Di negara
kita yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, menjadi persoalan yang
sensitif ketika salah seorang calon pasangan berniat mengajukan untuk membuat
perjanjian pra nikah. perjanjian pranikah (Prenuptial Agreement) menjadi suatu
hal yang tidak lazim dan dianggap tidak biasa, kasar, materialistik, juga
egois, tidak etis, tidak sesuai dengan adat timur dan lain sebagainya
Karena
pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang sakral, maka perjanjian pranikah masih
dianggap sebagai urusan duniawi yang tidak sepantasnya dibicarakan dan
dilakukan. Karena kalau dilakukan, lalu akan muncul pertanyaan apa bedanya
dengan perjanjian-perjanjian yang biasa dilakukan oleh dua orang yang melakukan
transaksi bisnis?
1. Apa yang dimaksud dengan perjanjian pra nikah?
Prenuptial
Agreement atau perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang dibuat sebelum
dilangsungkannya pernikahan dan mengikat kedua calon mempelai yang akan
menikah, isinya mengenai masalah pembagian harta kekayaan diantara suami istri
yang meliputi apa yang menjadi milik suami atau isteri dan apa saja yang
menjadi tanggung jawab suami dan isteri, ataupun berkaitan dengan harta bawaan
masing-masing pihak agar bisa membedakan yang mana harta calon istri dan yang
mana harta calon suami, jika terjadi perceraian atau kematian disalah satu
pasangan.
Biasanya
perjanjian pra nikah dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta
bawaan masing-masing, suami ataupun istri. Memang pada awalnya perjanjian
pranikah banyak dipilih oleh kalangan atas yang yang memiliki warisan besar.
2. Apakah membuat perjanjian pra nikah dibenarkan
secara hukum dan agama?
Membuat
perjanjian pra nikah di perbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum,
agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat. Hal ini telah diatur
sesuai dengan pasal 29 ayat 1 UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
yaitu:”Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, keduabelah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
pegawai Pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga tersangkut”. dalam penjelasan pasal 29 UU No.1/1975 tentang perkawinan,
dikatakan Yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk Taklik
Talak.
Dalam ayat 2
dikatakan: perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilemana melanggar
batas-batas hukum agama dan kesusilaan.
Selain itu Kompilasi Hukum Islam juga memperbolehkan
Perjanjian pra nikah sebagaimana dikatakan dalam pasal 47 ayat : “Pada waktu
atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat
perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan
harta dalam perkawinan”
Konsep
perjanjian pra nikah awal memang berasal dari hukum perdata barat KUH Per.
Tetapi UU No.1/1974 tentang Perkawinan ini telah mengkoreksi ketentuan KUH Per
(buatan Belanda) tentang perjanjian pra nikah. Dalam pasal 139 KUH Per: “Dengan
mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami isteri adalah berhak menyiapkan
beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-undangan sekitar persatuan harta
kekayaan asal perjanjia itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata
tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini, menurut
pasal berikutnya”
Bila
dibandingkan maka KUHPer hanya membatasi dan menekankan perjanjian pra nikah
hanya pada persatuan harta kekayaan saja, sedangkan dalam UU Perkawinan
bersifat lebih terbuka, tidak hanya harta kebendaan saja yang diperjanjikan
tetapi juga bisa diluar itu sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, agama
dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat
Secara
agama, khususnya agama islam dikatakan dalam AQ Al-baqarah:2 dan Hadits: bahwa
setiap Mukmin terikat dengan perjanjian mereka masing-masing. Maksudnya, jika
seorang Mukmin sudah berjanji harus dilaksanakan. Perjanjian pranikah tidak
diperbolehkan bila perjanjian tersebut menghalalkan yang haram dan mengharamkan
yang halal, contohnya : perjanjian pranikah yang isinya, jika suami meninggal
dan mereka tidak dikaruniai anak, warisan mutlak jatuh pada istrinya. Padahal
dalam Islam, harta suami yang meninggal tanpa dikaruniai seorang anak tidak
seluruhnya jatuh kepada sang istri, masih ada saudara kandung dari pihak suami
ataupu orangtua suami yang masih hidup.Hal diatas adalah “menghalalkan yang
haram" atau contoh lain Perkawinan dengan dibatasi waktu atau namanya
nikah mut'ah (kawin kontrak).
