Dalam kehidupan
bermasyarakat, paling tidak kita pernah mendengar istilah jaminan. Jaminan ini
biasanya selalu dikaitkan dengan masalah utang. Misalnya, Ada orang yang mau pinjam
uang dan si peminjam minta jaminan.
Pemahaman umum di
masyarakat, jaminan itu digunakan untuk “jaga-jaga” kalau debitur atau orang
yang berutang tidak mengembalikan uang yang dipinjam, maka jaminan bisa diambil
oleh si kreditur sebagai bentuk
pelunasan utang debitur. Benar tidak anggapan demikian, mari kita bahas.
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jaminan adalah tanggungan atas pinjaman yang diterima.
Secara umum jaminan diartikan sebagai penyerahan kekayaan, atau pernyataan
kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu utang.
Jadi pada dasarnya
seluruh harta kekayaan debitur menjadi jaminan dan diperuntukkan bagi pemenuhan
kewajiban kepada semua kreditur
secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam pasal 1131 KUHPerdata yang berbunyi:
“Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak
milik debitur, baik yang sudah
ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan
debitur itu.”
Sementara Hukum Jaminan, menurut J Satrio adalah peraturan hukum yang mengatur
tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap seorang debitur. Ringkasnya,
hukum jaminan adalah hukum yang mengatur tentang jaminan piutang seseorang.
1.
Sifat
Jaminan
Sifat Jaminan pada umumnya adalah sifat yang memberikan hak jaminan untuk pelunasan utang,
bukan hak untuk memiliki benda yang
dijaminkan.
Jadi seandainya debitur
cidera janji atau tidak bisa melunasi utangnya kepada kreditur, kreditur tidak
bisa memiliki atau mengambil benda yang dijaminkan kepadanya tersebut sebagai
miliknya. Melainkan kreditur harus menjual benda milik debitur yang dijaminkan
kepadanya tersebut secara lelang di muka umum. Hasil penjualan barang jaminan
tersebut lalu digunakan untuk melunasi utang debitur kepada kreditur. Setelah
digunakan untuk melunasi utang debitur, jika masih terdapat sisa, maka kreditur
harus mengembalikan sisa uang tersebut kepada debitur. Jika hasil penjualan
ternyata masih belum cukup melunasi utang debitur, maka kekurangannya tetap
harus dilunasi debitur.
Intinya, jaminan tidak memberikan
hak untuk memiliki benda yang dijaminkan, melainkan memberikan hak jaminan
untuk pelunasan utang.
Jenis jaminan ada dua
macam. Pertama, Jaminan Perorangan; Kedua, Jaminan Kebendaan.
a.
Jaminan Perorangan (Personal Guarantee)
Jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang atau
kreditur dengan seorang ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si
berhutang atau debitur.
Dasar hukumnya Pasal 1820
KUHPerdata berbunyi: “Penanggungan ialah
suatu persetujuan di mana pihak ketiga demi kepentingan kreditur, mengikatkan
diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi
perikatannya.”
Contoh: Jaminan
Perorangan: Bank Z memberikan kredit sebesar 2 Miliar rupiah kepada PT X
berdasarkan perjanjian kredit dengan jangka waktu 1 (satu) tahun. Untuk
menjamin atau menanggung pelunasan utang PT X kepada Bank Z, Bank Z meminta
kepada pihak ketiga yaitu Komisaris bernama A dan Direktur bernama B untuk
menjadi penjamin atau penanggung utang PT X. Kemudian Bank Z mengadakan
perjanjian penjaminan atau penanggungan utang dengan A dan B untuk menjamin dan
menanggung utang PT X jika PT X lalai membayar utangnya.
b.
Jaminan Kebendaan
Jaminan kebendaan ialah
jaminan yang objeknya berupa baik barang bergerak maupun tidak bergerak yang
khusus diperuntukan untuk menjamin utang debitur kepada kreditur apabila
dikemudian hari debitur tidak dapat membayar utangnya kepada kreditur.
Sebagaimana disebutkan di atas, benda debitur yang dijaminkan bisa berupa benda
bergerak maupun tidak bergerak. Untuk benda bergerak dapat dijaminkan dengan
gadai dan fidusia, sedangkan untuk benda tidak bergerak khususnya tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah dibebankan dengan hak tanggungan
(Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
atas Tanah beserta Benda, benda yang Berkaitan Dengan Tanah) dan untuk benda
tidak bergerak bukan tanah seperti kapal laut dengan bobot 20 m3
atau lebih dan pesawat terbang serta helikopter dibebankan dengan hak hipotik.
