1. Pendahuluan
Tujuan terbesar dalam Pengangkatan Anak ialah semata-mata untuk
meningkatkan kesejahteraan anak angkat itu sendiri. Aturan yang
berkaitan dengan perbuatan hukum tersebut diatur dalam pelbagai produk
hukum, antara lain :
a) Burgerlijk Wetboek[1]
b) Staatsblad No. 129 Tahun 1917 tentang Pengangkatan Anak[2] (khusus bagi Golongan Tionghoa)
c) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak[3]
d) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak[4]
e) Kompilasi Hukum Islam[5]
f) Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak[6]
g) SEMA No. 2 Tahun 1979 Jo. SEMA No. 6 Tahun 1983[7]
h) Keputusan Menteri Sosial No. 41/Huk/Kep/VII/1984[8].
Implikasi dari pengangkatan anak salah satunya ialah Hukum Waris. Pasal 171 huruf a KHI, menyatakan bahwa :
“Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan harta peninggalan/ tirkah pewaris, menentukan siapa-siapa yang
berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing”
Pasal 830 dan 833 BW menyiratkan bahwa adanya suatu perolehan hak milik yang didapatkan ahli waris/ erfgenaam karena adanya suatu peristiwa hukum, yaitu meninggalnya si pewaris/ erflater.
Karena pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan hukum, maka
menimbulkan akibat hukum pula, salah satunya selain kewajiban dari orang
tua angkat untuk menjamin kesejahteraan si anak angkat, ialah tentang
aturan apakah si anak angkat juga berhak atas harta waris yang
ditinggalkan orang tua angkatnya. Dalam Hukum Waris (khususnya Islam
dan Perdata), telah menentukan kategori/ penggolongan ahli waris secara ab-instentato, Pasal 174 KHI Jo Pasal 852-873 BW dan berdasarkan wasiat Testaminteir Erfrecht (Pasal 874 BW dan Bab V Buku II KHI).
Terdapat perbedaan yang sangat mendasar mengenai Wasiat dalam aturan
BW dan KHI, jika dalam BW ia harus berupa akta yang memuat pernyataan
seseorang tentang apa yang dikehendaki akan terjadi setelah ia meninggal
dunia dan dapat dicabut kembali olehnya, sedangkan dalam aturan KHI
wasiat dapat berupa lisan (dan juga dapat berupa tulisan) yang diucapkan
dihadapan minimal 2 orang saksi atau dihadapan Notaris. Lalu
bagaimanakah apabila di suatu Peristiwa Hukum, Erflater
meninggal dunia secara bersamaan tanpa meninggalkan suatu wasiat, dengan
suatu kondisi bahwa ia tunduk secara penuh pada ketentuan BW dan
meninggalkan seorang anak angkat, apakah anak angkat tersebut berhak
atas bagian harta waris dari Erflater ?
2. Isu Hukum
1) Bagaimanakah kedudukan hukum anak angkat ?
2) Apakah anak angkat mempunyai hak/ kedudukan atas harta waris orang tua angkat (sesuai ilustrasi kasus diatas) ?
3. Analisa Hukum
I. Kedudukan Hukum Anak Angkat
Dalam BW tidak mengenal adanya lembaga pengangkatan anak, karena BW
mengaturnya hanya dalam dua bentuk, yaitu anak sah dalam perkawinan dan
anak luar perkawinan. Anak luar kawin dibagi lagi menjadi 2, antara lain
: anak luar kawin yang tidak diakui dan anak luar kawin yang diakui,
dan telah disahkan secara hukum.
Anak yangdilahirkan diluar kawin untuk kemudian diangkat menjadi anak
dalam BW haruslah tertuang dalam suatu bentuk akta Notaris. Aturan
tersebut tertuang dalam Pasal 10 Staatsblad No. 129 Tahun 1917 untuk
kemudian ditambahkan pencatatannya pada Akta kelahiran anak tersebut.
