terdakwa adalah:
Sama-sama manusia yang dependen kepada Tuhan, sama manusia
tergantung kepada kehendak Tuhan. Semua makhluk manusia tanpa kecuali adalah
ciptaan Tuhan, yang kelahirannya di permukaan bumi semata-mata adalah kehendak
dan rahmat Tuhan. Mengandung arti bahwa :
1.
Tidak ada perbedaan asasi di
antara sesama manusia.
2.
Sama-sama mempunyai tugas
sebagai manusia untuk mengembangkan dan mempertahankan kodrat, harkat dan
martabat sebagai manusia ciptaan Tuhan.
3.
Sebagai manusia mempunyai hak
kemanusiaan yang harus dilindungi tanpa kecuali.
4.
Fungsi atau tugas apapun yang
diemban oleh setiap manusia, hanya semata-mata dalam ruang lingkup menunaikan
amanat Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan jiwa yang terkandung dalam sila
Ketuhanan, cita penegakan hukum tiada lain daripada fungsi pengabdian
melaksanakan amanat Tuhan, dengan cara menempatkan setiap manusia
tersangka/terdakwa sebagai makhluk Tuhan yang memiliki hak dan martabat
kemanusiaan yang harus dilindungi dan mempunyai hak dan kedudukan untuk
mempertahankan kehormatan dan martabatnya.
Fungsi penegakan hukum yang dipercayakan
aparat penegak hukum berada dalam ruang lingkup amanat Tuhan, mereka harus
memilliki keberanian dan kemampuan menyimak isyarat nilai keadilan yang
konsisten dalam setiap penegakan hukum. Keadilan yang ditegakkan aparat penegak
hukum bukanlah keadilan semaunya sendiri, tetapi merupakan wujud keadilan yang
selaras dengan keinginan dan keridhoan Tuhan Yang Maha Esa, yang mempunyai
dimensi pertanggungjawaban terhadap hukum, terhadap diri dan hati nurani dan
terhadap masyarakat nusa dan bangsa berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan
demikian, diharapkan setiap aparat penegak hukum harus terpatri semangat
kesucian moral dalam setiap tindakan penegakan hukum, mereka harus dapat
mewujudkan keadilan yang hakiki. Meskipun pada prinsipnya keadilan itu tidak
dapat diwujudkan secara murni dan mutlak. Manusia hanya mampu menemukan dan
mewujudkan keadilan yang nisbi atau relatif. Kita menyadari bahwa untuk
menegakkan keadilan menurut hukum (legal
justice) adalah sangat sulit apalagi menegakkan keadilan moral (moral justice). Namun, untuk mencapai
keadilan itu diperlukan adanya tolok ukur keadilan yang dicita-citakan oleh
masyarakat bangsa sebagaimana halnya yang dicantumkan dalam KUHAP yaitu
Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
B. Landasan Operasional KUHAP:
Landasan Operasional KUHAP adalah TAP MPR Nomor: IV/MPR/1978 sebagai
Garis-Garis Besar Haluan Negara di bidang Pembangunan dan Pembaharuan Hukum.
Berpedoman pada TAP MPR inilah, pembuat Undang-Undang mengarahkan langkah
operasi penyusunan dan perumusan KUHAP.
C. Landasan Konstitusional KUHAP:
Landasan Konstitusional KUHAP adalah UUD 1945 dan Undang-Undang
Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970.
Landasan Hukum yang terdapat dalam UUD 1945 antara lain:
-
Pasal 27 ayat 1 yang dengan
tegas menyatakan bahwa segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan.
-
Memberikan perlindungan pada
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
-
Dalam Penjelasan UUD 1945
ditegaskan bahwa Indonesia
adalah Negara Hukum (rechtstaat),
tidak berdasarkan kekuasaan (machtstaat).
Landasan Hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok Kehakiman
Nomor: 14 Tahun 1970 antara lain:
1.
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 menegaskan bahwa peradilan dilakukan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan ini kemudian dikuatkan kembali
dalam KUHAP pada pasal 197 KUHAP sebagai landasan filosofis.
2.
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 menegaskan bahwa peradilan dilakukan
dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Penjabaran pasal ini banyak terdapat
dalam KUHAP seperti:
Ø Dalam pasal 50 KUHAP ditegaskan bahwa terdakwa segera mendapat pemeriksaan
dan persidangan pengadilan.
Ø Dalam pasal 236 KUHAP menegaskan bahwa pelimpahan berkas perkara
dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi untuk diperiksa dalam tingkat
banding harus dikirim 14 hari dari tanggal permohonan banding.
Ø Dalam pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP diatur hal-hal untuk
mempercepat proses dan biaya ringan seperti penggabungan perkara pidana dan
tuntutan ganti rugi.
3.
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 menegaskan bahwa pengadilan mengadili menurut
hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Lebih lanjut diatur dalam pasal 7
Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970: ”Tiada seorang juapun dapat
dikenakan penangkapan, penahanan, penggeladahan dan pensitaan, selain atas
perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal dan menurut cara-cara
yang diatur dengan Undang-Undang”. Selanjutnya dijabarkan dalam Bab V KUHAP
mulai dari pasal 16 sampai dengan pasal 49 KUHAP.
4.
Pada pasal 8 Undang-Undang
Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 ditegaskan pula bahwa “setiap orang yang
disangka, ditahan, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan,
wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan, yang
menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap”.
Selanjutnya dalam pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Pokok Kehakiman
Nomor: 14 Tahun 1970 ditegaskan: “seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut,
ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut
ganti kerugian dan rehabilitasi”.
Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970
menegaskan: “Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana
disebut dalam ayat 1 dapat dipidana.
Ketentuan tersebut di atas lebih lanjut dijabarkan dalam Bab XII
KUHAP mulai dari pasal 95 sampai dengan pasal 97 KUHAP.
5.
Pada pasal 36 Undang-Undang
Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 ditegaskan: ”Dalam perkara pidana, seorang
tersangka terutama sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak
menghubungi dan meminta bantuan Penasihat Hukum”. Selanjutnya ketentuan ini
dijabarkan dalam Bab VII KUHAP mulai dari pasal 69 sampai dengan pasal 74
KUHAP.
Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan dasar pokok sumber konstitusional
dari KUHAP yang pelaksanaan selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal KUHAP.
Kemudian dapat diuji dan dikaitkan dengan landasan filosofis Pancasila dan
landasan operasional GBHN TAP MPR Nomor: IV/MPR/1978 sehingga pasal-pasal KUHAP
benar-benar konsisten dan sinkron dengan kedua landasan dimaksud.
BAB
III
ASAS-ASAS HUKUM DALAM KUHAP
A. Asas legalitas (legality)
KUHAP sebagai Hukum Acara Pidana adalah
undang-undang yang asas hukumnya berlandaskan asas legalitas. Pelaksanaan
penerapannya harus bersumber pada titik tolak the rule of law yang berarti semua tindakan penegakan hukum harus
berdasarkan ketentuan hukum dan undang-undang serta menempatkan kepentingan
hukum dan perundang-undangan diatas segala-galanya sehingga terwujud kehidupan
masyarakat di bawah supremasi hukum (supremacy
of law) yang harus selaras dengan ketentuan perundang-undangan dan perasaan
keadilan bangsa Indonesia.
Dengan demikian, setiap tindakan penegakan hukum harus tunduk di bawah
ketentuan konstitusi undang-undang yang hidup di tengah kesadaran hukum
masyarakat.
Sebagai konsekuensi dari asas legalitas yang
berlandaskan the rule of law dan
supremasi hukum (supremacy of law),
maka aparat penegak hukum dilarang atau tidak dibenarkan:
Ø Bertindak di luar ketentuan hukum (undue to law) maupun undue
process.
Ø Bertindak sewenang-wenang (abuse
of law).
Setiap orang baik tersangka/terdakwa
mempunyai kedudukan:
Ø Sama sederajat di hadapan hukum atau equality before the law.
Ø Mempunyai kedudukan “perlindungan” yang sama oleh hukum atau equal protection the law.
Ø Mendapat “perlakuan keadilan” yang sama dibawah hukum, equal justice under the law.
Sebagai pengecualian dari asas legalitas
adalah asas “opportunitas” yang berarti meskipun seorang tersangka telah
bersalah menurut pemeriksaan dan penyidikan dan kemungkinan dapat dijatuhkan
hukuman, namun hasil pemeriksaan tersebut tidak dilimpahkan ke sidang
pengadilan oleh penuntut umum atau dengan kata lain bahwa jaksa penuntut umum
dapat mendeponir suatu perkara atas dasar pertimbangan demi kepentingan umum.
Jika kita telusuri ketentuan-ketentuan yang
ada dalam KUHAP, ternyata asas “opportunitas” tidak lagi berlaku efektif karena
sebagaimana yang diatur dalam pasal 140 ayat (2) huruf (a) dihubungkan dengan
pasal 14 KUHAP, yang menentukan semua perkara yang memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan oleh hukum, penuntut umum harus menuntutnya di muka pengadilan,
kecuali terdapat cukup bukti bahwa peristiwa tersebut bukan tindak pidana atau
perkaranya ditutup demi hukum. Sedangkan pasal 14 huruf (h) KUHAP hanya memberi
wewenang kepada penuntut umum untuk menutup perkara demi kepentingan hukum.
Dengan demikian, jaksa penuntut umum tidak mendeponir suatu perkara demi
kepentingan umum.
Namun demikian, pasal 32 huruf (c)
Undang-Undang Kejaksaan RI Nomor 5 Tahun 1991 menentukan bahwa kejaksaan masih
berwenang melakukan deponiringI dan
hal sedemikian itu masih juga dipertegas oleh Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang
menentukan bahwa KUHAP mengakui eksistensi perwujudan asas “opportunitas”.