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa Jaminan Kebendaan dibagi
menjadi 4 (empat) yaitu: a) Gadai; b) Fidusia; c) Hak Tanggungan; d) Hipotik.
1. Gadai
Menurut Pasal 1151
KUHPerdata, Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang/kreditur
atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang
berhutang/debitur, atau juga oleh orang lain atas namanya dan yang memberikan
kekuasaan kepada si berpiutang/kreditur untuk mengambil pelunasan dari barang
tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya, dengan
pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai
pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan
setelah barang itu sebagai gadai dan yang harus didahulukan. Dasar hukum gadai
diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata.
Sifat Jaminan Gadai
1.
Jaminan Gadai mempunyai sifat accesoir (perjanjian tambahan).
Artinya, jaminan gadai
harus mengikuti perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit yang dijamin dengan
gadai. Jadi harus ada perjanjian kreditnya dulu, baru dibuat akta penjaminan
dengan gadai dan bukan sebaliknya atau hanya salah satu.
2.
Barang yang digadaikan berada dibawah penguasaan
kreditur selaku pemegang hak gadai (Pasal 1150 Jo Pasal 1152 KUHPerdata).
Misalnya, A meminjam uang
kepada B dengan jaminan sepeda motor. Sepeda motor milik A tersebut harus
diberikan kepada B untuk dikuasai sebagai jaminan namun bukan untuk dimiliki.
3. Jaminan
Gadai memberikan hak preferent (hak
yang didahulukan) kepada kreditur pemegang gadai.
Misalnya, bila debitur cidera janji, maka kreditur penerima gadai punya
hak untuk menjual jaminan gadai tersebut, dan hasil penjualan jaminan gadai
tersebut digunakan untuk melunasi hutang debitur. Jika terdapat kreditur lain
yang memiliki tagihan terhadpa debitur yang sama, maka kreditur yang belakangan
ini tidak akan mendapatkan pelunasan sebelum kreditur pertama/kreditur pemegang
gadai mendapat pelunasan.
4.
Jaminan Gadai mempunyai hak eksekutorial.
Artinya, pemegang gadai
atas kekuasaannya sendiri punya hak menjual benda yang digadaikan kepadanya
apabila debitur cidera janji dan hasil penjualan tersebut digunakan untuk melunasi
hutang debitur. Penjualan harus dilakukan di muka umum dengan cara lelang. Jika
hasil penjualan mencukupi untuk melunasi utang, dan terdapat kelebihan, mala
kelebihannya dikembalikan kepada debitur. Namun jika hasil penjualan barang
gadai ternyata tidak cukup melunasi utang debitur, maka kekurangan harus tetap
dilunasi debitur.
5.
Hak Gadai tidak bisa
dibagi-bagi.
Maksudnya, dengan
dilunasis ebagaian utang maka tidak menghapus sebagaian hak gadai. Hak gadai
tetap melekat untuk seluruh bendanya.
6.
Benda gadai ada dalam kekuasaan Kreditur.
7.
Hak Gadai berisi hak untuk melunasi utang dari hasil
penjualan benda gadai.
Maksudnya,benda
yang digadaikan bukan untuk dimiliki oleh Kreditur.
Melainkan hanya sebagai jaminan pelunasan utang debitur. Jadi seandainya
debitur tidak bisa membayar utangnya, Kreditur tidak punya hak untuk memiliki
benda gadai tersebut. Melainkan kreditur harus menjual benda gadai tersebut dan
hasil penjualan benda gadai tersebut digunakan untuk melunasi utang debitur.
Sifat ini sesuai dengan sifat jaminan pada umumnya yaitu sifat memberikan jaminan untuk pelunasan utang bukan hak untuk memiliki
benda yang dijaminkan.
Segala janji yang
memberikan hak kepada kreditur untuk memiliki benda gadai adalah batal demi hukum.
Objek Gadai
Objek
atau benda yang bisa digadaikan adalah semua benda bergerak yang berwujud,
maupun benda bergerak yang tidak berwujud.
1.
Benda bergerak berwujud. Contohnya: kendaraan bermotor
seperti mobil, sepeda motor, mesin-mesin, perhiasan, lukisan berharga, kapal
laut berukuran di bawah 20m3, dan barang bergerak lain yang memiliki nilai.
