google-site-verification: google9a13747b79e1f4cd.html Artikel Law Office MAH - Hukum Acara Pidana Artikel Law Office MAH: Hukum Acara Pidana - All Post
SEMUA ARTIKEL
M.Ardiansyah Hasibuan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Acara Pidana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Acara Pidana. Tampilkan semua postingan
Sumber gambar: google.com

Dalam hukum pidana, delik atau tindak pidana dibagi menjadi dua jenis utama: "delik formil" dan "delik materil".

Berikut adalah pembahasan mengenai kedua jenis delik ini:


Defenisi Delik Formil
Delik formil adalah tindak pidana yang dianggap selesai atau terpenuhi dengan dilakukannya perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, tanpa memperhatikan apakah akibat dari perbuatan tersebut sudah terjadi atau belum. Fokus utama adalah tindakan itu sendiri.


Karakteristik Delik Formil:
Tidak memerlukan adanya akibat tertentu untuk dianggap selesai.

- Yang penting adalah perbuatan yang dilarang sudah dilakukan oleh pelaku.

- Contoh: Pencurian (Pasal 362 KUHP) dianggap selesai dengan tindakan mengambil barang milik orang lain tanpa izin, meskipun barang tersebut belum digunakan atau dijual.


Contoh Delik Formil dalam KUHP:

1. Pencurian (Pasal 362 KUHP)*: Tindak pidana ini selesai dengan tindakan mengambil barang milik orang lain tanpa izin.

2. Penipuan (Pasal 378 KUHP)*: Tindak pidana ini selesai dengan tindakan menggunakan tipu muslihat atau kebohongan untuk memperoleh keuntungan.

3. Pemerasan (Pasal 368 KUHP)*: Tindak pidana ini selesai dengan tindakan memaksa orang lain untuk memberikan sesuatu atau melakukan sesuatu dengan ancaman.


Defenisi Delik Materil:

- Delik materil adalah tindak pidana yang dianggap selesai atau terpenuhi dengan terjadinya akibat tertentu yang dilarang oleh undang-undang sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Fokus utama adalah akibat dari tindakan tersebut.


Karakteristik Delik Materil: 

- Memerlukan adanya akibat tertentu untuk dianggap selesai.

- Perbuatan pelaku harus menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.

- Contoh: Pembunuhan (Pasal 338 KUHP) dianggap selesai ketika perbuatan tersebut mengakibatkan kematian orang lain.


Contoh Delik Materil dalam KUHP:

1. Pembunuhan (Pasal 338 KUHP)*: Delik ini dianggap selesai ketika perbuatan tersebut mengakibatkan kematian orang lain.

2. Penganiayaan yang Mengakibatkan Luka Berat (Pasal 351 ayat (2) KUHP)*: Delik ini dianggap selesai ketika perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat pada korban.

3. Pencurian dengan Kekerasan yang Mengakibatkan Luka Berat (Pasal 365 ayat (2) KUHP): Delik ini dianggap selesai ketika perbuatan pencurian tersebut diikuti dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat pada korban.


Penerapan dalam Hukum Pidana

Delik Formil: Proses hukum dalam delik formil lebih sederhana karena hanya perlu membuktikan bahwa perbuatan yang dilarang telah dilakukan. Bukti yang diperlukan hanya mengenai tindakan pelaku.

Delik Materil: Proses hukum dalam delik materil lebih kompleks karena harus membuktikan bahwa perbuatan pelaku menyebabkan akibat tertentu yang dilarang. Bukti yang diperlukan harus menunjukkan hubungan sebab-akibat antara tindakan pelaku dan akibat yang terjadi.


Kesimpulan

Pemahaman tentang delik formil dan delik materil sangat penting dalam proses penegakan hukum pidana. Delik formil lebih fokus pada tindakan yang dilarang, sedangkan delik materil lebih fokus pada akibat dari tindakan tersebut. Dengan memahami perbedaan ini, penegak hukum dapat lebih efektif dalam menangani berbagai jenis tindak pidana.


Apakah ada hal lain yang ingin Anda ketahui atau butuh bantuan lebih lanjut dapat konsultasi dengan kami di Nomor WhatsApp: 0813 9914 9434 


A. Pengertian dan Syarat
Surat Dakwaan adalah sebuah akta yang dibuat oleh penuntut umum yang berisi perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa berdasarkan kesimpulan dari hasil penyidikan. Surat dakwaan merupakan senjata yang hanya bisa digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum berdasarkan atas asas oportunitas yang memberikan hak kepada jaksa penuntut umum sebagai wakil dari negara untuk melakukan penuntutan kepada terdakwa pelaku tindak pidana. Demi keabsahannya, maka surat dakwaan harus dibuat dengan sebaik-baiknya sehingga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a.      Syarat Formil
Diantara syarat formil yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :
1.       Diberi tanggal dan ditanda tangani oleh Penuntut Umum;
2.      Berisi identitas terdakwa/para terdakwa
meliputi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa (Pasal 143 ayat 2 huruf a KUHAP). Identitas tersebut dimaksudkan agar orang yang didakwa dan diperiksa di depan sidang pengadilan adalah benar-benar terdakwa yang sebenarnya dan bukan orang lain.
Apabila syarat formil ini tidak seluruhnya dipenuhi dapat dibatalkanoleh hakim (vernietigbaar) dan bukan batal demi hukum karena dinilai tidak jelas terhadap siapa dakwaan tersebut ditujukan.

b.   Syarat Materiil
1.       Menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan
Dalam menyusun surat dakwaan, Penguraian unsur mengenai waktu tindak pidana dilakukan adalah sangat penting karena hal ini berkaitan dengan hal-hal mengenai azas legalitas, penentuan recidive, alibi, kadaluarsa, kepastian umur terdakwa atau korban, serta hal-hal yang memberatkan terdakwa. Begitu juga halnya dengan penguraian tentang tempat terjadinya tindak pidana dikarenakan berkaitan dengan kompetensi relatif pengadilan, ruang lingkup berlakunya UU tindak pidana serta unsur yang disyaratkan dalam tindak pidana tertentu misalnya “di muka umum, di dalam pekarangan tertutup) dan lain-lain.
2.      Memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan.
a.    Uraian Harus Cermat
Dalam penyusunan surat dakwaan, penuntut umum harus bersikap cermat/ teliti terutama yang berkaitan dengan penerapan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar tidak terjadi kekurangan dan atau kekeliruan yang mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau unsur-unsur dalam dakwaan tidak berhasil dibuktikan. 
b.    Uraian Harus Jelas
Jelas adalah penuntut umum harus mampu merumuskan unsur-unsur tindak pidana/ delik yang didakwakan secara jelas dalam arti rumusan unsur-unsur delik harus dapat dipadukan dan dijelaskan dalam bentuk uraian fakta perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Dengan kata lain uraian unsur-unsur delik yang dirumuskan  dalam pasal yang didakwakan harus dapat dijelaskan/ digambarkan dalam bentuk fakta perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Sehingga dalam uraian unsur-unsur dakwaan dapat diketahui secara jelas apakah terdakwa dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan tersebut sebagai Pelaku (dader/pleger), pelaku peserta (mede dader/pleger), penggerak (uitlokker), penyuruh (doen pleger) atau hanya sebagai pembantu (medeplichting). Apakah unsur yang diuraikan tersebut sebagai tindak pidana penipuan atau penggelapan atau pencurian dan sebagainya. Dengan perumusan unsur tindak pidana secara jelas dapat dicegah terjadinya kekaburan dalam surat dakwaan (obscuur libel). Pendek kata, jelas berarti harus menyebutkan :
1.      Unsur tindak pidana yang dilakukan;
2.      fakta dari perbuatan materiil yang mendukung setiap unsur delik;
3.      cara perbuatn materiil dilakukan.
c.    Uraian Harus Lengkap
Lengkap adalah bahwa dalam menyusun surat dakwaan harus diuraikan unsur-unsur tindak pidana yang dirumuskan dalam UU secara lengkap dalam arti tidak boleh ada yang tercecer/ tertinggal tidak tercantum dalam surat dakwaan. Surat dakwaan harus dibuat sedemikian rupa dimana semua harus diuraikan, baik unsur tindak pidana yang didakwakan, perbuatan materiil, waktu dan tempat dimana tindak pidana dilakukan sehingga tidak satupun yang diperlukan dalam rangka usaha pembuktian di dalam sidang pengadilan yang ketinggalan.

Hukum acara pidana merupakan hukum yang bertujuan untuk mempertahankan hukum materil pidana. Dengan kata lain acara pidana merupakan proses untuk menegakkan hukum materil, proses atau tata cara untuk mengetahui apakah seseorang telah melakukan tindak pidana. Acara pidana lebih dikenal dengan proses peradilan pidana.
Menurut sistem yang dianut oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana maka tahapan-tahapan yang harus dilalui secara sistematis dalam peradilan pidana adalah:
  1. Tahap Penyidikan oleh kepolisian
  2. Tahap Penuntutan oleh kejaksaan
  3. Tahap pemeriksaan di pengadilan oleh Hakim
  4. Tahap pelaksanaan Putusan (eksekusi) oleh kejaksaan dan lembaga pemasyarakatan
Tahapan-tahapan peradilan pidana
Adanya tindak pidana
Bagaimana mengetahui adanya tindak pidana?  Agar penyidik (polisi) bisa melakukan tindakan (melakukan penyidikan) tentang tindak pidana maka ada 3 sumber untuk mengetahuinya yaitu :

Barang siapa yang, setelah membaca KUHAP, berkesimpulan bahwa jaksa tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atau bahwa hanya terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan PK, maka orang itu pasti telah salah membaca undang-undang. Pembacaan yang teliti terhadap Pasal 263 KUHAP menunjukkan bahwa jaksa diberikan hak untuk mengajukan PK. Namun KUHAP juga memberikan batasan dalam hal apa jaksa dapat mengajukan PK, yaitu dalam hal ada putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yang didalam pertimbangannya menyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti pemidanaan. Jadi tidak terhadap semua putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap jaksa berhak mengajukan PK.

Dalam tulisan ini disarankan agar dilakukan koreksi secepatnya atas praktek hukum dan dicarikan upaya mengatasi kerugian yang dialami oleh pihak-pihak yang dalam putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum dinyatakan tidak bersalah tetapi kemudian dipidana karena adanya PK oleh jaksa. Disarankan juga agar Presiden, selaku Kepala Negara, meminta maaf kepada para korban PK jaksa dan seluruh rakyat Indonesia atas kesalahan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan jaksa-jaksa penuntut umum dalam perkara-perkara PK yang diajukan oleh jaksa.

