A. PENGAJUAN SURAT GUGATAN
Berdasarkan
pasal 53 ayat 1 jo pasal 1 butir 4 UU 5/1986, maka dapat disimpulkan
bahwa gugatan pada Peradilan TUN (Peratun) adalah suatu tuntutan hukum
yang diajukan oleh orang atau badan hukum perdata terhadap badan atau
pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan TUN, yang merugikan kepentingan
orang atau badan hukum perdata tersebut dengan permintaan supaya Peratun
menyatakan batal atau tidak sah keputusan TUN tersebut atau tanpa
disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.
Gugatan yang telah disusun/dibuat oleh penggugat atau kuasanya, kemudian didaftarkan di Kepaniteraan PTUN yang berwenang sesuai dengan ketentuan pasal 54 UU 5/1986. Setelah itu oleh panitera mengadakan penelitian administratif baik administrasi yang diharuskan penggugat dalam mengajukan gugatan (misal: membayar persekot biaya dll), serta teradap surat gugatannya sudah memenuhi pasal 56 atau belum. Menurut pasal 56 UU 5/86, pada pokoknya gugatan harus memenuhi sebagai berikut :
1. Syarat formil, yang berisi identitas penggugat, tergugat maupun kuasanya
2. Syarat materil :
a. Dasar gugatan / posita gugatan
b. Tuntutan (petitumi)
Bahwa gugatan tidak dapat diajukan setiap waktu kehendak penggugat karena dalam pasal 55 jo 3 UU 5/1986 telah membatasi secara limitatif. Apabila yang digugat berupa keputusan TUN (keputusan positif kongkit) maka gugatan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak diumumkan atau diterimanya surat keputusan TUN.
Hal tersebut akan menimbul masalah apabila surat keputusan tersebut merugikan kepentingan pihak ketiga. Terhadap permasalah ini, untuk memenuhi kebutuhan praktek di peratun, MARI telah mengeluarkan SEMA no 2 tahun 1991, yang pada pokoknya menyatakan bahwa perhitungan tenggang waktu dihitung secara kausitis, yaitu 90 hari sejak saat pihak ketiga mengetahuinya.
Apabila obyek sengketa berupa keputusan TUN yang bersifat fiktif permohonan sebagaimana perhitungan tenggang waktu berdasarkan pasal 3 ayat 2 dan 3 UU 5/1986 dengan cara sebagai berikut :
a.
Tenggang waktu 90 hari sejak lewat tenggang waktu proses permohonan
sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan dasarnya
b. Tenggang waktu 90 hari dihitung sejak lewat waktu 4 (empat) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan.
B. PROSEDUR DISMISSAL
Prosedur dismissal adalah suatu proses penelitian terhadap gugatan yang masuk di PTUN yang dilakukan oleh Ketua pengadilan.
Setelah dilakukan penelitian administratif oleh panitera maka tahap selanjutnya adalah prosedur dismissal yang eksistensinya serta alasan-alasannya diatur dalam pasal 62 UU no 5 /1986/ dalam pasal 62 tersebut tidak mengatur secara terperinci tentang tata cara dalam prosedur dismissal, maka Mahkamah Agung didalam SEMA no 2 tahun 1991, pada pokoknya menyatakan :
1. Prosedur dismissal dilaksanakan oleh Ketua dan dapat menunjuk Hakim sebagai reportir
2. Pemeriksaan dilaksanakan dalam rapat permusyawaratan atau dilaksanakan secara singkat
3.
Ketua pengadilan berwenang memanggil dan mendengarkan keterangan para
pihak sebelum menentukan penetapan dismissal aapbila diangap perlu
4.
Penetapan dismissal berisi gugatan dinyatakan tidak dapt diterima atau
tidak berdasar dan tanda tangani oleh ketua dan panitera
5.
Penetapan dismissal diucapkan dalam rapat permusyawaratan, sebelum hari
pesidangan ditentukan dengan memanggil kedua pihak untuk
mendengarkannya.
Terhadap penetapan dismissal dari Ketua Pengadilan dapat dilakukan upaya hukum perlawanan yang diatur dalam pasal 63 ayat 3, yang pada pokoknya sebagai berikut :
1. Tenggang waktu perlawanan adalah 14 hari sejak penetapan dismissal diucapkan
2. Perlawanan diajukan sesuai pasal 56, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat
3.
