google-site-verification: google9a13747b79e1f4cd.html Artikel Law Office MAH - Hukum Islam Artikel Law Office MAH: Hukum Islam - All Post
SEMUA ARTIKEL
M.Ardiansyah Hasibuan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Islam. Tampilkan semua postingan
PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN

 A. Pencegahan Perkawinan

1. Tujuan
Untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang oleh hukum Islam dan peraturan perundang-undangan

2. Syarat
a.   Apabila calon suami atau isteri tidak memenuhi syarat-syarat hukum Islam dan perundang-undangan.
b.   Apabila calon mempelai tidak sekufu karena perbedaan agama

3. Pihak yang dapat melakukan pencegahan
a.   Keluarga garis lurus ke atas dan ke bawah.
b.   Saudara.
c.   Wali nikah.
d.   Wali pengampu.
e.   Suami atau isteri (lain) yang masih terikat perkawinan dengan calon suami atau isteri tersebut.
f.    Pejabat pengawas perkawinan.

4. Prosedur pencegahan.
a. Pemberitahuan kepada PPN setempat.
b. Mengajukan permohonan pencegahan ke Pengadilan Agama setempat.
c. PPN memberitahukan hal tersebut kepada calon mempelai.

1.   Akibat hukum: perkawinan tidak dapat dilangsungkan, selama belum ada pencabutan pencegahan perkawinan.
2.   Cara pencabutan dengan menarik kembali permohonan pencegahan perkawinan pada Pengadilan Agama oleh yang mencegah dan dengan putusan Pengadilan Agama.
3.   PPN tidak boleh melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan walaupun tidak ada pencegahan perkawinan, jika ia mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, 9,10 atau 12 UUP.

Hasil gambar untuk PERNIKAHAN SIRI

Membahas tentang pernikahan siri mungkin akan berujung pada penjelasan akibat dari pernikahan itu sendiri dimana secara tegas dan jelas menyatakan tidak adanya kepastian hukum atas status serta hak si Istri. Ini karena perkawinan tersebut tidak diakui oleh hukum negara, meskipun secara agama dianggap sah. Efek lain dari perkawinan siri tentu saja adalah masalah hak anak dari perkawinan tersebut.

Menurut saya, sepertinya masyarakat salah persepsi tentang hak anak hasil perkawinan siri. Di masyarakat, secara awam seakan-akan telah men-judge bahwa anak hasi perkawinan siri tidak memiliki status yang jelas. Ini tentu saja tidak benar. Hukum tetap meng-akomodir tentang hak-hak anak hasil perkawinan siri. Faktanya, memang kerap ditemukan suami yang mengabaikan hak-hak anak hasil perkawinan siri. Dengan dalih dan argumentasi yang NORAK, umumnya mereka berdalih perkawinan tersebut tidak tercatat secara resmi di pencatatan perkawinan dan asal-usul anak tidak dapat dibuktikan karena tidak adanya akte kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
KONSEP PERCERAIAN DALAM PUTUSAN VERSTEK
Dalam persidangan perceraian, tidak tertutup kemungkinan ketidakhadiran pihak tergugat meskipun ia telah dipanggil secara patut menurut undang-undang dimana pemanggilan tersebut dilakukan oleh jurusita dengan membuat berita acara pemanggilan. Undang-undang mensyaratkan pemanggilan para pihak untuk bersidang dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali pemanggilan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam pasal 126 – 127 HIR (Herziene Indonesisch Reglement / Reglemen Indonesia Baru -RIB) :
“ …., Pengadilan Negeri, sebelum menjatuhkan keputusan, dapat memerintahkan supaya pihak yang tidak hadir dipanggil pada kedua kali datang menghadap pada hari persidangan yang datang, yang diberitahukan oleh ketua kepada yang hadir, untuk siapa pemberitahuan ini berlaku seperti panggilan. Jika tergugat tidak menghadap dan juga tidak menyuruh orang lain hadir selaku wakilnya, maka pemeriksaan perkara diundur sampai ke hari persidangan lain, sedapat mungkin jangan lama.”

1.        Pendahuluan
Tujuan terbesar dalam Pengangkatan Anak ialah semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan anak angkat itu sendiri. Aturan yang berkaitan dengan perbuatan hukum tersebut diatur dalam pelbagai produk hukum, antara lain :
a)      Burgerlijk Wetboek[1]
b)      Staatsblad No. 129 Tahun 1917 tentang Pengangkatan Anak[2] (khusus bagi Golongan Tionghoa)
c)      Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak[3]
d)     Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak[4]
e)      Kompilasi Hukum Islam[5]
f)       Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak[6]
g)      SEMA No. 2 Tahun 1979 Jo. SEMA No. 6 Tahun 1983[7]
h)      Keputusan Menteri Sosial No. 41/Huk/Kep/VII/1984[8].
Implikasi dari pengangkatan anak salah satunya ialah Hukum Waris. Pasal 171 huruf a KHI, menyatakan bahwa :
“Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan/ tirkah pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing”
Pasal 830 dan 833 BW menyiratkan bahwa adanya suatu perolehan hak milik yang didapatkan ahli waris/ erfgenaam karena adanya suatu peristiwa hukum, yaitu meninggalnya si pewaris/ erflater. Karena pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan hukum, maka menimbulkan akibat hukum pula, salah satunya selain kewajiban dari orang tua angkat untuk menjamin kesejahteraan si anak angkat, ialah tentang aturan apakah si anak angkat juga berhak atas harta waris yang ditinggalkan orang tua angkatnya. Dalam  Hukum Waris (khususnya Islam dan Perdata), telah menentukan kategori/ penggolongan ahli waris secara ab-instentato, Pasal 174 KHI Jo Pasal 852-873 BW dan berdasarkan wasiat Testaminteir Erfrecht (Pasal 874 BW dan Bab V Buku II KHI).
Terdapat perbedaan yang sangat mendasar mengenai Wasiat dalam aturan BW dan KHI, jika dalam BW ia harus berupa akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendaki akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut kembali olehnya, sedangkan dalam aturan KHI wasiat dapat berupa lisan (dan juga dapat berupa tulisan) yang diucapkan dihadapan minimal 2 orang saksi atau dihadapan Notaris. Lalu bagaimanakah apabila di suatu Peristiwa Hukum, Erflater meninggal dunia secara bersamaan tanpa meninggalkan suatu wasiat, dengan suatu kondisi bahwa ia tunduk secara penuh pada ketentuan BW dan meninggalkan seorang anak angkat, apakah anak angkat tersebut berhak atas bagian harta waris dari Erflater ?

