|
Pengertian Dan Azas Hukum |
A. APA ITU HUKUM
Sebetulnya, belum ada definisi pasti tentang hukum. Para ahli pun masih belum sepakat mengenai apa definisi hukum yang paling tepat. Definisi tentang hukum bisa berbeda tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Hukum bisa diartikan sebagai aturan-aturan, keputusan penguasa, sebagai petugas, sebagai sikap tindak, sebagai gejala sosial, kebudayaan, kaidah, tata hukum, jalinan nilai, disiplin, ilmu hukum, dan sebagainya.
Ahli hukum, Van Apeldroon misalnya, mengatakan hukum adalah petugas penegak hukum yaitu Polisi, Jaksa, Hakim. Hal ini dapat dipahami karena Aperldroon melihat hukum dari sudut pandang masyarakat awam. Sedangkan Ahli yang lain, Utrecht mengatakan, hukum itu himpunan petunjuk-petunjuk hidup tata tertib suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.
R. Soeroso mengatakan, hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang dengan tujuan mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta punya sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi bagi yang melanggarnya. Berdasarkan beragam definisi soal hukum di atas maka bisa dipahami bahwa belum ada definsi yang pasti soal hukum. semua tergantung dari sudut pandang mana kita melihat hukum itu. Yang jelas hukum bertujuan agar terciptanya keadilan. Keadilan bisa dicapai jika ada ketertiban dan keamanan serta kenyamanan di masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, penulis akan gunakan pendapat R. Soeroso, yang penulis sederhanakan menjadi; hukum merupakan aturan-aturan yang ada di masyarakat yang harus dipatuhi, jika dilanggar maka akan dikenakan sanksi. Definisi ini lah yang akan digunakan sebagai pedoman atau pegangan dalam pembahasan selanjutnya di dalam buku ini.
B. HUKUM PERDATA DAN HUKUM PIDANA
Hukum pidana dan hukum perdata merupakan cabang dari ilmu hukum. Sebetulnya masih ada lagi cabang-cabang ilmu hukum lain seperti hukum administrasi negara, hukum tatanegara dan sebagainya. Namun di dalam buku ini penulis akan batasi pembahasan hanya pada hukum pidana dan perdata saja. Alasannya masalah hukum pidana dan perdata mungkin lebih banyak dialami oleh masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya muncul pertanyaan apa bedanya hukum pidana dan hukum perdata. Hukum pidana dan hukum perdata jelas berbeda. Kita bisa lihat perbedaannya dari beberapa sudut pandang. Namun sebelumnya perlu kita tahu bahwa hukum perdata itu masuk dalam hukum privat, sementara hukum pidana masuk dalam hukum publik.
Hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan antara orang satu dengan yang lain. Sedangkan hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara (atau alat-alat negara misalnya Polisi, Jaksa, dsb) dengan warga negara.
Dari sisi pengertiannya, hukum perdata mengatur hubungan hukum antara orang satu dengan yang lain, yang menitik beratkan pada kepentingan perseorangan. Sedangkan hukum pidana, mengatur hubungan hukum antara seorang anggota masyarakat (warganegara) dengan negara yang menguasai tata tertib masyarakat.
Contoh hukum perdata: A menjual sepeda kepada B. Hubungan hukum yang muncul adalah hanya antara A dan B atas dasar perjanjian. Di mana B berkepentingan untuk mendapatkan sepeda yang ia beli dari A, sementara A berkepentingan mendapat uang pembayaran sepeda dari B dan berkewajiban menyerahkan sepeda yang ia jual kepada B. Jika salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya maka pihak lain yang dirugikan bisa menggugat ke Pengadilan. Di sini yang menjadi titik berat adalah kepentingan masing-masing pihak yaitu A atau B yang menjadi pihak dalam jual beli sepeda tersebut.
Contoh hukum pidana: A menganiaya B. Perbuatan tersebut merupakan tindak pidana berdasarkan Pasal 351 KUHP. Sehingga untuk menjaga ketertiban A harus diamankan polisi dan ia harus diproses dan diadili di Pengadilan.