Berdasarkan kenyataan ini, ada dualistis
mengenai pelaksanaan asas “opportunitas” dalam KUHAP yaitu suatu sisi mengakui
asas legalitas dan di sisi lain asas legalitas telah dikebiri oleh kenyataan
dengan adanya pengakuan KUHAP terhadap eksistensi asas “opportunitas”. Keadaan
ini akan membawa kesesatan dalam pelaksanaan KUHAP itu sendiri dan ada
kemungkinan dalam praktek dengan alasan mempergunakan kepentingan umum sebagai
kedok untuk mengenyampingkan suatu perkara. Terlebih lagi kepentingan umum
sangat abstrak, kabur dan mengambang karena baik KUHAP maupun Undang-Undang
Kejaksaan tidak ada merumuskannya secara tegas dan jelas tentang apa yang
dimaksud dengan kepentingan umum. Akibatnya, dalam praktek penegakan hukum bisa
terjadi nepotisme atau koncoisme dengan dalih demi kepentingan umum.
B. Asas Keseimbangan (Balance)
Aparat penegak hukum dalam melaksanakan
fungsi dan wewenang penegakan hukum tidak boleh berorientasi pada kekuasaan
semata-mata. Pelaksanaan KUHAP harus berdasarkan perlindungan terhadap harkat
dan martabat manusia dengan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban
masyarakat. Hal ini berarti bahwa aparat penegak hukum harus menempatkan diri
pada keseimbangan yang serasi antara orientasi penegakan hukum dan perlindungan
ketertiban masyarakat dengan kepentingan dan perlindungan hak-hak asasi
manusia. Aparat penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum harus menghindari
perbuatan melawan hukum yang melanggar hak-hak asasi manusia dan setiap saat
harus sadar dan berkewajiban untuk mempertahankan kepentingan masyarakat sejalan
dengan tugas dan kewajiban menjunjung tinggi martabat manusia (human dignity) dan perlindungan individu
(individual protection).
C. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)
Dalam penjelasan umum butir 3 huruf (c)
KUHAP ditegaskan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,
dituntut atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum yang tetap”. Asas praduga tak bersalah tersebut
sebelumnya juga diatur dalam pasal 8 Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14
Tahun 1970.
Asas praduga tak bersalah ini jika ditinjau
dari segi teknis juridis ataupun dari segi teknis penyidikan merupakan
penerapan acquisitoir yaitu yang menempatkan
kedudukan tersangka/terdakwa dalam semua tingkat pemeriksaan adalah sebagai
subyek bukan sebagai obyek pemeriksaan. tersangka/terdakwa harus didudukkan dan
diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat, martabat dan harga
diri. Sedangkan obyek pemeriksaan dalam asas
acquisitoir adalah kesalahan atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh
tersangka/terdakwa, maka ke arah itulah pemeriksaan harus ditujukan.
Sebagai lawan atau pengecualian dari asas acquisitoir adalah asas inquisitoir yang menempatkan
tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan sebagai obyek yang dapat diperlakukan
secara sewenang-wenang. Sistim pemeriksaan seperti ini tidak dibenarkan dalam
KUHAP karena tersangka/terdakwa tidak diberikan kesempatan secara wajar untuk
mempertahankan hak dan kebenarannya. Mereka diperlakukan seolah-olah telah
bersalah dan tersangka/terdakwa diperlakukan sebagai obyek tanpa memperdulikan
hak-hak asasi manusia dan haknya untuk membela martabat serta kebenaran yang
dimilikinya.
Sebagai jaminan ditegakkan asas praduga tak
bersalah dalam KUHAP, maka KUHAP telah memberikan jaminan yang tegas mengatur
tentang hak-hak tersangka yaitu antara lain:
1.
Pasal 50 ayat (1) KUHAP
menegaskan bahwa: ”Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik
dan selanjutnya dapat diajukan ke penuntut umum”.
2.
Pasal 50 ayat (2) KUHAP
menegaskan bahwa: ”Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan
oleh penuntut umum” dan Pasal 50 ayat (3) KUHAP menegaskan bahwa: ”Terdakwa
berhak segera diadili oleh pengadilan”.
3.
Pasal 51 ayat (1) KUHAP
menegaskan bahwa: ”Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam
bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada
waktu pemeriksaan dimulai”.
4.
Pasal 51 ayat (2) KUHAP
menegaskan bahwa: ”Terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam
bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya”.
5.
Pasal 52 KUHAP menegaskan
bahwa: ”Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan,
tersangka/terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik
atau hakim”.
6.
Pasal 53 ayat (1) KUHAP
menegaskan bahwa: ”Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia,
hakim atau ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau
berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan”.
7.
Pasal 54 KUHAP menegaskan
bahwa: ”Guna kepentingan pembelaan, tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan
hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada
setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam
undang-undang ini”.
8.
Pasal 55 KUHAP menegaskan
bahwa: ”Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam pasal 54,
tersangka/terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya”.
9.
Pasal 56 ayat (2) KUHAP
menegaskan bahwa: ”Setiap penasihat hukum yang ditunjuk memberikan bantuannya
dengan cuma-cuma”.
10.
Pasal 58 KUHAP menegaskan
bahwa: ”Tersangka/terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan
menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada
hubungannya dengan pross perkara maupun tidak”.
11.
Pasal 59 KUHAP menegaskan
bahwa: ”Tersangka/terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan
tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat
pemeriksaan dalm proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang
serumah dengan tersangka/terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan
oleh tersangka/terdakwa untuk mndapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi
penangguhannya”.
12.
Pasal 60 KUHAP menegaskan
bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak
yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka/terdakwa
guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun usaha mendapatkan
bantuan hukum”.
13.
Pasal 61 KUHAP menegaskan
bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan
penasihat hukumnya menghubungi atau menerima kunjungan sanak keluarganya dalam
hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka/terdakwa untuk
kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan”.
14.
Pasal 62 ayat (1) KUHAP
menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak mengirimkan surat kepada penasihat hukumnya, dan menerima
surat dari
penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya,
untuk keperluan itu bagi tersangka/terdakwa disediakan alat tulis menulis”.
15.
Pasal 62 ayat (2) KUHAP
menegaskan bahwa: ”Surat
menyurat antara tersangka/terdakwa dengan penasihat hukumnya atau sanak
keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat
rumah tahanan negara kecuali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa surat menyurat itu
disalahgunakan”.
16.
Pasal 64 KUHAP menegaskan
bahwa: ”Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk
umum”.
17.
Pasal 65 KUHAP menegaskan
bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan
atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang
menguntungkan bagi dirinya”.
18.
Pasal 66 KUHAP menegaskan
bahwa: ”Tersangka/terdakwa dibebani kewajiban pembuktian”.
19.
Pasal 68 KUHAP menegaskan
bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi”.
D. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi (Compensatory and
Rehabilitate)
Dalam pasal 95 sampai dengan pasal 97 KUHAP,
sudah ada pedoman tatacara penuntutan ganti rugi dan rehabilitasi yaitu alasan
yang dapat dijadikan dasar tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi disebabkan
penangkapan atau penahanan antara lain:
1.
Penangkapan atau penahanan
secara melawan hukum.
2.
Penangkapan atau penahanan
tidak berdasarkan Undang-Undang.
3.
Penangkapan atau penahanan
untuk tujuan kepentingan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum.
4.
Apabila penangkapan atau
penahanan tidak mengenai orangnya (disqualification
in person) artinya orang yang ditangkap atau ditahan terdapat kekeliruan,
dan yang bersangkutan sudah menjelaskan bahwa orang yang ditangkap atau ditahan
bukan dia, namun demikian tetap juga ditangkap atau ditahan dan kemudian
benar-benar ternyata ada kekeliruan penangkapan atau penahanan itu.
Ganti
Rugi Akibat Penggeledahan dan Penyitaan
Hal ini dapat terjadi karena tindakan
memasuki rumah secara tidak sah menurut hukum atau perintah atau surat izin dari Ketua
Pengadilan. Tuntutan ganti rugi dapat diajukan ke sidang pengadilan dalam hal
perkaranya belum/tidak diajukan ke pengadilan, tetapi apabila perkaranya telah
diajukan ke pengadilan, tuntutan ganti rugi diajukan ke pengadilan. Tuntutan
ganti rugi ditujukan kepada negara sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 dengan tegas yang menyatakan dibebankan ke
negara cq. Departemen Keuangan dan tata cara pembayaran sesuai dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor: 983/KMK.01/1993.
E. Azas Penggabungan Pidana Dengan Ganti Rugi
Azas penggabungan perkara pidana dengan
ganti rugi yang bercorak perdata merupakan hal baru dalam praktek penegakan
hukum di Indonesia.
KUHAP memberi prosedur hukum bagi seorang”korban”tindak pidana untuk menggugat
ganti rugi yang bercorak perdata terhadap terdakwa bersamaan dengan pemeriksaan
perkara pidana yang sedang berlangsung, namun:
Ø Terbatas “kerugian yang dialami” korban sebagai akibat langsung dari
tindakan terdakwa.
Ø Jumlah besarnya ganti rugi yang dapat diminta hanya terbatas sebesar
kerugian materiil korban (pasal 98 KUHAP).
Ø Penggabungan perkara pidana dan gugatan ganti rugi yang bersifat
perdata diajukan korban sampai proses perkara pidana belum memasuki taraf
penuntut umum memajukan rekuisitur atau tuntutan pidana.
Ø Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan dilakukan
selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
Ø Putusan mengenai ganti rugi dengan sendirinya mendapat kekuatan
hukum yang tetap apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum yang
tetap.
BAB IV
HUKUM ACARA
PIDANA
DALAM
PRAKTEK
A. Prosedur Panggilan
Dalam KUHAP.