Suatu Pernikahan tidak boleh diperjanjikan untuk
bercerai"
Dalam agama
katolik, perjanjian perkawinan yang penting adalah dimana pria dan wanita yang
melakukan perkawinan akan membentuk kebersamaan seluruh hidup (Consorsium
totius Vitac) diantara mereka menurut sifat kodratnya terarah pada
kesejahteraan suami isteri serta pada kelahiran dan pendidikan anak. Sementara
untuk agama Hindu, hukum yang mengatur khusus tentang perjanjian perkawinan
tidak ada, tetapi yang jelas apabila ada perjanjian yang dibuat bertentangan
dengan larangan dalam agama Hindu maka perjanjian itu tidak sah. Begitu pula
dengan agama budha, menurut hukum perkawinannya (HPAB) yang telah disahkan pada
tanggal 1 Januari 1977, tidak ada aturan khush tentang perjanjian perkawinan,
diaman berarti terserah para pihak yang bersangkutan asal perjanjian yang
diabuat tidak bertentangan dengan agama Budha Indonesia, UU No. /1975 dan
kepentingan Umum (Prof. Hilman Hadikusuma, SH, Hukum perkawinan Indonesia
menurut perundang-undangan, hukum adat dan hukum agama, CV. Maju Mandar,
Bandung, 1990, hlm. 60)
3. Apa Saja Isi Perjanjian Pranikah?
isi
Perjanjian pra nikah diserahkan pada pihak calon pasangan yang akan menikah
dengan syarat isinya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, hukum dan agama, Seperti telah dijelaskan diatas dalam point 1.
Bahwa
perjanjian pra nikah dasarnya adalah bentuk kesepakatan maka ia termasuk dalam
hukum perjanjian buku III KUHPer, sebagaimana Pasal 1338: para pihak yang
berjanji bebas membuat perjanjian selama tidak melanggar kesusilaan, ketertiban
umum dan undang-undang.
Biasanya berisi pengaturan penyelesaian dari masalah
yang kira-kira akan timbul selama masa perkawinan, antara lain :
-
tentang pemisahan harta kekayaan.
Pemisahan harta kekayaan yang diperoleh sebelum pernikahan yaitu segala harta
benda yang diperoleh sebelum pernikahan dilangsungkan atau yang biasa disebut
harta bawaan yang didalamnya bisa termasuk harta warisan atau hibah, disebutkan
dalam harta apa saja yang sebelumnya dimiliki suami atau isteri.
Pemisahan harta pencaharian/pendapatan yang diperoleh
selama pernikahan atau mengenai tidak adanya percampuran harta pendapatan
maupun aset-aset baik selama pernikahan itu berlangsung maupun apabila terjadi
perpisahan, perceraian, atau kematian.
Tetapi Untuk hal pemisahan pendapatan para pihak tidak
boleh melupakan hak dan kewajiban suami sebagai kepala rumah tangga, seperti
dikatakan dalam Pasal 48 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam: “Apabila dibuat
perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat,
maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk
memenuhi kebutuhan RT”. Dalam ayat 2 dikatakan: “Apabila perjanjian perkawinan
tidak memenuhi ketentuan tersebut dalam ayat 1 dianggap tetap terjadi pemisahan
harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya
kebutuhan RT”. Untuk biaya kebutuhan RT istri dapat membantu suami dalam
menanggung biaya kebutuhan RT, hal mana bisa diperjanjikan dalam perjanjian pra
nikah. Atau mungkin dalam rangka proses cerai, ingin memisahkan harta, bisa
saja diperjanjiankan tentang bagaimana cara pembagian harta.
- Pemisahaan
harta juga termasuk pemisahan utang, jadi dalam perjanjian pranikah bisa juga
diatur mengenai masalah utang yang akan tetap menjadi tanggungan dari pihak
yang membawa atau mengadakan utang itu. Utang yang dimaksud adalah utang yang
terjadi sebelum pernikahan, selama masa pernikahan, setelah perceraian, bahkan
kematian.
- Tidak
terbatas pada masalah keuangan saja, isi perjanjian pra nikah bisa meliputi
hal-hal yang kira-kira dapat berpotensi menimbulkan masalah selama perkawinan,
antara lain hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan, tentang pekerjaan,
tentang para pihak tidak boleh melakukan hal-hal sebagaimana diatur dalam
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), tidak adanya percampuran harta pendapatan
maupun aset-aset, baik selama pernikahan itu berlangsung maupun apabila terjadi
perpisahan, perceraian ataupun kematian, juga tentang warisan dan hibah.
- Pada
perjanjian pranikah juga dapat menyebutkan tentang tanggung jawab terhadap
anak-anak yang dilahirkan selama perkawinan, baik dari segi pengeluaran sehari-hari,
maupun dari segi pendidikan. Walaupun pada prinsipnya semua orang tua
bertanggung jawab terhadap pendidikan, kesehatan dan tumbuh kembang anak,
sehingga istri juga ikut bertanggung jawab dalam hal ini, itu semua bisa
disepakati bersama demi kepentingan anak.
