Sebelum pembahasan terkait tahapan
Pra-Mediasi perlu diketahu lebih lanjut terkait hal-hal lain yang mendukung
pelaksanaan Mediasi di Pengadilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Mahkamah
Agung RI No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Adapun
hal-hal tersebut antara lain seperti Pedoman Mediasi, Sifat Mediasi, Kewajiban
menghadiri Mediasi, Biaya dan Tempat Mediasi, Mediator, dan Keterpisahan
Mediasi dari Proses Litigasi.
Pedoman Mediasi di Pengadilan
merupakan kewajiban Hakim Pemeriksa Perkara dalam mengupayakan Perdamaian
melalui Mediasi antara kedua belah pihak, sehingga apabila Hakim Pemeriksa
Perkara tidak memerintahkan atau mengupayakan damai kepada para pihak dengan
Mediasi maka telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai Mediasi di Pengadilan. Apabila hal tersebut terjadi maka
dalam upaya hukum berikutnya dengan putusan sela memerintahkan pengadilan
tingkat pertama untuk melakukan proses Mediasi.[1] Sifat
dari Proses Mediasi ini pada dasarnya bersifat tertutup kecuali para pihak
menghendaki lain, sehingga pada berakhirnya Mediasi, catatan Mediator wajib di
musnahkan dan juga hal-hal yang terungkap dalam Mediasi tidak bisa digunakan
sebaggai Alat Bukti di Persidangan Proses Litigasi.[2]
Seperti yang disebutkan di atas,
bahwa pengupayaan damai melalui Mediasi merupakan kewajiban dan memiliki
konsekuensi apabila tidak dilaksanakan oleh Hakim Pemeriksa Perkara. Jika
dilihat dari sudut pandang Para Pihak, bahwa Para Pihak wajib mengahdiri secara
langsung pertemuan Mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh Kuasa Hukumnya,
kecuali terdapat alasan-alasan sah seperti kondisi kesehatan yang tidak
memungkinkan, di bawah pengampuan, berdomisili di luar negeri ataupun sedang
menjalankan tugas negara, profesi atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.
Proses Mediasi ini dilakukan paling
lama 30 hari terhitung sejak penetapan penunjukan Mediator, sehingga dalam 30
hari tersebut, harus sudah terbentuk Kesepakatan Perdamaian ataupun Pernyataan
bahwa Mediasi Gagal atau tidak dapat dilanjutkan. Tempat Pelaksanaan Mediasi
diselenggarakan di ruang Medasi Pengadilan atau tempat lain di Luar Pengadilan
yang disepakati Para Pihak, tetapi untuk Mediator Hakim dilarang untuk menyelenggarakan
Mediasi di Luar Pengadilan.[3]
Mediator dalam Peraturan Mahkamah
Agung No.1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan merupakan Hakim
atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang
membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan
penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah
penyelesaian.[4] Sertifikat
Mediator merupakan syarat wajib yang harus dimiliki oleh Mediator selain Hakim
dengan cara mengikuti pendidikan dan pelatihan Mediator yang diselenggarakan
oleh lembaga yang telah mendapat akreditasi Mahkamah Agung ataupun Mahkamah
Agung itu sendiri. Dalam hal keterbatasan jumlah Mediator surat keputusan Ketua
Pengadilan dapat mengangkat Hakim tidak bersertifikat untuk menjalankan fungsi
Mediator.[5] Tugas
Mediator[6]dalam
menjalankan fungsinya antara lain; memperkenalkan diri dan memberi kesempatan
kepada para pihak untuk saling memperkenalkan diri; menjelaskan maksud, tujuan
dan sifat Mediasi kepada Para Pihak; menjelaskan kedudukan dan peran Mediator