1. Surat
Panggilan
Untuk melakukan
pemeriksaan dalam tindak pidana, penyidik dan penyidik pembantu mempunyai
wewenang melakukan pemanggilan terhadap :
a.
tersangka, yang karena
perbuatannya atau keadaanya berdasarkan bukti permulaaan patut diduga sebagai
pelaku tindak pidana;
b.
saksi yang dianggap perlu untuk
diperiksa;
c.
pemanggilan seorang ahli yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
sesuatu perkara pidana yang sedang diperiksa.
Agar panggilan yang
dilakukan oleh setiap aparat penegak hukum dapat dianggap sah dan sempurna,
maka harus dipenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang. Dalam
pemanggilan pada tingkat pemeriksaan di penyidikan diatur dalam pasal 112, 119
dan 227 KUHAP.
Adapun bentuk dan
cara pemangggilan, yaitu :
a. Bentuk panggilan
berbentuk “surat
panggilan”, yang memuat antara lain :
1.
alasan pemanggilan, dalam hal
ini haruslah tegas dijelaskan status orang yang dipanggil apakah sebagai
tersangka atau saksi, agar memberikan kepastian hukum dan kejelasan bagi orang
yang dipanggil;
2.
surat panggilan
ditanda tangani pejabat penyidik (pasal 112 ayat 1)
b. Pemanggilan memperhatikan
tenggang waktu yang wajar dan layak, dengan
jalan:
1.
memperhatikan tenggang waktu
antara tanggal hari diterimanya surat
panggilan dengan hari tanggal orang yang dipanggil tersebut menghadap (pasal
112 ayat 1)
2.
atau surat panggilan harus disampaikan
selambat-lambatnya tiga (3) hari sebelum tanggal hadir yan ditentukan dalam surat panggilan;
(penjelasan pasal 152 ayat 2 dan pasal 227 ayat 1 KUHAP).
Bila tenggang waktu
tidak terpenuhi pasal 227 ayat 1 KUHAP maka panggilan tidak memenuhi syarat
untuk dianggap sah. Sehingga orang yang dipanggil dapat memilih apakah akan
tetap hadir memenuhi panggilan ataukah tidak akan hadir.
Akan tetapi dalam
Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No.M.14-PW.07.03/1983 angka 18, telah
memberi penegasan tenggang waktu diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi
setempat dan tidak dianalogikan sesuai dengan penjelasan pasal 152 ayat 2.
Sehingga pemanggilan dapat disampaikan sehari sebelum diperiksa.
2. Tata Cara Pemanggilan :
a.
Panggilan dilakukan langsung di
tempat tinggal orang yang dipanggil. Tidak boleh melalui kantor pos atau dengan
sarana lain, jika alamat tempat tinggal yang bersangkutan jelas diketahui.
b.
Atau kalau tempat tinggal tidak
diketahui dengan pasti atau bila petugas tidak menjumpai di alamat tempat
tinggalnya, pemanggilan disampaikan di tempat kediaman mereka yang terakhir
(pasal 227 ayat 1).
c.
Pemanggilan dilakukan dengan
jalan bertemu sendiri dengan orang yang dipanggil (in person). Panggilan tidak
dapat dilakukan dengan perantara orang lain (pasal 227 ayat 1).
d.
Petugas yang menjalankan
panggilan diwajibkan membuat catatan yang menerangkan panggilan telah
disapaikan dan telah diterima langsung oleh yang bersangkutan (pasal 227 ayat
1).
e.
Kedua belah pihak membubuhkan
tanggal dan tanda tangan mereka, bila yang dipanggil tidak bersedia tanda
tangan maka petugas mencatat alasan yang dipanggil tersebut (pasal 227 ayat 2).
f.
Jika orang yang hendak dipanggil
tidak dijumpai pada tempat tinggalnya maka petugas diperkenankan menyampaikan
panggilan melalui kepala desa atau jika diluar negeri negeri melalui pejabat
perwakilan RI tempat yang dipanggil biasa berdiam.
g.
Memenuhi panggilan adalah
kewajiban hukum.
B. Bantuan Hukum.
Sebelum memulai
pemeriksaan, penyidik “wajib” memberitahukan kepada tersangka tentang “haknya”
untuk mendapatkan bantuan hukum atau tersangka wajib didampingi oleh penasehat
hukumnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 KUHAP.
Dalam hal ini
terdapat 2 (dua) sisi tampilnya penasehat hukum mendampingi seorang tersangka,
yaitu :
a.
Bantuan hukum dari penasehat
hukum benar-benar murni berdasarkan “hak” yang diberikan hukum kepadanya dengan syarat tersangka
dianggap mampu mencari sendiri penasehat hukum, disamping itu juga tindak
pidana tidak diancam dengan hukman mati atau hukuman 5 tahun keatas.
b.
Pemberian bantuan hukum, bukan
semata-mata hak dari tersangka, akan tetapi sebagai “kewajiban” dari penyidik,
dalam hal :
Ø Tindak pidana yang diancamkan merupakan ancaman hukuman mati atau 15
tahun keatas.
Ø Bagi mereka yang tidak mampu untuk mempunyai atau mendatangkan
penasehat hukum, sedangkan ancaman hukuman 5 tahun atau lebih.
Dalam praktek
penegakan hukum berkaitan dengan kedudukan penasehat hukum maka :
Ø Penyidik dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka “dapat”
membolehkan atau penasehat hukum untuk mengikuti jalannya pemeriksaan. Namun
kalau penyidik tidak menyetujuinya atau “tidak membolehkannya” penasehat hukum
tidak dapat memaksakan kehendaknya untuk mengikuti jalannya pemeriksaan.
Ø Kedudukan dan kehadiran penasehat hukum mengikuti jalannya
pemeriksaan penyidikan adalah “secara fasif”. Atau hanya sebagai penonton.
Ø Kehadiran yang fasif yang boleh melihat dan mendengar jalannya
pemeriksaan, hanya berlaku terhadap tersangka yang dituntut diluar kejahatan
terhadap keamanan negara. Jika kejahatan terhadap keamanan negara maka
kedudukan fasif penasehat hukum “dikurangi” semakin fasif.
Sebagai ilustrasi
akan dikemukakan putusan Kasasi MARI No. 367 K/Pid/1998 tanggal 29 Mei 1998
sebagai berikut :
Bahwa La Noki Bin La
Kede telah diajukan di persidangan dengan dakwaan melanggar pasal 340, 338 dan
351 (3) KUHP. Dalam tingkat Pengadilan Negeri La Noki dijatuhi hukuman selama
12 tahun penjara dan putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan tinggi. Akan tetapi
pada tingkat kasasi ternyata La Noki Bin La Kede justru dinyatakan bebas demi
hukum oleh MARI.
Adapun pertimbangan
yang dikemukakan oleh Mahkamah Agung adalah bahwa ternyata selama dalam pemeriksaan
terdakwa dalam tingkat penyidikan dan dalam tingkat penuntutan terdakwa tidak
ditunjuk penasehat hukum untuk mendampinginya, sehingga bertentangan dengan
ketentuan pasal 56 KUHAP, sehingga Berita Acara Pemeriksaan Penyidik dan
Penuntut Umum dan oleh karena itu Penuntutan Penuntut Umum tidak dapat
diterima, walaupun pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa didampingi oleh
penasehat hukumnya.
Oleh karenanya
Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi menyatakan tidak dapat diterima tuntutan
Jaksa Penuntut Umum dan membebaskan terdakwa dari semua penahanan.
C. Contoh Surat Kuasa Khusus.
Dalam mendampingi
tersangka diperiksa oleh penyidikan, maka kehadiran penasehat hukum untuk
bertindak haruslah berdasarkan dengan terlebih dahulu adanya surat kuasa atau penunjukan dari tersangka
dimaksud.
Dengan contoh sebagai
berikut :
SURAT KUASA
KHUSUS
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
..................................................................................
Tempat dan Tgl Lahir :
..................................................................................
Pekerjaan :
..................................................................................
Alamat :
..................................................................................
Dengan ini memberikan kuasa kepada :
Nama :
..................................................................................
Pekerjaan :
..................................................................................
Alamat :
..................................................................................
Khusus
Untuk memberikan bantuan hukum di dalam proses
penyidikan kepada
pemberi kuasa (tersangka) yang dipersangkakan telah melakukan tinda
pidana .........................................................
Sebagai dimaksud dalam pasal ……………………………… berdasarkan :
1. Laporan Polisi No. Pol : ……………………….. tgl ……………………………
2. ……………………………………………………………………………………
3. ……………………………………………………………………………………
Kuasa ini tidak diberikan hak kepada penerima kuasa untuk
mengalihkannya kepada orang lain (tanpa hak substitusi), kecuali atas
persetujuan pemberi kuasa dan/atau persetujuan penyidik/penyidik pembantu yang
telah menunjuk penerima kuasa sebagai penasehat hukum berdasarkan surat penetapan
penunjukan penasehat hukum No. Pol :……………………….. tgl …………………..
………………, ………………. 2007
Yang menerima kuasa, Yang memberi
kuasa/tersangka
Materai
6.000
( …………………… ) ( …………………………….. )
C. Berita Acara
Pemeriksaan Saksi – Tersangka
Adapun cara
pemeriksaan terhadap tersangka di muka penyidik, antara lain:
1.
Jawaban atau keterangan yang
diberikan tersangka kepada penyidik, diberikan tanpa tekanan dari siapapun juga
dan dengan bentuk apapun juga.
2.
Penyidik pencatat dengan
seteliti-telitinya keterangan tersangka.
Keterangan
tersangka tersebut selanjutnya :
Ø Di catat dalam berita acara pemeriksaan (BAP) oleh penyidik
Ø Setelah selesai, ditanyakan atau diminta persetujuan dari tersangka
tentang kebenaran isi berita acara tersebut. Persetujuan ini bisa dengan jalan
membacakan isi berita acara, atau menyuruh bacakan sendiri berita acara
pemeriksaan kepada tersangka, apakah dia telah menyetujui isinya atau tidak.