Dalam hal perlawanan dibenarkan maka penetapan dismissal gugur demi
hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut
acara biasa
4. Terhadap putusan mengenai perlawanan tidak dapat digunakan upaya hukum
C. PENUNDAAN
Menurut
pasal 67 ayat 1 UU 5/1986 yang pada pokoknya bahwa gugatan tidak
menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan TUN serta tindakan
badan atau pejabat TUN yang digugat. Apabila ketentuan tersebut
dilaksanakan maka gugatan Penggugat (misalnya : perintah bongakt) yang
tetap dilaksanakan sehingga untuk menggugat tidak ada artinya lagi. Oleh
karena itu sebagai kompensasinya perlu adanya lembaga penundaan (vide
pasal 67 UU 5/1986).
Permohonan penundaan terhadap pelaksanaan obyek sengketa oleh pihak penggugat dapat dilakukan dengan cara :
1. Diajukan bersama-sama dalam surat gugatan
2. Dibuat tersendiri tetapi pengajuannya bersama-sama dengan pengajuan surat gugatan,
3. Diajukan pada saat proses gugatan berjalan, baik secara tertulis maupun lisan
Yang berwenang menerbitkan penetapan atas permohonan penundaan adalah :
1.
Apabila permohonan tersebut masih dalam tahap penelitian administratif
dan proses dismissal maka yang berwenang adalah Ketua Pengadilan
2. Apabila gugatan tersebut telah dilimpahkan kepada Majelis Hakim/Hakim maka yang berwenang adalah Majelis Hakim/Hakim
Upaya hukum atas penetapan penundaan, maka pihak tergugat menyampaikan sanggahan kepada Ketua Pengadilan atau Majelis Hakim/Hakim, yang pada pokoknya bahwa tindakan tergugat mengeluarkan keputusan TUN tidak bertentangan dengan pasal 67 ayat 4 UU 5/1986.
Dalam praktek yang sering menimbulkan permasalahan adalah apabila pihak tergugat tidak mau melaksanakan penetapan penundaan. Apabila hal tersebut terjadi, maka tembusannya kepada Ketua MARI, menteri Kehakiman (Kumdang), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI (Surat MENPAN no. B 471.4.1991 tanggal 28 Mei 1991 tentang pelaksanaan putusan Pengadilan TUN), sesuai yang tercantum dalam SEMARI no 2 tahun 1991.
D. PEMERIKSAAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA
Dalam UU no 5/1986 Hakim/Majelis Hakim dalam memeriksa sengketa TUN dapat dilakukan melalui 3 (tiga) acara pemeriksaan yaitu :
1. Pemeriksaan acara singkat
2. Pemeriksaan acara cepat
3. Pemeriksaan acara biasa
a.d.1. Pemeriksaan Acara Singkat
pemeriksaan
acara singkat yang diperiksa bukan mengenai pokok sengketa, melainkan
baru mengenai perlawanan sesuai yang diatur dalam pasal 62 dan 118 UU
5/1986, yang dapat disimpulkan bahwa pemeriksan dengan acara singkat
dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :
a. Gugatan perlawanan atas penetapan Ketua PTUN (pasal 62 ayat 3, 4, 5 dan 6 UU no 5/1986)
b.
Gugatan perlawanan oleh pihak ketiga terhadap pelaksanaan putusan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 118 UU 5/1986)
Acara pemeriksan singkat terhadap gugatan perlawanan baik dari pihak penggugat asal maupun pihak ketiga tidak diatur secara terperinci seperti yang diatur dalam pemeriksaan cepat dan bisa, sehingga dalam praktek ada beberapa pendapat, ada yang mengatakan harus melalui proses persidangan seperti dalam acara biasa. Dan sebagian besar mengatakan cukup dalam ruang permusyawaratan dalam sidang yang tertutup dan para pihak diberi kesempatan untuk menanggapinya, sedang putusannya diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.
a. Pemeriksaan Persiapan
Pemeriksan
persiapan diatur dalam pasal 63 UU 5/1986, yang pada pokoknya bahwa
sebelum pemeriksan pokok sengketa, Hakim wajib mengadakan pemeriksan
persiapan guna melengkapi surat gugatan yang belum jelas. Hakim wajib
memberi saran dan nasehat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatannya
dengan melegnkapi data-datanya dalam jangka waktu 30 hari, dan
dimungkinkan meminta penjelasan dari pihak tergugat. Apabila dalam
tenggang waktu 30 hari penggugat belum menyempurnakan dan menyerahkan
perbaikan gugatan, maka dapat dinyatakn dengan putusan bahwa gugatan
tidak dapat diterima. Terhadap putusan tersebut tidak ada upaya
hukumnya, tetapi dapat diajukan gugatan baru.