Dari isinya, Hukum perdata mengatur hubungan antara orang satu dengan yang lain. Aturan mengenai hukum perdata (secara umum) diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Susunan dalam KUHPerdata terdiri dari 4 buku. Buku I, mengatur tentang hukum orang dan keluarga; Buku ke II, mengatur tentang Hukum Benda dan Waris; Buku Ke III mengatur tentang hukum perikatan/perjanjian; dan Buku ke IV mengatur tentang Hukum Pembuktian Perdata dan Lewat Waktu atau Daluarsa. Sedang, Hukum Pidana merupakan keseluruhan peraturan hukum yang mengatur/menerangkan perbuatan mana yang merupakan kejahatan, dan mana yang merupakan pelanggaran.
Hukum Pidana (secara umum) diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau biasa disingkat KUHP. KUHP terdiri dari 3 bagian/buku. Bagian pertama mengatur tentang Ketetuan Umum; bagian kedua tentang Kejahatan; bagian ketiga tentang Pelanggaran. Bagian ketentuan umum memuat asas-asas, ruang lingkup , pengertian istilah-istilah yang digunakan dalam KUHP. Bagian Kejahatan mengatur perbuatan- perbuatan mana yang dikategorikan perbuatan Kejahatan misalnya pembunuhan, pencurian, perkosaan, penggelapan, dan sebagainy. Sedangkan bagian pelanggaran mengatur perbuatan-perbuatan mana yang dikategorikan perbuatan pelanggaran seperti pelanggaran lalu lintas, membuat keributan pada malam hari, mengemis, dan sebagainya.
Melebar sedikit tentang bedanya pelanggaran dan kejahatan, sederhananya, pelanggaran merupakan tindak pidana yang dikategorikan ringan. Ancaman sanksinya pun lebih ringan dari tindak pidana Kejahatan. Sanksi bagi orang yang melakukan pelanggaran adalah pidana kurungan yaitu maksimal kurungan penjara selama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan. Sementara sanksi untuk kejahatan maksimal pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun, atau pidana penjara seumur hidup bahkan hukuman mati.
Kembali lagi, dari sisi pelaksanaannya, pelanggaran hukum perdata baru akan diambil tindakan oleh pengadilan setelah ada pengaduan dari pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang merasa dirugikan. Pihak yang mengadu tersebut menjadi penggugat dalam perkara itu.
Contoh: A menjual sepeda kepada B dengan harga 2 juta rupiah. B sudah menyerahkan uang pembayaran sepeda kepada A. Tapi A tidak menyerahkan sepedanya. Dalam kasus ini B harus mengambil tindakan yaitu menggugat A ke Pengadilan sehingga perkara ini bisa diproses secara hukum. Jika B diam-diam saja. Maka pengadilan tidak akan melakukan tindakan apapun. Jadi inisiatifnya harus dari para pihak.
Sedangkan pada hukum pidana, pelanggaran terhadap norma hukum pidana segera diambil tindakan oleh alat perlengkapan negara (Polisi, Jaksa, Hakim/Pengadilan).
Contoh: A membunuh B. Mengetahui hal tersebut Polisi harus segera mengambil tindakan untuk menangkap A dan memprosesnya secara pidana, tanpa harus menunggu pengaduan atau pelaporan dari B (Korban) ataupun keluarganya. Jadi inisiatifnya datang dari Aparat Penegak Hukum dalam hal ini Kepolisian.
Dari segi cara menafsirkannya, pada hukum perdata boleh melakukan berbagai macam penafsiran terhadap undang-undang hukum perdata. Sedangkan hukum pidana hanya boleh ditafsirkan menurut arti kata dalam undang-undang hukum pidana tersebut.
Dari segi sanksi, Pelanggaran hukum perdata mewajibkan si pelanggar mengganti kerugian kepada pihak yang dirugikan (Jadi tujuannya itu menuntut ganti rugi secara materi).
Contoh: A tidak membayar utangnya beserta bunga kepada B sehingga B rugi. B dapat menggugat A ke Pengadilan agar A membayar utangnya beserta bunga kepada B. Jadi yang dituntut ialah penggantian kerugian secara materi. Sedangkan sanksi bagi pelanggar hukum pidana adalah kurungan badan (penjara) atau denda dan bukan ganti rugi materi.
Contoh: A ditipu oleh B sebesar 100 juta. Kemudian A melaporkan B ke polisi atas dasar penipuan. B pun tertangkap dan di proses hingga pengadilan dan dihukum penjara. Dalam kasus ini tidak ada kewajiban B harus mengembalikan uang A sebesar 100 juta tersebut. Sanksi yang diterima B hanya hukuman penjara saja. Dan B tidak ada kewajiban secara pidana untuk mengganti uang A yang 100 juta tersebut. Jika A mau menuntut kerugian pada B, maka ia harus mengajukan gugatan ganti kerugian (menempuh jalur perdata) ke pengadilan.