Bila tidak harus memberitahukan bagian mana yang tidak setuju.
Ø Apabila tersangka telah menyetujui isi keterangan yang tertera dalam
berita acara, tersangka dan penyidik masing-masing membubuhkan tanda tangan
mereka dalam berita acara.
Ø Apabila tersangka tidak mau membubuhkan tanda tangannya dalam berita
acara pemeriksaan, penyidik membaut catatan berupa penjelasan atau keterangan
tentang hal itu, serta menyebut alasan yang menjelaskan kenapa tersangka tidak
mau menanda tanganinya.
3.
Jika tersangka yang hendak
diperiksa bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang akan melakukan
pemeriksaan, penyidik yang bersangkutan dapat membebankan pemeriksaan kepada
penyidik yang berwenang di daerah tempat tinggal terangka. (pasal 119)
4.
Tersangka yang tidak dapat
hadir menghadap penyidik. Menurut pasal 113, pemeriksaan dilakukan dengan cara
:
Ø Penyidik sendiri yang datang melakukan pemeriksaan ke tempat kediaman
tersangka.
Ø Hal ini dimungkinkan apabila tersangka dengan alasan yang wajar dan
patut tidak dapat datang ke tempat pemeriksaan yang ditentukan penyidik.
Berita acara
pemeriksaaan (BAP) penyidik pada umumnya memuat berbagai hasil tindakan
penyidik yang masing-masing dituangkan dalam bentuk Berita Acara. Dalam berita
acara tersebut harus jelas tercantum nama pejabat yang melakukan tindakan yang
terkait yang dibuat atas kekuatan sumpah jabatannya dan harus terdapat tanda
tangan pejabat yang bersangkutan secara semua pihak yang terlibat dalam
tindakan penyidik yang bersangkutan.
Berita acara harus
dibuat untuk setiap tindakan berikut ini dan harus memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan undang-undang untuk itu, berupa :
·
Pemeriksaan tersangka
·
Penangkapan, penahanan
·
Penggeledahan, pemasukan rumah
·
Penyitaan benda
·
Pemeriksaan surat
·
Pemeriksaan saksi
·
Pemeriksaan di tempat kejadian
·
Pelaksanaan penetapan dan lain
tindakan yang secara khusus ditentukan oleh undang-undang
Dalam pelaksanaan penggeledahan, pemasukan rumah dan
penyitaan barang oleh penyidik maka sebelum dilaksanaakan harus terlebih dahulu
mendapat izin dari pengadilan setempat kecuali dalam hal tertangkap tangan.
D. Pencabutan Keterangan BAP
Dalam persidangan dipengadilan, suatu keterangan yang diberikan
dalam BAP penyidikan dapat juga dicabut oleh terdakwa.
Dalam hal ini yurisprudensi MARI No. 1651K/Pid/1989
tanggal 16 September 1992 menyatakan : keterangan terdakwa dalam BAP kepolisian
yang kemudian ditarik kembali dalam suatu persidangan dengan alasan terdakwa
telah dipaksa dan dipukuli oleh penyidik, dan alasan ini dibenarkan pula oleh
saksi dan bukti baju yang bercak darah, maka penarikan keterangan yang demikian
itu adalah syah karena didasari alasan yang logis sehingga keterangan terdakwa dalam
BAP tidak mempunyai nilai pembuktian menurut KUHAP.
Demikian juga dengan Yurisprudensi MARI No.
1174K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 : Penyidik melakukan penyidikan terhadap
beberapa orang yang didakwa melakukan tindak pidana yan sama, hasil penyidikan
dituangkan dalam BAP secara terpisah. Terdakwa dalam BAP I menjadi saksi dalam
BAP II dan sebaliknya. Mereka bergantian menjadi terdakwa dan juga saksi satu
sama lainnya (menjadi saksi mahkota). Dalam persidangan pengadilan para
terdakwa dan para saksi mencabut semua keterangan dalam penyidikan. Pencabutan
tersebut dapat diterima hakim karena ternyata ada tekanan phisik dan psikis.
Secara yuridis pemecahan perkara bertujuan menjadikan terdakwa sebagai saksi
mahkota terhadap terdakwa lainnya adalah bertentangan dengan hukum acara pidana
yan berprinsip menjunjung tinggi HAM.
Yurisprudensi MARI No. 429K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995
: pencabutan keterangan terdakwa dalam BAP dengan alasan karena adanya
penyiksaan baik psikis maupun phisik terhadap terdakwa dan para saksi tersebut,
hal tersebut dapat diterima hakim
sehingga keterangan dalam BAP tersebut tidak bernilai sebagai alat bukti.
Akan tetapi berita acara pemeriksaan penyelidikan juga
bisa mempunyai nilai pembuktian yang sah apabila telah diakui kebenarannya oleh
terdakwa. Hal ini terlihat dalam praktek hukum sebagaimana Yurisprudensi No.
2677K/Pid/1993 tanggal 7 Februari 1996 yaitu : Karena terdakwa telah mengakui
dan membenarkan keterangan saksi Fransiska Mei Iku yang dibacakan dari berita
acara penyidikan walaupun tanpa didahului penyumpahan saksi ketika disidik,
bahwa ia telah mencuri barang bukti cincin emas dan menggadaikan kepadanya,
maka keterangan tersebut mempunyai nilai pembuktian yang sah. Sehingga terdakwa
telah terbukti dengan sah dan meyakinkan yaitu mengambil barang milik orang
lain secara melawan hukum dan untuk memilikinya barang yang diambil.
E. Surat Penangguhan Penahanan.
Menurut pasal 1
angka 21 KUHAP disebutkan penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa
ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serata menurut cara yang diatur dalam undang-undang
hukum acara pidana.
Adapun syarat penahanan menurut pasal 21 KUHAP, yaitu :
1.
Terhadap tersangka atau
terdakwa harus dengan bukti yang cukup ada dugaan keras bahwa ia telah
melakukan tindak pidana.
2.
Harus ada kekhawatiran bahwa
tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang
bukti dan atau mengulangi tindak pidana dan
3.
Tersangka atau terdakwa harus
melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam
tindak pidana tersebut dalam hal :
a.
Tindak pidana itu diancam
dengan pidana penjara selama lima
tahun atau lebih
b.
Tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam pasal 282 (3), 296, 335 (1), 351(1), 353 (1), 372, 378, 379 a,
453, 545, 455, 459, 480, 506 KUHAP, dst.
Penahanan dilakukan terhadap tersangka dengan surat perintah penahanan
yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan
penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang disangkalkan. Selanjutnya
tembusan surat
penahanan harus diberikan kepada keluarga yang akan ditahan.
Selama tersangka berada dalam tahanan, maka tersangka
atau keluarganya maupun penasehat hukumnya :
Ø Dapat mengajukan keberatan atas penahanan yang dilakukan
Ø Dapat mengajukan keberatan atas jenis penahanan yang dilakukan.
Dalam pasal 22 KUHAP ditentukan jenis penahanan yaitu
penahanan rumah tahanan negara (Rutan), penahanan rumah dan penahanan kota. Dalam hal ini
tersangka, keluarga atau penasehat hukumnya dapat mengajukan keberatan atau
permohonan agar terhadapt tersangka dilakukan pengalihan jenis tahanan.
Ø Penyidik berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu ke
yang lain (pasal 23 ayat 1)
Ø Dengan kewenangan pasal 23 dan 123, penyidik dapat mengabulkan
permintaan atau keberatan tersangka, keluarga atau penasehat hukumnya.
Dalam terjadinya kesalahan yang dilakukan dalam
penyidikan terhadap tersangka, maka terbuka peluang bagi tersangka atau
keluarganya atau juga penasehat hukumnya untuk mengajukan yang dikenal dengan
istilah praperadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 10 KUHAP, dan
dipertegas dalam pasal 77 KUHAP yaitu :
“ Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk
memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang
:
a.
sah atau tidaknya suatu
penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasa tersangka.
b.
Sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan
keadilan.
c.
Permintaan ganti rugi atau
rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang
perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Pihak yang dapat mengajukan permintaan pemeriksaaan
praperadilan yaitu :
1. tersangka, keluarga atau kuasanya (pasal 79 KUHAP)
2. penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan
(pasal 80 KUHAP)
3. penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan
4. oleh tersangka, ahli warisnya atau kuasanya (pasal 95
ayat 2 KUHAP)
5. oleh tersangka tau pihak ketiga yang berkepentingan
(pasal 81 KUHAP)
§ pengajuan dan tata cara pemeriksaan praperadilan :
§ permohonan ditujuakan kepada ketua pengadilan negeri
§ permohonan deregister dalam perkara praperadilan
§ ketuga pengadilan negeri serta menunjuk hakim dan paniteranya
§ pemeriksaan dilakukan dengan hakim tunggal
§ tata cara pemeriksaaan praperadilan :
a.
penetapan hari sidang 3 hari sesudah deregister (pasal 82 ayat 1
huruf a KUHAP)
b.
pada hari penetapan sidang sekaligus hakim menyampaikan
panggilan
c.
selambat-lambatnya 7 hari putusan sudah dijatuhkan (pasal 82
ayat 1 huruf c KUHAP)
Isi putusan
praperadilan (pasal 82 ayat 2 dan 3 KUHAP), antara lain :
a.
Sah atau tidaknya penangkapan
dan penahanan
b.
Sah atau tidaknya penangkapan
atau penahanan
c.
Diterima atau ditolaknya
permintaan ganti rugi kerugian dan rehabilitasi
d.
Perintah pembebasan dari
penahanan
e.
Perintah melanjutkan penyidikan
atau penuntutan
f.
Besarnya ganti rugi
g.
Berisi pernyataan pemulihan
nama baik tersangka
h.