1. Pendahuluan
Pertanyaan yang terus menerus diajukan sejak tahun 1996 adalah apakah jaksa dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana terhadap suatu putusan pengadilan yang sudah mempunyai hukum yang tetap. Pertanyaan ini muncul karena pada tahun 1996, untuk pertama kalinya, jaksa mengajukan permohonan PK dalam perkara dengan terdakwa, Mochtar Pakpahan, seorang aktivis buruh pada masa itu. Sejak itu Jaksa secara terus menerus mengajukan PK. Tidak dalam semua kasus yang diajukan jaksa memenangkan PK. Mahkamah Agung (MA) bersikap mendua mengenai hal ini. Ada majelis MA yang menyatakan jaksa tidak berhak mengajukan PK, ada yang menyatakan jaksa dapat mengajukan PK.
Dalam putusan PK dimana MA menerima permintaan PK dari jaksa, MA menyatakan menciptakan hukum karena KUHAP tidak mengaturnya. Dalam Negara v Muchtar Pakpahan, sebagaimana dikutip dalam Negara v Pollycarpus (PUTUSAN No. 109 PK/Pid/2007) , MA misalnya menyatakan: “Dalam menghadapi problema yuridis hukum acara pidana ini dimana tidak diatur secara tegas pada KUHAP maka Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara ini berkeinginan menciptakan hukum acara pidana sendiri, guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana.”
Dalam hal MA tidak dapat menerima permohonan jaksa, MA menyatakan bahwa MA tidak berwenang memutuskan mengenai PK. Dalam Negara v H. MULYAR bin SAMSI (Putusan MA No84PK/Pid/2006 Tahun 2006), MA menyatakan bahwa PK Jaksa tidak dapat diterima dengan alasan:
Bahwa Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah menentukan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, Terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauankembali kepada Mahkamah Agung;
Bahwa ketentuan tersebut telah mengatur secara tegas dan limitative bahwa yang dapat mengajukan peninjauankembali adalah Terpidana atau ahli warisnya. Hal ini berarti bahwa yang bukan Terpidana atau ahli warisnya tidak dapat mengajukan peninjauankembali.
Dengan adanya ketentuan yang tegas dan limitatif tersebut, tidak diperlukan lagi ketentuan khusus, yang mengatur bahwa yang bukan Terpidana atau ahli warisnya tidak dapat mengajukan peninjauankembali;
Bahwa “due proses of law” tersebut berfungsi sebagai pembatasan kekuasaan Negara dalam bertindak terhadap warga masyarakat, dan bersifat normatif, sehingga tidak dapat ditafsirkan dan tidak dapat disimpangi, karena akan melanggar keadilan dan kepastian hukum ;
Menimbang, berdasarkan hal-hal tersebut disimpulkan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak dapat mengajukan permohonan peninjauankembali atas putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Oleh karenanya apa yang dimohonkan oleh Jaksa Penuntut Umum merupakan kesalahan dalam penerapan hukum acara, sehingga permohonan peninjauan kembali yang dimajukan oleh Jaksa Penuntut Umum haruslah dinyatakan tidak dapat diterima;
Pertimbangan-pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh dua majelis pada MA tentu membingungkan, yang mana yang harus diikuti. Hal ini tentu akan menyebabkan adanya ketidakpastian hukum. MA, sebagaimana pertimbangan-pertimbangan hukum yang diajukan di atas menunjukkan, ternyata tidak satu. Putusan Majelis yang satu belum tentu diikuti oleh Majelis yang lain.
Tulisan ini akan membahas mengenai dasar hukum dari jaksa dalam mengajukan PK dan setelah menemukan dasar hukumnya maka akan dibahas mengenai batasan-batasan dalam mengajukan PK sebagaimana diatur dalam KUHAP. Dalam membahas mengenai PK oleh jaksa ini, saya hanya menggunakan bahan hukum primer, yaitu undang-undang dan Putusan-putusan MA. Putusan MA yang saya gunakan dalam tulisan ini dapat diakses pada situs web dari Mahkamah Agung. Alasan tidak menggunakan bahan sekunder adalah karena dalam pertimbangan hukumnya MA membuat rujukan pada bahan hukum sekunder.

2. Tinjauan Atas Pasal 263 KUHAP
Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa “terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung.” Ketentuan ini memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan digunakannya kata terpidana atau ahli warisnya menandakan bahwa dalam putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan tetap yang dimintakan peninjuan kembali, seseorang sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman pidana atau ada pemidanaan.
Dikecualikan dari hal-hal yang tidak dapat diajukan peninjauan kembali adalah putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Perumusan dalam Pasal 263 ayat (1) ini memang agak sedikit kacau. Yang dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya. Sementara untuk putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak ada terpidana. Maka adanya klausul “kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum” sangatlah tidak masuk akal ditempatkan dalam ayat tersebut.
Kalau kemudian jaksa mengajukan peninjauan kembali, menjadi layak karena adanya klausul “kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum”. Jaksa dapat berpikir bahwa yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) adalah Peninjuan kembali oleh terpidana atau ahli warisnya. Sementara untuk putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dapat diajukan peninjauan kembali tetapi tidak diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut. Dimana diaturnya, jaksapun tidak tahu dan hal ini berarti ada kekosongan hukum. MA, dari perspektif jaksa, berpikir bahwa MA dapat mengisi kekosongan tersebut melalui ketentuan bahwa hakim harus menggali nilai-nilai dalam masyarakat dan MA memang melakukannya dalam Negara v Muchtar Pakpahan dan lain-lain.
Bahwa jaksa dapat mengajukan peninjauan kembali mendapat landasannya dalam Pasal 263 ayat (3). Pasal 263 ayat (3) tersebut menyatakan “Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.” Ayat (3) ini merupakan landasan hukum bagi jaksa dalam mengajukan PK atas putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Persyaratan dalam Pasal 263 ayat (3) “……………. apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti dengan pemindanaan” menunjukkan bahwa ketentuan Pasal 263 ayat (3) tidak ditujukan bagi Terpidana karena dalam konteks Pasal 263 ayat (3) memang tidak ada yang disebut “Terpidana”. Tidak ada “terpidana” tanpa adanya “pemidanaan”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pasal 263 ayat (1) ditujukan untuk PK bagi Terpidana atau ahli warisnya. Yang diajukan PK menurut Pasal 263 ayat (1) adalah terhadap putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yang isinya “pemidanaan”. Pasal 263 ayat (3) adalah PK yang diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang tidak berisi pemidanaan. Karena tidak ada pemidanaan maka tidak ada terpidana dan oleh karenanya tidak ditujukan bagi Terpidana atau ahli warisnya yang memang tidak ada.
MA dalam putusan PK dalam Negara v Pollycarpus telah keliru ketika menyatakan:
2. Bahwa Pasal 263 KUHAP yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 21 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 mengandung hal yang tidak jelas, yaitu:
a. Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebab logikanya terpidana /ahliwarisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Dalam konteks ini, maka yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan dalam ketentuan pasal 263 ayat 2 KUHAP ;
b. Bahwa konsekwensi logis dari aspek demikian maka pasal 263 ayat 3 KUHAP yang pokoknya menentukan “ Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan” tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan, sehingga logis bila kepada Jaksa Penuntut Umum diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali;

Menyangkut butir 2.a dari pertimbangan MA tersebut, MA jelas keliru karena ketentuan Pasal 263 ayat (1) itu adalah untuk Terpidana atau Ahli warisnya. Logika MA juga keliru ketika menyatakan “…….sebab logikanya terpidana /ahliwarisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging”, karena memang tidak ada terpidana dalam putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Sedangkan butir 2.b dari pertimbangan tersebut kekeliruan MA dalam menafsirkannya lebih parah. MA menyatakan “…………..tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan,…..”. Sebagaimana saya sebutkan di atas, dalam konteks Pasal 263 ayat (3) tidak ada “terpidana”, karena kondisinya adalah “…tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”.
Sebenarnya dalam putusan dalam Negara v Muchtar Pakpahan, sebagaimana dirujuk oleh MA dalam Negara v Pollycarpus, MA sudah nyaris benar ketika menyatakan:
3. Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut penafsiran Majelis Mahkamah Agung RI maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena Jaksa Penuntut Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan hakim dirubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak diikuti pemindanaan dapat dirubah dengan diikuti pemindanaan terhadap terdakwa;
Namun MA melihat Pasal 263 ayat (3) KUHAP itu ditujukan kepada jaksa oleh karena JPU adalah “pihak yang berkepentingan”. Persoalannya dalam Pasal 263 ayat (3) bukan soal siapa yang “paling berkepentingan” tetapi Pasal 263 ayat (3) itu pada dirinya memang ditujukan untuk jaksa. Dalam perkara pidana hanya ada dua pihak yang berhadap-hadapan di depan hakim, Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa. Terdakwa yang dinyatakan bersalah dan ada pemidanaan adalah Terpidana. Dengan dinyatakan “paling berkepentingan” seolah-olah ada pihak lain yang berkepentingan dengan kondisi yang disebutkan dalam Pasal 263 ayat (3) tersebut.
Lagipula, secara logis, jika KUHAP hanya mengatur PK oleh Terpidana atau ahli warisnya, untuk apa lagi dibuat ketentuan Pasal 263 ayat (3). Pasal 263 ayat (1) sudah cukup untuk menampung keperluan terpidana atau ahli warisnya.
Dengan demikian adalah merupakan kesalahan membaca undang-undang jika ada yang menyatakan bahwa KUHAP tidak mengatur mengenai hak atau wewenang dari jaksa untuk mengajukan PK. Sebagaimana sudah saya tuliskan di atas, KUHAP memang memberikan Hak bagi jaksa untuk mengajukan PK, sekalipun tidak secara nyata disebutkan kata “jaksa penuntut umum”.

3. Putusan Bebas dan Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum
Dalam Pasal 263 ayat (1) kedua istilah hukum tersebut muncul dalam rumusan “…..,, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,…..”. Dalam Pasal 263 ayat (3) kedua istilah hukum itu tidak muncul. Kata-kata yang muncul adalah “……………………apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”. Apakah Putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum termasuk dalam apa yang disebut dalam Pasal 263 ayat (3) “…..tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”?
Dalam kedua macam putusan, yaitu putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum tidak ada pemidanaan. Dengan demikian jika dalam putusan bebas hakim menyatakan suatu perbuatan yang didakwakan terbukti maka putusan semacam itu dapat diajukan PK. Demikian juga halnya dalam putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dimana perbuatan yang didakwakan dinyatakan terbukti tetapi ada alasan-alasan tertentu yang membuat hakim tidak menjatuhkan pidana, maka jaksa dapat mengajukan PK.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut KUHAP tidak hanya terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan peninjauan kembali tetapi juga jaksa. Tentu alasan untuk mengajukan peninjauan kembali adalah berbeda antara apa yang diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya dengan yang diajukan oleh jaksa.

4. Alasan untuk mengajukan peninjauan kembali
Pasal 263 ayat (2) memuat daftar dasar yang dapat diajukan untuk melakukan peninjauan kembali oleh terpidana atau ahli warisnya.
a.  apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Bagi jaksa terdapat alasan untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali yaitu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (3) sebagaimana telah disinggung di atas, yaitu apabila putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap itu menyatakan bahwa suatu perbuatan yang sudah didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti dengan pemidanaan. Hal ini tentu karena mungkin ada kekhilafan hakim, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) butir c.
Kata-kata yang digunakan pada awal Pasal 263 ayat (3) seolah-olah menunjukkan bahwa semua alasan yang disebutkan dalam Pasal 263 ayat (2) akan berlaku bagi PK oleh Jaksa. Namun demikian, alasan-alasan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 263 ayat (2) butir a dan b tidak berlaku bagi jaksa. Hanya butir c dari Pasal 263 ayat (2) yang berlaku bagi jaksa untuk mengajukan PK sesuai Pasal 263 ayat (3).
Dalam Negara v Pollycarpus misalnya, jaksa mengajukan novum. Jaksa membolakbalik ketentuan dalam Pasal 263 ayat (2) butir a. Malangnya, MA dalam PK malah menerima novum yang diajukan oleh jaksa tersebut. Dalam Negara v Pollycarpus, Majelis PK MA menyatakan: “Sesuai dengan ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP, salah satu alasan diajukannya peninjauan kembali adalah apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, maka hasilnya akan menjadi putusan menjadi berbeda”
Pasal 263 ayat (2) butir a yang mengatur mengenai dasar mengajukan PK adalah untuk Terpidana dan bukan untuk Jaksa. MA mengubah Pasal 263 ayat (2) butir a KUHAP ketika menyatakan “….., maka hasilnya akan menjadi putusan menjadi berbeda”. Ini merupakan penyimpangan yang nyata yang dilakukan oleh MA.
Ini tentu aneh mengingat ketentuan dalam Pasal 263 ayat (3) secara jelas membatasi hanya terhadap putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang didalamnya dinyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti pemidanaan.
Jika dibaca sesuai Pasal 263 ayat (3) maka jaksa dapat mengajukan PK terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang tidak berupa pemidanaan karena dalam putusan dinyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan sudah terbukti tetapi tidak diikuti dengan pemidanaan yang dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata dari hakim. Jadi jaksa tidak dapat mengajukan PK kalau dalam putusan bebas hakim menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan tidak terbukti.

5.Pembatasan
Sesuai dengan uraian-uraian di atas maka hak jaksa untuk mengajukan PK sangat terbatas, yaitu hanya terhadap putusan yang dalam pertimbangannya hakim menyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Jaksa tidak dapat mengajukan PK kalau:
1.    Putusan-putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap itu ternyata ada pemidanaan.
2.    dalam putusan bebas hakim menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan tidak terbukti;
Pengajuan PK oleh Jaksa selama ini tentulah melanggar KUHAP. Maka putusan PK MA dalam Negara v Muchtar Pakpahan, dan Negara v Pollycarpus dan lain-lain merupakan kecelakaan atau bahkan dosa-dosa hukum MA terhadap korban-korban PK jaksa dalam kasaus-kasus tersebut.

6.Penutup
Sesuai dengan uraian-uraian yang disebutkan di atas maka sebagai kesimpulan penutup adalah bahwa menurut KUHAP, jaksa berhak atau dapat mengajukan PK tetapi hanya terbatas pada putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang dalam pertimbangan hukumnya dinyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti dengan suatu pemidanaan.
Oleh karena itu perlu dilakukan koreksi terhadap praktek hukum yang ada dan melakukan perbaikan-perbaikan dimana perlu di kalangan hakim, jaksa, dan advokat untuk mengatasi kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan dalam proses hukum semenjak munculnya kasus PK oleh jaksa.
MA, Jaksa Agung, dan PERADI, sebagai organisasi yang didirikan dan berfungsi mengemban amanat UU Advokat, harus bersama-sama mencari sarana hukum yang mungkin untuk membebaskan mereka yang kemudian dipidana setelah sebelumnya menurut putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tidak dipidana.