Namun kelembagaannya disebut sebagai adopsi anak, bukan pengangkatan
anak. Implikasi yuridis yang ditentukan aturan tersebut ialah putusnya
hubungan keperdataan anak yang diadopsi dengan orang tuanya, dan
dianggap sebagai anak kandung dari orang yang mengadopsinya (Pasal 12
Staatsblad).
Seiring berjalannya waktu, aturan tersebut telah digantikan
eksitensinya dengan adanya suatu SEMA No. 6 Tahun 1983, yang menyatakan
pada intinya setiap anak yang diangkat haruslah melalui jalur penetapan
pengadilan. Selanjutnya, UU No. 23 Tahun 2002 mengenal adanya suatu
kelembagaan pengangkatan anak, yang diikuti dengan aturan regulasi
berupa PP No. 54 Tahun 2007. Dalam UU No. 23/2002, seorang anak yang
diangkat haruslah bertujuan untuk kesejahteraan bagi anak itu sendiri
tanpa disertai dengan putusnya hubungan keperdataan anak yang diangkat
dengan orang tuanya dengan didasarkan pada penetapan pengadilan yang
kemudian diikuti dengan pencatatan dalam akta kelahiran. Hal inilah
suatu perbedaan mendasar dari 2 aturan tersebut.
PP No. 54 Tahun 2007 mengatur tentang Tata Cara sahnya pengangkatan
anak yang harus menempuh jalur formal. Eksistensi dari pada PP tersebut
juga mengenal pengangkatan anak secara adat istiadat masayarakat
setempat, disamping pengangkatan anak secara undang-undang. Sehingga
kedudukan anak yang diangkat secara adat juga diakui secara sah.
Jadi, dari penjelasan singkat diatas, seorang anak diluar kawin yang
telah diakui dan sahkan secara hukum, dianggap sah sebagai anak angkat,
sekalipun ia didsarkan pada penetapan pengadilan (pengangkatan anak
secara undang-undang) ataupun diangkat berdasar nilai adat istiadat
masyarakat setempat.
1) Subjek Ahli Waris dan Bentuk Pewarisan
Sistem kewarisan atau keturunan yang dianut oleh BW adalah sistem
parental atau bilateral terbatas, dimana setiap anggota keluarga
menghubungkan dirinya pada keturunan ayah atau ibunya[9].
Selanjutnya, dalam sistem hukum waris BW tidak membagi harta sebuah
keluarga menjadi 2, harta asal maupun harta gono-gini, hal ini berbeda
dengan yang dianut oleh UU No. 1/1974 dan KHI yang membagi 2 harta
tersebut. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 849 BW, yang
menyatakan bahwa :
“Undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal daripada
barang-barang dalam suatu peninggalan, untuk mengatur pewarisan
terhadapnya”
BW menggunakan istilah legitimie portie untuk harta waris karena pewarisan baru ada eksistensinya, bilamana si erflater telah meinggal dunia, maka dengan begitu terjadilah suatu peralihan hak milik kepada erfgenaam. Erfgenaam sendiri dalam BW telah ditentukan berdasarkan keturunan atau adanya hubungan darah dengan erflater, hal ini diatur dalam Pasal 832 BW. Kemudian mengenai bagaimana cara dan siapa yang berhak atas harta waris dari erflater, BW telah mengaturnya dalam 2 bentuk, yaitu secara keturunan/ ab-instentato dan berdasar Testaminteir Erfrecht. Sedangkan mengenai subjek yang berhak atas harta waris BW menentukan 3 pihak : erfgenaam (berdasar ab-instentato), Negara, dan pihak ketiga.
Pengaturan golongan ahli waris (erfgenaam secara ab-instentato) dalam BW dibagi menjadi 2 bagian, antara lain :
1) Ahli waris karena kedudukan sendiri (Uit Eigen Hoofde),
Pasal 852 BW, bahwa tidak ada pembeda antara laki-laki dan perempuan
untuk mendapatkan atas besaran harta waris, dan juga mereka tidak
berdasar kedudukan menggantikan (Bij Plaat Vervuling) dengan unsur ia bertalian keluarga dalam derajat kesatu dengan si erflater.