UU No 5/1986 tidak mengatur tata cara pemeriksaan, oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan praktek MARI telah mengeluarkan beberapa Surat Edaran dan Juklak, yaitu :
- SEMARI no 2 tahun 1991 tanggal 9 juli 1991
- Surat MARI no 052/Td TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992
- Surat MARI no 224/Td. TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993
- Surat MARI no 222/Td. TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993
Dari surat MARI tersebut dapat disimpulkan bahwa :
-
Pemeriksaan persiapan dilakukan di ruang musyawarah dalam sidang
tertutup bisa diruang Hakim dengan tanpa memakai toga
- Pemeriksan dapat dilakukan oleh Hakim anggota yang ditunjuk oleh Ketua Majelis
-
Dapat dilakukan mendengar keterangan Penggugat, tergugat serta Pejabat
TUN lainnya atau pihak ketiga yang dianggap perlu.
b. Persidangan Terbuka Untuk Umum
Dalam
persidangan yang terbuka untuk umum dipimpin oleh Ketua Sidang, dan
dalam proses pemeriksaan ini pada pokoknya ada beberapa tahap:
- Tahap Jawab Jinawab, pada tahap ini terdiri pembacaan gugatan, jawaban tergugat, replik dan duplik
- Tahap Pembuktian
Sesuai salah satu ciri khusus hukum acara Peratun, dimana peranan Hakim aktif karena dibebani untuk mencari kebenaran material (pasal 63, 80, 85, 95 dan 103 UU 5/1986), maka sistem pembuktian kepada pembuktian bebas yang terbatas.
Menurut
pasal 107 Hakim menentukan apa yang dibuktikan beban pembukatian besrta
penilaian pembukatian, tetapi dibatasi pasal 100 yang menentukan secara
liminatif alat-alat bukti yang dapat digunakan, yaitu : surat atau
tulisan, keterangan saksi ahli, saksi biasa, pengakuan para pihak dan
pengetahuan Hakim
Disamping itu dalam pasal 85 memungkinkan Hakim dapat secara aktif mencari bukti-bukti yang ada ditangan pejabat TUN.
Setelah
tahap pembuktian selanjutnya adalah kesimpulan yang dibaut oleh
masing-masing pihak, kemudian sebagai tahap terahkir adalah putusan yang
cara pengambilan putusan diatur dalam pasal 97 dan bentuk serta isi
putusan diatur dalam dan 109 ayat 1 UU 5/1986.
E. INTERVENSI
Dalam
rangka melindungi kepentingan pihak ketiga, maka dalam pasal 83 memberi
kesempatan masuknya pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang
berjalan. Pihak ketiga (intervent) yang mempunyai kepentingan dapat
masuk dalam proses perkara bertindak sebagai :
1. Pihak ketiga yang membela haknya atas perkara sendiri, dibedakan :
- Pihak ketiga yang tidak berpihak pada salah satu pihak. Apabila pihak ketiga atas kemauannya sendiri akan ikut berproses dalam perkara, sedang kepentingannya tidak paralel dengans alah satu pihak melainkan hanya memperjuangkan haknya (Tuussemkomt).
- Pihak ketiga yang dengan kemauannya sendiri akan masuk dalam perkara dan kepentingannya paralel dengan salah satu pihak maka akan bergabung dnegan salah satu pihak (Voeging)
2. Masuknya pihak ketiga atas perkarsa salah satu pihak
Apabila
dalam suatu perkara yang sedang berjalan para pihak merasa
berkepentingan untuk menarik pihak ketiga agar menjamin/mendukung
kepentingannya (Vrywaring). Disini kepentingan dari salah satu pihak paralel denagan kepentingan pihak ketiga.