yang netral dan tidak mengambil keputusan; membuat aturan pelaksanaan Mediasi
bersama Para Pihak; menjelaskan bahwa Mediator dapat mengadakan pertemuan
dengan satu pihak tanpa kehadiran pihak lainnya (Kaukus); menyusun jadwal
Mediasi bersama Para Pihak; mengisi formulir jadwal Mediasi; memberikan
kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan permasalahan dan usulan
perdamaian; menginventarisasi permasalahan dan mengagendakan pembahasan
berdasarkan skala prioritas; memfasilitasi dan mendorong Para Pihak untuk
menelusuri dan menggali kepentingan, mencari berbagai pilihan penyelesaian
terbaik dan bekerja sama dalam mencapai penyelesaian; membantu Para Pihak dalam
membuat dan merumuskan Kesepakatan Perdamaian; menyampaikan laporan
keberhasilan, ketidakberhasilan dan/atau tidak dapat dilaksanakannya Mediasi;
menyatakan salah satu pihak tidak beritikad baik dan menyampaikannya kepada
Hakim Pemeriksa Perkara. Mediator dalam menjalankan fungsi dan tugasnya
memiliki Kode Etik Mediator, Kode Etik Mediator tersebut didasari pada 5
Prinsip Dasar Pedoman Mediator[7], antara lain
sebagai berikut;
Prinsip Netralitas, bahwa Mediator
wajib memlihara ketidakberpihakannya terhadap para pihak. Dalam menjalankan
tugasnya Mediator dilarang untuk mempengaruhi ataupun mengarahkan para pihak
untuk menghasilkan klausula yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak
atau keuntungan pribadi Mediator;
Prinsip Penentuan Diri Sendiri (Self
Determination), Mediator wajib menyelenggarakan proses Mediasi sesuai
dengan prinsip penentuan diri oleh para pihak, bahwa keputusan-keputusan yang
ada didalam proses Mediasi merupakan hasil dari persetujuan para pihak.
Mediator wajib menghormati hak-hak para pihak seperti hak untuk keluar dari
proses Mediasi;
Prinsip Kerahasiaan, Mediator wajib
memelihara atau menjaga kerahasiaan segala sesuatu baik dalam bentuk perkataan,
catatan maupun hal-hal yang terungkap dalam proses Mediasi. Mediator wajib
memusnahkan catatan-catatan dalam proses Mediasi, setelah berakhirnya proses
Mediasi, hal ini yang menjadikan proses Mediasi terpisah dari proses Litigasi;
Prinsip Bebas dari Benturan Kepentingan
(Free from Conflict of Interest), bahwa seorang Mediator dilarang
memiliki keterlibatan dalam konflik kepentingan pada sengketa para pihak, dalam
hal Mediator mengetahui adanya konflik kepentingan maka ia wajib mengundurkan
diri;
Prinsip Dasar Mediasi (Ground
Rules), bahwa Mediator wajib menjelaskan kepada para pihak pada pertemuan
pertama dengan lengkap terkait pengertian, prosedur, tahapan Mediasi, proses
Mediasi, peran Mediator dan segala hal yang terkait Mediasi.
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebutlah
seseorang dapat dikatakan sebagai Mediator yang baik, seperti yang disebutkan
diatas bahwa proses Mediasi berbeda/terpisah dari proses litigasi. Keterpisahan
Mediasi dari proses Litigasi bahwa jika terdapat salah satu pihak mengeluarkan
pernyataan ataupun pengakuan dalam proses Mediasi, maka tidak dapat digunakan
sebagai Alat Bukti dalam proses persidangan perkara (litigasi), segala bentuk
catatan Mediator wajib dimusnahkan dengan berakhirnya proses Mediasi, dalam
pembuktian pun Mediator tidak dapat menjadi saksi atas apa yang ia dapat
didalam proses Mediasi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan.