2.        Isu Hukum
1)      Bagaimanakah kedudukan hukum anak angkat ?
2)      Apakah anak angkat mempunyai hak/ kedudukan atas harta waris orang tua angkat (sesuai ilustrasi kasus diatas) ?

3.        Analisa Hukum 
           I.          Kedudukan Hukum Anak Angkat
Dalam BW tidak mengenal adanya lembaga pengangkatan anak, karena BW mengaturnya hanya dalam dua bentuk, yaitu anak sah dalam perkawinan dan anak luar perkawinan. Anak luar kawin dibagi lagi menjadi 2, antara lain : anak luar kawin yang tidak diakui dan anak luar kawin yang diakui, dan telah disahkan secara hukum.
Anak yangdilahirkan diluar kawin untuk kemudian diangkat menjadi anak dalam BW haruslah tertuang dalam suatu bentuk akta Notaris. Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 10 Staatsblad No. 129 Tahun 1917 untuk kemudian ditambahkan pencatatannya pada Akta kelahiran anak tersebut. Namun kelembagaannya disebut sebagai adopsi anak, bukan pengangkatan anak. Implikasi yuridis yang ditentukan aturan tersebut ialah putusnya hubungan keperdataan anak yang diadopsi dengan orang tuanya, dan dianggap sebagai anak kandung dari orang yang mengadopsinya (Pasal 12 Staatsblad).
Seiring berjalannya waktu, aturan tersebut telah digantikan eksitensinya dengan adanya suatu SEMA No. 6 Tahun 1983, yang menyatakan pada intinya setiap anak yang diangkat haruslah melalui jalur penetapan pengadilan. Selanjutnya, UU No. 23 Tahun 2002 mengenal adanya suatu kelembagaan pengangkatan anak, yang diikuti dengan aturan regulasi berupa PP No. 54 Tahun 2007. Dalam UU No. 23/2002, seorang anak yang diangkat haruslah bertujuan untuk kesejahteraan bagi anak itu sendiri tanpa disertai dengan putusnya hubungan keperdataan anak yang diangkat dengan orang tuanya dengan didasarkan pada penetapan pengadilan yang kemudian diikuti dengan pencatatan dalam akta kelahiran. Hal inilah suatu perbedaan mendasar dari 2 aturan tersebut.
PP No. 54 Tahun 2007 mengatur tentang Tata Cara sahnya pengangkatan anak yang harus menempuh jalur formal. Eksistensi dari pada PP tersebut juga mengenal pengangkatan anak secara adat istiadat masayarakat setempat, disamping pengangkatan anak secara undang-undang. Sehingga kedudukan anak yang diangkat secara adat juga diakui secara sah.
Jadi, dari penjelasan singkat diatas, seorang anak diluar kawin yang telah diakui dan sahkan secara hukum, dianggap sah sebagai anak angkat, sekalipun ia didsarkan pada penetapan pengadilan (pengangkatan anak secara undang-undang) ataupun diangkat berdasar nilai adat istiadat masyarakat setempat.

1)      Subjek Ahli Waris dan Bentuk Pewarisan
Sistem kewarisan atau keturunan yang dianut oleh BW adalah sistem parental atau bilateral terbatas, dimana setiap anggota keluarga menghubungkan dirinya pada keturunan ayah atau ibunya[9]. Selanjutnya, dalam sistem hukum waris BW tidak membagi harta sebuah keluarga menjadi 2, harta asal maupun harta gono-gini, hal ini berbeda dengan yang dianut oleh UU No. 1/1974 dan KHI yang membagi 2 harta tersebut. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 849 BW, yang menyatakan bahwa :
“Undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal daripada barang-barang dalam suatu peninggalan, untuk mengatur pewarisan terhadapnya”