C. PENGERTIAN TINDAK PIDANA DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM
1. Tindak Pidana
Dalam buku ini, tindak pidana berarti perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum (hukum pidana) yang disertai dengan ancaman (saknsi) berupa pidana tertentu bagi yang melanggar aturan tersebut. Suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana jika perbuatan tersebut melanggar unsur-unsur pasal pidana. Misalnya, Pasal 362 KUHP tentang pencurian menyebutkan;
“barangsiapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Jika seseorang melakukan suatu perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pasal di atas, maka orang tersebut sudah melakukan tindak pidana pencurian. Beda lagi jika pasal yang dilanggar adalah Pasal 378 tentang penipuan. Jika tindakan seseorang memenuhi unsur-unsur pasal 378 tersebut, berarti dia telah melakukan tindak pidana penipuan.
Sederhananya, semua perbuatan, baik itu pencurian maupun perbuatan lain sudah diatur dalam undang-undang (dalam hal ini KUHP) disertai juga dengan sanksi pidananya. Sehingga setiap perbuatan yang melanggar atau memenuhi unsur-unsur pasal yang ada dalam KUHP tersebut, dikatakan sebagai tindak pidana dan bagi yang melakukan disebut pelaku tindak pidana.
2. Perbuatan Melawan Hukum
Sebenarnya, tindak pidana juga merupakan perbuatan melawan hukum. Sebab ada hukum yang dilanggar dalam setiap tindakan pidana. Bedanya, sifat perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana bersifat publik (ada kepentingan umum yang dilanggar disamping mungkin juga kepentingan individu), sementara dalam hukum perdata sifatnya privat (yang dilanggar hanya kepentingan individu).
Dalam buku ini, Penulis memisahkan antara Tindak Pidana dan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Yang dimaksud Perbuatan Melawan Hukum dalam buku ini adalah perbuatan melawan hukum dalam konteks hukum perdata seperti yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPer;
“tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”
Dapat dipahami, Perbuatan Melawan Hukum yang dimaksud di sini ialah perbuatan melawan hukum dalam konteks perdata. Artinya, tidak ada sanksi pidana jika dilanggar, namun memberikan sanksi wajib membayar ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.
Contoh, A meminjam uang sebesar 100 juta dari B dengan jaminan sebidang tanah milik A. Pada tanggal yang sudah disepakati A pun mengembalikan uang yang dipinjamnya tersebut kepada B. Namun, B tidak mengembalikan tanah A yang dijaminkan kepadanya tersebut kepada A. Ternyata tanah A yang dijaminkan tersebut telah dijaminkan lagi kepada C dan C telah menjual tanah A tersebut ke orang lain.
Dalam kasus ini, B telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Perbuatan B yang menjaminkan tanah A tenpa hak kepada C telah membuat A mengalami kerugian karena ia kehilangan tanahnya yang seharusnya ia dapatkan kembali.
Jadi dapat dipahami, tindak pidana merujuk pada konteks hukum pidana, sementara perbuatan melawan hukum dalam konteks perdata.
D. ASAS-ASAS HUKUM
1. Pengertian dan Kegunaan Asas Hukum
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Asas merupakan dasar atau tumpuan berpikir dan berpendapat. Atau bisa juga dikatakan, asas merupakan hukum dasar.
Jadi ibarat rumah, asas itu fondasinya. Dari fondasi, sebuah rumah dapat disusun dan berdiri. Asas itu universal. Artinya, asas mengandung nilai-nilai moral, etika, rasional (masuk akal/logis) yang sudah dan dapat diterima secara umum oleh masyarakat pada umumnya.
Begitu pula dengan asas hukum. Ia merupakan unsur penting juga pokok dari suatu peraturan hukum karena menjadi dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan aturan- aturan hukum di masyarakat.
Menurut ahli hukum Satjipto Raharjo, Asas hukum itu jantungnya ilmu hukum karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum.
Sementara Van Eikema Hommes mengatakan, asas hukum tak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum konkrit, namun perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan aturan hukum perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan kata lain tak boleh suatu peraturan hukum bertentangan atau tak sesuai dengan asas hukumnya.