Mediator tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana atas isi kesepakatan
perdamaian hasil Mediasi.[8]
Pada Pelaksanaan Mediasi di
Pengadilan, tahapan atau prosedur Mediasi dibagi menjadi 2 tahapan, antara lain
Pra-Mediasi dan Proses Mediasi. Tahapan Pra-Mediasi merupakan tahapan sebelum
dilaksanakannya proses Mediasi, antara lain Penjelasan Kewajiban para pihak
untuk hadir dan beritikad baik pada Mediasi, Pemilihan Mediator serta batas
waktunya, dan pemanggilan para pihak. Proses Mediasi merupakan tahapan dimana
Mediator memulai melakukan proses Mediasi dengan ruang lingkup yang tidak
terbatas hanya pada posita dan petitum gugatan, Proses Mediasi ini antara lain
Pertemuan Mediator dengan kedua belah pihak, Pertemuan Mediator dengan salah
satu pihak (Kaukus), Penyerahan Resume Perkara, Keterlibatan Ahli dan Tokoh
Masyarakat serta Kesepakatan-kesepakatan Mediasi. Adapun penjelasan lebih
lanjut terkait tahapan Pra-Mediasi dan Proses Mediasi antara lain;
1.
Tahapan Pra-Mediasi
Pertama-tama sebelum memasuki
Mediasi itu sendiri terlebih dahulu harus ada gugatan yang didaftarkan ke
Panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Kemudian setelah itu, terdapat
penunjukan Majelis Hakim oleh Ketua Pengadilan Negeri. Setelah itu Ketua
Majelis menentukan hari pertama sidang dan menyuruh Juru Sita/Juru Sita
Pengganti melakukan pemanggilan kepada kedua belah pihak pada hari sidang yang
telah ditetapkan (Pasal 121 ayat (1) HIR, 145 ayat (1) Rbg).[9]
Berdasarkan ketentuan dalam Het
Herziene Inlandsch Reglement atau HIR pasal 130 ayat (1) atau Rechtsreglemen
voor de Buitengewesten Atau RBg pasal 154 ayat (1) menyatakan hakim
diwajibkan untuk mengusahakan perdamaian antara para pihak.[10] Kemudian
ketentuan pengusahaan perdamaian ini, dikukuhkan dengan adanya Peraturan
Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, pada
pasal 4 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa semua sengketa perdata yang diajukan
ke pengadilan termasuk perkara perlawanan (Verzet) atau putusan Verstek dan
perlawanan pihak ketiga (Derden Verzet) terhadap pelaksanaan putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu diupayakan
penyelesaian melalui Mediasi, terkecuali pada sengketa-sengketa sebagai
berikut; sengketa yang pemeriksaannya memiliki tenggang waktu penyelesaian;
sengketa yang pemeriksaannya dilakukan tanpa hadirnya penggugat atau tergugat
yang telah secara patut dipanggil; gugatan balik (Rekonvensi) dan
masuknya pihak ketiga dalam perkara (Intervensi); sengketa mengenai
pencegahan, penolakan, pembatalan dan pengesahan perkawinan; dan sengketa yang
diajukan ke pengadilan setelah diupayakan penyelesaian di luar pengadilan
melalui Mediasi dengan bantuan Mediator bersertifikat yang terdaftar di
Pengadilan setempat tetapi dinyatakan tidak berhasil berdasarkan pernyataan
yang ditandatangani oleh Para Pihak dan Mediator yang bersangkutan.[11]
Pada sidang pertama ini juga
dijelaskan juga mengenai prosedur Mediasi seperti antara lain; Pengertian dan
Manfaat Mediasi; Kewajiban para pihak untuk menghadiri dan beritikad baik dalam
Proses Mediasi; tindak lanjut Kesepakatan Perdamaian; Penandatangan Formulir Penjelasan
Mediasi.[12] Di
dalam Mediasi kehadiran para Pihak dapat diwakili oleh kuasanya atas dasar
Surat Kuasa Khusus, tetapi apabila Mediator ingin melakukan Kaukus maka Para
Pihak harus secara langsung dan tidak boleh diwakilkan, yang mana Kaukus
merupakan Pertemuan Mediator dengan salah satu pihak tanpa kehadiran pihak
lainnya.[13]
Setelah penuturan tentang kewajiban