BW menggunakan istilah legitimie portie untuk harta waris karena pewarisan baru ada eksistensinya, bilamana si erflater telah meinggal dunia, maka dengan begitu terjadilah suatu peralihan hak milik kepada erfgenaam. Erfgenaam sendiri dalam BW telah ditentukan berdasarkan keturunan atau adanya hubungan darah dengan erflater, hal ini diatur dalam Pasal 832 BW. Kemudian mengenai bagaimana cara dan siapa yang berhak atas harta waris dari erflater, BW telah mengaturnya dalam 2 bentuk, yaitu secara keturunan/ ab-instentato dan berdasar Testaminteir Erfrecht. Sedangkan mengenai subjek yang berhak atas harta waris BW menentukan 3 pihak : erfgenaam (berdasar ab-instentato), Negara, dan pihak ketiga.
Pengaturan golongan ahli waris (erfgenaam secara ab-instentato) dalam BW dibagi menjadi 2 bagian, antara lain :
1)      Ahli waris karena kedudukan sendiri (Uit Eigen Hoofde), Pasal 852 BW, bahwa tidak ada pembeda antara laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan atas besaran harta waris, dan juga mereka tidak berdasar kedudukan menggantikan (Bij Plaat Vervuling) dengan unsur ia bertalian keluarga dalam derajat kesatu dengan si erflater.
2)      Ahli waris karena Penggantian (Bij Plaats Vervuling), Pasal 841 BW , ketentuan mengenai kedudukan menggantikan haruslah telah dengan meninggalnya ahli waris yang seharusnya mendapatkan hak waris terlebih dahulu, maka dengan meninggalnya si ahli waris tersebut, ahli waris berikutnya lah yang menjadi kedudukan menggantikan dan mendapatkan besaran hak atas harta waris sama besarnya dengan ahli waris yang ia gantikan. Selanjutnya, mengenai kedudukan Penggantian ini, BW membagi ke dalam 4 golongan, antara lain :
  1. Golongan Pertama : Suami atau Isteri dan keturunannya (Pasal 852 BW)
  2. Golongan Kedua : Orang Tua (Pasal 854-855BW), Saudara (Pasal 854 BW)
  3. Golongan Ketiga : para leluhurnya-golongan lurus keatas (Pasal 850, 853, 858 BW)
  4. Golongan Keempat : anak keluarga lainnya dalam garis menyimpang sampai pada derajat keenam (Pasal 858 BW).
Apabila dari keempat golongan tersebut tidak diketemukan terhadap subjek siapa yang mempunyai kedudukan untuk menjadi erfgenaam, maka seluruh harta waris dari erflater, dikuasai oleh Negara. Jadi, Negara dalam hal ini mempunyai kedudukan untuk menggantikan posisi para erfgenaam dengan catatan, bahwa harus melalui penetapan pengadilan (Pasal 832 dan 833 ayat 3 BW) terlebih dahulu dan telah tidak adanya kedudukan pihak dari keempat golongan yang telah ditentukan oleh BW tersebut diatas, baik karena kematian atau karena menggunakan hak untuk menolak warisan. Oleh karenanya pula, BW mengatur tentang syarat-syarat seseorang mempunyai kedudukan sebagai erfgenaam setelah adanya penggolongan tersebut, antara lain :
  1. Ia belum meninggal pada saat warisan terbuka atau warisan lahir karena kematian si erflater, sehingga tidak memungkinkan kepadanya untuk memberikan kedudukan Penggantian kepada pihak lainnya (Pasal 836 BW, dengan pengecualian pada Pasal 2 BW)
  2. Bukan orang yang mempunyai sebab-sebab menjadi penghalang mendapatkan harta waris (Onwaarding) Pasal 838 BW, antara lain :
a)      Telah dipersalahkan membunuh atau mencoba membunuh erflater
b)      Karena suatu putusan pengadilan pernah dipersalahkan secara fitnah telah mengajukan pengaduan kepada erflater, tentang suatu pengaduan mengenai kejahatan yang minimal diancam 5 tahun penjara atau lebih.
c)      Mencegah atau menggunakan kekerasan agar erflater tidak menggunakan haknya untuk membuat suatu testament waris atau mencabutnya.
d)     Menggelapkan, merusak atau memalsukan testament waris dari erflater.
Selanjutnya, tentang kedudukan pihak ketiga yang berhak atas harta waris, BW telah mengaturnya dalam Wasiat Testament atau Testaminteir Erfrecht. Artinya, sekalipun ia bukan merupakan keturunan atau bukan ahli waris secara ab-instentato, ia berhak atas bagian dari harta waris si erflater, dengan dasar erflater telah membuat suatu surat wasiat, sehingga Surat Wasiat itulah yang menjadi dasar beralihnya salah satu atau beberapa bagian harta milik si erflater kepada pihak ketiga. Penunjukkan atau pengangkatan seseorang ini dinamakan erfstelling, sedangkan ahli warisnya ialah ahli waris ad-testamento.
Pada prinsipnya, Wasiat merupakan suatu pernyataan (Eenzijdig) yang tertuang dalam bentuk akta, yang timbul dari salah satu pihak (erflater) yang memberikan akibat hukum kepada seseorang yang dinyatakan dalam wasiat tersebut, karenanya pula suatu pernyataan tersebut dapat ditarik kembali oleh si erflater baik secara tegas atau secara diam-diam (Pasal 875 BW).
Testaminteir Erfrecht dalam BW dibedakan menjadi 2 yaitu : wasiat pengangkatan waris/ Erfstelling (Pasal 954 BW) dan hibah wasiat/ Legaat (Pasal 957 BW). Yang membedakan antara Erfstelling dan Legaat adalah pada suatu titlenya, jika Erfstelling didasarkan pada suatu title yang umum, tidak demikian dengan Legaat, titlenya haruslah suatu title yang khusus. Pasal 957 BW memberikan suatu kekehususan dari barang peninggalan erflater baik bergerak ataupun tidak bergerak atau hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian.
2)      Kedudukan Anak Angkat sebagai Ahli Waris.
Pengaturan tentang siapa yang mempunyai kedudukan sebagai ahli waris, telah ditentukan berdasarkan kaitan keturunan atau adanya hubungan darah/ ab-instentato dan bedasar Testaminteir Erfrecht. Anak angkat tidaklah mempunyai suatu keterikatan kekeluargaan secara garis lurus atau adanya hubungan darah dengan Adoptan. Sehingga, dengan kedudukan semacam ini, yang dimungkinkan oleh hukum ialah ia bisa menjadi bagian dari ahli waris apabila ia diangkat atau ditunjuk berdasar testament dari erflater. Namun, seiring eksistensi peraturan yang baru yaitu SEMA No. 6/1983 Jis UU No. 23/1992 Jo. PP No. 54/2007 yang dikaitkan dengan pengertian BW mengenai kedudukan anak diluar kawin, maka anak angkat merupakan suatu anak luar kawin yang diakui oleh hukum. Konsekuensi logis dari pengaturan tersebut ialah anak tersebut mempunyai kedudukan sebagai ahli waris sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 852 BW.
Hal ini menyiratkan bahwa Anak Angkat mempunyai kedudukan sebagai Legitimie Portie atas segala bentuk Harta Waris dan sebagai Ahli Waris yang mutlak. Karena pada hakekatnya, perlindungan anak dalam bidang hukum perdata meliputi banyak aspek hukum, diantaranya[10] :
1)      Kedudukan anak
2)      Pengakuan anak
3)      Pengangkatan anak (adopsi)
4)      Pendewasaan
5)      Kuasa asuh (hak dan kewajiban) orang tua terhadap anak
6)      Pencabutan dan pemulihan kuasa asuh orang tua
7)      Perwalian (termasuk harta peninggalan)
8)      Tindakan untuk mengatur yang dapat diambil guna perlindungan anak
9)      Biaya hidup anak yang ditanggung orang tua akibat perceraian (alimentasi).
Pada dasarnya, pewarisan adalah suatu perbuatan hukum yang timbul karena peristiwa hukum, yang dalam kaidah hukum bersifat mengatur. Oleh karenanya, prinsip Legitimie Portie harus didahulukan hak mewarisinya, dengan demikian ketentuan Pasal 852 BW merupakan bentuk hak untuk mewarisi harta waris seorang anak angkat yang telah diakui secara sah demi hukum, sekalipun ia tidak didasarkan pada suatu testament tertulis dari erflater.