Memerintahkan segera
mengembalikan sitaan
BAB
IV
ACARA PERSIDANGAN
A. Surat Kuasa
Secara umum pengertian surat kuasa adalah suatu
dokumen dimana isinya seorang menunjuk dan memberi wewenang pihak lain untuk
melakukan perbuatan hukum untuk dan atas namanya. Tanpa surat kuasa penasehat hukum tidak berwenang
melakukan perbuatan hukum apapun yang mengatasnamakan seseorang dalam
menyelesaikan suatu perkara.
Ditinjau dari
isinya, maka surat
kuasa dapat dibedakan menjadi 2 yaitu surat
kuasa khusus dan surat
kuasa umum. Surat
kuasa khusus adalah kuasa yang menerangkan bahwa pemberian kuasa hanya berlaku
untuk hal-hal tertentu saja. Sedangkan surat
kuasa umum adalah surat
kuasa yang menerangkan bahwa pemberian kuasa tersebut hanya untuk hal-hal yang
bersifat umum saja.
Secara umum ciri-ciri surat kuasa adalah surat kuasa
tertera tanggal, surat kuasa ditanda tangani, nama dan identitas pemberi kuasa,
nama dan identitas penerima kuasa, hal-hal atau perbuatan hukum yang
dikuasakan, ketentuan pelimpahan kuasa (substitusi) dan tanda tangan pemberi
kuasa dan penerima kuasa.
Dalam praktek hukum
tidak ada format baku
yang berlaku seragam mengenai isi dan bentuk surat kuasa, semua tergantung pada
masing-masing pihak dalam membuat surat
kuasa antara penasehat hukum dan pemberi kuasa.
Berikut ini akan
diberikan contoh surat
kuasa khusus untuk mendampingi terdakwa dalam persidangan di pengadilan.
SURAT KUASA KHUSUS
Yang bertanda
tangan dibawah ini :
Nama : ……………………………………….`
Alamat : ……………………………………….
Dengan ini
menerangkan memberi kuasa kepada :
…………………………
dan ………………………………
Advokat
dan Penasehat Hukum
Berkantor di jalan
…………………………………………..
Baik secara bersama-sama
maupun masing-masing sendirian.
Khusus
Untuk
mendampingi dan memberi advis-advis hukum terhadap Pemberi Kuasa selaku
Terdakwa dalam tindak pidana diduga melakukan ………………………….. sebagaimana dimaksud
dalam pasal …………. KUH Pidana dalam perkara No.___/Pid. B/2007/PN.Mdn.
Dan untuk itu
:
-
Untuk hadir dan menghadap di
persidangan Pengadilan Negeri Medan
-
Untuk mendampingi dan memberi
advis-advis hukum serta memajukan pembelaan-pembelaan demi kepentingan hukum
pemberi kuasa di hadapan persidangan Pengadilan Negeri Medan
-
Untuk mengajukan bukti-bukti
dan saksi-saksi yang diperlukan dalam perkara pidana tersebut.
-
Untuk mengajukan eksepsi dan
pledoi terhadap surat
dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan
-
Untuk melakukan
perbuatan-perbuatana lain yang dianggap perlu guna melaksanakan kuasa ini
Demikian surat kuasa ini diperbuat
dengan sebenarnya dengan hak subtitusi kepada pihak lain.
Medan, April 2007
Yang menerima
kuasa Yang
memberi Kuasa
B. Panggilan sidang
Apabila seorang
terdakwa hendak diperiksa dipersimpangan, penuntut umum harus “menghadirkan”
terdakwa dengan jalan “memanggil” terdakwa. Penuntut umum diberi wewenang untuk
memanggil terdakwa supaya hadir pada hari, tanggal, yang ditentukan dan tempat
persidangan yang telah ditentukan. Ini berarti tanpa ketidakhadiran terdakwa
dianggap tidak sah. Kalau terdakwa tidak dapat dihadirkan maka persidangan
diundurkan pada hari lain untuk memberi kesempatan penuntut umum melakukan
pemanggilan dan menghadirkan terdakwa.
Untuk sahnya suatu pemanggilan :
1.
Panggilan berbentuk surat panggilan (pasal
145 ayat 1 KUHAP).
Memuat antara lain : tanggal, hari serta jam sidang,
temapt gedung
persidangan, untuk perkara apa ia dipanggil.
2.
Pemanggilan harus disampaikan
a. terdakwa berada diluar tahanan :
- pemanggilan
disampaikan secara langsung kepada terdakwa di alat tempat
tinggal
- bila tidak
diketahui, surat
panggilan disampaikan kepada terdakwa
- bila tidak
ada, surat
pemanggilan disampaikan melalui kepada desa daerah
hukum tempat tinggal terakhir terdakwa
(pasal 145 ayat a (2))
- surat panggilan
“tempelan” bila tidak diketahui atau tidak dikenal.
b. terdakwa berada dalam tahanan surat panggilan dilakukan melalui pejabat
Rutan (pasal
145 ayat 3)
3.
Surat tanda
penerimaan (pasal 145 ayat 4)
4.
Tenggang waktu penyampaian surat panggilan
5.
Surat panggilan
harus memuat “dakwaan”
C. Pembacaan Surat Dakwaan.
Surat dakwaan bagi terdakwa berfungsi untuk
mengetahui sejauhmana terdakwa dilibatkan dalam persidangan. Dengan memahami surat dakwaan yang dibuat
jaksa penuntut umum maka surat
dakwaan tersebut adalah dasar pembelaan bagi dirinya sendiri. Sedangkan bagi
hakim sebagai bahan (objek) pemeriksaan dipersidangan yang akan memberi corak
dan warna terhadap keputusan pengadilan yang akan dijatuhkan.
Bagi jaksa penuntut
umum, surat
dakwaan menjadi dasar surat
tuntutan (requisitori). Sesudah pemeriksaan selesai (ditutup) oleh hakim, maka
penuntut umum membuat suatu kesimpulan bagian-bagian mana dan pasal-pasal mana
dari dakwaan yang dinyatakan terbukti.
Syarat-syarat surat dakwaan, ada 2
(dua) yaitu :
a. Syarat formal (pasal 143
ayat (2) . KUHAP
Antara lain memuat nama lengkap, tempat lahir, umur dan
tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaan,
serta pendidikan terdakwa.
Tidak terpenuhinya syarat formil ini tidak mengakibatkan
surat dakwaan
batal demi hukum (absolute nietig) karena tidak tegas diatur dalam
undang-undang tetapi dapat dibatalkan.
b. Syarat materiil (pasal 143
ayat (2) b. KUHAP, meliputi :
1.
uraian secara cermat tindak
pidana yang didakwakan
2.
uraian secara jelas tindak
pidana yang didakwakan
3.
uraian secara lengkap tindak
pidana yang didakwakan
4.
waktu tindak pidana dilakukan
5.
tempat tindak pidana dilakukan
Bilamana syarat-syarat materiil ini tidak dipenuhi maka surat dakwaaan batal demi
hukum (pasal 143 ayat 3 KUHAP).
D. Eksepsi.
Eksepsi adalah
keberatan yang diajukan terdakwa dan atau penasehat hukumnya terhadap syrat
hukum formil, belum memasuki pemeriksaan hukum materil. Pengajuan eksepsi
diberikan kepada terdakwa setelah jaksa penuntut umum selesai membacakan surat dakwaan. Majelis
hakim akan menanyakan dan memberi kesempatan kepada terdakwa atau penasehat
hukum apakah terdakwa akan menanggapi / keberatan terhadap dakwaan jaksa
penuntut umum ataukah dalam bentuk eksepsi.
Bila terdakwa atau
penasehat hukumnya tidak mengajukan keberatan / tanggapan terhadap surat dakwaaan maka
persidangan akan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi-saksi.
Ada tiga hal yang menjadi objek eksepsi
sebagaimana yang dimuat dalam pasal 156 ayat 1 KUHAP yaitu :
1. Pengadilan tidak berwenang mengadili perkara, meliputi :
-
Keberatan tidak berwenang
mengadili secara relatif (competentie
relatif)
-
Keberatan tidak berwenang
secara absolute (competentie absolute)
2. Dakwaaan tidak dapat diterima, antara lain :
-
apa yang didakwakaan terhadap
terdakwa bukan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran
-
apa yang didakwakaan kepada
terdakwa telah pernah diputus dan telah mempunyai kekutan hukum tetap (nebis in
idem)
-
apa yang didakwakaan kepada
terdakwa telah lewat waktu atau kadaluarsa
-
apa yang didakwakaan kepada
terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang dilakukannya
-
apa yang didakwakaan kepada
terdakwa bukan merupakan tinda pidana akan tetapi termasuk perselisihan perdata
-
apa yang didakwakaan kepada
terdakwa adalah “tindak pidana aduan” atau “klacht delicten”, sedang orang yang
berhak mengadu tidak pernah menggunakan haknya.
3. Surat
dakwaan harus dibatalkanm,
dalam hal ini karena tidak
memenuhi syarat formil seperti yang ditentukan pasal
143 ayat 2 huruf a.
Sebenarnya eksepsi
mengenai surat
dakwaan tidak membawa efek, karena andai kata dakwaan ditolak jaksa penuntut
umum masih bisa memperbaiki kembali karena belum memeriksa pokok perkara.
Kecuali bilamana “putusan pembatalan surat
dakwaan” setelah selesai pemeriksaan materi perkara oleh pengadilan negeri atau
putusan pengadilan tinggi ata putusan Mahkamah Agung.
E. Acara Pemeriksaan.
1. formalitas persidangan.