pelaksanaan Mediasi para pihak, maka para pihak berhak memilih Mediator. Adapun
Mediator yang dipilih para pihak harus tercatat dalam Daftar Mediator di
Pengadilan setempat. Mediator dapat berjumlah lebih dari satu orang, yang
pembagian tugasnya ditentukan dengan kesepakatan antar mediator. Jika para
pihak lebih memilih mediator di luar pengadilan maka biaya-biaya yang muncul
atas itu akan dibebankan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan. Apabia
dalam waktu 2 (dua) hari para pihak belum dapat menentukan mediator, maka Hakim
Pemeriksa Perkara akan memilih mediator Hakim atau Pegawai Pengadilan yang
bersertifikat atau dengan penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Setelah pemilihan
Mediator, maka Majelis Hakim Pemeriksa Perkara menerbitkan penetapan perintah
untuk Mediasi dan menunjuk mediator yang bersangkutan, dengan penetapan
tersebut maka proses persidangan ditunda dan menunggu proses Mediasi.[14]
Setelah penunjukan Mediator, maka
Mediator menentukan hari dan tanggal pertemuan Mediasi. Pemanggilan para pihak
dilakukan oleh Juru Sita atas perintah Hakim secara demi hukum tanpa perlu
dibuat surat kuasa. Terkait biaya pemanggilan Mediasi terlebih dahulu
dibebankan kepada pihak Penggugat melalui panjar biaya perkara. Dalam melakukan
pemanggilan sebagaimana disebutkan diatas, dapat dilakukan tanpa dibuat secara
khusus surat kuasa, sehingga tanpa adanya instrument dari Hakim Pemeriksa
Perkara, Juru Sita wajib melaksanakan perintah Mediator Hakim maupun Mediator
non-hakim untuk melakukan panggilan kepada para pihak.[15]
2.
Proses Mediasi
Proses Mediasi merupakan tahapan
dimana Mediator memulai melakukan proses Mediasi dengan ruang lingkup yang
tidak terbatas hanya pada posita dan petitum gugatan. Mediasi bersifat rahasia,
sehingga Mediator Hakim atau Mediator harus segera memusnahkan dokumen-dokumen
Mediasi setelah selesainya Mediasi tersebut. Batasan waktu Mediasi adalah 30
hari terhitung sejak penetapan perintah Mediasi, Mediasi dapat diperpanjang 30
hari atas dasar persetujuan para pihak dan perpanjangan harus dimintakan kepada
Hakim Pemeriksa Perkara.
Tahapan Proses Mediasi merupakan
tahapan yang bersifat informal dalam arti tidak secara berurutan diatur di
dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2016, namun ada beberapa tahapan
yang secara kebiasaan dilakukan. Pada pertemuan pertama Mediasi para pihak
dijelaskan kembali terkait ketentuan-ketentuan Mediasi dan juga disepakati
aturan Mediasi oleh para pihak hal ini terkait pertemuan-pertemuan Mediasi
berikutnya atau persiapan jadwal pertemuan Mediasi. Kesepakatan para pihak dan
mediator ini tidak diatur secara berurutan di dalam Peraturan Mahkamah Agung RI
No. 1 Tahun 2016, namun ada beberapa hal yang diatur di dalam PERMA, antara
lain;
Pada Pasal 24, PERMA RI No. 1 Tahun
2016 yakni dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari sejak penetapan Mediator
maka para Pihak dapat menyerahkan Resume Perkara kepada Mediator dan
Pihak lain. Resume Perkara ini berisikan mengenai duduknya perkara dan apa
penyelesaian atau upaya perdamaian yang dicari. Menanggapi Resume Perkara yang
diajukan para pihak, Mediator berusaha mencari jalan titik temu antara
keinginan para pihak. Penyerahan Resume Perkara dimaksud bertujuan agar para
pihak dan mediator dapat memahami sengketa yang akan di Mediasi, hal ini akan
membantu kelancaran Proses Mediasi.[16] Menurut
Mediator Hakim Ratmoho[17],
Resume Perkara dapat berisikan Tawaran Penyelesaian Mediasi, yang berupa pokok
keinginan dari Para Pihak untuk menyelesikan Perkara.