2) Ahli waris karena Penggantian (Bij Plaats Vervuling),
Pasal 841 BW , ketentuan mengenai kedudukan menggantikan haruslah telah
dengan meninggalnya ahli waris yang seharusnya mendapatkan hak waris
terlebih dahulu, maka dengan meninggalnya si ahli waris tersebut, ahli
waris berikutnya lah yang menjadi kedudukan menggantikan dan mendapatkan
besaran hak atas harta waris sama besarnya dengan ahli waris yang ia
gantikan. Selanjutnya, mengenai kedudukan Penggantian ini, BW membagi ke
dalam 4 golongan, antara lain :
- Golongan Pertama : Suami atau Isteri dan keturunannya (Pasal 852 BW)
- Golongan Kedua : Orang Tua (Pasal 854-855BW), Saudara (Pasal 854 BW)
- Golongan Ketiga : para leluhurnya-golongan lurus keatas (Pasal 850, 853, 858 BW)
- Golongan Keempat : anak keluarga lainnya dalam garis menyimpang sampai pada derajat keenam (Pasal 858 BW).
Apabila dari keempat golongan tersebut tidak diketemukan terhadap subjek siapa yang mempunyai kedudukan untuk menjadi erfgenaam, maka seluruh harta waris dari erflater, dikuasai oleh Negara. Jadi, Negara dalam hal ini mempunyai kedudukan untuk menggantikan posisi para erfgenaam
dengan catatan, bahwa harus melalui penetapan pengadilan (Pasal 832 dan
833 ayat 3 BW) terlebih dahulu dan telah tidak adanya kedudukan pihak
dari keempat golongan yang telah ditentukan oleh BW tersebut diatas,
baik karena kematian atau karena menggunakan hak untuk menolak warisan.
Oleh karenanya pula, BW mengatur tentang syarat-syarat seseorang
mempunyai kedudukan sebagai erfgenaam setelah adanya penggolongan tersebut, antara lain :
- Ia belum meninggal pada saat warisan terbuka atau warisan lahir karena kematian si erflater, sehingga tidak memungkinkan kepadanya untuk memberikan kedudukan Penggantian kepada pihak lainnya (Pasal 836 BW, dengan pengecualian pada Pasal 2 BW)
- Bukan orang yang mempunyai sebab-sebab menjadi penghalang mendapatkan harta waris (Onwaarding) Pasal 838 BW, antara lain :
a) Telah dipersalahkan membunuh atau mencoba membunuh erflater
b) Karena suatu putusan pengadilan pernah dipersalahkan secara fitnah telah mengajukan pengaduan kepada erflater, tentang suatu pengaduan mengenai kejahatan yang minimal diancam 5 tahun penjara atau lebih.
c) Mencegah atau menggunakan kekerasan agar erflater tidak menggunakan haknya untuk membuat suatu testament waris atau mencabutnya.
d) Menggelapkan, merusak atau memalsukan testament waris dari erflater.
Selanjutnya, tentang kedudukan pihak ketiga yang berhak atas harta waris, BW telah mengaturnya dalam Wasiat Testament atau Testaminteir Erfrecht. Artinya, sekalipun ia bukan merupakan keturunan atau bukan ahli waris secara ab-instentato, ia berhak atas bagian dari harta waris si erflater, dengan dasar erflater
telah membuat suatu surat wasiat, sehingga Surat Wasiat itulah yang
menjadi dasar beralihnya salah satu atau beberapa bagian harta milik si erflater kepada pihak ketiga. Penunjukkan atau pengangkatan seseorang ini dinamakan erfstelling, sedangkan ahli warisnya ialah ahli waris ad-testamento.
Pada prinsipnya, Wasiat merupakan suatu pernyataan (Eenzijdig) yang tertuang dalam bentuk akta, yang timbul dari salah satu pihak (erflater)
yang memberikan akibat hukum kepada seseorang yang dinyatakan dalam
wasiat tersebut, karenanya pula suatu pernyataan tersebut dapat ditarik
kembali oleh si erflater baik secara tegas atau secara diam-diam (Pasal 875 BW).