Prinsip
pemeriksaan dalam persidangan pidana antara lain :
-
Prinsip pemeriksaan terbuka
untuk umum
-
Hadirnya terdakwa dalam
persidangan
-
Hakim ketua sidang memimpin
persidangan
-
Pemeriksaan dalam sidang secara
langsung dengan lisan
-
Wajib menjaga pemeriksaaan
secara bebas
-
Pemeriksaan lebih dahulu
mendengar keterngan saksi
Proses pemeriksaan persidangan :
1. Pemeriksaan identitas terdakwa, mengenai :
-
nama lengkap
-
tempat lahir
-
umur dan tanggal lahir
-
jenis kelamin
-
kebangsaan
-
tempat tinggal
-
agama
-
pekerjaan
-
pendidikan terakhir
2. Memperingatkan terdakwa
3. Pembacaan surat
dakwaan
4. Menanyakan tentang isi surat dakwaan
5. hak mengajukan eksepsi
6. pemeriksaan saksi
7. pemeriksaan terdakwa
8. pemeriksaan ahli (bila diperlukan)
Berkaitan dengan
pemeriksaan saksi menurut Yurisprudensi MARI NO. 1691K/Pid/1993 tanggal 20
Maret 1994 : Tiada manfaatnya menghadirkan dan mendengarkan keterangan para
saksi sebanyak-banyaknya yang secara kwantitatif telah melampaui batas minimum
pembuktian, namun secara kualitatif tidak dapat dipakai sebagai alat bukti yang
dapat membuktikan kesalahan terdakwa, sesuai dengan yang diatur ex pasal 185
(4), (6) KUHAP.
Berkaitan dengan
barang bukti menurut MARI No. 115K/Kr/1972 tanggal 23 Mei 1973 yaitu Yang
dimaksud dengan barang bukti dalam persidangan ialah barang bukti yang resmi
diajukan oleh jaksas kepada hakim dalam persidangan.
F. Pembacaan Surat Tuntutan/Requisitoir.
Setelah pemeriksaan
dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana (pasal 182 (1)
KUHAP). Pemeriksaan dapat dinyatakan selesai, apabila :
a.
Semua alat bukti telah rampung
diperiksa (menurut pasal 184 ayat 1 mengenai alat bukti yaitu keterangan saksi,
keterangan ahli, surat,
petunjuk dan keterangan terdakwa).
b.
Semua barang bukti yang ada
telah diperlihatkan kepada terdakwa maupun saksi-saksi sekaligus menanyakan
pendapat mereka terhadap barang bukti tersebut.
c.
Demikian juga surat-surat yang
ada maupun berita acara yang dianggap penting sudah dibacakan dalam sidang
pengadilan.
Mengenai surat
tuntutan maka surat
tuntutan berisi bagian-bagian mana dan ketentuan-ketentuan pidana yang
didakwakan terhadap terdakwa yang telah terbukti dan disertai dengan penjelasan
dari setiap unsur dari delik yang didakwakan dan dengan demikian surat tuntutan adalah
gambaran (visualisasi) dari tuntutan hukum yang akan dimohonkan kepada hakim.
Bagi terdakwa surat tuntutan menjadi
bahan untuk pembelaan, karena terdakwa dapat meng-caunter argumentasi yang
dimuat jaksa penuntut umum dalam surat
tuntutan, bilamana tuntutan pemidanaan.
Bagi hakim surat dakwaan dapat
menjadi bahan atau memberi corak terhadap putusan yang dijatuhkan dan juga
bahan confirmasi terhadap fakta-fakta yang ditemukan dengan yang menjadi bahan
bagi keyakinannya.
Penyusunan surat tuntutan adalah
suraut karya yurudis, ilmiah dan seni karena surat tuntutan harus dapat dipertanggungjawabkan
secara yuridis dengan dukungan ilmiah yang disusun dalam bahasa dan tata bahasa
yang baik.
G. Pledoi / Pembelaan.
Setelah jaksa
penuntut umum selesai membacakan surat
tuntutannya maka giliran diberikan hak kepada terdakwa dan atau penasehat
hukumnya untuk mengajukan pembelaan (pledoi) (pasal 182 KUHAP).
Pembelaan (pledoi)
bertujuan untuk memperoleh putusan hakim yang membebaskan terdakwa dari segala
dakwaan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum ataupun
setidak-tidaknya hukumana pidana seringan-ringannya.
Dalam pasal 182
KUHAP, dinyatakan :
a.
Setelah pemeriksaan dinyatakan
selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana
b.
Selanjutnya terdakwa dan atau
penasehat hukum, mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum,
dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat hukumnya selalu mendapat giliran
terakhir.
c.
Tuntutan, pembelaan dan jawaban
atas pembelaan dilakuan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan
kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan.
Dalam mengajukan
pembelaan/pledoi biasanya terdakwa dan atau penasehat hukumnya mengajukan
tanggapan, antara lain :
Ø Surat dakwaan jaksa penuntut umum kabur
Ø Jaksa penuntut umum keliru dalam menerpakan undang-undang atau
pasal-pasal yangdidakwakan
Ø Jaksa penuntut umum keliru melakukan analisa terhadap unsur-unsur
delik yang didakwakan dan penerapan terhadap perbuatan terdakwa yang dipandang
terbukti
Ø Jaksa penuntut umum keliru dalam menilai alat-alat bukti atau
menggunakan alat bukti yang saling tidak mendukung
Ø Delik yang didakwakan adalah delik materil bukan formil
Ø Mengajukan alibi pada saat terjadinya perbuatan pidana
Ø Perbuatan terdakwa bukanlah perbuatan pidana tetapi perbuatan
perdata
Ø Barang bukti yang diajukan bukanlah milik terdakwa, dan lain
sebagainya sesuai dengan kasus yang dihadapi.
Berkaitan dengan
alibi, dalam yurisprudensi MARI No. 429K/Pid/1995 : Alibi yang dikemukakan oleh
terdakwa bahwa ia pada saat dilakukannya delik oleh para saksi (menjadi
terdakwa dalam perkara lain) berada di tempat lain, maka alibi ini dapat
diterima oleh hakim, karena alibi tersebut dibenarkan oleh para saksi yang
keterangannya bersesuaian satu dengan lainnya, dan diperkuat pula adanya surat
bukti (buku jurnal). Dengan adanya alibi tersebut, maka dalam putusannya, hakim
menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan delik sebagaimana didakwakan
jaksa penuntut umum dalam surat
dakwaannya.
H. Replik (oleh Jaksa)
Dalam menyusun jawaban atas pembelaan (replik) dari
terdakwa atau penasehat hukumnya, jaksa penuntut umum harus mampu
mengantisipasi arah dan wujud serta materi pokok dari pemelaan terdakwa dan
penasehat hukumnya dalam replik tersebut.
Jaksa penuntut umum harus menginventarisir inti (materi
pokok) pembelaan yang diajukan terdakwa atau penasehat hukumnya dalam repliknya
sebagai bantahan/sanggahan atas pembelaan terdakwa atau penasehat hukumnya.
I. Duplik
Setelah jaksa penuntut umum mengajukan replik di
persidangan, maka selanjutnya giliran terdakwa dan atau penasehat hukumnya
untuk menanggapi replik dari jaksa penuntut umum tersebut. Tanggapan seperti
ini lazim disebut sebagai “duplik”.
Sebagai penutup dari replik dan duplik dibuat suatu
kesimpulan yang menyimpulkan semua tanggapan dan tangkisan.
Sebelum majelis hakim mengambil sikap dan menyusun
keputusan, biasanya majelis hakim memberikan kesempatan kepada terdakwa apakah
masih ada yang perlu disampaikan misalnya mohon keringanan hukum atau mohon
keputusan yang seadil-adilnya.
J. Acara Pembacaan Putusan.
Setelah pemeriksaan dinyatakan ditutup, hakim mengadakan
musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan berkaitan dengan tindak pidana
yang disidangkan tersebut.
Bertitik tolak dari kemungkinan-kemungkinan hasil
penilaian diatas, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan mengenai suatu
perkara, bisa berbentuk :
1.
Putusan bebas (vrij spraak)
2.
Putusan lepas dari segala
tuntutan hukum
3.
Putusan pemidanaan
4.
Penetapan tidak berwenang
mengadili
5.
Putusan yang menyatakan dakwaan
tidak dapat diterima
Hal-hal yang harus dimuat dalam suatu putusan (pasal 197 KUHAP)
yaitu :
a.
Berkepala : Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
b.
Identitas terdakwa
c.
Dakwaan, sebagaimana terdapat
dalam surat
dakwaan penuntut umum
d.
Pertimbangan yang lengkap
e.
Tuntutan pidana penuntut umum
f.
Peraturan undang-undang yang
menjadi dasar pemidanaan
g.
Hari dan tanggal diadakannya
musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal
h.
Pernyataan kesalahan terdakwa
i.
Pembebanan biaya perkara dan
penentuan barang bukti
j.
Penjelasan tentang surat palsu
k.
Perintah penahanan, tetap dalam
tahanan atau pembebasan
l.
Hari dan tanggal putusan, nama
penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera
Kekeliruan pengetikan huruf g dan I tidak mutlak membatalkan
putusan,
Kekeliruan penulisan atau pengetikan terhadap huruf b, c, d, j, k
dan l yaitu :
ü Tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum
ü Tetapi kekeliruan dan kesalahan dalam penulisan atau pengetikan itu
dapat diperbaiki.
Kekeliruan penulisan atau pengetikan huruf a, e, f, dan h yaitu :
ü Dapat mengakibatkan putusan batal demi hukum
ü Kelalaian mencantumkannya mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Dalam yurisprudensi MARI No. 793K/Pid/1990 tanggal 16
Maret 1993 : menurut pasal 197 KUHAP, ditentukan bahwa setiap pemidanan hakim
wajib mencamtukan dalam putusannya rumusan tuntutan pidana, sebagaimana
terdapat dalam tuntutan jaksa, ex pasal 197 ayat 1 huruf e KUHAP. Bilamana
hakim lalai memuat tuntutan pidana (requisitoir) jaksa dalam putusannya maka
akibat hukumnya adalah putusan hakim tersebut menjadi batal demi hukum.