Dikenal adanya Kaukus, Kaukus
merupakan pertemuan Mediator terhadap salah satu pihak tanpa dihadiri oleh
pihak lainnya. Ratio dari Kaukus ini adalah supaya Mediator dapat mendengar
pendapat salah satu pihak secara utuh tanpa adanya tekanan dari pihak lain,
membantu para pihak untuk menyalurkan emosi tanpa membahayakan kemajuan
Mediasi, memungkinkan mediator menemukan atau menggali informasi tambahan
terutama kemungkinan-kemungkinan penyelesaian sengketa.[18] Namun,
Kaukus ini harus diberitahukan kepada pihak lain bahwa Mediator dengan salah
satu pihak melakukan Kaukus. Kaukus ini harus didasari oleh prinsip-prinsip
mediator, yaitu Netralitas, adanya Hak penentuan diri sendiri dari Para
Pihak, Kerahasiaan, bebas dari konflik kepentingan dan berdasarkan
ketentuan-ketentuan Mediasi yang berlaku. Menurut Mediator Hakim Ratmoho[19],
Kaukus merupakan suatu cara untuk mencari informasi dari suatu pihak yang tidak
dimungkinkan disampaikan apabila dengan adanya pihak lainnya, Kaukus dilakukan
karena tidak adanya pengajuan alat-alat bukti dalam Proses Mediasi.
Pada Pasal 26 Peraturan Mahkamah
Agung RI No. 1 Tahun 2016 Mediasi dapat melibatkan Ahli dan Tokoh Masyarakat
atas dasar persetujuan para pihak. Ahli yang dimaksud dalam PERMA ini tidak
dijelaskan secara rinci, sehingga dapat dianalogiakan bahwa ketentuan terkait
ahli ini berdasarkan ketentuan peradilan pada umumnya, yaitu orang yang karenan
pendidikan atau pengalamannya selama kurun waktu yang lama dalam menekuni suatu
profesi tertentu.[20] Tokoh
Masyarakat yang dimaksud antara lain tokoh masyarkat, tokoh agama atau tokoh
adat. Kekuatan mengikatnya pendapat Ahli dan Tokoh masyarakat ini sesuai dengan
kesepakatan para pihak mau atau tidak terikat dalam pendapat ini. Terkait
biaya-biaya yang ditimbulkan dari penggunaan Ahli dibebankan atas kesepakatan
para Pihak.
Setelah mengetahui secara jelas
duduk perkara, usulan perdamaian yang diinginkan para pihak, melakukan kaukus
kepada para pihak, mendengar keterangan Ahli atau Tokoh Masyarakat jika
diperlukan, maka Mediator dapat melakukan identifikasi konflik serta
kepentingan-kepentingan para pihak, atas temuan-temuan itu lalu Mediator
mencari titik temu atau kesepakatan para pihak dimana tidak ada salah satu
pihak yang dimenangkan namun para pihak sama-sama dimenangkan, kemudian
Mediator dapat mengusulkan pelbagai pilhan pemecahan masalah kepada para Pihak.
Menurut Mediator Hakim Ratmoho[21],
setelah tahapan Kaukus dan keterangan Ahli jika diperlukan maka terjadi
Negosiasi antara Para Pihak yang ditengahi oleh Mediator. Negosiasi ini
bertujuan untuk merumuskan atau mencari kesepakatan akan penyelesaian sengketa,
yang nantinya akan dirumuskan menjadi Kesepakatan Perdamaian. Menurut Mediator
Hakim Ratmoho juga[22],
Negosisasi pada dasarnya berjalan diseluruh tahapan Mediasi, dari mulai
pertemuan pertama hingga Kaukus sebenarnya merupakan Negosiasi atau tawar
menawar yang ditengahi oleh Mediator.
Setelah penyampaian usulan pemecahan
masalah maka dapat terjadi beberapa kemungkinan kesepakatan, antara lain; para
pihak sepakat untuk damai; para pihak sepakat untuk melakukan perdamaian untuk
sebagian pihak atau Perdamaian Sebagaian; ataupun para pihak tidak dapat
mencari titik temu kesepakatan perdamaian.