Nomor             : ----/KH/MAH/I/2016                                                                  Medan, -----------------
Lamp               : 1 (satu) berkas
Hal                  : Mohon Bantuan dan Perlindungan
                          Hukum

Kepada Yth,
Kepala Kepolisian ................................
di-
            Medan


Dengan hormat,
Untuk dan atas nama klien kami -------------, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 22 Agustus 2015 (Terlampir). Kami dari Kantor Hukum M.ARDIANSYAH HASIBUAN,SH & REKAN, berkantor di Jalan Bromo Ujung/ Jalan Selamat No.8 A Medan, dengan inimemohon bantuan dan perlindungan hukum. Adapun alasan kami mengajukan permohonan ini adalah sebagai berikut:

-          Bahwa sebagai warga negara Indonesia sudah tentu harus taat dan mematuhi ketentuan hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berazaskan Pancasila.


   
BAB  I
PENDAHULUAN
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Untuk mewujudkan pernyataan tersebut di atas, melalui TAP MPR Nomor: IV/MPR/1978, pemerintahan mengadakan usaha peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan mengadakan pembaharuan kodefikasi serta unifikasi hukum dalam rangkuman pelaksanaan secara nyata dari Wawasan Nusantara. Pembangunan hukum nasional salah satu diantaranya adalah di bidang Hukum Acara Pidana dengan tujuan agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan UUD 1945.[1]
Pembaharuan Hukum Acara Pidana dilakukan dalam rangka untuk mengganti Hukum Acara Pidana yang berasal dari Pemerintah Kolonial Belanda yang termuat dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81), serta semua peraturan pelaksanaannya dan ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan lainnya sepanjang hal itu mengenai hukum acara pidana, perlu dicabut karena sudah tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional.
Dengan pembaharuan Hukum Acara Pidana, berarti mengadakan pembaharuan dalam melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Makhamah Agung dengan mengatur hak serta kewajiban bagi mereka yang ada dalam proses pidana, sehingga dengan demikian, dasar utama negara hukum dapat ditegakkan. Konsekuensi dari pembaharuan Hukum Acara Pidana, maka Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81), serta semua peraturan pelaksanaannya dinyatakan dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mulai berlaku sejak tanggal 31 Desember 1981.


BAB  II
LANDASAN KUHAP
A.  Landasan Filosofis KUHAP:
Landasan Filosofis KUHAP adalah berdasarkan Pancasila terutama yang berhubungan erat dengan Ketuhanan dan kemanusiaan.
Dengan landasan sila Ketuhanan, KUHAP mengakui setiap pejabat aparat penegak hukum maupun tersangka/terdakwa adalah:
Sama-sama manusia yang dependen kepada Tuhan, sama manusia tergantung kepada kehendak Tuhan. Semua makhluk manusia tanpa kecuali adalah ciptaan Tuhan, yang kelahirannya di permukaan bumi semata-mata adalah kehendak dan rahmat Tuhan. Mengandung arti bahwa :
1.    Tidak ada perbedaan asasi di antara sesama manusia.
2.    Sama-sama mempunyai tugas sebagai manusia untuk mengembangkan dan mempertahankan kodrat, harkat dan martabat sebagai manusia ciptaan Tuhan.
3.    Sebagai manusia mempunyai hak kemanusiaan yang harus dilindungi tanpa kecuali.
4.    Fungsi atau tugas apapun yang diemban oleh setiap manusia, hanya semata-mata dalam ruang lingkup menunaikan amanat Tuhan Yang Maha Esa.[2]
Berdasarkan jiwa yang terkandung dalam sila Ketuhanan, cita penegakan hukum tiada lain daripada fungsi pengabdian melaksanakan amanat Tuhan, dengan cara menempatkan setiap manusia tersangka/terdakwa sebagai makhluk Tuhan yang memiliki hak dan martabat kemanusiaan yang harus dilindungi dan mempunyai hak dan kedudukan untuk mempertahankan kehormatan dan martabatnya.
Fungsi penegakan hukum yang dipercayakan aparat penegak hukum berada dalam ruang lingkup amanat Tuhan, mereka harus memilliki keberanian dan kemampuan menyimak isyarat nilai keadilan yang konsisten dalam setiap penegakan hukum. Keadilan yang ditegakkan aparat penegak hukum bukanlah keadilan semaunya sendiri, tetapi merupakan wujud keadilan yang selaras dengan keinginan dan keridhoan Tuhan Yang Maha Esa, yang mempunyai dimensi pertanggungjawaban terhadap hukum, terhadap diri dan hati nurani dan terhadap masyarakat nusa dan bangsa berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, diharapkan setiap aparat penegak hukum harus terpatri semangat kesucian moral dalam setiap tindakan penegakan hukum, mereka harus dapat mewujudkan keadilan yang hakiki. Meskipun pada prinsipnya keadilan itu tidak dapat diwujudkan secara murni dan mutlak. Manusia hanya mampu menemukan dan mewujudkan keadilan yang nisbi atau relatif. Kita menyadari bahwa untuk menegakkan keadilan menurut hukum (legal justice) adalah sangat sulit apalagi menegakkan keadilan moral (moral justice). Namun, untuk mencapai keadilan itu diperlukan adanya tolok ukur keadilan yang dicita-citakan oleh masyarakat bangsa sebagaimana halnya yang dicantumkan dalam KUHAP yaitu Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
B.  Landasan Operasional KUHAP:
Landasan Operasional KUHAP adalah TAP MPR Nomor: IV/MPR/1978 sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara di bidang Pembangunan dan Pembaharuan Hukum. Berpedoman pada TAP MPR inilah, pembuat Undang-Undang mengarahkan langkah operasi penyusunan dan perumusan KUHAP.
C.  Landasan Konstitusional KUHAP:
Landasan Konstitusional KUHAP adalah UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970.
Landasan Hukum yang terdapat dalam UUD 1945 antara lain:
-          Pasal 27 ayat 1 yang dengan tegas menyatakan bahwa segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.
-          Memberikan perlindungan pada segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
-          Dalam Penjelasan UUD 1945 ditegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan (machtstaat).
Landasan Hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 antara lain:
1.    Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 menegaskan bahwa peradilan dilakukan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan ini kemudian dikuatkan kembali dalam KUHAP pada pasal 197 KUHAP sebagai landasan filosofis.
2.    Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 menegaskan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Penjabaran pasal ini banyak terdapat dalam KUHAP seperti:
Ø Dalam pasal 50 KUHAP ditegaskan bahwa terdakwa segera mendapat pemeriksaan dan persidangan pengadilan.
Ø Dalam pasal 236 KUHAP menegaskan bahwa pelimpahan berkas perkara dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi untuk diperiksa dalam tingkat banding harus dikirim 14 hari dari tanggal permohonan banding.
Ø Dalam pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP diatur hal-hal untuk mempercepat proses dan biaya ringan seperti penggabungan perkara pidana dan tuntutan ganti rugi.
3.    Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 menegaskan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Lebih lanjut diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970: ”Tiada seorang juapun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeladahan dan pensitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal dan menurut cara-cara yang diatur dengan Undang-Undang”. Selanjutnya dijabarkan dalam Bab V KUHAP mulai dari pasal 16 sampai dengan pasal 49 KUHAP.
4.    Pada pasal 8 Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 ditegaskan pula bahwa “setiap orang yang disangka, ditahan, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan, yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap”.
Selanjutnya dalam pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 ditegaskan: “seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi”.
Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 menegaskan: “Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana disebut dalam ayat 1 dapat dipidana.
Ketentuan tersebut di atas lebih lanjut dijabarkan dalam Bab XII KUHAP mulai dari pasal 95 sampai dengan pasal 97 KUHAP.
5.    Pada pasal 36 Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 ditegaskan: ”Dalam perkara pidana, seorang tersangka terutama sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan Penasihat Hukum”. Selanjutnya ketentuan ini dijabarkan dalam Bab VII KUHAP mulai dari pasal 69 sampai dengan pasal 74 KUHAP.
Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan dasar pokok sumber konstitusional dari KUHAP yang pelaksanaan selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal KUHAP. Kemudian dapat diuji dan dikaitkan dengan landasan filosofis Pancasila dan landasan operasional GBHN TAP MPR Nomor: IV/MPR/1978 sehingga pasal-pasal KUHAP benar-benar konsisten dan sinkron dengan kedua landasan dimaksud.