[1] Selanjutnya ditulis BW.
[2] Selanjutnya ditulis Staatsblad
[3] Selanjutnya ditulis UU No. 4/1979
[4] Selanjutnya ditulis UU No. 23/2002
[5] Selanjutnya ditulis KHI
[6] Selanjutnya ditulis PP No. 54/2007
[7] Selanjutnya ditulis SEMA No. 2/1979 Jo.SEMA No. 6/1983
[8] Selanjutnya ditulis Kepmensos No. 41/1984
[9] Risko El Windo Al Jufri, Tesis, Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa di Kota Jambi, Universitas Diponegoro, Semarang.
[10] Ibid, h. 27

Di negara kita yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, menjadi persoalan yang sensitif ketika salah seorang calon pasangan berniat mengajukan untuk membuat perjanjian pra nikah. perjanjian pranikah (Prenuptial Agreement) menjadi suatu hal yang tidak lazim dan dianggap tidak biasa, kasar, materialistik, juga egois, tidak etis, tidak sesuai dengan adat timur dan lain sebagainya
Karena pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang sakral, maka perjanjian pranikah masih dianggap sebagai urusan duniawi yang tidak sepantasnya dibicarakan dan dilakukan. Karena kalau dilakukan, lalu akan muncul pertanyaan apa bedanya dengan perjanjian-perjanjian yang biasa dilakukan oleh dua orang yang melakukan transaksi bisnis?

1. Apa yang dimaksud dengan perjanjian pra nikah?
Prenuptial Agreement atau perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang dibuat sebelum dilangsungkannya pernikahan dan mengikat kedua calon mempelai yang akan menikah, isinya mengenai masalah pembagian harta kekayaan diantara suami istri yang meliputi apa yang menjadi milik suami atau isteri dan apa saja yang menjadi tanggung jawab suami dan isteri, ataupun berkaitan dengan harta bawaan masing-masing pihak agar bisa membedakan yang mana harta calon istri dan yang mana harta calon suami, jika terjadi perceraian atau kematian disalah satu pasangan.
Biasanya perjanjian pra nikah dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, suami ataupun istri. Memang pada awalnya perjanjian pranikah banyak dipilih oleh kalangan atas yang yang memiliki warisan besar.