Apabila para pihak mencapai
kesepakatan dalam Mediasi, menurut ketentuan Pasal 27 Peraturan Mahkamah Agung
RI No. 1 Tahun 2016 maka para pihak dengan bantuan Mediator wajib merumuskan
kesepakatan secara tertulis dalam Kesepakatan Perdamaian yang ditandatangani
oleh para pihak dan Mediator. Kesepaktan Perdamaian merupakan dokumen yang
memuat syarat-sayarat yang disepakati oleh para pihak guna mengakhiri sengketa
yang merupakan hasil dari upaya perdamaian dengan bantuan Mediator.[23] Kesepakatan
yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan hukum, ketertiban umum,
kesusilaan; merugikan pihak ketiga atau tidak dapat diaksanakan. Menurut
Mediator Hakim Ratmoho[24],
dalam membantu merumuskan Kesepakatan Perdamaian Mediator Hakim bersifat Pasif,
karena pada dasarnya Kesepakatan Perdamaian harus disusun oleh Para Pihak,
keberadaan Mediator hanya untuk menengahi jalannya Mediasai agar terlaksana
dengan baik.
Kesepakatan Perdamaian tersebut
dapat diajukan kepada Hakim Pemeriksa Perkara agar dikuatkan menjadi Akta
Perdamaian. Hakim Pemeriksa perkara dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari
harus segera mempelajari dan meneliti kesepakatan. Setelah itu apabila sudah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 27, maka dalam waktu paling
lama 3 (tiga) hari Hakim Pemeriksa Perkara menerbitkan penetapan hari sidang
pembacaan Akta Perdamaian.[25]Akta Perdamaian
adalah akta yang memuat isi kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang
menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya hukum
biasa maupun luar biasa. Keberadaan Akta Perdamaian ini sebagai penguat dari
Kesepakatan Perdamaian antara Para Pihak, yang mana Akta Perdamaian ini
memiliki kekuatan Eksekutorial layaknya Putusan Pengadilan.[26]
Perdamaian Sebagian dicapai dalam
hal terjadi kesepakatan antara penggugat dan sebagian pihak tergugat, yang mana
penggugat mengubah gugatan dengan tidak lagi mengajukan pihak tergugat yang
telah mencapai kesepakatan perdamaian sebagian. Seperti halnya dalam
kesepakatan perdamaian, penggugat dan tergugat yang berdamai membuat
kesepakatan perdamaian yang kemudian akan dikuatkan dengan Akta Perdamaian.
Kemudian dalam hal para pihak mencapai kesepakatan atas sebagian dari seluruh
objek sengketa atau tuntutan, maka kesepakatan atas sebagian objek sengketa
tersebut dibuat kesepakatan perdamaian yang kemudian juga akan dikuatkan dengan
Akta Perdamaian. Maka dalam hal tersebut, dalam sidang lanjutan Hakim Pemeriksa
Perkara hanya akan memeriksa objek sengketa yang belum berhasil disepakati oleh
para pihak.[27]
Apabila para pihak tidak dapat
mencapai kesepakatan dalam Mediasi setelah mencapai batas waktu 30 hari atau
beserta perpanjangannya, terdapat salah satu pihak yang tidak beritikad baik
dalam pelaksanaan medasi maka Mediator wajib menyatakan Mediasi gagal dan
memberitahukan kepada Hakim Pemeriksa Perkara. Mediator wajib menyatakan
Mediasi tidak dapat dilaksanakan berserta melakukan pemberitahuan tertulis
kepada Hakim Pemeriksa Perkara dalam hal antara lain; melibatkan aset, harta
kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata milik pihak lain tetapi tidak
disertakan dalam gugatan; melibatkan wewenang lembaga atau instansi yang tidak
menjadi pihak berperkara. Setelah hal tersebut, maka Hakim Pemeriksa Perkara
dapat segera menerbitkan penetapan untuk melanjutkan Sidang Pemeriksaan Perkara
sesuai ketentuan Hukum Acara yang berlaku.[28]
Kesimpulan
Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan
diwajibkan bagi setiap setiap perkara yang diajukan ke pengadilan tingkat
pertama kecuali sengketa yang termasuk dalam pasal 4 ayat (2) PERMA No.1 Tahun
2016, Prosedur mediasi dibagi menjadi; Pra-Mediasi yaitu tahapan sebelum
dilaksanakannya proses mediasi, antara lain Penjelasan Kewajiban para pihak
untuk hadir dan beritikad baik pada Mediasi, Pemilihan Mediator serta batas
waktunya, dan pemanggilan para pihak; Dan Proses Mediasi yaitu tahapan dimana
Mediator memulai melakukan proses mediasi dengan ruang lingkup yang tidak
terbatas hanya pada posita dan petitum gugatan, Proses Mediasi ini antara lain
Pertemuan Mediator dengan kedua belah pihak, Pertemuan Mediator dengan salah
satu pihak (Kaukus), Penyerahan Resume Perkara, Keterlibatan Ahli dan Tokoh
Masyarakat hingga Kesepakatan-kesepakatan Mediasi.