Asas hukum ada yang diatur secara tegas dan tertulis di dalam peraturan perundang- undangan, misalnya asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yang
mengatakan “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.
Namun ada juga yang tidak diatur secara tegas dalam undang-undang. Misalnya, asas hukum yang mengatakan “tidak dipidana tanpa ada kesalahan”. Asas ini tidak tertulis atau tidak dirumuskan secara tegas dalam KUHP namun sudah diberlakukan di dalam praktek hukum pidana.
Namun terlepas apakah asas hukum itu dituliskan atau tidak dalam suatu peraturan perundang-undangan, kita tetap bisa menemukan asas-asas tersebut. Sebab, asas berlaku universal/umum.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan, Asas hukum merupakan dasar berpikir dan berpendapat yang gunanya sebagai dasar serta petunjuk arah dalam pembentukan aturan-aturan di masyarakat.
2. Asas Hukum Pidana
Di sini Penulis akan uraikan beberapa asas hukum pidana yang pokok yang bisa digunakan sebagai pegangan;
a. Asas Legalitas (nullum dilectum nulla poena sine praevia lege)
Asas ini diatur dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi; “tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan peraturan perundang- undangan pidana yang telah ada sebelumya”. Atau sederhananya, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan dahulu dalam peraturan perundang-undangan.
Contoh A mencuri barang/benda milik B pada tahun 2011. Namun pada saat itu perbuatan mencuri belum diatur/dikategorikan sebagai perbuatan pidana dalam undang-undang. Sekalipun secara moral atau etika mencuri merupakan perbuatan
yang tidak dibenarkan di masyarakat, Namun karena hukum (undang-undang) belum mengaturnya, maka perbuatan A tersebut tidak bisa dikatakan sebagai perbuatan pidana sehigga A tidak bisa dihukum karena itu.
b. Asas Teritorial.
Asas ini mengatur bahwa hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi atau dilakukan di wilayah Indonesia. Tak peduli yang melakukan itu orang Indonesia atau bukan. Misalnya A (warga Negara Jerman) membunuh B (warga Negara Indonesia) di Indonesia. Maka A akan dikenakan pasal hukum pidana Indonesia dan diproses berdasarkan hukum indonesia sekalipun ia warga negara Jerman.
c. Asas Personal.
Asas ini mengatakan, hukum pidana berlaku untuk seluruh perbuatan yang dilakukan warga negara Indonesia, tak peduli dimana ia melakukannya. Misalnya A (warga Negara Indonesia yang sedang berada di Singapura) membunuh B (warga negara singapura) di Singapura. Berdasarkan asas ini, A dapat dikenakan pasal hukum pidana indonesia, dan bukan hukum singapura.
Namun lazimnya, asas Teritorial lah yang dipakai kebanyakan negara, termasuk Indonesia. Mengingat sudah sewajarnya tiap-tiap orang yang berada di suatu negara tunduk pada peraturan negara di mana ia berada. Atau pribahasanya, di mana bumi dipijak di situ langit di junjung.
3. Asas Hukum Perdata
Sudah diuraikan di atas, bahwa hukum perdata mengatur masalah hubungan antara orang dengan orang lain. Masalah perdata secara umum diatur dalam KUHPer yang terdiri dari 4 buku.
Buku pertama tentang orang, memuat aturan-aturan tentang manusia sebagai subjek dalam hukum, tentang kecakapan/kemampuan memiliki hak-hak dan kecakapan bertindak sendiri guna melaksanakan hak-haknya serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu. Misalnya, ketentuan kapan seseorang cakap atau boleh membuat suatu perjanjian. Kita bisa melihat aturannya di buku I dari KUHPerdata.
Buku kedua tentang kebendaan, mengatur hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang, hak kepemilikan atas suatu benda/barang, warisan, dan lain sebagainya. Misalnya cara pembagian harta warisan, bisa kita lihat aturannya dalam Buku ke dua KUHPerdata.
Buku ketiga mengatur tentang masalah perikatan atau perjanjian. Misalnya syarat sahnya perjanjian, perjanjian jual beli, sewa menyewa, pinjam-meminjam, dan sebagainya itu pada umumnya diatur dalam buku ke tiga KUHPerdata.
Buku ke empat tentang pembuktian dan daluarsa, mengatur tentang macam-macam alat bukti dalam pembuktian kasus perdata, dan jangka waktu daluarsa. Jadi jika ingin mengetahui tentang hal-hal itu. Tinggal dilihat di buku ke empat dari KUHperdata.
