Dalam Pasal
24 Undang-Undang Dasar 1945 sekarang (hasil amandemen) disebutkan, bahwa:
(1) Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Makamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh
sebuah Makamah Konstitusi
Berbeda
dengan UUD 1945 sebelum amandemen, yang mengatur kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan kehakiman di lingkungan peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Kekuasaan
kehakiman kita sekarang selain diselenggarakan olah Mahkamah Agung (MA)
dan badan-badan peradilan di bawahnya dalam empat lingkungan peradilan juga
oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Kedudukan
Mahkamah Agung sama, baik sebelum dan sesudah amanden UUD 1945 merupakan puncak
dari badan-badan peradilan di empat lingkungan peradilan. Empat lingkungan
peradilan yang terdiri dari 1 (satu) lingkungan peradilan umum dan 3 (tiga)
lingkungan peradilan khusus yaitu : agama, militer dan tata usaha negara.
Keempat lingkungan peradilan tersebut masing-masing memiliki badan
peradilan (pengadilan) tingkat pertama dan banding. Badan-badan peradilan
tersebut berpuncak pada sebuah MA.
Untuk
lingkungan peradilan tata usaha negara berdasarkan Undang-Undang nomor 5 tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dalam Pasal 47 mengatur tentang
kompetensi PTUN dalam sistem peradilan di Indonesia yaitu bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.
Kewenangan
Pengadilan untuk menerima, memeriksa, memutus menyelesaikan perkara yang
diajukan kepadanya yang dikenal dengan kompetensi atau kewenangan mengadili.
PTUN
mempunyai kompetensi menyelesaikan sengketa tata usaha negara di tingkat
pertama. Sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) untuk tingkat
banding.
Akan tetapi
untuk sengketa-sengketa tata usaha negara yang harus diselesaikan terlebih
dahulu melalui upaya administrasi berdasarkan Pasal 48 UU No. 5 tahun1986 jo UU
No. 9 tahun 2004 maka PT.TUN merupakan badan peradilan tingkat pertama.
Terhadap putusan PT.TUN tersebut tidak ada upaya hukum banding melainkan
kasasi.
II.
PTUN DI INDONESIA
Dalam UU No
5 Tahun 1986 untuk membentuk PTUN dengan Keputusan Presiden (Keppres). Di
Indonesia sampai dengan sekarang ada 26 PTUN. Berdasarkan Keppres No. 52 Tahun
1990 tentang Pembentukan PTUN di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, Ujung
Pandang. Keppres No. 16 Tahun 1992 tentang Pembentukan PTUN di Bandung,
Semarang dan Padang. Keppres No. 41 Tahun 1992 tentang Pembentukan PTUN
Pontianak, Banjarmasin dan Manado. Keppres No. 16 Tahun 1993 tentang
Pembentukan PTUN Kupang, Ambon, dan Jayapura. Keppres No. 22 Tahun 1994 tentang
Pembentukan PTUN Bandar Lampung, Samarinda dan Denpasar. Keppres No. 2 Tahun
1997 tentang Pembentukan PTUN Banda Aceh, Pakanbaru, Jambi, Bengkulu,
Palangkaraya, Palu, Kendari, Yogyakarta, Mataram dan Dili. Untuk wilayah hukum
PTUN Dili, setelah Timor Timur merdeka bukan lagi termasuk wilayah Republik
Indonesia.
III.
KOMPETENSI PTUN
Kompetensi
(kewenangan) suatu badan pengadilan untuk mengadili suatu perkara dapat
dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif
berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai
dengan wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan
untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa.
a.
Kompetensi Relatif
Kompetensi
relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang menjadi
kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa
suatu sengketa apabila salah satu pihak sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat)
berkediaman di salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan
itu.
Pengaturan
kompetensi relatif peradilan tata usaha negara terdapat dalam Pasal 6 dan Pasal
54 :
Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 menyatakan :
(1)
Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota.
(2)
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Provinsi.
Untuk saat
sekarang PTUN masih terbatas sebanyak 26 dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (PT.TUN) ada 4 yaitu PT.TUN Medan, Jakarta, Surabaya dan Makasar
di seluruh wilayah Indonesia, sehingga PTUN wilayah hukumnya meliputi
beberapa kabupaten dan kota. Seperti PTUN Medan wilayah hukumnya meliputi
wilayah provinsi Sumatera Utara dan PT.TUN wilayah hukumnya meliputi
provinsi-provinsi yang ada di Sumatera.