2. Apakah membuat perjanjian pra nikah dibenarkan secara hukum dan agama?
Membuat perjanjian pra nikah di perbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat. Hal ini telah diatur sesuai dengan pasal 29 ayat 1 UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:”Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, keduabelah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai Pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut”. dalam penjelasan pasal 29 UU No.1/1975 tentang perkawinan, dikatakan Yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk Taklik Talak.
Dalam ayat 2 dikatakan: perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilemana melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan.
Selain itu Kompilasi Hukum Islam juga memperbolehkan Perjanjian pra nikah sebagaimana dikatakan dalam pasal 47 ayat : “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan”
Konsep perjanjian pra nikah awal memang berasal dari hukum perdata barat KUH Per. Tetapi UU No.1/1974 tentang Perkawinan ini telah mengkoreksi ketentuan KUH Per (buatan Belanda) tentang perjanjian pra nikah. Dalam pasal 139 KUH Per: “Dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami isteri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-undangan sekitar persatuan harta kekayaan asal perjanjia itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini, menurut pasal berikutnya”
Bila dibandingkan maka KUHPer hanya membatasi dan menekankan perjanjian pra nikah hanya pada persatuan harta kekayaan saja, sedangkan dalam UU Perkawinan bersifat lebih terbuka, tidak hanya harta kebendaan saja yang diperjanjikan tetapi juga bisa diluar itu sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat
Secara agama, khususnya agama islam dikatakan dalam AQ Al-baqarah:2 dan Hadits: bahwa setiap Mukmin terikat dengan perjanjian mereka masing-masing. Maksudnya, jika seorang Mukmin sudah berjanji harus dilaksanakan. Perjanjian pranikah tidak diperbolehkan bila perjanjian tersebut menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, contohnya : perjanjian pranikah yang isinya, jika suami meninggal dan mereka tidak dikaruniai anak, warisan mutlak jatuh pada istrinya. Padahal dalam Islam, harta suami yang meninggal tanpa dikaruniai seorang anak tidak seluruhnya jatuh kepada sang istri, masih ada saudara kandung dari pihak suami ataupu orangtua suami yang masih hidup.Hal diatas adalah “menghalalkan yang haram" atau contoh lain Perkawinan dengan dibatasi waktu atau namanya nikah mut'ah (kawin kontrak).

Suatu Pernikahan tidak boleh diperjanjikan untuk bercerai"
Dalam agama katolik, perjanjian perkawinan yang penting adalah dimana pria dan wanita yang melakukan perkawinan akan membentuk kebersamaan seluruh hidup (Consorsium totius Vitac) diantara mereka menurut sifat kodratnya terarah pada kesejahteraan suami isteri serta pada kelahiran dan pendidikan anak. Sementara untuk agama Hindu, hukum yang mengatur khusus tentang perjanjian perkawinan tidak ada, tetapi yang jelas apabila ada perjanjian yang dibuat bertentangan dengan larangan dalam agama Hindu maka perjanjian itu tidak sah. Begitu pula dengan agama budha, menurut hukum perkawinannya (HPAB) yang telah disahkan pada tanggal 1 Januari 1977, tidak ada aturan khush tentang perjanjian perkawinan, diaman berarti terserah para pihak yang bersangkutan asal perjanjian yang diabuat tidak bertentangan dengan agama Budha Indonesia, UU No. /1975 dan kepentingan Umum (Prof. Hilman Hadikusuma, SH, Hukum perkawinan Indonesia menurut perundang-undangan, hukum adat dan hukum agama, CV. Maju Mandar, Bandung, 1990, hlm. 60)

3. Apa Saja Isi Perjanjian Pranikah?
isi Perjanjian pra nikah diserahkan pada pihak calon pasangan yang akan menikah dengan syarat isinya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama, Seperti telah dijelaskan diatas dalam point 1.
Bahwa perjanjian pra nikah dasarnya adalah bentuk kesepakatan maka ia termasuk dalam hukum perjanjian buku III KUHPer, sebagaimana Pasal 1338: para pihak yang berjanji bebas membuat perjanjian selama tidak melanggar kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang.
Biasanya berisi pengaturan penyelesaian dari masalah yang kira-kira akan timbul selama masa perkawinan, antara lain :
-      tentang pemisahan harta kekayaan. Pemisahan harta kekayaan yang diperoleh sebelum pernikahan yaitu segala harta benda yang diperoleh sebelum pernikahan dilangsungkan atau yang biasa disebut harta bawaan yang didalamnya bisa termasuk harta warisan atau hibah, disebutkan dalam harta apa saja yang sebelumnya dimiliki suami atau isteri.
Pemisahan harta pencaharian/pendapatan yang diperoleh selama pernikahan atau mengenai tidak adanya percampuran harta pendapatan maupun aset-aset baik selama pernikahan itu berlangsung maupun apabila terjadi perpisahan, perceraian, atau kematian.
Tetapi Untuk hal pemisahan pendapatan para pihak tidak boleh melupakan hak dan kewajiban suami sebagai kepala rumah tangga, seperti dikatakan dalam Pasal 48 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam: “Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan RT”. Dalam ayat 2 dikatakan: “Apabila perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut dalam ayat 1 dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan RT”. Untuk biaya kebutuhan RT istri dapat membantu suami dalam menanggung biaya kebutuhan RT, hal mana bisa diperjanjikan dalam perjanjian pra nikah. Atau mungkin dalam rangka proses cerai, ingin memisahkan harta, bisa saja diperjanjiankan tentang bagaimana cara pembagian harta.
-     Pemisahaan harta juga termasuk pemisahan utang, jadi dalam perjanjian pranikah bisa juga diatur mengenai masalah utang yang akan tetap menjadi tanggungan dari pihak yang membawa atau mengadakan utang itu. Utang yang dimaksud adalah utang yang terjadi sebelum pernikahan, selama masa pernikahan, setelah perceraian, bahkan kematian.
-     Tidak terbatas pada masalah keuangan saja, isi perjanjian pra nikah bisa meliputi hal-hal yang kira-kira dapat berpotensi menimbulkan masalah selama perkawinan, antara lain hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan, tentang pekerjaan, tentang para pihak tidak boleh melakukan hal-hal sebagaimana diatur dalam Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), tidak adanya percampuran harta pendapatan maupun aset-aset, baik selama pernikahan itu berlangsung maupun apabila terjadi perpisahan, perceraian ataupun kematian, juga tentang warisan dan hibah.
-     Pada perjanjian pranikah juga dapat menyebutkan tentang tanggung jawab terhadap anak-anak yang dilahirkan selama perkawinan, baik dari segi pengeluaran sehari-hari, maupun dari segi pendidikan. Walaupun pada prinsipnya semua orang tua bertanggung jawab terhadap pendidikan, kesehatan dan tumbuh kembang anak, sehingga istri juga ikut bertanggung jawab dalam hal ini, itu semua bisa disepakati bersama demi kepentingan anak.
-     Bahkan dalam perjanjian pra nikah dapat diperjanjikan bagi pihak yang melakukan poligami diperjanjikan mengenai tempat kediaman, Waktu giliran dan biaya RT bagi isteri yang akan dinikahinya (pasal 52 KHI).
Dalam perjanjian pra nikah itu para pihak tidak bisa mencantumkan klausul penentuan kewarganegaraan apakah anak yang dilahirkan kelak mengikuti kewarganegaraan ayah atau ibu, karena hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yaitu UU No.62 tahun 1968 tentang kewarganegaraan, yang menganut asas ius sanguinis yaitu asas seorang anak akan mengikuti kewarganegaraan suami.
Intinya dalam perjanjian pranikah hal hal yang disebutkan didalamnya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama, Seperti telah dijelaskan diatas dalam point 1, dan kesepakatan dicapai setelah masing-masing pihak sepakat dan sukarelaan serta tidak ada paksaan.
Pelanggaran atau tidak dijalankannya isi perjanjian pra nikah ini maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan perceraian ke PA atau PN setempat
Biasanya konsep dasar akta perjanjian pra nikah sudah ada di semua notaris, tinggal nanti terserah pada masing-masing calon pasangan untuk menambahkan atau mengurangi. Notaris akan memeriksa bukti kelengkapan yang menunjang isi perjanjian tadi seperti bukti kepemilikan atas harta yang diklaim adalah milik salah satu pihak, Untuk memastikan kebenaran isi akta perjanjian pra nikah. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh calon istri, calon suami, notaris dan dua orang saksi.