2.
Benda bergerak tidak berwujud. Contohnya: seperti
tabungan, deposito berjangka, sertifikat deposito, wesel, obligasi, saham,
surat piutang dan lain- lain.
Hapusnya Gadai
Hapusnya hak gadai karena
(Pasal 1152):
1.
Hutang telah
dilunasi;
2.
Benda yang menjadi jaminan gadai keluar dari
kekuasaan kreditur sebagai penerima gadai;
3.
Musnahnya benda yang menjadi objek gadai;
4.
Bila objek jaminan gadai musnah, misalnya disebabkan
hilang atau penyebab lain maka mengakibatkan hapusnya jaminan gadai. Namun hal
tersebut tidak menghapuskan perjanjian kredit dalam arti debitur tetap
mempunyai kewajiban untuk melunasi utangnya.
b. Fidusia
Dasar hukum jaminan
fidusia diatur dalam Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
(UU Fidusia). Menurut Pasal 1 angka 1 UU Fidusia, Fidusia adalah pengalihan hak
kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda
yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik
benda. Berdasarkan definsi fidusia di atas, bisa dipahami bahwa dasar jaminan
fidusia ini adalah kepercayaan atau dengan kata lain bisa disebut dengan
istilah “Penyerahan Hak Milik Secara Kepercayaan”.
Berbeda dengan gadai yang
objek gadainya harus diserahkan kepada kreditur dan dikuasai secara fisik oleh
kreditur selaku pemegang gadai, jaminan fidusia justru dilakukan hanya dengan
menyerahkan kepemilikan benda tanpa menyerahkan objek fidusia secara fisik sama
sekali kepada kreditur. Kreditur selaku pemegang jaminan fidusia cukup
diberikan Sertifikat Jaminan Fidusia yang diterbitkan oleh Kantor Pendaftaran
Fidusia sebagai dasar hak dari kreditur (yang mempunyai kekuatan eksekutorial)
yang di dalamnya antara lain memuat soal uraian benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia. Sehingga praktis benda yang menjadi jaminan fidusia secara
fisik memang dikuasai oleh debitur tapi benda
tersebut sudah diikat secara hukum sebagai jaminan melalui Sertifikat Jaminan Fidusia.
Sifat Jaminan Fidusia
Sifat jaminan fidusia
sebagaimana diatur dalam UU Fidusia sebagai berikut:
1.
Jaminan fidusia bersifat accosoir.(Pasal 4 UU Fidusia)
Artinya, jaminan fidusia
harus mengikuti perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit atau utang-piutang
yang dijamin dengan fidusia. Jadi harus ada perjanjian kreditnya dulu, baru
dibuat akta penjaminan dengan fidusia/Akta Jaminan Fidusia, dan bukan
sebaliknya atau hanya salah satu.
2.
Jaminan fidusia mengikuti benda yang menjadi objek
jaminan/droit de suite. (Pasal 20 UU Fidusia).
Artinya, Kreditur selaku
penerima jaminan fidusia mempunyai hak mengikuti benda yang menjadi objek
jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda itu berada. Hal ini berarti jika
debitur lalai, kreditur sebagai pemegang jaminan fidusia tidak kehilangan
haknya untuk mengeksekusi objek fidusia walaupun objek tersebut telah dijual
dan dikuasai pihak lain.
3.
Jaminan fidusia memberikan hak untuk didahulukan dari kreditur yang lain/preferent. (Pasal 27 UU Fidusia)
Maksudnya, jika debitur cidera janji, maka kreditur sebagai penerima
fidusia punya hak untuk didahulukan daripada kreditur lainya untuk menjual dan mengeksekusi
benda jaminan fidusia dan hak didahulukan untuk mendapatkan pelunasan utang
dari hasil eksekusi benda jaminan fidusia tersebut.
4.
Jaminan fidusia untuk menjamin utang yang telah ada
atau yang akan ada. (Pasal 7 UU Fidusia).
Artinya, Utang yang
pelunasannya dijamin dengan fidusia dapat berupa:
a.
utang yang telah ada;
b.
utang yang akan timbul di kemudian hari yang
telah diperjanjikan dalam jumlah
tertentu; atau
c.
utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan
jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi
suatu prestasi.
5.
Jaminan fidusia bisa menjamin lebih dari satu utang.