BAB  III
ASAS-ASAS HUKUM DALAM KUHAP
A.  Asas legalitas (legality)
KUHAP sebagai Hukum Acara Pidana adalah undang-undang yang asas hukumnya berlandaskan asas legalitas. Pelaksanaan penerapannya harus bersumber pada titik tolak the rule of law yang berarti semua tindakan penegakan hukum harus berdasarkan ketentuan hukum dan undang-undang serta menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan diatas segala-galanya sehingga terwujud kehidupan masyarakat di bawah supremasi hukum (supremacy of law) yang harus selaras dengan ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia. Dengan demikian, setiap tindakan penegakan hukum harus tunduk di bawah ketentuan konstitusi undang-undang yang hidup di tengah kesadaran hukum masyarakat.
Sebagai konsekuensi dari asas legalitas yang berlandaskan the rule of law dan supremasi hukum (supremacy of law), maka aparat penegak hukum dilarang atau tidak dibenarkan:
Ø Bertindak di luar ketentuan hukum (undue to law) maupun undue process.
Ø Bertindak sewenang-wenang (abuse of law).
Setiap orang baik tersangka/terdakwa mempunyai kedudukan:
Ø Sama sederajat di hadapan hukum atau equality before the law.[3]
Ø Mempunyai kedudukan “perlindungan” yang sama oleh hukum atau equal protection the law.
Ø Mendapat “perlakuan keadilan” yang sama dibawah hukum, equal justice under the law.[4]
Sebagai pengecualian dari asas legalitas adalah asas “opportunitas” yang berarti meskipun seorang tersangka telah bersalah menurut pemeriksaan dan penyidikan dan kemungkinan dapat dijatuhkan hukuman, namun hasil pemeriksaan tersebut tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh penuntut umum atau dengan kata lain bahwa jaksa penuntut umum dapat mendeponir suatu perkara atas dasar pertimbangan demi kepentingan umum.
Jika kita telusuri ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHAP, ternyata asas “opportunitas” tidak lagi berlaku efektif karena sebagaimana yang diatur dalam pasal 140 ayat (2) huruf (a) dihubungkan dengan pasal 14 KUHAP, yang menentukan semua perkara yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum, penuntut umum harus menuntutnya di muka pengadilan, kecuali terdapat cukup bukti bahwa peristiwa tersebut bukan tindak pidana atau perkaranya ditutup demi hukum. Sedangkan pasal 14 huruf (h) KUHAP hanya memberi wewenang kepada penuntut umum untuk menutup perkara demi kepentingan hukum. Dengan demikian, jaksa penuntut umum tidak mendeponir suatu perkara demi kepentingan umum.
Namun demikian, pasal 32 huruf (c) Undang-Undang Kejaksaan RI Nomor 5 Tahun 1991 menentukan bahwa kejaksaan masih berwenang melakukan deponiringI dan hal sedemikian itu masih juga dipertegas oleh Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang menentukan bahwa KUHAP mengakui eksistensi perwujudan asas “opportunitas”.
Berdasarkan kenyataan ini, ada dualistis mengenai pelaksanaan asas “opportunitas” dalam KUHAP yaitu suatu sisi mengakui asas legalitas dan di sisi lain asas legalitas telah dikebiri oleh kenyataan dengan adanya pengakuan KUHAP terhadap eksistensi asas “opportunitas”. Keadaan ini akan membawa kesesatan dalam pelaksanaan KUHAP itu sendiri dan ada kemungkinan dalam praktek dengan alasan mempergunakan kepentingan umum sebagai kedok untuk mengenyampingkan suatu perkara. Terlebih lagi kepentingan umum sangat abstrak, kabur dan mengambang karena baik KUHAP maupun Undang-Undang Kejaksaan tidak ada merumuskannya secara tegas dan jelas tentang apa yang dimaksud dengan kepentingan umum. Akibatnya, dalam praktek penegakan hukum bisa terjadi nepotisme atau koncoisme dengan dalih demi kepentingan umum.
B.  Asas Keseimbangan (Balance)
Aparat penegak hukum dalam melaksanakan fungsi dan wewenang penegakan hukum tidak boleh berorientasi pada kekuasaan semata-mata. Pelaksanaan KUHAP harus berdasarkan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dengan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat. Hal ini berarti bahwa aparat penegak hukum harus menempatkan diri pada keseimbangan yang serasi antara orientasi penegakan hukum dan perlindungan ketertiban masyarakat dengan kepentingan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Aparat penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum harus menghindari perbuatan melawan hukum yang melanggar hak-hak asasi manusia dan setiap saat harus sadar dan berkewajiban untuk mempertahankan kepentingan masyarakat sejalan dengan tugas dan kewajiban menjunjung tinggi martabat manusia (human dignity) dan perlindungan individu (individual protection).
C.  Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)
Dalam penjelasan umum butir 3 huruf (c) KUHAP ditegaskan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap”. Asas praduga tak bersalah tersebut sebelumnya juga diatur dalam pasal 8 Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970. [5]
Asas praduga tak bersalah ini jika ditinjau dari segi teknis juridis ataupun dari segi teknis penyidikan merupakan penerapan acquisitoir yaitu yang menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam semua tingkat pemeriksaan adalah sebagai subyek bukan sebagai obyek pemeriksaan. tersangka/terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat, martabat dan harga diri. Sedangkan obyek pemeriksaan dalam asas acquisitoir adalah kesalahan atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa, maka ke arah itulah pemeriksaan harus ditujukan.
Sebagai lawan atau pengecualian dari asas acquisitoir adalah asas inquisitoir yang menempatkan tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan sebagai obyek yang dapat diperlakukan secara sewenang-wenang. Sistim pemeriksaan seperti ini tidak dibenarkan dalam KUHAP karena tersangka/terdakwa tidak diberikan kesempatan secara wajar untuk mempertahankan hak dan kebenarannya. Mereka diperlakukan seolah-olah telah bersalah dan tersangka/terdakwa diperlakukan sebagai obyek tanpa memperdulikan hak-hak asasi manusia dan haknya untuk membela martabat serta kebenaran yang dimilikinya.
Sebagai jaminan ditegakkan asas praduga tak bersalah dalam KUHAP, maka KUHAP telah memberikan jaminan yang tegas mengatur tentang hak-hak tersangka yaitu antara lain:
1.      Pasal 50 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan ke penuntut umum”.
2.      Pasal 50 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum” dan Pasal 50 ayat (3) KUHAP menegaskan bahwa: ”Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan”.
3.      Pasal 51 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai”.
4.      Pasal 51 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa: ”Terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya”.
5.      Pasal 52 KUHAP menegaskan bahwa: ”Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka/terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”.
6.      Pasal 53 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa: ”Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim atau ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan”.
7.      Pasal 54 KUHAP menegaskan bahwa: ”Guna kepentingan pembelaan, tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini”.
8.      Pasal 55 KUHAP menegaskan bahwa: ”Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam pasal 54, tersangka/terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya”.
9.      Pasal 56 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa: ”Setiap penasihat hukum yang ditunjuk memberikan bantuannya dengan cuma-cuma”.
10.  Pasal 58 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan pross perkara maupun tidak”.
11.  Pasal 59 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalm proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka/terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka/terdakwa untuk mndapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya”.
12.  Pasal 60 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka/terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun usaha mendapatkan bantuan hukum”.
13.  Pasal 61 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya menghubungi atau menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka/terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan”.
14.  Pasal 62 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak mengirimkan surat kepada penasihat hukumnya, dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka/terdakwa disediakan alat tulis menulis”.
15.  Pasal 62 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa: ”Surat menyurat antara tersangka/terdakwa dengan penasihat hukumnya atau sanak keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara kecuali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa surat menyurat itu disalahgunakan”.
16.  Pasal 64 KUHAP menegaskan bahwa: ”Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum”.
17.  Pasal 65 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya”.
18.  Pasal 66 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa dibebani kewajiban pembuktian”.
19.  Pasal 68 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi”.
D.  Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi (Compensatory and Rehabilitate)
Dalam pasal 95 sampai dengan pasal 97 KUHAP, sudah ada pedoman tatacara penuntutan ganti rugi dan rehabilitasi yaitu alasan yang dapat dijadikan dasar tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi disebabkan penangkapan atau penahanan antara lain:
1.         Penangkapan atau penahanan secara melawan hukum.
2.         Penangkapan atau penahanan tidak berdasarkan Undang-Undang.
3.         Penangkapan atau penahanan untuk tujuan kepentingan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum.
4.         Apabila penangkapan atau penahanan tidak mengenai orangnya (disqualification in person) artinya orang yang ditangkap atau ditahan terdapat kekeliruan, dan yang bersangkutan sudah menjelaskan bahwa orang yang ditangkap atau ditahan bukan dia, namun demikian tetap juga ditangkap atau ditahan dan kemudian benar-benar ternyata ada kekeliruan penangkapan atau penahanan itu.
Ganti Rugi Akibat Penggeledahan dan Penyitaan
Hal ini dapat terjadi karena tindakan memasuki rumah secara tidak sah menurut hukum atau perintah atau surat izin dari Ketua Pengadilan. Tuntutan ganti rugi dapat diajukan ke sidang pengadilan dalam hal perkaranya belum/tidak diajukan ke pengadilan, tetapi apabila perkaranya telah diajukan ke pengadilan, tuntutan ganti rugi diajukan ke pengadilan. Tuntutan ganti rugi ditujukan kepada negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 dengan tegas yang menyatakan dibebankan ke negara cq. Departemen Keuangan dan tata cara pembayaran sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 983/KMK.01/1993.
E.  Azas Penggabungan Pidana Dengan Ganti Rugi
Azas penggabungan perkara pidana dengan ganti rugi yang bercorak perdata merupakan hal baru dalam praktek penegakan hukum di Indonesia. KUHAP memberi prosedur hukum bagi seorang”korban”tindak pidana untuk menggugat ganti rugi yang bercorak perdata terhadap terdakwa bersamaan dengan pemeriksaan perkara pidana yang sedang berlangsung, namun:
Ø Terbatas “kerugian yang dialami” korban sebagai akibat langsung dari tindakan terdakwa.
Ø Jumlah besarnya ganti rugi yang dapat diminta hanya terbatas sebesar kerugian materiil korban (pasal 98 KUHAP).
Ø Penggabungan perkara pidana dan gugatan ganti rugi yang bersifat perdata diajukan korban sampai proses perkara pidana belum memasuki taraf penuntut umum memajukan rekuisitur atau tuntutan pidana.
Ø Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan dilakukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
Ø Putusan mengenai ganti rugi dengan sendirinya mendapat kekuatan hukum yang tetap apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum yang tetap.


BAB  IV
HUKUM ACARA PIDANA
DALAM PRAKTEK
A. Prosedur Panggilan Dalam KUHAP.
1.  Surat Panggilan
          Untuk melakukan pemeriksaan dalam tindak pidana, penyidik dan penyidik pembantu mempunyai wewenang melakukan pemanggilan terhadap :
a.        tersangka, yang karena perbuatannya atau keadaanya berdasarkan bukti permulaaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana;
b.       saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa;
c.        pemanggilan seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang sesuatu perkara pidana yang sedang diperiksa.
          Agar panggilan yang dilakukan oleh setiap aparat penegak hukum dapat dianggap sah dan sempurna, maka harus dipenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang. Dalam pemanggilan pada tingkat pemeriksaan di penyidikan diatur dalam pasal 112, 119 dan 227 KUHAP.
          Adapun bentuk dan cara pemangggilan, yaitu :
a.   Bentuk panggilan berbentuk “surat panggilan”, yang memuat antara lain :
1.    alasan pemanggilan, dalam hal ini haruslah tegas dijelaskan status orang yang dipanggil apakah sebagai tersangka atau saksi, agar memberikan kepastian hukum dan kejelasan bagi orang yang dipanggil;
2.    surat panggilan ditanda tangani pejabat penyidik (pasal 112 ayat 1)
b.   Pemanggilan memperhatikan tenggang waktu yang wajar dan layak, dengan
      jalan:
1.    memperhatikan tenggang waktu antara tanggal hari diterimanya surat panggilan dengan hari tanggal orang yang dipanggil tersebut menghadap (pasal 112 ayat 1)
2.    atau surat panggilan harus disampaikan selambat-lambatnya tiga (3) hari sebelum tanggal hadir yan ditentukan dalam surat panggilan; (penjelasan pasal 152 ayat 2 dan pasal 227 ayat 1 KUHAP).
          Bila tenggang waktu tidak terpenuhi pasal 227 ayat 1 KUHAP maka panggilan tidak memenuhi syarat untuk dianggap sah. Sehingga orang yang dipanggil dapat memilih apakah akan tetap hadir memenuhi panggilan ataukah tidak akan hadir.
          Akan tetapi dalam Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No.M.14-PW.07.03/1983 angka 18, telah memberi penegasan tenggang waktu diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dan tidak dianalogikan sesuai dengan penjelasan pasal 152 ayat 2. Sehingga pemanggilan dapat disampaikan sehari sebelum diperiksa.
2.  Tata Cara Pemanggilan :
a.          Panggilan dilakukan langsung di tempat tinggal orang yang dipanggil. Tidak boleh melalui kantor pos atau dengan sarana lain, jika alamat tempat tinggal yang bersangkutan jelas diketahui.
b.         Atau kalau tempat tinggal tidak diketahui dengan pasti atau bila petugas tidak menjumpai di alamat tempat tinggalnya, pemanggilan disampaikan di tempat kediaman mereka yang terakhir (pasal 227 ayat 1).
c.          Pemanggilan dilakukan dengan jalan bertemu sendiri dengan orang yang dipanggil (in person). Panggilan tidak dapat dilakukan dengan perantara orang lain (pasal 227 ayat 1).
d.         Petugas yang menjalankan panggilan diwajibkan membuat catatan yang menerangkan panggilan telah disapaikan dan telah diterima langsung oleh yang bersangkutan (pasal 227 ayat 1).
e.          Kedua belah pihak membubuhkan tanggal dan tanda tangan mereka, bila yang dipanggil tidak bersedia tanda tangan maka petugas mencatat alasan yang dipanggil tersebut (pasal 227 ayat 2).
f.          Jika orang yang hendak dipanggil tidak dijumpai pada tempat tinggalnya maka petugas diperkenankan menyampaikan panggilan melalui kepala desa atau jika diluar negeri negeri melalui pejabat perwakilan RI tempat yang dipanggil biasa berdiam.
g.         Memenuhi panggilan adalah kewajiban hukum.
B. Bantuan Hukum.
          Sebelum memulai pemeriksaan, penyidik “wajib” memberitahukan kepada tersangka tentang “haknya” untuk mendapatkan bantuan hukum atau tersangka wajib didampingi oleh penasehat hukumnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 KUHAP.
         