4. Apakah perjanjian Pranikah bisa dicabut kembali
Perjanjian pra nikah dapat dicabut kembali asalkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Seperti dikatakan dalam 29 ayat 4 UU Perkawinan : “selama perkawina berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga”.
Hal yang sama dikatakan dalam Pasal 50 ayat 2 KHI; “Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan tersebut dilangsungkan’ dan Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga ( Pasal 50 ayat 5 KHI).
Bahwa sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami dan isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan oleh suami isteri dalam suatu surat kabar setempat (Pasal 50 ayat 3 KHI).
Apabila dalam tempo 6(enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat pada pihak ketiga ( pasal 50 ayat 4 KHI ).
Esensi pencabutan perjanjian pra nikah juga sejalan dengan ketentuan pasal 1338 KUHPer perjanjian tidak bisa dibatalkan kecuali atas dasar kesepakatan keduabelah pihak.
Perjanjian pra nikah ini berlaku sejak perkawinan tersebut dilangsungkan (Psl 29 ayat 3 UU Perkawinan)

5. Apa manfaat perjanjian pranikah bagi perempuan?
Beberapa manfaat bagi pasangan calon pengantin, khusunya wanita antara lain;
-     Bila terjadi perceraian maka perjanjian pranikah ini akan memudahkan dan mempercepat pembagian harta, karena sudah pasti harta yang akan diperoleh masing-masing, sudah jelas apa yang menjadi milik suami dan apa yang menjadi milik istri, tanpa proses yang berbelit belit sebagaimana bila terjadi perceraian.
-     Harta yang diperoleh isteri sebelum nikah, harta Bawaan, harta warisan ataupun hibah tidak tercampur dengan harta suami. Menjadi jelas harta milik istri apa saja.
-     Dengan adanya pemisahan hutang maka menjadi siapa yang berhutang dan jelas siapa akan yang bertanggung jawab atas hutang tersebut. Untuk melindungi anak dan Isteri, maka isteri bisa menunjukan perjanjian pra nikah bila suatu hari suami meminjam uang ke bank kemudian tidak mampu membayar, maka harta yang bisa diambil oleh Negara hanyalah harta milik pihak tersebut (siapa yang meminjam) atau harta suami bukan dari harta isteri.
-     Isteri terhindar dari adanya kekerasan dalam RT, bisa dalam artian fisik ataupun psikis, misalnya istri bisa mengembangkan kemampuannya dengan boleh bekerja, menuntut ilmu lagi, dll Karena tidak jarang terjadi ketidakseimbangan dalam berinteraksi antara suami dan isteri, salah satu pasangan mendominasi yang lain sehingga terjadi perasaan yang terendahkan dan terkekang dalam berekspresi.
-     Untuk isteri yang ingin mendirikan PT maka ia bisa bekerjasama dengan suami karena sudah tidak ada lagi penyatuan harta dan kepentingan, bukan pihak yang terafiliasi lagi.