(Pasal 8 UU Fidusia) Maksudnya, benda
jaminan fidusia dapat dijaminkan oleh debitur kepada beberapa kreditur yang
secara bersama-sama memberikan kredit atau utang kepada seorang debitur dalam
satu perjanjian kredit. Pasal 17 UU Fidusia, melarang pemberi fidusia melakukan
fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek fidusia yang sudah terdaftar.
6.
Jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial. (Pasal
15 UU Fidusia) Maksudnya, bila debitur lalai, maka kreditur berhak mengeksekusi
benda jaminan fidusia. Eksekusi tersebut bisa dilakukan atas kekuasaan sendiri
tanpa harus melalui putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal
ini diatur dalam Pasal 15 UU Fidusia yang intinya mengatakan “ Sertifikat
Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuahan Yang Maha Esa” mempunyai kekuataan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
7.
Jaminan fidusia mempunyai sidat spesialitas dan publisitas.
Sifat spesialitas adalah
uraian yang jelas dan rinci soal objek jaminan fidusia dalam akta jaminan
fidusia. Sedang, sifat publisitas adalah berupa pendaftaran akta jamina fidusia
yang dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia.
8.
Jaminan fidusia berisi hak untuk melunasi utang.
Maksudnya, jaminan
fidusia bukan untuk dimiliki oleh Kreditur. Melainkan hanya sebagai jaminan
pelunasan utang debitur. Jadi seandainya debitur tidak bisa membayar utangnya,
Kreditur tidak punya hak untuk memiliki benda yang dijaminkan dengan fidusia
tersebut. Melainkan kreditur harus menjual benda jaminan fidusia tersebut dan
hasil penjualan benda gadai tersebut digunakan untuk melunasi utang debitur.
Sifat ini sesuai dengan sifat jaminan pada umumnya yaitu sifat memberikan jaminan untuk pelunasan utang bukan hak untuk memiliki
benda yang dijaminkan.
Seandainya debitur setuju
mencantumkan janji bahwa benda yang menjadi jaminan fidusia mejadi milik
kreditur jika debitur tak mampu membayar utang/cidera janji, maka janji semacam
itu batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada (Lihat Pasal 33 UU Fidusia).
Objek atau benda yang
dapat dibebani jaminan fidusia sebagai berikut:
1.
Benda bergerak berwujud. Contohnya: kendaraan
bermotor seperti mobil, bus, truk, sepeda motor, dan lain-lain; mesin-mesin
pabrik, yang tidak melekat pada taah/bangunan pabrik; perhiasan; alat
inventaris kantor; kapal laut berukuran di bawah 20m3; perkakas rumah tangga
seperti tv, tape, kulkas, mebel, dan lain- lain;
alat-alat pertanian dan lain sebagainya.
2.
Barang bergerak tidak berwujud. Contohnya:
wesel, sertifikat deposito; saham; obligasi;
deposito berjangka; dan lain sebagainya.
Hasil dari benda yang menjadi objek jaminan baik benda bergerak berwujud atau
benda bergerak tidak berwujud atau hasil dari benda tidak bergerak yang tidak
dibebani hak tanggungan.
3.
Klaim asuransi dalam hal benda yang menjadi objek
jaminan fidusia diasuransikan.
4.
Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang
tidak dapat dibebani hak tanggungan yaitu hak milik satuan rumah susun di atas
tanah hak pakai atas tanah negara dan bangunan rumah yang dibangun di atas
tanah orang lain.
5.
Benda-benda termasuk piutang yang telah ada pada
saat jaminan diberikan maupun piutang yang diperoleh kemudian hari.
Hapusnya jaminan fidusia
Jaminan fidusia hapus
karena hal-hal sebagai berikut (Pasal 25 UU Fidusia):
1.
Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;
2.
Pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima
Fidusia; atau
3.
Musnahnya Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.
Hak tanggungan sebagai
jaminan diatur dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1999 tentang Hak Tanggungan (UU
Hak Tanggungan). Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain (Lihat
Pasal 1 angka 1 UU Hak Tanggungan).
Hak tanggungan biasanya
dijadikan jaminan oleh debitur dalam hal krediturnya adalah Bank. Contohnya, A
menerima fasilitas kredit dari Bank X sebesar Rp. 100 juta. Agar
Bank merasa yakin A akan
melunasi fasilitas kredit yang A terima dari Bank, maka A harus menyerahkan
sebagai jaminan berupa rumah yang didirikan di atas tanah Hak Milik atas nama A
sendiri kepada Bank X.