- Bahkan
dalam perjanjian pra nikah dapat diperjanjikan bagi pihak yang melakukan
poligami diperjanjikan mengenai tempat kediaman, Waktu giliran dan biaya RT
bagi isteri yang akan dinikahinya (pasal 52 KHI).
Dalam perjanjian pra nikah itu para pihak tidak bisa
mencantumkan klausul penentuan kewarganegaraan apakah anak yang dilahirkan
kelak mengikuti kewarganegaraan ayah atau ibu, karena hal tersebut bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yaitu UU No.62 tahun 1968 tentang
kewarganegaraan, yang menganut asas ius sanguinis yaitu asas seorang anak akan
mengikuti kewarganegaraan suami.
Intinya
dalam perjanjian pranikah hal hal yang disebutkan didalamnya tidak bertentangan
dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama, Seperti telah dijelaskan
diatas dalam point 1, dan kesepakatan dicapai setelah masing-masing pihak
sepakat dan sukarelaan serta tidak ada paksaan.
Pelanggaran atau tidak dijalankannya isi perjanjian
pra nikah ini maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan perceraian ke PA
atau PN setempat
Biasanya konsep dasar akta perjanjian pra nikah sudah
ada di semua notaris, tinggal nanti terserah pada masing-masing calon pasangan
untuk menambahkan atau mengurangi. Notaris akan memeriksa bukti kelengkapan
yang menunjang isi perjanjian tadi seperti bukti kepemilikan atas harta yang
diklaim adalah milik salah satu pihak, Untuk memastikan kebenaran isi akta
perjanjian pra nikah. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh calon istri,
calon suami, notaris dan dua orang saksi.
4. Apakah perjanjian Pranikah bisa dicabut kembali
Perjanjian
pra nikah dapat dicabut kembali asalkan berdasarkan kesepakatan kedua belah
pihak. Seperti dikatakan dalam 29 ayat 4 UU Perkawinan : “selama perkawina
berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua
belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak
ketiga”.
Hal yang
sama dikatakan dalam Pasal 50 ayat 2 KHI; “Perjanjian perkawinan mengenai harta
dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya
di kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan tersebut dilangsungkan’ dan
Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan
perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga ( Pasal 50 ayat
5 KHI).
Bahwa sejak
pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami dan isteri tetapi
terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu
diumumkan oleh suami isteri dalam suatu surat kabar setempat (Pasal 50 ayat 3
KHI).
Apabila
dalam tempo 6(enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan,
pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat pada pihak
ketiga ( pasal 50 ayat 4 KHI ).
Esensi pencabutan perjanjian pra nikah juga sejalan
dengan ketentuan pasal 1338 KUHPer perjanjian tidak bisa dibatalkan kecuali
atas dasar kesepakatan keduabelah pihak.
Perjanjian pra nikah ini berlaku sejak perkawinan
tersebut dilangsungkan (Psl 29 ayat 3 UU Perkawinan)
5. Apa manfaat perjanjian pranikah bagi perempuan?
Beberapa
manfaat bagi pasangan calon pengantin, khusunya wanita antara lain;
- Bila
terjadi perceraian maka perjanjian pranikah ini akan memudahkan dan mempercepat
pembagian harta, karena sudah pasti harta yang akan diperoleh masing-masing,
sudah jelas apa yang menjadi milik suami dan apa yang menjadi milik istri,
tanpa proses yang berbelit belit sebagaimana bila terjadi perceraian.
- Harta yang
diperoleh isteri sebelum nikah, harta Bawaan, harta warisan ataupun hibah tidak
tercampur dengan harta suami. Menjadi jelas harta milik istri apa saja.
- Dengan
adanya pemisahan hutang maka menjadi siapa yang berhutang dan jelas siapa akan
yang bertanggung jawab atas hutang tersebut. Untuk melindungi anak dan Isteri,
maka isteri bisa menunjukan perjanjian pra nikah bila suatu hari suami meminjam
uang ke bank kemudian tidak mampu membayar, maka harta yang bisa diambil oleh
Negara hanyalah harta milik pihak tersebut (siapa yang meminjam) atau harta
suami bukan dari harta isteri.
- Isteri
terhindar dari adanya kekerasan dalam RT, bisa dalam artian fisik ataupun
psikis, misalnya istri bisa mengembangkan kemampuannya dengan boleh bekerja,
menuntut ilmu lagi, dll Karena tidak jarang terjadi ketidakseimbangan dalam
berinteraksi antara suami dan isteri, salah satu pasangan mendominasi yang lain
sehingga terjadi perasaan yang terendahkan dan terkekang dalam berekspresi.
- Untuk
isteri yang ingin mendirikan PT maka ia bisa bekerjasama dengan suami karena
sudah tidak ada lagi penyatuan harta dan kepentingan, bukan pihak yang
terafiliasi lagi.