I. PENDAHULUAN
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama. Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama. Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan hukum yang sangat penting bagi seseorang. Hal ini berarti menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing. Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri.
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa sebenarnya perkawinan antar agama tidak diinginkan, karena bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Tetapi ternyata perkawinan antar agama masih saja terjadi dan akan terus terjadi sebagai akibat interaksi sosial diantara seluruh warga negara Indonesia yang pluralis agamanya. Banyak kasus-kasus yang terjadi didalam masyarakat, seperti perkawinan antara artis Jamal Mirdad dengan Lydia Kandau, Katon Bagaskara dengan Ira Wibowo, Yuni Shara dengan Henri Siahaan, Adi Subono dengan Chrisye, Ari Sihasale dengan Nia Zulkarnaen, Dedi Kobusher dengan Kalina, Frans dengan Amara, Sonny Lauwany dengan Cornelia Agatha, dan masih banyak lagi.
Perkawinan antar agama yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, seharusnya tidak terjadi jika dalam hal ini negara atau pemerintah secara tegas melarangnya dan menghilangkan sikap mendua dalam mengatur dan melaksanakan suatu perkawinan bagi rakyatnya. Sikap ambivalensi pemerintah dalam perkawinan beda agama ini terlihat dalam praktek bila tidak dapat diterima oleh Kantor Urusan Agama, dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil dan menganggap sah perkawinan berbeda agama yang dilakukan diluar negeri. Dari kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat terhadap perkawinan berbeda agama, menurut aturan perundang-undangan itu sebenarnya tidak dikehendaki. Berangkat dari permasalahan tersebut, maka penulis mencoba memberikan pendapat tentang Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia.

Di negara kita yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, menjadi persoalan yang sensitif ketika salah seorang calon pasangan berniat mengajukan untuk membuat perjanjian pra nikah. perjanjian pranikah (Prenuptial Agreement) menjadi suatu hal yang tidak lazim dan dianggap tidak biasa, kasar, materialistik, juga egois, tidak etis, tidak sesuai dengan adat timur dan lain sebagainya
Karena pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang sakral, maka perjanjian pranikah masih dianggap sebagai urusan duniawi yang tidak sepantasnya dibicarakan dan dilakukan. Karena kalau dilakukan, lalu akan muncul pertanyaan apa bedanya dengan perjanjian-perjanjian yang biasa dilakukan oleh dua orang yang melakukan transaksi bisnis?

1. Apa yang dimaksud dengan perjanjian pra nikah?
Prenuptial Agreement atau perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang dibuat sebelum dilangsungkannya pernikahan dan mengikat kedua calon mempelai yang akan menikah, isinya mengenai masalah pembagian harta kekayaan diantara suami istri yang meliputi apa yang menjadi milik suami atau isteri dan apa saja yang menjadi tanggung jawab suami dan isteri, ataupun berkaitan dengan harta bawaan masing-masing pihak agar bisa membedakan yang mana harta calon istri dan yang mana harta calon suami, jika terjadi perceraian atau kematian disalah satu pasangan.
(Sebuah Observasi Kronologis-Hipotetis Terhadap Munculnya Terminologi Syiqaq di Peradilan Agama)

Syiqaq adalah puncak perselisihan antara suami dan istri yang dikhawatirkan dapat memunculkan entitas kemadharatan apabila perkawinan mereka diteruskan. Sedangkan dalam penjelasan pasal 76 ayat (1) UU. No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, syiqaq diartikan sebagai perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami dan istri.

Syiqaq adalah puncak perselisihan antara suami dan istri yang dikhawatirkan dapat memunculkan entitas kemadharatan apabila perkawinan mereka diteruskan. Sedangkan dalam penjelasan pasal 76 ayat (1) UU. No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, syiqaq diartikan sebagai perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami dan istri.

Di lingkungan Peradilan Agama, diskursus menganai perselisihan dan pertengkaran sebagai salah satu alasan perceraian yang kemudian dinisbahkan dengan syiqaq rasanya belum selesai. Ada yang berpendapat keduanya harus dipisahkan melalui separasi (qarinah) berupa dharar pada perkarasyiqaq, namun tidak sedikit pula yang menilai secara kategoris, bahwa syiqaq sudah termasuk bagian dalam perselisihan dan pertengkaran.

Perbedaan pendapat tersebut paling tidak ditengarai oleh persepsi –sebagai output dari interpretasi– yang berbeda terhadap konotasi syiqaq. Memang, beberapa intelektual muslim telah sejak dulu memberikan deskripsi tentang syiqaq secara variatif.

Perdebatan tentang situasi ini menjadi begitu penting dan menarik ketika faktor terjadinya perceraian di Pengadilan Agama didominasi oleh pasal 19 PP. No. 9 tahun 1975 atau pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) poin (f), yakni antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Pada saat yang sama, perkara syiqaq menjadi sangat langka.

Selama perbedaan pendapat ini masih terjadi, maka penerimaan perkara perceraian di Pengadilan Agama dengan alasan perselisihan dan pertengkaran akan mengalami divergensi, yakni apakah include di dalamnya perkara syiqaq atau tidak. Padahal, jika dianalisa melalui kronologi lahirnya peraturan terkait alasan percaraian, maka kita akan menjumpai fenomena sebagai berikut :

Pada tahun 1974, lahir UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam UU yang belaku global bagi seluruh masyarakat Indonesia secara multi-religitersebut tidak dijumpai alasan perceraian.

Alasan perceraian kemudian terpapar dalam PP. No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 19 PP. tersebut, disebutkan terdapat 6 (enam) alasan perceraian yang mana salah satunya adalah “antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga” (poin f). Kata syiqaq tidak dapat dijumpai pada pasal tersebut. Hal ini sangat wajar karena PP. tersebut berfungsi sebagai pelaksana UU Perkawinan, oleh karenanya juga harus bersifat multi-religi, sedangkan term syiqaq sangat identik dengan Hukum Islam. Jika term syiqaq masuk dalam PP. No. 9 tahun 1975, tentulah akan mendapat penolakan dari berbagai kalangan karena PP. tersebut bisa dianggap diskriminatif. Maka alasan perceraian yang dapat mengakomodir syiqaq hanyalah poin f di atas.