Begitu juga dengan
barang bukti, Menurut Yurisprudensi MARI No. 129K/Kr/1969 tanggal 17 Juli 1971
menyebutkan : Tidak memberi keputusan barang bukti (surat) yang diajukan di muka sidang dan
memberi keputusan atas sesuatu barang yang tidak diajukan sebagai barang bukti
di muka sidang tidaklah mengakibatkan batalnya putusan. Judex factie tidak
berwenang memberi putusan terhadap barang yang tidak diajukan di muka sidang.
Dengan tidak
mempertimbangkan dasar dan perampasan barang bukti, oleh karena kedua keputusan
tersebut sebagai kurang beralasan harus dibatalkan (Yurisprudensi MARI No.
89K/Kr/1968 Februari 1969).
Sesudah putusan
pemidanaan diucapkan, hakim ketua sidan wajib memberitahukan kepada terdakwa
tentang apa yang menjadi haknya, yaitu :
a.
Hak segera menerima atau segera
menolak isi putusan
b.
Hak mempelajari putusan sebelum
menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan
yaitu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan
kepada terdakwa yang tidak hadir (pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat 2
KUHAP)
c.
Hak meminta penangguhan pelaksanaan
putusan dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk mengajukan grasi,
dalam hal ia menerima putusan (pasal 169 ayat 3 KUHAP jo. UU Grasi)
d.
Hak meminta banding dalam
tenggang waktu tujuh hari setelah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan
kepada terdakwa yang tidak hadir (pasal 196 ayat (3) Jo. Pasal 233 ayat 2
KUHAP)
e.
Hak segera mencabut pernyataan
sebagaimana dimaksud dalam butir a (menolak putusan) dalam waktu yang
ditentukan dalam pasal 235 ayat 1 KUHAP yang menyatakan bahwa “selama perkara
banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat dicabut
sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara it
utidak boleh diajukan lagi (pasal 196 ayat 3 KUHAP).
BAB
V
UPAYA HUKUM
A. Tingkat Banding (pasal 233-243 KUHAP)
Dasar hukum pengajuan banding diatur dalam pasal 67
KUHAP, yang berbunyi :
“ Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding
terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas,
lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya
penerapan hukum putusan pengadilan dalam acara cepat “
Banding merupakan sarana penting untuk melakukan
bantahan/sanggahan terhadap putusan pengadilan negeri yang dianggap tidak tepat
karena :
·
Kelalaian dalam penerapan hukum
acara
·
Kekeliruan melaksanakan hukum
·
Adanya kesalahan dalam
pertimbangan hukum, hukum pembuktian dan amar putusan pengadilan pertama.
Banding dapat dikatakan suatu judicium novum
(pemeriksaan baru) karena jika dipandang perlu Pengadilan Tinggi mendengar
sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum tentang apa yang
ingin diketahui oleh Pengadilan Tinggi. Tidak tertutup kemungkinan pada
peradilan tingkat ulangan dimajukan saksi, keterangan ahli atau alasan-alasan
baru (novum) yang ternyata belum diungkapkan dalam pemeriksaan tingkat pertama.
Yang menjadi
sasaran (objek) pemeriksaan tingkat banding adalah berkas perkara yang diterima
dari Pengadilan Tinggi, yang terdiri dari :
a.
Surat bukti yang
merupakan lampiran dari berkas perkara
b.
Berita acara pemeriksaan di
sidang pengadilan negeri
c.
Berita acara pemeriksaan dari
penyidik
d.
Semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan
dengan perkara itu termasuk putusan surat
dakwaan, dan
e.
putusan
e.
pengadilan negeri
Tenggang waktu pengajuan banding ditentukan hanya 7
(tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan atau dalam hal terdakwa tidak hadir
dihitung setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa. Dalam pasal 228 KUHAP
dinyatakan “jangka atau tenggang waktu menurut undang-undang ini mulai
diperhitungkan pada hari berikutnya”
Hak pengajuan
permintaan banding itu dianggap gugur apabila tidak memanfaatkan tenggang waktu
7 (tujuh) hari itu untuk mengajukan permintaan banding yang membawa konsekwensi
hukum bahwa yang bersangkutan dianggap telah menerima putusan pengadilan negeri
yang bersangkutan.
A.1. Memori banding
Memori banding adalah risalah atau tulisan yang memuat
suatu penjelasan. Pihak yang mengajukan banding memuat memori banding untuk
menanggapi putusan pengadilan tingkat pertama dan mengajukan hal-hal yang
dianggap ada fakta-faktanya atau unsur-unsur yang luput dari pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan putusannya atau terdakwa merasa hukuman (starafmat) yang
dijatuhkan terlalu berat.
Dalam hal ini
peranan memori banding yang didukung oleh data dan dikaitkan dengan abstrak
hukum sangat menentukan untuk pertimbangan hakim banding dalam menjatuhkan putusan.
Walaupun memori banding bukanlah suatu keharusan untuk diajukan oleh pihak yang
mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri. Karena dalam tingkat
banding, hakim wajib untuk membaca kembali seluruh berkas perkara yang
dimohonkan banding tersebut.
A.2. Kontra memori banding
Kontra memori banding adalah suatu tulisan yang berupa
tanggapan terhadap memori banding atau dengan kata lain kontra banding adalah
bertujuan untuk meng-counter memori banding. Makna kontra memori banding untuk
menanggapi alasan-alasan yang dimuat dalam momori banding. Dan kontra memori
banding ini pada hakekatnya mendukung keputusan pengadilan negeri tingkat
pertama.
Akibat dari pembandingan
atas suatu putusan pengadilan negeri, akan mewujudkan pendirian yang dapat
berupa :
a.
Menguatkan putusan pengadilan
negeri yang bersangkutan.
Dalam hal ini berarti semua hasil penilaian dan
penghargaan pengadilan negeri yang bersangkutan adlah conform dengan pendirian
pengadilan negeri.
b.
Mengubah putusan pengadilan
negeri yang bersangkutan.
Dalam hal ini, sebagian saja dari hasil penilaian
pengadilan negeri yang bersangkutan yang conform dengan penilaian pengadilan
tinggi, sedangkan lainnya memerlukan perubahan sesuai dengan pendirian
pengadilan tinggi.
c.
Muncul putusan baru.
Dalam hal ini pengadilan tinggi membatalkan putusan
pengadilan negeri yang bersangkutan karena tidak didukung hasil penilaian dan
penghargaan atas facti yang ada. Putusan baru ini dapat saja berupa yang
tadinya putusan pemidanaan diubah menjadi putusan bukan pemidanaan.
B. Kasasi.
Dalam bahasa Belanda “Cassatie” dalam bahasa Inggris
“Cassation’ dan dalam bahasa Perancis “Caesei” yang artinya “pembatalan putusan
pengadilan bawahan (yang telah dijatuhkan), oleh Mahkamah Agung dengan dasar :
a.
Transgression; melampaui batas
wewenang
b.
Misjudge; salah mengetrapkan
atau melanggar peraturan hukum yang berlaku
c.
Negligent; adanya kelalaian
dalam memenuhi syarat-syarat yang
diwajibkan oleh suatu ketentuan undang-undang yang mengancam kelalaian itu dan
membatalkan putusan itu sendiri.
Hal-hal yang perlu diperhatikan, dalam permintaan pemeriksaan kasasi
antara lain:
Ø Terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi
kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas (pasal 244 KUHAP)
Ø Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas
permintaan para pihak guna menentukan :
a.
Apakah benar suatu peraturan
hukum tidak diterpakan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya
b.
Apakah benar cara mengadili
tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang
c.
Apakah benar pengadilan telah
melampaui batas wewenangnya (pasal 253 (1) KUHAP)
Ø Berkas perkara yang dikirim ke Mahkamah Agung (melalui panitera)
terdiri dari berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita acara di sidang, semua surat yang timbul disidang yang berhubungan
dengan perkara itu, beserta putusan pengadilan tingkat pertama dan atau tingkat
terakhir (pasal 253 (2))
Ø Jika dipandang perlu, Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri
keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum dengan menjelaskan secara singkat
kepada mereka tentang apa yang ingin diketahui atau mahkamah agung dapat pula
mendengar keterangan meeka dengan cara pemanggilan yang sama (pasal 253 (4))
Ø Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa pemohonan kasasi mengenai
hukumnya, Mahkamah Agung dapat memutus, menolak atau mengabulkan permohonan
kasasi (pasal 254)
Ø Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena peraturan-peraturan hukum
tidak diterapkan atau diterapkan dengan semestinya, Mahkamah Agung mengadili
sendiri perkara itu (pasal 255 (1)).
Ø Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena cara mengadili tidak
dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang Mahkamah Agung menetapkan disertai
petunjuk agar pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya
lagi, mengenai bagian yang dibatalkan (pasal 255 (2)).
Ø Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena pengadilan atau hakim yang
bersangkutan tidak berwenang mengadili perkara tersebut, Mahkamah Agung
menetapkan pengadilan atau hakim lain mengadili perkara tersebut (pasal 255
(3)).
Keberatan-keberatam kasasi hanya yang berkaitan dengan masalah
penerapan hukum semata dan tidak bisa didasarkan kepada penilaian terhadap
fakta kecuali bila penilaian terhadap fakta ada kekeliruan, dilihat dari segi
penerapan hukum.