Sifat Hak Tanggungan
1.
Hak tanggungan memberikan hak preferent (Pasal 1
angka 1 UU Hak Tanggungan). Artinya, bila debitur cidera janji atau lalai membayar utangnya, maka
kreditur yang memegang Hak Tanggungan berhak menjual jaminan itu dan ia
diutamakan untuk mendapat pelunasan utang dari penjualan jaminan tersebut
dibandingkan kreditur- kreditur yang lain.
2.
Hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2
UU Hak Tanggungan).
Maksudnya, hak tanggungan
membebani secara utuh objek Hak Tanggungan dari setiap bagian dari padanya.
Telah dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin tidak berarti terbebasnya
sebagian objek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan, melainkan Hak
Tanggungan tetap membebani seluruh objek Hak Tanggungan untuk sisa utang yang
belum dilunasi.
Sebagai contoh: A punya
utang sebesar 100 juta yang dijamin kepada Bank dengan Hak Tanggungan atas
tanah dengan Hak Milik seluas 10.000 m2. Misalnya
A sudah membayar utangnya sebagaian sebesar Rp 20 juta kepada Bank. Pelunasan
utang 20 juta tersebut tidak berarti terbebasnya sebagian tanah (misalnya 2.000
m2) dari beban Hak tanggungan yang
seluruhnya 10.000 m2.
Namun perlu diketahui, sifat tidak dapat dibagi-bagi dalam jaminan Hak
Tanggungan ini tidaklah mutlak atau bisa dikecualikan (misalnya dalam pemberian
kredrit untuk keperluan pembangunan komplek perumahan dengan jaminan sebidang
tanah royek perumahan tersebut) asal diperjanjiakan secara tegas dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan (Lihat Pasal 2 UU Hak Tanggungan).
3.
Hak Tanggungan mempunyai sifat droit de suite (Pasal 7 UU Hak
Tanggungan). Artinya, Hak Tanggungan mengikuti objek Hak Tanggungan sekalipun
objek Hak Tanggungan sudah berpindah dan menjadi milik pihak lain. Contoh, objek Hak Tanggungan (tanah dan bangunan)
sudah dijual oleh debitur dan menjadi milik pihak lain, dalam kondisi ini
kreditur sebagai pemegang jaminan Hak Tanggungan atas tanah dan bagungan
tersebut tetap berhak melakukan eksekusi atas jaminan tersebut jika debitur
cidera janji sekalipun objek hak
tanggungan tersebut sudah dijual dan menjadi milik orang lain.
4.
Hak Tanggungan mempunyai sifat accosoir (Pasal 10 ayat 1 UU Hak
Tanggungan Artinya, jaminan Hak Tanggungan mengikuti perjanjian pokoknya yaitu
perjanjian kredit atau utang-piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan. Jadi
harus ada perjanjian kreditnya dulu, baru
dibuat akta pemerian hak tanggungan dan seterusnya dan bukan sebaliknya atau
hanya salah satu. Konsekuensinya, Hak Tanggungan menjadi hapus bila
utang/kredit telah dilunasi (Lihat Pasal 18 ayat 1 UU Hak Tanggungan).
5.
Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk
utang yang baru akan ada. Menurut Pasal
3 ayat 1 UU Hak Tanggungan, Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk:
a.
Utang yang telah ada;
b.
Utang yang baru akan ada tapi telah
diperjanjikan dengan jumlah tertentu;
c.
Utang yang baru akan ada tapi jumlahnya pada
saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan, dapat ditentukan berdasarkan
perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang.
Jadi intinya, utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan bisa berupa utang
yang sudah ada maupun yang belum ada yaitu yang baru akan ada di kemudian hari,
tapi harus sudah diperjanjikan sebelumnya.
6.
Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu
utang (Pasal 3 ayat 2 UU Hak Tanggungan).
Pasal 3 ayat 2 UU Hak Tanggungan menyatakan “Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasaldari satu
hubungan hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal daribeberapa
hubungan hukum”.
Berdasarkan Pasal ini,
maka pemberian Hak Tanggungan dapat diberikan untuk:
a.
Beberapa kreditur yang memberikan utang kepada
satu debitur berdasarkan perjanjian utang piutang secara masing-masing antara
kreditur-kreditur dengan debitur. Hal ini menimbulkan peringkat-peringkat Hak
Tanggungan dimana Peringkat Hak Tanggungan ke-I (pertama), ke- II (kedua), dan seterusnya untuk para
kreditur sebagai penerima Hak Tanggungan.