Adapun
kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat kediaman para
pihak, yakni pihak Penggugat dan Tergugat.
Dalam Pasal
54 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 diatur sebagai berikut :
Gugatan
sengketa tata usaha negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang
daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
(1)
Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan
berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara.
(2)
Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan
tempat kediaman Penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat untuk selanjutnya diteruskan
kepada Pengadilan yang bersangkutan.
(3)
Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa tata usaha negara yang
bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan
kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
Penggugat.
(4)
Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan
diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
(5)
Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri,
gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan Tergugat.
Dengan
demikian gugatan pada prinsipnya diajukan ke pengadilan di tempat tergugat dan
hanya bersifat eksepsional di tempat penggugat diatur menurut Peraturan
Pemerintah. Hanya saja sampai sekarang Peraturan Pemerintah tersebut belum ada.
b.
Kompetensi Absolut
Kompetensi
absolut berkaitan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili
suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Adapun yang menjadi
obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan tata usaha negara sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004.
Kompetensi absolut PTUN adalah sengketa tata usaha negara yang timbul dalam
bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan
atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 4 UU No. 5
Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004).
Obyek
sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan tata usaha negara sesuai Pasal 1
angka 3 dan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004.
Namun
ini, ada pembatasan-pembatasan yang termuat dalam ketentuan Pasal-Pasal UU No.
5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 yaitu Pasal 2, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal
142. Pembatasan ini dapat dibedakan menjadi : Pembatasan langsung, pembatasasn
tidak langsung dan pembatasan langsung bersifat sementara.
1)
Pembatasan Langsung
Pembatasan
langsung adalah pembatasan yang tidak memungkinkan sama sekali bagi PTUN untuk
memeriksa dan memutus sengketa tersebut. Pembatasan langsung ini terdapat dalam
Penjelasan Umum, Pasal 2 dan Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986. Berdasarkan Pasal
2 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 menentukan, bahwa tidak termasuk
Keputusan tata usaha negara menurut UU ini :
a. Keputusan tata usaha negara yang
merupakan perbuatan hukum perdata.
b. Keputusan tata usaha negara yang
merupakan pengaturan yang bersifat umum.
c. Keputusan tata usaha negara yang
masih memerlukan persetujuan.
d. Keputusan tata usaha negara yang
dikeluarkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang
bersifat hukum pidana.
e. Keputusan tata usaha negara yang
dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Keputusan tata usaha negara mengenai
tata usaha Tentara Nasional Indonesia.
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik
di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
2.
Pasal 49, Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan tata usaha negara yang
disengketakan itu dikeluarkan :
a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya,
keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Dalam keadaan mendesak untuk
kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2)
Pembatasan Tidak Langsung
Pembatasan
tidak langsung adalah pembatasan atas kompetensi absolut yang masih membuka
kemungkinan bagi PT.TUN untuk memeriksa dan memutus sengketa administrasi,
dengan ketentuan bahwa seluruh upaya administratif yang tersedia untuk itu
telah ditempuh.
Pembatasan
tidak langsung ini terdapat di dalam Pasal 48 UU No. 9 Tahun 2004 yang
menyebutkan,
(1)
Dalam hal suatu Badan atau Pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh atau
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara
administratif sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui
upaya administratif yang tersedia.
(2)
Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata
usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya
adminisratif yang bersangkutan telah digunakan.
(3)
Pembatasan langsung bersifat sementara
Pembatasan
ini bersifat langsung yang tidak ada kemungkinan sama sekali bagi PTUN untuk
mengadilinya, namun sifatnya sementara dan satu kali (einmalig).
Terdapat dalam Bab VI Ketentuan Peralihan Pasal 142 ayat (1) UU No. 5 Tahun
1986 yang secara langsung mengatur masalah ini menentukan bahwa, “ Sengketa
tata usaha negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan menurut UU ini belum
diputus oleh Pengadilan menurut UU ini belum diputus oleh Pengadilan di
lingkungan Peradilan Umum tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan di
lingkungan Peradilan Umum”.
IV.
OBYEK dan SUBYEK SENGKETA di PTUN
1. Obyek
Sengketa
Obyek
sengketa di PTUN adalah Keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud Pasal
1 angka 3 dan Keputusan fiktif negatif berdasarkan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986
jo UU No. 9 Tahun 2004.
a. Keputusan
Tata Usaha Negara :
Pengertian
Keputusan tata usaha negara menurut pasal 1 angka 3 uu No. 5 Tahun 1986 UU No.