          Dalam hal ini terdapat 2 (dua) sisi tampilnya penasehat hukum mendampingi seorang tersangka, yaitu :
a.          Bantuan hukum dari penasehat hukum benar-benar murni berdasarkan “hak” yang diberikan  hukum kepadanya dengan syarat tersangka dianggap mampu mencari sendiri penasehat hukum, disamping itu juga tindak pidana tidak diancam dengan hukman mati atau hukuman 5 tahun keatas.
b.         Pemberian bantuan hukum, bukan semata-mata hak dari tersangka, akan tetapi sebagai “kewajiban” dari penyidik, dalam hal :
Ø  Tindak pidana yang diancamkan merupakan ancaman hukuman mati atau 15 tahun keatas.
Ø  Bagi mereka yang tidak mampu untuk mempunyai atau mendatangkan penasehat hukum, sedangkan ancaman hukuman 5 tahun atau lebih.
          Dalam praktek penegakan hukum berkaitan dengan kedudukan penasehat hukum maka :
Ø  Penyidik dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka “dapat” membolehkan atau penasehat hukum untuk mengikuti jalannya pemeriksaan. Namun kalau penyidik tidak menyetujuinya atau “tidak membolehkannya” penasehat hukum tidak dapat memaksakan kehendaknya untuk mengikuti jalannya pemeriksaan.
Ø  Kedudukan dan kehadiran penasehat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan penyidikan adalah “secara fasif”. Atau hanya sebagai penonton.
Ø  Kehadiran yang fasif yang boleh melihat dan mendengar jalannya pemeriksaan, hanya berlaku terhadap tersangka yang dituntut diluar kejahatan terhadap keamanan negara. Jika kejahatan terhadap keamanan negara maka kedudukan fasif penasehat hukum “dikurangi” semakin fasif.
          Sebagai ilustrasi akan dikemukakan putusan Kasasi MARI No. 367 K/Pid/1998 tanggal 29 Mei 1998 sebagai berikut :
          Bahwa La Noki Bin La Kede telah diajukan di persidangan dengan dakwaan melanggar pasal 340, 338 dan 351 (3) KUHP. Dalam tingkat Pengadilan Negeri La Noki dijatuhi hukuman selama 12 tahun penjara dan putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan tinggi. Akan tetapi pada tingkat kasasi ternyata La Noki Bin La Kede justru dinyatakan bebas demi hukum oleh MARI.
          Adapun pertimbangan yang dikemukakan oleh Mahkamah Agung adalah bahwa ternyata selama dalam pemeriksaan terdakwa dalam tingkat penyidikan dan dalam tingkat penuntutan terdakwa tidak ditunjuk penasehat hukum untuk mendampinginya, sehingga bertentangan dengan ketentuan pasal 56 KUHAP, sehingga Berita Acara Pemeriksaan Penyidik dan Penuntut Umum dan oleh karena itu Penuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima, walaupun pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa didampingi oleh penasehat hukumnya.
          Oleh karenanya Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi menyatakan tidak dapat diterima tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan membebaskan terdakwa dari semua penahanan.
C.  Contoh Surat Kuasa Khusus.
          Dalam mendampingi tersangka diperiksa oleh penyidikan, maka kehadiran penasehat hukum untuk bertindak haruslah berdasarkan dengan terlebih dahulu adanya surat kuasa atau penunjukan dari tersangka dimaksud.
          Dengan contoh sebagai berikut :


SURAT  KUASA  KHUSUS
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama                                      : ..................................................................................
Tempat dan Tgl Lahir             : ..................................................................................
Pekerjaan                                : ..................................................................................
Alamat                                    : ..................................................................................
Dengan ini memberikan kuasa kepada :
Nama                                      : ..................................................................................
Pekerjaan                                : ..................................................................................
Alamat                                    : ..................................................................................
Khusus
Untuk memberikan bantuan hukum di dalam proses penyidikan kepada pemberi kuasa (tersangka) yang dipersangkakan telah melakukan tinda pidana .........................................................
Sebagai dimaksud dalam pasal ……………………………… berdasarkan :
1. Laporan Polisi No. Pol : ……………………….. tgl ……………………………
2. ……………………………………………………………………………………
3. ……………………………………………………………………………………
Kuasa ini tidak diberikan hak kepada penerima kuasa untuk mengalihkannya kepada orang lain (tanpa hak substitusi), kecuali atas persetujuan pemberi kuasa dan/atau persetujuan penyidik/penyidik pembantu yang telah menunjuk penerima kuasa sebagai penasehat hukum berdasarkan surat penetapan penunjukan penasehat hukum No. Pol :……………………….. tgl …………………..
                                                                     ………………, ………………. 2007
Yang menerima kuasa,                                     Yang memberi kuasa/tersangka
                                               Materai
                                               6.000
( …………………… )                                      ( …………………………….. )


C.  Berita Acara Pemeriksaan Saksi – Tersangka
            Adapun cara pemeriksaan terhadap tersangka di muka penyidik, antara lain:
1.         Jawaban atau keterangan yang diberikan tersangka kepada penyidik, diberikan tanpa tekanan dari siapapun juga dan dengan bentuk apapun juga.
2.         Penyidik pencatat dengan seteliti-telitinya keterangan tersangka.
            Keterangan tersangka tersebut selanjutnya :
Ø  Di catat dalam berita acara pemeriksaan (BAP) oleh penyidik
Ø  Setelah selesai, ditanyakan atau diminta persetujuan dari tersangka tentang kebenaran isi berita acara tersebut. Persetujuan ini bisa dengan jalan membacakan isi berita acara, atau menyuruh bacakan sendiri berita acara pemeriksaan kepada tersangka, apakah dia telah menyetujui isinya atau tidak. Bila tidak harus memberitahukan bagian mana yang tidak setuju.
Ø  Apabila tersangka telah menyetujui isi keterangan yang tertera dalam berita acara, tersangka dan penyidik masing-masing membubuhkan tanda tangan mereka dalam berita acara.
Ø  Apabila tersangka tidak mau membubuhkan tanda tangannya dalam berita acara pemeriksaan, penyidik membaut catatan berupa penjelasan atau keterangan tentang hal itu, serta menyebut alasan yang menjelaskan kenapa tersangka tidak mau menanda tanganinya.
3.         Jika tersangka yang hendak diperiksa bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang akan melakukan pemeriksaan, penyidik yang bersangkutan dapat membebankan pemeriksaan kepada penyidik yang berwenang di daerah tempat tinggal terangka. (pasal 119)
4.         Tersangka yang tidak dapat hadir menghadap penyidik. Menurut pasal 113, pemeriksaan dilakukan dengan cara :
Ø Penyidik sendiri yang datang melakukan pemeriksaan ke tempat kediaman tersangka.
Ø Hal ini dimungkinkan apabila tersangka dengan alasan yang wajar dan patut tidak dapat datang ke tempat pemeriksaan yang ditentukan penyidik.
            Berita acara pemeriksaaan (BAP) penyidik pada umumnya memuat berbagai hasil tindakan penyidik yang masing-masing dituangkan dalam bentuk Berita Acara. Dalam berita acara tersebut harus jelas tercantum nama pejabat yang melakukan tindakan yang terkait yang dibuat atas kekuatan sumpah jabatannya dan harus terdapat tanda tangan pejabat yang bersangkutan secara semua pihak yang terlibat dalam tindakan penyidik yang bersangkutan.
            Berita acara harus dibuat untuk setiap tindakan berikut ini dan harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan undang-undang untuk itu, berupa :
·         Pemeriksaan tersangka
·         Penangkapan, penahanan
·         Penggeledahan, pemasukan rumah
·         Penyitaan benda
·         Pemeriksaan surat
·         Pemeriksaan saksi
·         Pemeriksaan di tempat kejadian
·         Pelaksanaan penetapan dan lain tindakan yang secara khusus ditentukan oleh undang-undang
Dalam pelaksanaan penggeledahan, pemasukan rumah dan penyitaan barang oleh penyidik maka sebelum dilaksanaakan harus terlebih dahulu mendapat izin dari pengadilan setempat kecuali dalam hal tertangkap tangan.
D.  Pencabutan Keterangan BAP
Dalam persidangan dipengadilan, suatu keterangan yang diberikan dalam BAP penyidikan dapat juga dicabut oleh terdakwa.
Dalam hal ini yurisprudensi MARI No. 1651K/Pid/1989 tanggal 16 September 1992 menyatakan : keterangan terdakwa dalam BAP kepolisian yang kemudian ditarik kembali dalam suatu persidangan dengan alasan terdakwa telah dipaksa dan dipukuli oleh penyidik, dan alasan ini dibenarkan pula oleh saksi dan bukti baju yang bercak darah, maka penarikan keterangan yang demikian itu adalah syah karena didasari alasan yang logis sehingga keterangan terdakwa dalam BAP tidak mempunyai nilai pembuktian menurut KUHAP.
Demikian juga dengan Yurisprudensi MARI No. 1174K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 : Penyidik melakukan penyidikan terhadap beberapa orang yang didakwa melakukan tindak pidana yan sama, hasil penyidikan dituangkan dalam BAP secara terpisah. Terdakwa dalam BAP I menjadi saksi dalam BAP II dan sebaliknya. Mereka bergantian menjadi terdakwa dan juga saksi satu sama lainnya (menjadi saksi mahkota). Dalam persidangan pengadilan para terdakwa dan para saksi mencabut semua keterangan dalam penyidikan. Pencabutan tersebut dapat diterima hakim karena ternyata ada tekanan phisik dan psikis. Secara yuridis pemecahan perkara bertujuan menjadikan terdakwa sebagai saksi mahkota terhadap terdakwa lainnya adalah bertentangan dengan hukum acara pidana yan berprinsip menjunjung tinggi HAM.
Yurisprudensi MARI No. 429K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 : pencabutan keterangan terdakwa dalam BAP dengan alasan karena adanya penyiksaan baik psikis maupun phisik terhadap terdakwa dan para saksi tersebut, hal tersebut dapat  diterima hakim sehingga keterangan dalam BAP tersebut tidak bernilai sebagai alat bukti.
Akan tetapi berita acara pemeriksaan penyelidikan juga bisa mempunyai nilai pembuktian yang sah apabila telah diakui kebenarannya oleh terdakwa. Hal ini terlihat dalam praktek hukum sebagaimana Yurisprudensi No. 2677K/Pid/1993 tanggal 7 Februari 1996 yaitu : Karena terdakwa telah mengakui dan membenarkan keterangan saksi Fransiska Mei Iku yang dibacakan dari berita acara penyidikan walaupun tanpa didahului penyumpahan saksi ketika disidik, bahwa ia telah mencuri barang bukti cincin emas dan menggadaikan kepadanya, maka keterangan tersebut mempunyai nilai pembuktian yang sah. Sehingga terdakwa telah terbukti dengan sah dan meyakinkan yaitu mengambil barang milik orang lain secara melawan hukum dan untuk memilikinya barang yang diambil.
E.  Surat Penangguhan Penahanan.
            Menurut pasal 1 angka 21 KUHAP disebutkan penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serata menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana.
Adapun syarat penahanan menurut pasal 21 KUHAP, yaitu :
1.         Terhadap tersangka atau terdakwa harus dengan bukti yang cukup ada dugaan keras bahwa ia telah melakukan tindak pidana.
2.         Harus ada kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana dan
3.         Tersangka atau terdakwa harus melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal :
a.          Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara selama lima tahun atau lebih
b.         Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 (3), 296, 335 (1), 351(1), 353 (1), 372, 378, 379 a, 453, 545, 455, 459, 480, 506 KUHAP, dst.
Penahanan dilakukan terhadap tersangka dengan surat perintah penahanan yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang disangkalkan. Selanjutnya tembusan surat penahanan harus diberikan kepada keluarga yang akan ditahan.
Selama tersangka berada dalam tahanan, maka tersangka atau keluarganya maupun penasehat hukumnya :
Ø Dapat mengajukan keberatan atas penahanan yang dilakukan
Ø Dapat mengajukan keberatan atas jenis penahanan yang dilakukan.
Dalam pasal 22 KUHAP ditentukan jenis penahanan yaitu penahanan rumah tahanan negara (Rutan), penahanan rumah dan penahanan kota. Dalam hal ini tersangka, keluarga atau penasehat hukumnya dapat mengajukan keberatan atau permohonan agar terhadapt tersangka dilakukan pengalihan jenis tahanan.
Ø Penyidik berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu ke yang lain (pasal 23 ayat 1)
Ø Dengan kewenangan pasal 23 dan 123, penyidik dapat mengabulkan permintaan atau keberatan tersangka, keluarga atau penasehat hukumnya.
Dalam terjadinya kesalahan yang dilakukan dalam penyidikan terhadap tersangka, maka terbuka peluang bagi tersangka atau keluarganya atau juga penasehat hukumnya untuk mengajukan yang dikenal dengan istilah praperadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 10 KUHAP, dan dipertegas dalam pasal 77 KUHAP yaitu :
“ Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang :
a.          sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
b.         Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
c.          Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Pihak yang dapat mengajukan permintaan pemeriksaaan praperadilan yaitu :
1. tersangka, keluarga atau kuasanya (pasal 79 KUHAP)
2. penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan (pasal 80 KUHAP)
3. penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan
4. oleh tersangka, ahli warisnya atau kuasanya (pasal 95 ayat 2 KUHAP)
5. oleh tersangka tau pihak ketiga yang berkepentingan (pasal 81 KUHAP)
§  pengajuan dan tata cara pemeriksaan praperadilan :
§  permohonan ditujuakan kepada ketua pengadilan negeri
§  permohonan deregister dalam perkara praperadilan
§  ketuga pengadilan negeri serta menunjuk hakim dan paniteranya
§  pemeriksaan dilakukan dengan hakim tunggal
§  tata cara pemeriksaaan praperadilan :
                 a. penetapan hari sidang 3 hari sesudah deregister (pasal 82 ayat 1
    huruf a KUHAP)
                 b. pada hari penetapan sidang sekaligus hakim menyampaikan
                     panggilan
                 c. selambat-lambatnya 7 hari putusan sudah dijatuhkan (pasal 82
    ayat 1 huruf c KUHAP)
            Isi putusan praperadilan (pasal 82 ayat 2 dan 3 KUHAP), antara lain :
a.          Sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan
b.         Sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan
c.          Diterima atau ditolaknya permintaan ganti rugi kerugian dan rehabilitasi
d.         Perintah pembebasan dari penahanan
e.          Perintah melanjutkan penyidikan atau penuntutan
f.          Besarnya ganti rugi
g.         Berisi pernyataan pemulihan nama baik tersangka
h.         Memerintahkan segera mengembalikan sitaan