Testaminteir Erfrecht dalam BW dibedakan menjadi 2 yaitu : wasiat pengangkatan waris/ Erfstelling (Pasal 954 BW) dan hibah wasiat/ Legaat (Pasal 957 BW). Yang membedakan antara Erfstelling dan Legaat adalah pada suatu titlenya, jika Erfstelling didasarkan pada suatu title yang umum, tidak demikian dengan Legaat, titlenya haruslah suatu title yang khusus. Pasal 957 BW memberikan suatu kekehususan dari barang peninggalan erflater baik bergerak ataupun tidak bergerak atau hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian.
2) Kedudukan Anak Angkat sebagai Ahli Waris.
Pengaturan tentang siapa yang mempunyai kedudukan sebagai ahli waris,
telah ditentukan berdasarkan kaitan keturunan atau adanya hubungan
darah/ ab-instentato dan bedasar Testaminteir Erfrecht. Anak angkat tidaklah mempunyai suatu keterikatan kekeluargaan secara garis lurus atau adanya hubungan darah dengan Adoptan.
Sehingga, dengan kedudukan semacam ini, yang dimungkinkan oleh hukum
ialah ia bisa menjadi bagian dari ahli waris apabila ia diangkat atau
ditunjuk berdasar testament dari erflater. Namun,
seiring eksistensi peraturan yang baru yaitu SEMA No. 6/1983 Jis UU No.
23/1992 Jo. PP No. 54/2007 yang dikaitkan dengan pengertian BW mengenai
kedudukan anak diluar kawin, maka anak angkat merupakan suatu anak luar
kawin yang diakui oleh hukum. Konsekuensi logis dari pengaturan tersebut
ialah anak tersebut mempunyai kedudukan sebagai ahli waris sebagaimana
yang telah ditentukan dalam Pasal 852 BW.
Hal ini menyiratkan bahwa Anak Angkat mempunyai kedudukan sebagai Legitimie Portie
atas segala bentuk Harta Waris dan sebagai Ahli Waris yang mutlak.
Karena pada hakekatnya, perlindungan anak dalam bidang hukum perdata
meliputi banyak aspek hukum, diantaranya[10] :
1) Kedudukan anak
2) Pengakuan anak
3) Pengangkatan anak (adopsi)
4) Pendewasaan
5) Kuasa asuh (hak dan kewajiban) orang tua terhadap anak
6) Pencabutan dan pemulihan kuasa asuh orang tua
7) Perwalian (termasuk harta peninggalan)
8) Tindakan untuk mengatur yang dapat diambil guna perlindungan anak
9) Biaya hidup anak yang ditanggung orang tua akibat perceraian (alimentasi).
Pada dasarnya, pewarisan adalah suatu perbuatan hukum yang timbul
karena peristiwa hukum, yang dalam kaidah hukum bersifat mengatur. Oleh
karenanya, prinsip Legitimie Portie harus didahulukan hak
mewarisinya, dengan demikian ketentuan Pasal 852 BW merupakan bentuk hak
untuk mewarisi harta waris seorang anak angkat yang telah diakui secara
sah demi hukum, sekalipun ia tidak didasarkan pada suatu testament
tertulis dari erflater.
[1] Selanjutnya ditulis BW.
[2] Selanjutnya ditulis Staatsblad
[3] Selanjutnya ditulis UU No. 4/1979
[4] Selanjutnya ditulis UU No. 23/2002
[5] Selanjutnya ditulis KHI
[6] Selanjutnya ditulis PP No. 54/2007
[7] Selanjutnya ditulis SEMA No. 2/1979 Jo.SEMA No. 6/1983
[8] Selanjutnya ditulis Kepmensos No. 41/1984
[9] Risko El Windo Al Jufri, Tesis, Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa di Kota Jambi, Universitas Diponegoro, Semarang.
[10] Ibid, h. 27
0 komentar:
Posting Komentar