Contohnya, Bank A memberi
kredit kepada PT Z dengan jaminan hak atas tanah milik PT Z seluas 1.000 m2
yang diikat dengan Hak Tanggungan. Kemudian ada lagi Bank B yang juga
memberikan kredit kepada PT Z dengan jaminan yang seluas 1.000 m2 tersebut. Hal
ini menimbulkan peringkat Hak Tanggungan I untuk Bang A dan Hak Tanggungan II untuk
Bank B.
b.
Beberapa kreditur secara bersama-sama memberikan
kredit kepada debitur berdasarkan satu perjanjian.
Contoh, Bank A, Bank B,
dan Bank C secara bersama-sama memberikan kredit kepada PT Z yang dibuat dalam
satu perjanjian jaminan Hak Tanggungan. Hak Tanggungan tersebut menjamin ketiga
kreditur dengan kedudukan dan hak yang sama untuk mendapatkan pelunasan dari
hasil penjualan jaminan Hak Tanggungan jika debitur cidera janji.
7.
Hal Tanggungan hanya didapat dibebankan pada hak
atas tanah saja. (Pasal 4 ayat 1 UU Hak Tanggungan).
Pada dasarnya hak
tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah saja. Yaitu hak milik,
hak guna bangunan, hak gunan usaha, dan hak pakah atas tanah negara yang
menrutu sifatnya dapat dipindah tangankan.
8.
Hak Tanggungan dapat dibebankan pada hak atas
tanah berikut benda di atasnya dan di bawah tanah. (Pasal 4 ayat 4 UU Hak Tanggungan)
Maksudnya, pembebanan Hak
Tanggungan dimungkinkan meliputi benda yang ada di atas tanah dan merupakan
satu kesatuan dengan tanah tersebut dan bangunan di bawah permukaan tanah.
Bangunan atau tanaman boleh ada pada saat pembebanan Hak Tanggungan atau yang
akan ada di kemudian hari. Benda-benda yang ada di atas tanah yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah, dan benda di bawah permukaan tanah ikut atau turut
dibebani Hak Tanggungan, maka harus dinyatakan secara tegas oleh para pihak
dalam akta pembebanan Hak Tanggungan.
9.
Hak Tanggungan berisi hak untuk melunasi utang
bukan hak bagi kreditur untuk memiliki benda jaminan (Pasal 12 UU Hak Tanggugan).
Maksudnya, jaminan Hak
Tanggungan bukan untuk dimiliki oleh Kreditur. Melainkan hanya sebagai jaminan
pelunasan utang debitur. Jadi semisal debitur tidak bisa membayar utangnya,
maka kreditur tidak berhak memiliki benda yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan
tersebut. Melainkan kreditur harus menjual benda jaminan Hak Tanggungan
tersebut lalu hasil penjualannya digunakan untuk melunasi utang debitur. Sifat
ini sesuai dengan sifat jaminan pada umumnya yaitu sifat memberikan jaminan untuk pelunasan utang bukan hak untuk memiliki
benda yang dijaminkan.
Semisal juga debitur
setuju mencantumkan janji bahwa benda yang menjadi jaminan Hak Tanggungan
mejadi milik kreditur jika debitur tak mampu membayar utang/cidera janji, maka
janji semacam itu batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada (Lihat Pasal
12 UU Hak Tanggungan).
10.
Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial.
(Pasal 6 UU Hak Tanggungan)
Artinya, jika deibtur
cidera janji, maka kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual objek
jaminan Hak Tanggungan (mengeksekusi) atas kekuasaan sendiri.
Hanya pemengang Hak Tanggungan yang mempunyai hak ini. Pasal 14 ayat 1,2 dan 3
UU Hak Tanggungan menegaskan Sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah
dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mempunyai
kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah berkekutan
hukum tetap.
11.
Hak tanggungan mempunyai sifat spesialitas dan publisitas.
Sifat sepsialitas
maksudnya, di dalam Akta Hak Tanggungan harus diuraikan secara spesifik hak
atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan misalnya hak atas tanah hak milik, atau
hak guna bangunan, atau hak guna usaha, dsb. Sedangkan sifat publisitas
maksudnya, Akta Hak Tanggungan harus didaftarkan di Kanotr Pertanahan di mana
tanah yang diberikan Hak Tanggungan berada (Pasal 13 ayat 1 UU Hak Tanggungan).