BAB  IV
ACARA PERSIDANGAN
A. Surat Kuasa
            Secara umum pengertian surat kuasa adalah suatu dokumen dimana isinya seorang menunjuk dan memberi wewenang pihak lain untuk melakukan perbuatan hukum untuk dan atas namanya. Tanpa surat kuasa penasehat hukum tidak berwenang melakukan perbuatan hukum apapun yang mengatasnamakan seseorang dalam menyelesaikan suatu perkara.
            Ditinjau dari isinya, maka surat kuasa dapat dibedakan menjadi 2 yaitu surat kuasa khusus dan surat kuasa umum. Surat kuasa khusus adalah kuasa yang menerangkan bahwa pemberian kuasa hanya berlaku untuk hal-hal tertentu saja. Sedangkan surat kuasa umum adalah surat kuasa yang menerangkan bahwa pemberian kuasa tersebut hanya untuk hal-hal yang bersifat umum saja.
Secara umum ciri-ciri surat kuasa adalah surat kuasa tertera tanggal, surat kuasa ditanda tangani, nama dan identitas pemberi kuasa, nama dan identitas penerima kuasa, hal-hal atau perbuatan hukum yang dikuasakan, ketentuan pelimpahan kuasa (substitusi) dan tanda tangan pemberi kuasa dan penerima kuasa.
            Dalam praktek hukum tidak ada format baku yang berlaku seragam mengenai isi dan bentuk surat kuasa, semua tergantung pada masing-masing pihak dalam membuat surat kuasa antara penasehat hukum dan pemberi kuasa.
            Berikut ini akan diberikan contoh surat kuasa khusus untuk mendampingi terdakwa dalam persidangan di pengadilan.
SURAT KUASA KHUSUS
Yang bertanda tangan dibawah ini :
            Nama               : ……………………………………….`
            Alamat            : ……………………………………….
Dengan ini menerangkan memberi kuasa kepada :
                        ………………………… dan ………………………………
                                    Advokat dan Penasehat Hukum
                        Berkantor di jalan …………………………………………..
                        Baik secara bersama-sama maupun masing-masing sendirian.
Khusus
Untuk mendampingi dan memberi advis-advis hukum terhadap Pemberi Kuasa selaku Terdakwa dalam tindak pidana diduga melakukan ………………………….. sebagaimana dimaksud dalam pasal …………. KUH Pidana dalam perkara No.___/Pid. B/2007/PN.Mdn.
Dan untuk itu :
-          Untuk hadir dan menghadap di persidangan Pengadilan Negeri Medan
-          Untuk mendampingi dan memberi advis-advis hukum serta memajukan pembelaan-pembelaan demi kepentingan hukum pemberi kuasa di hadapan persidangan Pengadilan Negeri Medan
-          Untuk mengajukan bukti-bukti dan saksi-saksi yang diperlukan dalam perkara pidana tersebut.
-          Untuk mengajukan eksepsi dan pledoi terhadap surat dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan
-          Untuk melakukan perbuatan-perbuatana lain yang dianggap perlu guna melaksanakan kuasa ini
Demikian surat kuasa ini diperbuat dengan sebenarnya dengan hak subtitusi kepada pihak lain.
Medan,        April 2007
Yang menerima kuasa                                                 Yang memberi Kuasa


B. Panggilan sidang
            Apabila seorang terdakwa hendak diperiksa dipersimpangan, penuntut umum harus “menghadirkan” terdakwa dengan jalan “memanggil” terdakwa. Penuntut umum diberi wewenang untuk memanggil terdakwa supaya hadir pada hari, tanggal, yang ditentukan dan tempat persidangan yang telah ditentukan. Ini berarti tanpa ketidakhadiran terdakwa dianggap tidak sah. Kalau terdakwa tidak dapat dihadirkan maka persidangan diundurkan pada hari lain untuk memberi kesempatan penuntut umum melakukan pemanggilan dan menghadirkan terdakwa.
Untuk sahnya suatu pemanggilan :
1.         Panggilan berbentuk surat panggilan (pasal 145 ayat 1 KUHAP).
Memuat antara lain : tanggal, hari serta jam sidang, temapt gedung
persidangan, untuk perkara apa ia dipanggil.
2.         Pemanggilan harus disampaikan
a. terdakwa berada diluar tahanan :
     - pemanggilan disampaikan secara langsung kepada terdakwa di alat tempat
       tinggal
     - bila tidak diketahui, surat panggilan disampaikan kepada terdakwa
     - bila tidak ada, surat pemanggilan disampaikan melalui kepada desa daerah
        hukum tempat tinggal terakhir terdakwa (pasal 145 ayat a (2))
     - surat panggilan “tempelan” bila tidak diketahui atau tidak dikenal.
b. terdakwa berada dalam tahanan surat panggilan dilakukan melalui pejabat
    Rutan (pasal 145 ayat 3)
3.         Surat tanda penerimaan (pasal 145 ayat 4)
4.         Tenggang waktu penyampaian surat panggilan
5.         Surat panggilan harus memuat “dakwaan”
C. Pembacaan Surat Dakwaan.
            Surat dakwaan bagi terdakwa berfungsi untuk mengetahui sejauhmana terdakwa dilibatkan dalam persidangan. Dengan memahami surat dakwaan yang dibuat jaksa penuntut umum maka surat dakwaan tersebut adalah dasar pembelaan bagi dirinya sendiri. Sedangkan bagi hakim sebagai bahan (objek) pemeriksaan dipersidangan yang akan memberi corak dan warna terhadap keputusan pengadilan yang akan dijatuhkan.
            Bagi jaksa penuntut umum, surat dakwaan menjadi dasar surat tuntutan (requisitori). Sesudah pemeriksaan selesai (ditutup) oleh hakim, maka penuntut umum membuat suatu kesimpulan bagian-bagian mana dan pasal-pasal mana dari dakwaan yang dinyatakan terbukti.
            Syarat-syarat surat dakwaan, ada 2 (dua) yaitu :
a.  Syarat formal (pasal 143 ayat (2) . KUHAP
Antara lain memuat nama lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaan, serta pendidikan terdakwa.
Tidak terpenuhinya syarat formil ini tidak mengakibatkan surat dakwaan batal demi hukum (absolute nietig) karena tidak tegas diatur dalam undang-undang tetapi dapat dibatalkan.
b.  Syarat materiil (pasal 143 ayat (2) b. KUHAP, meliputi :
1.  uraian secara cermat tindak pidana yang didakwakan
2.  uraian secara jelas tindak pidana yang didakwakan
3.  uraian secara lengkap tindak pidana yang didakwakan
4.  waktu tindak pidana dilakukan
5.  tempat tindak pidana dilakukan
Bilamana syarat-syarat materiil ini tidak dipenuhi maka surat dakwaaan batal demi hukum (pasal 143 ayat 3 KUHAP).
D.  Eksepsi.
            Eksepsi adalah keberatan yang diajukan terdakwa dan atau penasehat hukumnya terhadap syrat hukum formil, belum memasuki pemeriksaan hukum materil. Pengajuan eksepsi diberikan kepada terdakwa setelah jaksa penuntut umum selesai membacakan surat dakwaan. Majelis hakim akan menanyakan dan memberi kesempatan kepada terdakwa atau penasehat hukum apakah terdakwa akan menanggapi / keberatan terhadap dakwaan jaksa penuntut umum ataukah dalam bentuk eksepsi.
            Bila terdakwa atau penasehat hukumnya tidak mengajukan keberatan / tanggapan terhadap surat dakwaaan maka persidangan akan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi-saksi.
            Ada tiga hal yang menjadi objek eksepsi sebagaimana yang dimuat dalam pasal 156 ayat 1 KUHAP yaitu :
1. Pengadilan tidak berwenang mengadili perkara, meliputi :
-     Keberatan tidak berwenang mengadili secara relatif  (competentie relatif)
-     Keberatan tidak berwenang secara absolute (competentie absolute)
2. Dakwaaan tidak dapat diterima, antara lain :
-     apa yang didakwakaan terhadap terdakwa bukan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran
-     apa yang didakwakaan kepada terdakwa telah pernah diputus dan telah mempunyai kekutan hukum tetap (nebis in idem)
-     apa yang didakwakaan kepada terdakwa telah lewat waktu atau kadaluarsa
-     apa yang didakwakaan kepada terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang dilakukannya
-     apa yang didakwakaan kepada terdakwa bukan merupakan tinda pidana akan tetapi termasuk perselisihan perdata
-     apa yang didakwakaan kepada terdakwa adalah “tindak pidana aduan” atau “klacht delicten”, sedang orang yang berhak mengadu tidak pernah menggunakan haknya.
3. Surat dakwaan harus dibatalkanm,
    dalam hal ini karena tidak memenuhi syarat formil seperti yang ditentukan pasal
    143 ayat 2 huruf a.
            Sebenarnya eksepsi mengenai surat dakwaan tidak membawa efek, karena andai kata dakwaan ditolak jaksa penuntut umum masih bisa memperbaiki kembali karena belum memeriksa pokok perkara. Kecuali bilamana “putusan pembatalan surat dakwaan” setelah selesai pemeriksaan materi perkara oleh pengadilan negeri atau putusan pengadilan tinggi ata putusan Mahkamah Agung.