9 Tahun 2004 ialah Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat
konkret, individual, final, yang menimbulkan akibat hukum bagi Seseorang atau
Badan Hukum Perdata.
Dari rumusan
keputusan tersebut di atas, dapat ditarik unsur-unsur yuridis keputusan menurut
hukum positip sebagai berikut :
1)
Suatu penetapan tertulis.
2)
Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara.
3)
Berisi tindakan hukum tata usaha negara.
4)
Bersifat konkret, individual dan final.
5)
Menimbulkan akibat hukum bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata.
b. Keputusan
tata usaha negara fiktif negatif
Obyek
sengketa PTUN termasuk keputusan tata usaha Negara yang fiktif negatif sebagai
mana dimaksud Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004, yaitu :
(1)
Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan,
sedangkan hal itu menjadi kewajibannya maka hal tersebut disamakan dengan
Keputusan Tata Usaha Negara.
(2)
Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan
yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagai mana ditentukan dalam peraturan
perundang- undangan dimaksud telah lewat, maka badan atau penjabat tata usaha
negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
(3)
Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan
jangka waktu maka setelah lewat jangka waktu 4 bulan sejak diterimanya
permohononan, badan atau penjabat tata usaha negara yang bersangkutan dianggap
telah mengeluarkan keputusan.
Jadi jika
jangka waktu telah lewat sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan atau setelah lewat empat bulan sejak diterimanya permohonan,
Badan atau Pejabat tata usaha negara itu tidak mengeluarkan keputusan yang
dimohonkan, maka Badan atau Pejabat tata usaha negara tersebut dianggap telah
mengeluarkan keputusan penolakan.
Sikap pasif
Badan/Pejabat tata usaha negara yang tidak mengeluarkan keputusan itu dapat
disamakan dengan keputusan tertulis yang berisi penolakan meskipun tidak
tertulis. Keputusan demikian disebut keputusan fiktif-negatif. Fiktif artinya
tidak mengeluarkan keputusan tertulis, tetapi dapat dianggap telah mengeluarkan
keputusan tertulis. Sedangkan negatif berarti karena isi keputusan itu berupa
penolakan terhadap suatu permohonan.
Keputusan
fiktif negatif merupakan perluasan dari keputusan tata usaha negara tertulis
yang menjadi objek dalam sengketa tata usaha negara.
2. SUBYEK
SENGKETA
a. Penggugat
Penggugat
adalah seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingan dirugikan
oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
pengadilan yang berwenang yang berisi tata usaha negaratutan agar Keputusan
tata usaha negara yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah dengan
atau disertai tata usaha negaratutan ganti rugi dan rehabilitasi. (Pasal 53
ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004).
Selain itu
pula Penggugat dapat mengajukan permohonan penundaan pelaksanaan keputusan tata
usaha negara yang dijadikan obyek gugatan selama pemeriksaan sengketa tata
usaha negara sedang berjalan sampai ada putusan Pengadilan memperoleh kekuatan
hukum tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (2) UU No.5 Tahun 1986 jo UU
No. 9 Tahun 2004.
Sesuai
dengan ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 maka
hanya seseorang atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subyek hukum
saja yang dapat mengajukan gugatan ke PTUN untuk menggugat keputusan tata usaha
negara.
Gugatan
disyaratkan diajukan dalam bentuk tertulis karena gugatan itu akan menjadi
pegangan pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan. Mereka yang tidak pandai
baca tulis dapat mengutarakan keinginannya untuk menggugat kepada Panitera
Pengadilan yang membantu merumuskan gugatannya dalam bentuk tertulis.
Untuk
mengajukan gugatan, penggugat membayar uang muka biaya perkara, yang besarnya
ditaksir oleh panitera pengadilan.
Uang muka
biaya perkara tersebut akan diperhitungkan kembali kalau perkaranya sudah
selesai. Dalam hal penggugat kalah dalam perkara dan ternyata masih ada
kelebihan uang muka biaya perkara, maka uang kelebihan tersebut akan
dikembalikan kepadanya tetapi kalau ternyata uang muka biaya perkara tersebut
tidak mencukupi ia wajib membayar kekurangannya.