Hak-Hak atas tanah yang
bisa dijadikan jaminan untang dengan dibebani Hak Tanggungan, antara lain;
·
Hak atas tanah Hak Milik;
·
Hak atas tanah Hak Guna Bangunan;
·
Hak atas tanah Hak Guna Usaha;
·
Hak atas tanah Hak Pakai atas tanah negara yang
diberikan kepada perorangan atau badan hukum
perdata;
·
Tanah Hak Girik;
·
Rumah susun erikut tanah tempat bangunan itu
berdiri serta benda lainnya yang merupakan satu-kesatuan dengan tanah;
·
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Hapusnya Hak Tanggungan.
Hak tanggungan hapus
disebabkan oleh peristiwa-peristiwa sebagai berikut (Pasal 18 UU Hak
Tanggungan:
1.
Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
2.
Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
3.
Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan
peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri.
Hapusnya Hak Tanggungan
dengan sebab ini terjadi berkenaan dengan permohonan pembeli hak atas tanah
yang dibebani Hak Tanggungan agar hak atas tanah yang dibelinya dibersihkan
dari Hak Tanggungan.
4.
Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Hak atas tanah hapus
karena jangka waktu berlakunya hak atas tanah telah berakhir. Seperti Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah merupakan hak ats tanah yang
memiliki jangka waktu berlakunya.
d. Hipotik
Dasar hukum hipotik diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) yaitu dari Pasal 1162 sampai 1232 KUHPerdata. Hipotik adalah suatu
hak kebendaan atas barang tak bergerak yang dijadikan jaminan dalam pelunasan
suatu perikatan (Pasal 1162 KUHPerdata). Dulu, segala jaminan atas benda tak
bergerak (seperti tanah dan bangunan di atas tanah) dibebankan dengan Hipotik.
Namun, setelah UU Hak Tanggungan lahir segala jaminan atas benda tidak bergerak dibebankan dengan Hak Tanggungan. Lalu,
apakah hipotik masih berlaku? Ya. Hipotik masih berlaku untuk benda-benda tidak
bergerak lainnya selain tanah yaitu hipotik atas kapal laut, pesawat terbang
dan helikopter atau benda-benda lain yang beratnya minimal 20 m3 ke atas.
Hak Tanggungan pada
prinsipnya merupakan penjelmaan hipotik yang telah disesuaikan sedemikan rupa
dengan perkembangan zaman. Maka sebenarnya ketentuan Hak Tanggungan, baik dari
sifat, dan hapusnya versi UU Hak Tanggungan tidak lah jauh berbeda dengan
Hipotik dalam KUHPerdata. Yang
membedakan pada umumnya hanya soal hubungan dengan pejabat yang bertugas.
Misalnya jika hak tanggungan (atas tanah) dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT), maka akta hipotik atas kapal laut dibuat oleh Pejabat Pembuat
Akta Kapal (PPAK) dalam hal ini adalah Syahbandar, sementara akta hipotik atas
pesawat terbang dan helikopter dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Pesawat Terbang
(PPAPT) yang ditunjuk untuk itu. Demikian juga dengan pejabat yang mendaftarkan
hipotik yang juga berbeda satu sama lain. Jika hak tanggungan didaftarkan oleh
kantor pendaftaran tanah, yang dalam hal ini dilakukan oleh instansi
Agraria/Pertanahan setempat, maka hipotik atas kapal didaftarkan di Syahbandar.
Dan untuk hipotik atas pesawat udara atau helikopter dilakukan pendaftaran oleh
pejabat pendaftaran pesawat terhbang dan helikopter yang ditunjuk untuk itu.
YLBHI, Op.Cit, 2007, hal. 140.
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan,
(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 3.
Subekti, Jaminan-jaminan Untuk
Pemberian Kredit Menurut
Hukum Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1989), hal.15.
Gatot Supramono, Perjanjian
Utang Piutang, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2013), hal. 59.
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata ‘Hak-hak yang
Memberi Jaminan’, (Jakarta: Ind.Hil-Co, 2002), hal. 16-17
Pasal 6 UU Hak Tanggungan “Apabila debitor
cidera janji, pemegang
HakTanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak
Tanggungan ataskekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnyadari hasil penjualan tersebut.”
Munir
Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis
Modern di Era Global, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 150.