E. Acara Pemeriksaan.
            1.         formalitas persidangan.
                        Prinsip pemeriksaan dalam persidangan pidana antara lain :
-       Prinsip pemeriksaan terbuka untuk umum
-       Hadirnya terdakwa dalam persidangan
-       Hakim ketua sidang memimpin persidangan
-       Pemeriksaan dalam sidang secara langsung dengan lisan
-       Wajib menjaga pemeriksaaan secara bebas
-       Pemeriksaan lebih dahulu mendengar keterngan saksi
Proses pemeriksaan persidangan :
1. Pemeriksaan identitas terdakwa, mengenai :
-       nama lengkap
-       tempat lahir
-       umur dan tanggal lahir
-       jenis kelamin
-       kebangsaan
-       tempat tinggal
-       agama
-       pekerjaan
-       pendidikan terakhir
2. Memperingatkan terdakwa
3. Pembacaan surat dakwaan
4. Menanyakan tentang isi surat dakwaan
5. hak mengajukan eksepsi
6. pemeriksaan saksi
7. pemeriksaan terdakwa
8. pemeriksaan ahli (bila diperlukan)
            Berkaitan dengan pemeriksaan saksi menurut Yurisprudensi MARI NO. 1691K/Pid/1993 tanggal 20 Maret 1994 : Tiada manfaatnya menghadirkan dan mendengarkan keterangan para saksi sebanyak-banyaknya yang secara kwantitatif telah melampaui batas minimum pembuktian, namun secara kualitatif tidak dapat dipakai sebagai alat bukti yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa, sesuai dengan yang diatur ex pasal 185 (4), (6) KUHAP.
            Berkaitan dengan barang bukti menurut MARI No. 115K/Kr/1972 tanggal 23 Mei 1973 yaitu Yang dimaksud dengan barang bukti dalam persidangan ialah barang bukti yang resmi diajukan oleh jaksas kepada hakim dalam persidangan.
F.  Pembacaan Surat Tuntutan/Requisitoir.
            Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana (pasal 182 (1) KUHAP). Pemeriksaan dapat dinyatakan selesai, apabila :
a.        Semua alat bukti telah rampung diperiksa (menurut pasal 184 ayat 1 mengenai alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa).
b.       Semua barang bukti yang ada telah diperlihatkan kepada terdakwa maupun saksi-saksi sekaligus menanyakan pendapat mereka terhadap barang bukti tersebut.
c.        Demikian juga surat-surat yang ada maupun berita acara yang dianggap penting sudah dibacakan dalam sidang pengadilan.
Mengenai surat tuntutan maka surat tuntutan berisi bagian-bagian mana dan ketentuan-ketentuan pidana yang didakwakan terhadap terdakwa yang telah terbukti dan disertai dengan penjelasan dari setiap unsur dari delik yang didakwakan dan dengan demikian surat tuntutan adalah gambaran (visualisasi) dari tuntutan hukum yang akan dimohonkan kepada hakim.
            Bagi terdakwa surat tuntutan menjadi bahan untuk pembelaan, karena terdakwa dapat meng-caunter argumentasi yang dimuat jaksa penuntut umum dalam surat tuntutan, bilamana tuntutan pemidanaan.
            Bagi hakim surat dakwaan dapat menjadi bahan atau memberi corak terhadap putusan yang dijatuhkan dan juga bahan confirmasi terhadap fakta-fakta yang ditemukan dengan yang menjadi bahan bagi keyakinannya.
            Penyusunan surat tuntutan adalah suraut karya yurudis, ilmiah dan seni karena surat tuntutan harus dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis dengan dukungan ilmiah yang disusun dalam bahasa dan tata bahasa yang baik.
G.  Pledoi / Pembelaan.
            Setelah jaksa penuntut umum selesai membacakan surat tuntutannya maka giliran diberikan hak kepada terdakwa dan atau penasehat hukumnya untuk mengajukan pembelaan (pledoi) (pasal 182 KUHAP).
            Pembelaan (pledoi) bertujuan untuk memperoleh putusan hakim yang membebaskan terdakwa dari segala dakwaan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum ataupun setidak-tidaknya hukumana pidana seringan-ringannya.
            Dalam pasal 182 KUHAP, dinyatakan :
a.        Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana
b.       Selanjutnya terdakwa dan atau penasehat hukum, mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat hukumnya selalu mendapat giliran terakhir.
c.        Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakuan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan.
            Dalam mengajukan pembelaan/pledoi biasanya terdakwa dan atau penasehat hukumnya mengajukan tanggapan, antara lain :
Ø   Surat dakwaan jaksa penuntut umum kabur
Ø   Jaksa penuntut umum keliru dalam menerpakan undang-undang atau pasal-pasal yangdidakwakan
Ø   Jaksa penuntut umum keliru melakukan analisa terhadap unsur-unsur delik yang didakwakan dan penerapan terhadap perbuatan terdakwa yang dipandang terbukti
Ø   Jaksa penuntut umum keliru dalam menilai alat-alat bukti atau menggunakan alat bukti yang saling tidak mendukung
Ø   Delik yang didakwakan adalah delik materil bukan formil
Ø   Mengajukan alibi pada saat terjadinya perbuatan pidana
Ø   Perbuatan terdakwa bukanlah perbuatan pidana tetapi perbuatan perdata
Ø   Barang bukti yang diajukan bukanlah milik terdakwa, dan lain sebagainya sesuai dengan kasus yang dihadapi.
            Berkaitan dengan alibi, dalam yurisprudensi MARI No. 429K/Pid/1995 : Alibi yang dikemukakan oleh terdakwa bahwa ia pada saat dilakukannya delik oleh para saksi (menjadi terdakwa dalam perkara lain) berada di tempat lain, maka alibi ini dapat diterima oleh hakim, karena alibi tersebut dibenarkan oleh para saksi yang keterangannya bersesuaian satu dengan lainnya, dan diperkuat pula adanya surat bukti (buku jurnal). Dengan adanya alibi tersebut, maka dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan delik sebagaimana didakwakan jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya.
H.  Replik (oleh Jaksa)
Dalam menyusun jawaban atas pembelaan (replik) dari terdakwa atau penasehat hukumnya, jaksa penuntut umum harus mampu mengantisipasi arah dan wujud serta materi pokok dari pemelaan terdakwa dan penasehat hukumnya dalam replik tersebut.
Jaksa penuntut umum harus menginventarisir inti (materi pokok) pembelaan yang diajukan terdakwa atau penasehat hukumnya dalam repliknya sebagai bantahan/sanggahan atas pembelaan terdakwa atau penasehat hukumnya.
I.  Duplik
Setelah jaksa penuntut umum mengajukan replik di persidangan, maka selanjutnya giliran terdakwa dan atau penasehat hukumnya untuk menanggapi replik dari jaksa penuntut umum tersebut. Tanggapan seperti ini lazim disebut sebagai “duplik”.
Sebagai penutup dari replik dan duplik dibuat suatu kesimpulan yang menyimpulkan semua tanggapan dan tangkisan.
Sebelum majelis hakim mengambil sikap dan menyusun keputusan, biasanya majelis hakim memberikan kesempatan kepada terdakwa apakah masih ada yang perlu disampaikan misalnya mohon keringanan hukum atau mohon keputusan yang seadil-adilnya.


J.  Acara Pembacaan Putusan.
Setelah pemeriksaan dinyatakan ditutup, hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan berkaitan dengan tindak pidana yang disidangkan tersebut.
Bertitik tolak dari kemungkinan-kemungkinan hasil penilaian diatas, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan mengenai suatu perkara, bisa berbentuk :
1.         Putusan bebas (vrij spraak)
2.         Putusan lepas dari segala tuntutan hukum
3.         Putusan pemidanaan
4.         Penetapan tidak berwenang mengadili
5.         Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima
Hal-hal yang harus dimuat dalam suatu putusan (pasal 197 KUHAP) yaitu :
a.          Berkepala : Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
b.         Identitas terdakwa
c.          Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan penuntut umum
d.         Pertimbangan yang lengkap
e.          Tuntutan pidana penuntut umum
f.          Peraturan undang-undang yang menjadi dasar pemidanaan
g.         Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal
h.         Pernyataan kesalahan terdakwa
i.           Pembebanan biaya perkara dan penentuan barang bukti
j.           Penjelasan tentang surat palsu
k.         Perintah penahanan, tetap dalam tahanan atau pembebasan
l.           Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera
Kekeliruan pengetikan huruf g dan I tidak mutlak membatalkan putusan,
Kekeliruan penulisan atau pengetikan terhadap huruf b, c, d, j, k dan l yaitu :
ü   Tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum
ü   Tetapi kekeliruan dan kesalahan dalam penulisan atau pengetikan itu dapat diperbaiki.
Kekeliruan penulisan atau pengetikan huruf a, e, f, dan h yaitu :
ü   Dapat mengakibatkan putusan batal demi hukum
ü   Kelalaian mencantumkannya mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Dalam yurisprudensi MARI No. 793K/Pid/1990 tanggal 16 Maret 1993 : menurut pasal 197 KUHAP, ditentukan bahwa setiap pemidanan hakim wajib mencamtukan dalam putusannya rumusan tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam tuntutan jaksa, ex pasal 197 ayat 1 huruf e KUHAP. Bilamana hakim lalai memuat tuntutan pidana (requisitoir) jaksa dalam putusannya maka akibat hukumnya adalah putusan hakim tersebut menjadi batal demi hukum.
            Begitu juga dengan barang bukti, Menurut Yurisprudensi MARI No. 129K/Kr/1969 tanggal 17 Juli 1971 menyebutkan : Tidak memberi keputusan barang bukti (surat) yang diajukan di muka sidang dan memberi keputusan atas sesuatu barang yang tidak diajukan sebagai barang bukti di muka sidang tidaklah mengakibatkan batalnya putusan. Judex factie tidak berwenang memberi putusan terhadap barang yang tidak diajukan di muka sidang.
            Dengan tidak mempertimbangkan dasar dan perampasan barang bukti, oleh karena kedua keputusan tersebut sebagai kurang beralasan harus dibatalkan (Yurisprudensi MARI No. 89K/Kr/1968 Februari 1969).
            Sesudah putusan pemidanaan diucapkan, hakim ketua sidan wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang apa yang menjadi haknya, yaitu :
a.          Hak segera menerima atau segera menolak isi putusan
b.         Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan yaitu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat 2 KUHAP)
c.          Hak meminta penangguhan pelaksanaan putusan dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan (pasal 169 ayat 3 KUHAP jo. UU Grasi)
d.         Hak meminta banding dalam tenggang waktu tujuh hari setelah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (pasal 196 ayat (3) Jo. Pasal 233 ayat 2 KUHAP)
e.          Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam butir a (menolak putusan) dalam waktu yang ditentukan dalam pasal 235 ayat 1 KUHAP yang menyatakan bahwa “selama perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara it utidak boleh diajukan lagi (pasal 196 ayat 3 KUHAP).


BAB  V
UPAYA HUKUM
A.  Tingkat Banding (pasal 233-243 KUHAP)
Dasar hukum pengajuan banding diatur dalam pasal 67 KUHAP, yang berbunyi :
“ Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum putusan pengadilan dalam acara cepat “
Banding merupakan sarana penting untuk melakukan bantahan/sanggahan terhadap putusan pengadilan negeri yang dianggap tidak tepat karena :
·          Kelalaian dalam penerapan hukum acara
·          Kekeliruan melaksanakan hukum
·          Adanya kesalahan dalam pertimbangan hukum, hukum pembuktian dan amar putusan pengadilan pertama.
Banding dapat dikatakan suatu judicium novum (pemeriksaan baru) karena jika dipandang perlu Pengadilan Tinggi mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum tentang apa yang ingin diketahui oleh Pengadilan Tinggi. Tidak tertutup kemungkinan pada peradilan tingkat ulangan dimajukan saksi, keterangan ahli atau alasan-alasan baru (novum) yang ternyata belum diungkapkan dalam pemeriksaan tingkat pertama.
            Yang menjadi sasaran (objek) pemeriksaan tingkat banding adalah berkas perkara yang diterima dari Pengadilan Tinggi, yang terdiri dari :
a.        Surat bukti yang merupakan lampiran dari berkas perkara
b.       Berita acara pemeriksaan di sidang pengadilan negeri
c.        Berita acara pemeriksaan dari penyidik
d.       Semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu termasuk putusan surat dakwaan, dan
e.        putusan
e.        pengadilan negeri
Tenggang waktu pengajuan banding ditentukan hanya 7 (tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan atau dalam hal terdakwa tidak hadir dihitung setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa. Dalam pasal 228 KUHAP dinyatakan “jangka atau tenggang waktu menurut undang-undang ini mulai diperhitungkan pada hari berikutnya”
            Hak pengajuan permintaan banding itu dianggap gugur apabila tidak memanfaatkan tenggang waktu 7 (tujuh) hari itu untuk mengajukan permintaan banding yang membawa konsekwensi hukum bahwa yang bersangkutan dianggap telah menerima putusan pengadilan negeri yang bersangkutan.
A.1. Memori banding
Memori banding adalah risalah atau tulisan yang memuat suatu penjelasan. Pihak yang mengajukan banding memuat memori banding untuk menanggapi putusan pengadilan tingkat pertama dan mengajukan hal-hal yang dianggap ada fakta-faktanya atau unsur-unsur yang luput dari pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya atau terdakwa merasa hukuman (starafmat) yang dijatuhkan terlalu berat.
            Dalam hal ini peranan memori banding yang didukung oleh data dan dikaitkan dengan abstrak hukum sangat menentukan untuk pertimbangan hakim banding dalam menjatuhkan putusan. Walaupun memori banding bukanlah suatu keharusan untuk diajukan oleh pihak yang mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri. Karena dalam tingkat banding, hakim wajib untuk membaca kembali seluruh berkas perkara yang dimohonkan banding tersebut.
A.2. Kontra memori banding
Kontra memori banding adalah suatu tulisan yang berupa tanggapan terhadap memori banding atau dengan kata lain kontra banding adalah bertujuan untuk meng-counter memori banding. Makna kontra memori banding untuk menanggapi alasan-alasan yang dimuat dalam momori banding. Dan kontra memori banding ini pada hakekatnya mendukung keputusan pengadilan negeri tingkat pertama.
            Akibat dari pembandingan atas suatu putusan pengadilan negeri, akan mewujudkan pendirian yang dapat berupa :
a.        Menguatkan putusan pengadilan negeri yang bersangkutan.
Dalam hal ini berarti semua hasil penilaian dan penghargaan pengadilan negeri yang bersangkutan adlah conform dengan pendirian pengadilan negeri.
b.       Mengubah putusan pengadilan negeri yang bersangkutan.
Dalam hal ini, sebagian saja dari hasil penilaian pengadilan negeri yang bersangkutan yang conform dengan penilaian pengadilan tinggi, sedangkan lainnya memerlukan perubahan sesuai dengan pendirian pengadilan tinggi.
c.        Muncul putusan baru.
Dalam hal ini pengadilan tinggi membatalkan putusan pengadilan negeri yang bersangkutan karena tidak didukung hasil penilaian dan penghargaan atas facti yang ada. Putusan baru ini dapat saja berupa yang tadinya putusan pemidanaan diubah menjadi putusan bukan pemidanaan.