Untuk
mengajukan gugatan diperlukan alasan-alasan yang mendasarinya terhadap
Keputusan tata usaha negara yang digugat, pengadilan memerlukan dasar pengujian
apakah keputusan tata usaha negara tersebut rechtmatig (absah) atau
tidak. pasal 53 ayat 2 UU No. 5 Tahun1986 UU No. 9 Tahun 2004 menggariskan
alasan mengajukan gugatan bagi penggugat yang merupakan dasar pengujian oleh
pengadilan.
Alasan
mengajukan gugatan menurut Pasal 53 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun
2004 adalah :
a.
Keputusan tata usaha negara tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b.
Keputusan tata usaha negara tersebut bertentangan dengan Asas-Asas Umum
Pemerintah yang Baik (AAUPB).
Aspek yang
bertentangan itu menyangkut wewenang, prosedur, dan substansi keputusan tata
usaha negara tersebut.
b. Tergugat
Dalam Pasal
1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 menyebutkan
pengertian Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang
mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang
dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
Yang
dimaksud dengan badan atau pejabat tata usaha negara menurut Pasal 1 angka 2 UU
No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 disebutkan, “Badan atau Pejabat tata
usaha negara adalah pejabat yang melaksanakan urusan pemerintah berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Dalam
kepustakaan hukum administrasi terdapat dua cara utama untuk memperoleh
wewenang pemerintahan yaitu atributif dan delegasi. Kadang-kadang juga mandat,
ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang, namun apabila
dikaitkan dengan gugatan tata usaha negara (gugatan ke PTUN), mandat tidak
ditempatkan secara tersendiri karena penerima mandat tidak bisa menjadi
tergugat di PTUN.
Ketentuan
hukum yang menjadi dasar dikeluarkan keputusan yang disengketakan itu
menyebutkan secara jelas Badan atau Pejabat tata usaha negara yang diberi
wewenang pemerintahan. Jadi dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan
perundang-undangan sendiri itu dinamakan bersifat atributif. Dan manakala Badan
atau Pejabat tata usaha negara memperoleh wewenang pemerintahan secara
atributif itu mengeluarkan Keputusan tata usaha negara yang kemudian
disengketakan, maka yang harus digugat adalah badan atau pejabat tata usaha
negara yang memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif tersebut.
Ada kalanya
ketentuan dalam peraturan dasarnya menyebutkan bahwa badan atau pejabat yang
mendapat kewenangan atributif mendelegasikan wewenangnya kepada Badan atau
Pejabat lain. Apabila Badan atau pejabat tata usaha negara yang menerima
pendelegasian ini mengeluarkan keputusan tata usaha negara yang kemudian disengketakan,
maka Badan atau Pejabat tata usaha negara inilah yang menjadi tergugat.
c.
Pihak Ketiga yang berkepentingan
Dalam Pasal
83 UU No. 5 / 1986 jo UU No. 9/ 2004 disebutkan :
(1).
Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa
pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri
dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa hakim, dapat masuk dalam
sengketa tata usaha negara, dan bertindak sebagai:
-
pihak yang membela haknya, atau
-
peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.
(2).
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat l dapat dikabulkan atau ditolak oleh
Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara.
(3).
Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat
2 tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama dengan permohonan
banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa.
Pasal
ini mengatur kemungkinan bagi seseorang atau badan hukum perdata ikut serta
dalam pemeriksaan perkara yang sedang berjalan.
V.
TENGGANG WAKTU PENGAJUAN GUGATAN
Dalam Pasal
55 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 disebutkan bahwa gugatan dapat
diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat
diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat tata usaha negara
yang digugat.
Dalam hal
yang hendak digugat ini merupakan keputusan menurut ketentuan :
a.
Pasal 3 ayat (2), maka tenggang waktu 90 hari dihitung setelah lewat tenggang
waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang dihitung sejak tanggal
diterimanya permohonan yang bersangkutan.
b.
Pasal 3 ayat (3), maka tenggang waktu itu dihitung setelah 4 bulan yang
dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.
Dalam SEMA
Nomor : 2 Tahun 1991 dinyatakan bahwa bagi mereka yang tidak dituju oleh suatu
Keputusan tata usaha negara, yang merasa kepentingannya dirugikan maka tenggang
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dihitung secara kasuistis sejak saat
ia merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan tata usaha negara yang
bersangkutan.