Ø Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kasasi kepada panitera
pengadilan yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu empat
belas hari sesudah putusan diberitahukan kepada terdakwa (pasal 245 (1) KUHAP)
Ø Dalam hal pengadilan negeri menerima permohonan kasasi baik yang
diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa maupun keduanya, maka panitera wajib
memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain (pasal
246 (1) KUHAP)
Ø Apabila lewat empat belas hari tanpa diajukan permohonan kasasi oleh
yang bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan (pasal 246
(1) KUHAP)
Ø Selama perkara belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi
dapat dicabut dan permohonan kasasi dalam perkara ini tidak dapat diajukan lagi
(pasal 247 (1) KUHAP)
Ø Apabila perkara telah dimulai diperiksa akan tetapi belum diputus,
sementara pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani membayar
biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (pasal 247 (3) KUHAP)
Ø Pemohon kasasi wajib mengajukan momori kasasi dan dalam waktu empat
belas hari setelah menyatakan/menandatangani akte kasasi dimaksud harus sudah
menyerahkan kepada kepaniteraan pengadilan negeri (pasal 248 (1) KUHAP)
Ø Dalam hal pemohon kasasi adlah terdakwa yang kurang memahami hukum,
panitera wajib menanyakan apakan alasan kasasi tersebut dan untuk itu panitera membuat memori
kasasinya (pasal 248 (2) KUHAP)
Ø Apabila dalam tenggang empat belas hari pemohon terlambat
menyerahkan memori kasasi maka haknya gugur (pasal 248 (2) KUHAP)
Ø Tembusan memori kasasi yang diajukan oleh salah satu pihak oleh
panitera disampaikan kepada pihak lainnya dan pihak lain itu berhak mengajukan
kontra memori kasasi (pasal 248 (6) KUHAP)
Ø Dalam waktu empat belas hari panitera wajib menyampaikan memori
kasasi kepada pihak yang mengajukan memori kasasi (pasal 248 (7) KUHAP)
Ø Tambahan memori kasasi atau kontra memori kasasi masih dapat
ditambahkan masing-masing pihak dalam waktu empat belas hari sesudah permohonan
kasasi diajukan (pasal 249 (1) KUHAP)
Putusan kasasi oleh Mahkamah Agung terdapat tiga macam yaitu :
1.
Menyatakan permohonan kasasi
tidak dapat diterima
Dalam hal ini bila syarat formal tidak dipenuhi.
2.
Permohonan kasasi ditolak
Dalam hal ini keberatan-keberatan yang diajukan oleh
pemohon kasasi tidak dapat dibenarkan oleh karena judex factie tidak salah
menerapkan hukum atau tidak lalai memenuhi acara sebagaimana diwajibkan
undang-undang.
3.
Permohonan kasasi dikabulkan.
Dalam hal ini apabila alasan-alasan yang diajukan
pemohon kasasi dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
Beberapa Yurisprudensi berkaitan dengan kasasi antara lain :
Yurisprudensi MARI No. 47 K/Kr/1971 tanggal 20 September 1972 :
Keberatan yang diajukan penuntut umum bahwa ia tidak diberitahu tentang
permohonan banding dari jaksa dan tidak diberitahu isi memori banding sehingga
ia tidak dapat mengajukan kontra memori banding. Tidak dapat diterima, karena
hal tersebut tidak menyebabkan batalnya putusan, lagi pula kontra memori
banding tidak bersifat menentukan, karena dalam tingkat banding perkara
diperiksa kembali dalam keseluruhannya .
Yurisprudensi MARI No. 104 K/Kr/1977 tanggal 16 Oktober
1977 : Keberatan penuntut kasasi bahwa memori banding jaksa tidak pernah
dikemukakan kepadanya tidak dapat diterima, karena hal tersebut tidak
menyebabkan batalnya putusan, lagi pula dengan tingkat banding perkara ditinjau
secara menyeluruh.
Ilustrasi pemeriksaan kasasi mengenai salah penerapan hukum :
Posisi kasus : Pada tanggal 6 Desember 1995, Nanang Bin Jamberan
melakukan penyelundupan bawang putih ke luar negeri dengan cara sebelumnya
terdakwa membicarakan dengan Agus tentang rencana tersebut. Ketika bawang
berada di kapal tanpa dilindungi dokumen dibawa oleh Nanang maka pada saat
itulah Nanang ditangkap.
Dipersidangan Nanang di jerat dengan dakwaan primer ketentuan pasal
56 ke 2 KUHP Jo. Pasal 26 Ordonansi Bea Stbl. 1931 No. 471 Jo. UU No.
7/Drt/1995 Jo. UU No. 8/Drt/1958 Jo. UU No. 21/Prp/1959, sedangkan subsider
tindak penadahan.
Bahwa dalam putusan kasasi oleh Mahkamah Agung RI membenarkan
permohonan kasasi terdakwa dengan alasan keberatan karena Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi Banjarmasin menghukum pemohon kasasi berdasarkan UU yang
tidak berlaku lagi, oleh karena judec factie salah menerpakan hukum. Dalam hal
ini Ordonansi Bea Stbl. 1931 No. 471 telah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan
berlakunya UU No. 10 tahun 1985 pada 1 april 1995 sedangkan perbuatan terdakwa
pada tanggal 6 Desember 1995.
C. Peninjauan Kembali / Heerzening.
Dalam pasal 263 ayat 1 KUHAP disebutkan : “terhadap
putusan pengadilan yan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan permintaan peninjauan kembali pada Mahkamah Agung”.
Dalam pasal 264
ayat 3 KUHAP secara tegas menetapkan bahwa permintaan mengajukan peninjauan
kembali adalah “tanpa batas waktu”. Dalam hal ini tidak ada batas tenggang
waktu untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Kapan saja boleh
diajukan.
Pengajuan Peninjauan Kembali yaitu :
Ø Dapat diajukan terhdap putusan pengadilan negeri yang telah
memperoleh kekutan hukum tetap
Ø Dapat diajukan terhadap putusan pengadilan tinggi yang telah
memperoleh kekutan hukum tetap
Ø Dapat diajukan terhadap putusan Mahkamah Agung yang telah mempunyai
kekutan hukum tetap
Alasan peninjauan kembali dapat berupa :
1.
Apabila terdapat keadaan baru
sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat bahwa apabila keadaan tersebut diketahui waktu
masih sidang berlangsung, putusan yang dijatuhkan akan berupa putusan bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat
diterima atau terhadap perkara ini diterapkan ketentuan pidana yang lebih
ringan.
2.
Apabila dalam berbagai putusan
terdapat saling pertentangan.
3.
Apabila terdapat kekhilafan
yang nyata dalam putusan
Permohonan peninjauan kembali diajukan kepada panitera
pengadilan negeri yagn memutus perkara itu dalam tingkat pertama. Dan untuk
pertanggungjawaban yuridis, panitera pengadilan negeri yang meminta permohonan
peninjauan kembali mencatat permintaan itu dalam sebuah akte keterangan yang
lazim juga disebut akta permintaan peninjauan kembali. Akta atau surat keterangan tersebut
ditandatangani oleh panitera dan pemohon kemudian akte tersebut dilampirkan
dalam berkas perkara.
Sikap yang dapat diambil oleh Mahkamah Agung berkaitan
dengan pengajuan PK adalah antara lain :
1.
Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan
alasan pemohon maka mahkamah agung menolak PK dengan menetapkan putusan yang
dimintakan PK tetap berlaku disertai dasar pertimbangan.
2.
Apabila Mahkamah Agung
membenarkan alasan pemohon maka Mahkamah Agung membatalkan putusan PK itu dan
menjatuhkan putusan yang dapat berupa :
a.
Putusan bebas
b.
Putusan lepas dari segala
tuntutan hukum
c.
Putusan tidak dapat menerima
tuntutan penuntut umum
d.
Putusan dengan menetapkan
ketentuan pidana yang lebih ringan
Berkaitan dengan PK terdapat beberapa Yurisprudensi MARI antara lain
:
Yurisprudensi MARI No. 11 PK/Pid/1993 tanggal 13
Desember 1994 yang menyatakan : Alasan peninjauan kembali berupa keterangan
terdakwa Asun dalam suatu perkara pidana yang mengakui dalam sidang bahwa ia
membunuh Pamor dalam perkara pidana lain, dimana terdakwanya adalah Lingah,
Pangah dan Sumir yang telah dipidana dan berkekuatan tetap, maka pengakuan Asun
tersebut haruslah ditindaklanjuti berupa Asun disidik, dituntut dan disidangkan
sampai ada putusan hakim terhadap Asun. Bilamana tidak atau belum
ditindaklanjuti maka keterangan atau pengakuan Asun tersebut bukan merupakan
keadaan baru atau novum eks. Pasal 263 (2) a KUHAP.
Demikian juga
berkaitan dengan alasan novum sebagaimana Yurisprudensi No. 14 K/Pid/1997
tanggal 14 November 1997 menegaskan : Putusan perkara perdata yang menyebutkan
gugatan pemohon peninjauan kembali dapat diajukan sebagai novum dalam perkara
peninjauan kembali pidana yang membatalkan putusan kasasi dan membebaskan
terdakwa dari segala tuntutan hukum.
- oOo -
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Ghalia Indonesia. 1985.
Human Right A Complitation of
International Instruments, (New York, United Nation, 1993) hal 3.
Indonesia
legal Centre Publishing, Klien dan
Penasehat Hukum, Yudha Pandu, 2001.
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP,
buku I. Sinar Grafika. 2002.
_________________, Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP,
buku II. Sinar Grafika. 2002.
Mangasi Sidabutar. Hak Terpidana, Terpidana , Penuntut Umum
Menempuh Upaya Hukum. Raja Grafindo Persada. 1999.
Osman Simanjuntak. Teknik Tuntutan dan Upaya Hukum. 1994.
R. Soesilo. Hukum Acara Pidana. Politeia. 1982.
Republik Indonesia, Undang-undang No. 8
tahun 1981 (KUHAP).
Republik Indonesia, Undang-undang No. 2
tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Republik Indonesia, Undang-undang No. 18
tahun 2003 tentang Advokat.
Republik Indonesia, Undang-undang Kekuasaan
Kehakiman No. 4 tahun 2004.
Republik Indonesia, Undang-undang
No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
Republik Indonesia, Undang-undang No. 16
tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.