Selanjutnya, pada tahun 1989 lahir UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Ada yang menarik dalam UU tersebut. Pada pasal 76 diketengahkan kata syiqaq yang secara implisit termasuk sebagai alasan perceraian. Hal ini wajar pula karena Peradilan Agama berdasarkan asaspersonalitas keislaman bertindak sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam dan menjadikan Hukum Islam sebagai pondasi konstruktif dalam pembuatan putusan bagi para hakimnya. Namun, dalam penjelasan pasal tersebut syiqaq masih diartikan sama dengan pasal 19 poin f PP. No. 5 tahun 1975.

Kemudian, pada tahun 1991 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam KHI, alasan perceraian tidak lagi 6 (enam) poin sebagaimana pasal 19 PP. No. 5 tahun 1975, melainkan 8 (delapan) poin dengan tambahan pelanggaran taklik talak oleh suami dan murtad. Sayangnya, syiqaq tidak dimasukkan dan ditambahkan dalam alasan perceraian tersebut. Padahal jika syiqaq dimaknai berbeda dan berdiri sendiri dari alasan perselisihan dan pertengkaran, seharusnya syiqaq dapat ditambahkan dalam pasal tersebut karena sebelumnya istilah syiqaq sudah “disinggung” dalam UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Selain pasal 76 UU No. 7 tahun 1989, syiqaq sebagai salah satu alasan perceraian juga terdapat dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama pada tahun 2010 (edisi revisi). Dalam buku tersebutsyiqaq secara lebih tegas dan jelas merupakan alasan tersendiri dalam perkara perceraian. Tata cara pemeriksaan perkara syiqaq juga dibedakan. Hanya saja dalam beberapa elaborasinya, perkara syiqaq masih mengacu pada alasan perceraian poin f dan pasal 76 di atas. Amar putusan perkarasyiqaq pun sama dengan lainnya.

Penelusuran di atas kemudian melahirkan hipotesis yang mengarah pada kesimpulan secara komprehensif, bahwa syiqaq sudah termasuk dan terkandung dalam alasan perceraian di mana “antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga” (poin f). Kesimpulan tersebut paling tidak berdasarkan pertimbangan berikut :

Pertama, independensi syiqaq dari poin f melalui qarinah berupa dharar tidak serta merta dapat diaplikasikan karena belum ada barometer yang jelas sejauh mana ketentuan yang menuju kepada kondisi dharar tersebut. Selain itu, kondisi sebuah rumah tangga dapat sewaktu-waktu berubah sehingga kondisi dalam kategori dharar tidak dapat dipastikan.

Kedua, sampai hari ini, peraturan yang secara eksplisit menyebutkan alasan perceraian hanya ada dua, yaitu PP. No. 9 tahun 1975 (pasal 19) dan KHI (pasal 116). Pada kedua peraturan tersebut, term syiqaq sama sekali tidak ditemukan.

Ketiga, telah ternyata bahwa syiqaq yang hanya dikenal dalam Hukum Islam tidak dimasukkan sebagai alasan perceraian dalam pasal 116 KHI. Padahal, lahirnya KHI melalui Inpres No. 1 tahun 1991 disinyalir sebagai salah satu proses akomodasi secara esensial Hukum Islam sebagai hukum positif melalui Peradilan Agama dengan asas personalitas keislamannya, berbeda dengan alasan perceraian dalam PP. 9 tahun 1975 yang lebih bersifat plural.

Keempat, konsiderasi syiqaq pertama kali muncul pada pasal 76 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, namun dalam penjelasan pasal tersebut pengertian syiqaq secara substantif masih senada dengan pasal 19 huruf (f) PP. No. 9 tahun 1975 sebagai salah satu alasan perceraian tanpa perbedaan yang signifikan. Unsur dharar sama sekali tidak muncul dalam penjelasan pasal tersebut, hanya terdapat kata “tajam” yang masih mengalami multi-tafsir. Apakah tajam dalam arti perselisihan yang dapat menimbulkan bahaya (baca : dharar), ataukah tajam dalam arti perselisihan yang terus menerus (tidak sekadar “sering”) yang kemudian dikonfirmasikan oleh kalimat berikutnya. Ketika UU No. 7 tahun 1989 dua kali mengalami perubahan, pasal tentang syiqaq pun tidak tersentuh sama sekali.

Kelima, titik tekan pasal 76 UU No. 7 tahun 1989 sebenarnya bukanlah syiqaq itu sendiri sebagai salah satu alasan perceraian, melainkan keharusan mendengarkan saksi keluarga sekaligus kewenangan Pengadilan Agama untuk manghadirkan hakam dalam perkara perceraian yang disebabkan perselisihan dan pertengkaran yang kemudian diistilahkan sebagai syiqaq.

Lahirnya KHI sejatinya memberikan oportunitas terhadap formalisasi Hukum Islam ke dalam ranah Hukum Nasional. Hal ini akan sangat membantu hakim pengadilan agama karena selalu melibatkan regulasi organik sebagai landasan dalam penerapan hukum. Namun sebagai mana kita ketahui, dalam pasal 116 KHI alasan perceraian sama dengan pasal 19 PP. No. 9 tahun 1975 yang kemudian ditambah dua poin, yakni Suami melanggar taklik talak (poin g) dan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga (poin h). Jika syiqaq harus dimaknai terpisah dari perselisihan dan pertengkaran (poin f), sudah semestinya syiqaq juga dimasukkan sebagai poin tersendiri sebagaimana dua poin sebelumnya.

Most Trending