Sebagai
contoh putusan MA No. 5/K/TUN/1992, dipertimbangkan bahwa Penggugat-Penggugat
bukan orang yang dituju dalam obyek gugatan, Penggugat-Penggugat baru
mengetahui adanya keputusaan tata usaha negara yang merugikannya sewaktu mereka
mengurus Surat Sertipikat Tanah yang bersangkutan.
VI.
RANCANGAN UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN (RUU-AP)1
Dalam RUU-AP memperluas kewenangan PTUN. Hal ini dapat dilihat dari :
Pasal 1 4. Keputusan
Administrasi Pemerintahan adalah semua keputusan tertulis atau tidak tertulis
yang dikeluarkan oleh Instansi Pemerintah dan badan hukum lainnya yang berisi
tindakan hukum dan tindakan materiil administrasi pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan, yang bersifat konkret, individual, dan final,
dalam bidang hukum administrasi negara serta menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.6. Upaya Administratif adalah upaya
keberatan yang dilakukan perseorangan, kelompok masyarakat atau organisasi
terhadap isi atau pelaksanaan suatu Keputusan Administrasi Pemerintahan kepada
atasan dari Pejabat Administrasi Pemerintahan atau Badan yang mengeluarkan
Keputusan Administrasi Pemerintahan.7. Pengadilan adalah Pengadilan
Tata Usaha Negara.
Pasal 39 Setiap orang, kelompok masyarakat atau organisasi dapat mengajukan gugatan
terhadap Keputusan Upaya Administratif ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 44(Ketentuan Peralihan)(1) Kewenangan untuk memeriksa dan memutus
perkara yang berkaitan dengan tindakan Pejabat Administrasi Pemerintahan atau
badan yang menimbulkan kerugian material maupun immaterial menurut
Undang-Undang ini dilaksanakan oleh Peradilan Tata Usaha Negara.(2) Perkara
perbuatan melanggar hukum administrasi pemerintahan oleh pejabat administrasi
pemerintahan yang sudah didaftar tetapi belum diperiksa oleh pengadilan di
lingkungan Peradilan Umum dialihkan dan diselesaikan oleh Peradilan Tata Usaha
Negara.(3) Perkara perbuatan melanggar hukum administrasi pemerintahan oleh
pejabat administrasi pemerintahan yang sudah diperiksa tetap diselesaikan dan
diputus oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Umum.(4) Keputusan Administrasi
Pemerintahan berkekuatan hukum yang sama dengan Keputusan Tata Usaha Negara
berdasarkan Undang-Undang ini.
Obyek
sengketa di PTUN berdasarkan RUU-AP tidak hanya Keputusan Tata Usaha
Negara sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 tahun 2004
melainkan pula keputusan tidak tertulis yang
dikeluarkan oleh Instansi Pemerintah dan badan hukum lainnya yang berisi
tindakan hukum dan tindakan materiil administrasi pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan, yang bersifat konkret, individual, dan final,
dalam bidang hukum administrasi negara serta menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.
Keputusan yang harus melalui upaya administrasi sesuai Pasal 48 UU No. 5 Tahun
1986 jo UU No. 9 tahun 2004 merupakan kewenangan PT.TUN dengan RUU-AP bukan
lagi kewenangan PT.TUN sebagi pengadilan tingkat pertama, melainkan menjadi
kewenganan PTUN.
VII.
PENUTUP
Kompetensi
PTUN dalam sistem peradilan kita, masih relatif kecil. Tidak jarang di berbagai
PTUN volume perkara pertahunnya di bawah 20 perkara seperti antara lain
PTUN Ambon, Banda Aceh, Bengkulu, Jambi, Jayapura, Kendari, Kupang,
Palangkaraya, Palu, Yogyakarta. Hal ini menunjukan belum optimalnya peranan
PTUN sebagai lembaga kontrol yuridis terhadap pemerintah.
Adanya upaya
pemerintah dalam reformasi birokrasi dengan merancang RUU-AP kiranya dapat
dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga eksistensi peradilan tata usaha
negara dapat dirasakan manfaatnya baik bagi pemerintah maupun masyarakat.
Setelah
RUU-AP menjadi UU-AP, haruslah pula ditindaklanjuti dengan penyelarasan
menyangkut kompetensi mengadili PTUN yang secara tegas mengatur : “PTUN
berwenang mengadili sengketa yang timbul dari perbuatan badan/pejabat Tata
Usaha Negara berdasarkan hukum publik yang menimbulkan seseorang atau badan
hukum perdata kepentingannya dirugikan.
0 komentar:
Posting Komentar