Namun, ada yang unik dalam KUHPerdata yaitu KUHPerdata bersifatnya terbuka. Artinya ketentuan-ketentuan KUHPerdata bisa disimpangi selama para pihak sepakat menyimpanginya dan tak merugikan pihak lain yang berkepentingan. Misalnya KUHPerdata mengatur kalau penyerahan barang yang dibeli dilakukan ditempat si pembeli. Namun A dan B mengatur dalam perjanjian yang mereka sepakati bahwa penyerahan barang dilakukan di tempat B selaku penjual. Hal tersebut sebetulnya sudah menyimpangi ketentuan KUHPerdata, namun bisa saja dilakukan selama kedua belah pihak sepakat dan tidak menimbulkan kerugian pada pihak ketiga.
Bicara soal sepakat, ada asas-asas dalam kesepakatan/ perjanjian yang harus diperhatikan di dalam lingkup hukum perdata, sebagai berikut;
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini bermakna, setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapapun, apapun isinya, apapun bentuknya sepanjang tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
b. Asas Konsensualistas (Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata)
Perjanjian itu telah muncul sejak ada kata sepakat dari kedua belah pihak. Dengan kata lain, perjanjian sudah ada dan sah bila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tak harus dibuatkan bentuk perjanjian tertulis dahulu (formalitas).
Misalnya A dan B sepakat melakukan jual beli Sepeda. Mereka berdua sudah menyepakati jenis dan bentuk sepedanya, harga, cara pembayaran serta penyerahan sepedanya namum belum menuliskan perjanjian jual beli itu di dalam suatu surat perjanjian. Maka berdasarkan asas ini, A dan B sudah mengadakan perjanjian perjanjian sejak ada kata sepakat diantara mereka bedua, bukan sejak dibuatnya perjanjian dalam bentuk tertulis.
c. Asas Pacta Sunt Servanda (Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata)
Asas ini mengatakan, perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya sehingga perjanjian itu harus benar-benar dilaksanakan karena ia mengikat seperti undang-undang.
d. Asas Itikad Baik
Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik bisa mengenai objek/barang yang diperjanjikan, bisa juga mengenai pelaksanaan perjanjiannya.
Contoh dalam hal benda/objeknya, si penjual yang beritikad baik harus jujur dan bersih. Ia tidak boleh jual barang yang sebenarnya dalam kondisi 70% namun Ia bilang ke pembeli kalau barang tersebut dalam kondisi 100%.
Pelaksanaan perjanjian sebagaimana dimaksud pasal 1338 ayat 3 KUHPer berarti dalam melaksanakan perjanjian itu harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
e. Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas ini mengatakan, pada umumnya seseorang tak boleh membuat atau mengadakan perjanjian selain untuk dirinya sendiri
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal. 39.
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002), hal. 46.
Pasal 18 Ayat 1 dan 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Terdapat pengecualian untuk beberapa tindak pidana tertentu yang dikategorikan sebagai delik aduan. Delik aduan harus dari korban yang mengadukan atau dengan kata lain delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Delik aduan dalam KUHP misalnya Pasal perzinahan (Pasal 284 KUHP), pencemaran nama baik (Pasal 310 KUHP), perbuatan tidak menyenangkan (Pasal 335 KUHP), dan penggelapan/pencurian dalam kalangan keluarga (Pasal 367 KUHP).
Munir, Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 22.
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal. 75.
Fence M. Wantu, Cara Cepat Belajar Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta : Reviva Cendekia, 2010), hal. 13.
Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung : Sinar Baru, 1983), hal. 85.
Moeljatno, Op.cit, 2008, hal. 25.
Pasal 2 KUHP “ketentuan dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu delik di Indonesia”.
Moeljatno, Op.cit, 2008, hal. 43.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT Intermasa, 2010), hal. 16.
Gamal, Komandoko, 75 Contoh Surat Perjanjian (Surat Kontrak), (Yogyakarta : Penerbit Pustaka Yustisia, 2009), hal. 8.
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Penerbit Intermasa, 2004), hal. 15.
Pasal 1338 Ayat 3 KUHPerdata “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
O.C. Kaligis, Op.cit. 2013, hal. 6.
Pasal 1315 KUHperdata “pada umumnya tak seorang dapat mengingatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”. Pasal 1340 KUHperdata “suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tak dapat pihak=pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317”.