End Note:
[1] Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
BAB I. Pasal 3 ayat (2), (3) dan (4).
[2] Ibid. BAB II, Pasal 5 ayat (1) dan BAB VI,
Pasal 35 ayat (4).
[3] Ibid. BAB III. Pasal 11 ayat (1) dan (2).
[4] Ibid. BAB I. Pasal 1 ayat (2).
[5] Ibid. BAB III. Pasal 13 ayat (1) dan (2).
[6] Ibid. BAB III. Pasal 14.
[7] Diah Sulastri Dewi. 2015. Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Mediator. Disampaikan di Kuliah Umum Mediasi, Badan
LitBang Diklat Mahkamah Agung RI, Megamendungm 22 Mei 2015.
[8] Mahkamah Agung Republik Indonesia. Op.Cit.
BAB VI. Pasal 35 ayat (3), (4), (5) dan (6).
[9] Surat Edaran Mahkamah Agung No.01 Tahun 1974
tertanggal 2 Mei 1974.
[10] Pasal 130 ayat (1) Het Herziene Inlandsch
Reglement (HIR)/Pasal 154 ayat (1)Rechtsreglemen voor de
Buitengewesten (Rbg).
[11] Mahkamah Agung Republik Indonesia. Op.Cit.
BAB I. Pasal 4 ayat (1).
[12] Ibid. BAB IV. Pasal 17.
[13] Ibid. BAB III. Pasal 14 huruf e.
[14] Ibid. BAB IV. Pasal 19.
[15] Ibid. BAB IV. Pasal 21 ayat (2) dan (3).
[16] Takdir Rahmadi. 2010. Mediasi: Penyelesaian
Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat. Hlm 35.
[17] Wawancara dengan Ratmoho, tanggal 07 April 2016 di
Pengadilan Negeri Kelas IA Bale Bandung.
[18] Rio Satrio. 2009. Pelaksanaan Mediasi di
Pengadilan. Hlm 4
[19] Wawancara dengan Ratmoho, tanggal 07 April 2016 di
Pengadilan Negeri Kelas IA Bale Bandung.
[20] D.Y. Witanto. 2011. Hukum Acara Mediasi dalam
Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Agama menurut PERMA 1 Tahun
2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Hlm199.
[21] Wawancara dengan Ratmoho, tanggal 07 April 2016 di
Pengadilan Negeri Kelas IA Bale Bandung.
[22] Ibid.
[23] Diah Sulastri Dewi. 2015. Merancang
Kesepakatan Perdamaian.disampaikan pada Kuliah Umum Sertifikasi Mediator
oleh Badan LitBang DikLat Mahkamah Agung RI, Megamendung, 21 Mei 2015.
[24] Wawancara dengan Ratmoho, tanggal 07 April 2016 di
Pengadilan Negeri Kelas IA Bale Bandung.
[25] Mahkamah Agung Republik Indonesia. Op.Cit.
BAB V. Pasal 28.
[26] Diah Sulastri Dewi. 2015. Op.CIt.
[27] Mahkamah Agung Republik Indonesia. Op.Cit.
BAB V. Pasal 29 dan 30.
[28] Ibid. BAB V. Pasal 32 ayat (1), (2) dan (3).
0 komentar:
Posting Komentar