B.  Kasasi.
Dalam bahasa Belanda “Cassatie” dalam bahasa Inggris “Cassation’ dan dalam bahasa Perancis “Caesei” yang artinya “pembatalan putusan pengadilan bawahan (yang telah dijatuhkan), oleh Mahkamah Agung dengan dasar :
a.        Transgression; melampaui batas wewenang
b.       Misjudge; salah mengetrapkan atau melanggar peraturan hukum yang berlaku
c.        Negligent; adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat  yang diwajibkan oleh suatu ketentuan undang-undang yang mengancam kelalaian itu dan membatalkan putusan itu sendiri.
Hal-hal yang perlu diperhatikan, dalam permintaan pemeriksaan kasasi antara lain:
Ø  Terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas (pasal 244 KUHAP)
Ø  Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak guna menentukan :
a.          Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterpakan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya
b.         Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang
c.          Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya (pasal 253 (1) KUHAP)
Ø  Berkas perkara yang dikirim ke Mahkamah Agung (melalui panitera) terdiri dari berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita acara  di sidang, semua surat yang timbul disidang yang berhubungan dengan perkara itu, beserta putusan pengadilan tingkat pertama dan atau tingkat terakhir (pasal 253 (2))
Ø  Jika dipandang perlu, Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum dengan menjelaskan secara singkat kepada mereka tentang apa yang ingin diketahui atau mahkamah agung dapat pula mendengar keterangan meeka dengan cara pemanggilan yang sama (pasal 253 (4))
Ø  Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa pemohonan kasasi mengenai hukumnya, Mahkamah Agung dapat memutus, menolak atau mengabulkan permohonan kasasi (pasal 254)
Ø  Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena peraturan-peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan dengan semestinya, Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara itu (pasal 255 (1)).
Ø  Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang Mahkamah Agung menetapkan disertai petunjuk agar pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya lagi, mengenai bagian yang dibatalkan (pasal 255 (2)).
Ø  Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena pengadilan atau hakim yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkara tersebut, Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain mengadili perkara tersebut (pasal 255 (3)).
Keberatan-keberatam kasasi hanya yang berkaitan dengan masalah penerapan hukum semata dan tidak bisa didasarkan kepada penilaian terhadap fakta kecuali bila penilaian terhadap fakta ada kekeliruan, dilihat dari segi penerapan hukum.
Ø  Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kasasi kepada panitera pengadilan yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu empat belas hari sesudah putusan diberitahukan kepada terdakwa (pasal 245 (1) KUHAP)
Ø  Dalam hal pengadilan negeri menerima permohonan kasasi baik yang diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa maupun keduanya, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain (pasal 246 (1) KUHAP)
Ø  Apabila lewat empat belas hari tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan (pasal 246 (1) KUHAP)
Ø  Selama perkara belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi dapat dicabut dan permohonan kasasi dalam perkara ini tidak dapat diajukan lagi (pasal 247 (1) KUHAP)
Ø  Apabila perkara telah dimulai diperiksa akan tetapi belum diputus, sementara pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (pasal 247 (3) KUHAP)
Ø  Pemohon kasasi wajib mengajukan momori kasasi dan dalam waktu empat belas hari setelah menyatakan/menandatangani akte kasasi dimaksud harus sudah menyerahkan kepada kepaniteraan pengadilan negeri (pasal 248 (1) KUHAP)
Ø  Dalam hal pemohon kasasi adlah terdakwa yang kurang memahami hukum, panitera wajib menanyakan apakan alasan kasasi tersebut  dan untuk itu panitera membuat memori kasasinya (pasal 248 (2) KUHAP)
Ø  Apabila dalam tenggang empat belas hari pemohon terlambat menyerahkan memori kasasi maka haknya gugur (pasal 248 (2) KUHAP)
Ø  Tembusan memori kasasi yang diajukan oleh salah satu pihak oleh panitera disampaikan kepada pihak lainnya dan pihak lain itu berhak mengajukan kontra memori kasasi (pasal 248 (6) KUHAP)
Ø  Dalam waktu empat belas hari panitera wajib menyampaikan memori kasasi kepada pihak yang mengajukan memori kasasi (pasal 248 (7) KUHAP)
Ø  Tambahan memori kasasi atau kontra memori kasasi masih dapat ditambahkan masing-masing pihak dalam waktu empat belas hari sesudah permohonan kasasi diajukan (pasal 249 (1) KUHAP)
Putusan kasasi oleh Mahkamah Agung terdapat tiga macam yaitu :
1.         Menyatakan permohonan kasasi tidak dapat diterima
Dalam hal ini bila syarat formal tidak dipenuhi.
2.         Permohonan kasasi ditolak
Dalam hal ini keberatan-keberatan yang diajukan oleh pemohon kasasi tidak dapat dibenarkan oleh karena judex factie tidak salah menerapkan hukum atau tidak lalai memenuhi acara sebagaimana diwajibkan undang-undang.
3.         Permohonan kasasi dikabulkan.
Dalam hal ini apabila alasan-alasan yang diajukan pemohon kasasi dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
Beberapa Yurisprudensi berkaitan dengan kasasi antara lain :
Yurisprudensi MARI No. 47 K/Kr/1971 tanggal 20 September 1972 : Keberatan yang diajukan penuntut umum bahwa ia tidak diberitahu tentang permohonan banding dari jaksa dan tidak diberitahu isi memori banding sehingga ia tidak dapat mengajukan kontra memori banding. Tidak dapat diterima, karena hal tersebut tidak menyebabkan batalnya putusan, lagi pula kontra memori banding tidak bersifat menentukan, karena dalam tingkat banding perkara diperiksa kembali dalam keseluruhannya .
Yurisprudensi MARI No. 104 K/Kr/1977 tanggal 16 Oktober 1977 : Keberatan penuntut kasasi bahwa memori banding jaksa tidak pernah dikemukakan kepadanya tidak dapat diterima, karena hal tersebut tidak menyebabkan batalnya putusan, lagi pula dengan tingkat banding perkara ditinjau secara menyeluruh.
Ilustrasi pemeriksaan kasasi mengenai salah penerapan hukum :
Posisi kasus : Pada tanggal 6 Desember 1995, Nanang Bin Jamberan melakukan penyelundupan bawang putih ke luar negeri dengan cara sebelumnya terdakwa membicarakan dengan Agus tentang rencana tersebut. Ketika bawang berada di kapal tanpa dilindungi dokumen dibawa oleh Nanang maka pada saat itulah Nanang ditangkap.
Dipersidangan Nanang di jerat dengan dakwaan primer ketentuan pasal 56 ke 2 KUHP Jo. Pasal 26 Ordonansi Bea Stbl. 1931 No. 471 Jo. UU No. 7/Drt/1995 Jo. UU No. 8/Drt/1958 Jo. UU No. 21/Prp/1959, sedangkan subsider tindak penadahan.
Bahwa dalam putusan kasasi oleh Mahkamah Agung RI membenarkan permohonan kasasi terdakwa dengan alasan keberatan karena Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Banjarmasin menghukum pemohon kasasi berdasarkan UU yang tidak berlaku lagi, oleh karena judec factie salah menerpakan hukum. Dalam hal ini Ordonansi Bea Stbl. 1931 No. 471 telah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan berlakunya UU No. 10 tahun 1985 pada 1 april 1995 sedangkan perbuatan terdakwa pada tanggal 6 Desember 1995.
C.  Peninjauan Kembali / Heerzening.
Dalam pasal 263 ayat 1 KUHAP disebutkan : “terhadap putusan pengadilan yan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali pada Mahkamah Agung”.
            Dalam pasal 264 ayat 3 KUHAP secara tegas menetapkan bahwa permintaan mengajukan peninjauan kembali adalah “tanpa batas waktu”. Dalam hal ini tidak ada batas tenggang waktu untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Kapan saja boleh diajukan.
Pengajuan Peninjauan Kembali yaitu :
Ø  Dapat diajukan terhdap putusan pengadilan negeri yang telah memperoleh kekutan hukum tetap
Ø  Dapat diajukan terhadap putusan pengadilan tinggi yang telah memperoleh kekutan hukum tetap
Ø  Dapat diajukan terhadap putusan Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekutan hukum tetap
Alasan peninjauan kembali dapat berupa :
1.         Apabila terdapat keadaan baru sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat bahwa  apabila keadaan tersebut diketahui waktu masih sidang berlangsung, putusan yang dijatuhkan akan berupa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara ini diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
2.         Apabila dalam berbagai putusan terdapat saling pertentangan.
3.         Apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan
Permohonan peninjauan kembali diajukan kepada panitera pengadilan negeri yagn memutus perkara itu dalam tingkat pertama. Dan untuk pertanggungjawaban yuridis, panitera pengadilan negeri yang meminta permohonan peninjauan kembali mencatat permintaan itu dalam sebuah akte keterangan yang lazim juga disebut akta permintaan peninjauan kembali. Akta atau surat keterangan tersebut ditandatangani oleh panitera dan pemohon kemudian akte tersebut dilampirkan dalam berkas perkara.
Sikap yang dapat diambil oleh Mahkamah Agung berkaitan dengan pengajuan PK adalah antara lain :
1.         Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon maka mahkamah agung menolak PK dengan menetapkan putusan yang dimintakan PK tetap berlaku disertai dasar pertimbangan.
2.         Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon maka Mahkamah Agung membatalkan putusan PK itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa :
a.          Putusan bebas
b.         Putusan lepas dari segala tuntutan hukum
c.          Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum
d.         Putusan dengan menetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan
Berkaitan dengan PK terdapat beberapa Yurisprudensi MARI antara lain :
Yurisprudensi MARI No. 11 PK/Pid/1993 tanggal 13 Desember 1994 yang menyatakan : Alasan peninjauan kembali berupa keterangan terdakwa Asun dalam suatu perkara pidana yang mengakui dalam sidang bahwa ia membunuh Pamor dalam perkara pidana lain, dimana terdakwanya adalah Lingah, Pangah dan Sumir yang telah dipidana dan berkekuatan tetap, maka pengakuan Asun tersebut haruslah ditindaklanjuti berupa Asun disidik, dituntut dan disidangkan sampai ada putusan hakim terhadap Asun. Bilamana tidak atau belum ditindaklanjuti maka keterangan atau pengakuan Asun tersebut bukan merupakan keadaan baru atau novum eks. Pasal 263 (2) a KUHAP.
            Demikian juga berkaitan dengan alasan novum sebagaimana Yurisprudensi No. 14 K/Pid/1997 tanggal 14 November 1997 menegaskan : Putusan perkara perdata yang menyebutkan gugatan pemohon peninjauan kembali dapat diajukan sebagai novum dalam perkara peninjauan kembali pidana yang membatalkan putusan kasasi dan membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.
- oOo -


DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Ghalia Indonesia. 1985.
Human Right A Complitation of International Instruments, (New York, United Nation, 1993) hal 3.
Indonesia legal Centre Publishing, Klien dan Penasehat Hukum, Yudha Pandu, 2001.
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP, buku I. Sinar Grafika. 2002.
_________________, Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP, buku II. Sinar Grafika. 2002.
Mangasi Sidabutar. Hak Terpidana, Terpidana , Penuntut Umum Menempuh Upaya Hukum. Raja Grafindo Persada. 1999.
Osman Simanjuntak. Teknik Tuntutan dan Upaya Hukum. 1994.
R. Soesilo. Hukum Acara Pidana. Politeia. 1982.
Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 tahun 1981 (KUHAP).
Republik Indonesia, Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Republik Indonesia, Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat.
Republik Indonesia, Undang-undang Kekuasaan Kehakiman No. 4 tahun 2004.
Republik Indonesia, Undang-undang No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Republik Indonesia, Undang-undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.


[1] Lihat konsideran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
[2] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 20.
[3] Asas equality before the law tersebut adalah berlaku secara universal sebagaimana juga yang ditentukan dalam Universal Declaration of Human Rights yang tercantum dalam artikel 7, “All are equal before the law and are entitled without any discrimination to equal protection of the law. All are entitled to equal protection against any discrimination in violation of this Declaration and against any incitement to such discrimination.Human Rights A Compilation of International Instruments, (New York, United Nation,  1993) hal 3.
[4] Perlakuan keadilan bagi setiap orang adalah juga merupakan asas yang berlaku universal yang  juga ditentukan dalam Universal  Declaration of Human Rights yang tercantum dalam article 8, “Everyone has the right to an effective remedy by the competent national tribunals for acts violating the fundamental rights granted him by the constitution or by law.” Ibid.
[5] Asas praduga tak bersalah ini juga berlaku secara universal sebagaimana juga yang ditentukan dalam Universal Declaration of Human Rights yang tercantum dalam article 11 (1), “Everyone charged with a penal offence has the right to be presumed innocent until proved guilty according to law in a public trial at which he has had all the guarantees necessary for his defence.” Ibid.

Most Trending