3. Masukknya pihak ketiga atas perkarsa Hakim
Apabila dalam proses pemeriksaan baik dari tahap dismissal, persiapan maupun persidangan penyelesaian inisiatif para pihak maka Hakim dalam rangka untuk mencapai penyelesaian sengketa yang cepat, tepat dan biaya ringan serta untuk memperoleh kebenaran material dan melindungi kepentingan pihak ketiga agar ditarik masuk sebagai pihak ketiga untuk bergabung denagn salah satu pihak atau berdiri sendiri.
Peraturan mengenai intervensi sangat minim dan bersifat umum sehingga dalam praktek timbul permasalahan dalam penerapan dan penafsiran pasal 83 khususnya bergabungnya pihak ketiga yang terdiri dari orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya paralel dengan tergugat dan berkedudukan sebagai tergugat intervensi.
Dalam praktek kebanyakan Hakim lebih cenderung memberi kesempatan pihak ketiga berkedudukan sebagai tergugat intervensi dengan pertimbangan dalam rangka penyelesaian sengketa yang cepat, tepat dan biaya ringan serta mencari kebenaran material serta memberi perlindungan kepada pihak ketiga akan tetapi kasuitis. Dan batas waktu mengajukan permohonan intervensi telah dipertegas dalam Juklak MARI no 52/Td. TUN/III/1992, yaitu pihak ketiga dapat masuk dalam suatu perkara sampai pada acara duplik.
F. PUTUSAN
Dalam
suatu pemeriksaan sengketa di PTUN sudah selesai maka tahap akhir dari
penyelesaian sengketa adalah putusan. Putusan merupakan hasil musyawarah
majelis Hakim dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum yang
tata caranya diatr dalam pasal 97, dan putusan harus memenuhi syarat
formil yang dituangkan dalam pasal 109 UU5/1986.
Putusan pengadilan TUN dapat berupa :
1. Gugatan gugur (pasal 71)
2. Gugatan tidak dapat diterima (pasal 77)
3. Gugatan ditolak
4. Gugatan dikabulkan
a. Seluruhnya
b. Sebagian
Apabila gugatan dikabulkan dapat dibebani kewajiban bagi tergugat berupaya :
1. Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan atau
2. Pencabutan keputusan TUN dan menerbutiak keputusan TUN yang baru atau
3. Penerbitan keputusan TUN dalam hal didasarkan pasal 3
4. Pembebanan ganti rugi
5. rehabilitasi
perihal
putusan yang sering menimbulkan maslah dalam praktek adalah menyangkut
pelaksanaan (eksekusi). Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap yang dapat dilaksanakan, dan pelaksanaan putusan Peraturan tidak
dikenal pelaksanaan putusan riel, akan tetapi pelaksanaannya hanya
secara administratif, dan Ketua PTUN wajib mengawasi pelaksanaan putusan
(pasal 119).
Pelaksanaan putusan oleh penulis dibedakan menjadi 3 (tiga) :
a. Eksekusi Sukarela, apabila pihak tergugat setelah menerim pemberitahuan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam kemauannya sendiri melaksanakan diktum putusan
b. Eksekusi otomatis, apabila setelah 4 (empat) bulan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap telah dikirim kepada tergugat dan tergugat tidak mau melaksanakan kewajiban pencabutan keputusan TUN, maka keputusan TUN tersebut dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum lagi
c. Eksekusi Hirachis, apabila dalam putusan pihak tergugat dibebani kewajiban selain pencabutan keputusan TUN dan pihak tergugat tidak mau melaksanakannya, maka atas permohonan penggugat, Ketua PTUN dengan surat resmi memerintahkan tergugat untuk melaksanakan putusan. Jika tergugat tidak melaksanakannya, maka Ketua PTUN memerintahkan eksekusi melalui instansi atasannya menurut jenjang jabatan sampai pada batas akhirnya ke Presiden (pasal 116 ayat 3, 4, 5 dan 6 UU 5/1986).
Apabila ada putusan yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna, yaitu bila ada kewajiban rehabilitasi dalam sengketa kepegawaian tidak bisa dilaksanakan dikarenakan jabatan tersebut telah terisi, maka pihak tergugat dapat dibebani membayar sejumlah uang atau kompensasi lainnya (pasal 117 dan 121 UU 5/1986). Mengenai besarnya uang kompensasi dan ganti rugi ditentukan dalam Peraturan Pemerintah no 43 tahun 1991 dan peraturan pelaksanaannya yaitu Surat Keputusan Menteri Keuangan no. 1129/KMK.01/1991.
0 komentar:
Posting Komentar