google-site-verification: google9a13747b79e1f4cd.html TENTANG PUTUSAN PROVISI | Artikel Law Office MAH
SEMUA ARTIKEL
M.Ardiansyah Hasibuan

TENTANG PUTUSAN PROVISI


Istilah “provisionil” pada dasarnya dikenal dengan “provisionileis vonnis”, “putusan takdim”, “provisoire, “voorlopige”, “provisional”, “voorlaufig”, “provissorich  ainstwelling”, “bij vooraad”,  dan lain sebagainya.[1]  Istilah-istilah tersebut pada intinya menjelaskan bahwa “Putusan Provisionil” adalah putusan yang sifatnya sangat segera dan mendesak dilakukan hakim terhadap salah satu pihak dan bersifat sementara di samping adanya tuntutan pokok dalam surat gugatan.[2]
Pendapat lain juga menjelaskan yang dimaksud dengan Putusan Provisi atau provisionil adalah putusan yang dijatuhkan sehubungan dengan tuntutan dalam pokok perkara, dan sementara itu diadakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk kefaedahan salah satu pihak atau kedua belah pihak. Putusan semacam itu banyak dipergunakan dalam acara singkat dan dijatuhkan oleh karena segera harus diambil tindakan. Putusan provisi ini tergolong dalam kategori putusan sela yang berbeda dengan putusan akhir. Di dalam hukum acara perdata, selain putusan provisi terdapat putusan praeparatoir yaitu putusan sela yang dipergunakan untuk mempersiapkan perkara. Juga terdapat putusan insidentil, yaitu putusan sela yang diambil jika terdapat insiden seperti misalkan memperbolehkan seseorang masuk dalam perkara, atau atau adanya penggabungan gugatan yang harus segera diputus, dan lain sebagainya.[3]
Putusan provisi ini sebenarnya lazim dikenal dalam praktek hukum acara perdata yaitu permohonan Penggugat kepada pengadilan agar mengeluarkan tindakan hukum sementara dengan maksud untuk mencegah suatu kerugian yang semakin besar bagi penggugat dan memudahkan pelaksanaan putusan hakim jika penggugat dimenangkan, oleh karenanya tindakan sementara ini diperintahkan pelaksanaannya terlebih dahulu sedangkan perkara masih sedang berjalan.[4] Hal ini dapat ditemukan pada Penjelasan Pasal 185 HIR yang menyatakan:
 “Putusan provisionil yaitu keputusan atas tuntutan supaya di dalam hubungan pokok perkaranya dan menjelang pemeriksaan pokok perkara itu, sementara diadakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk kefaedahan salah satu pihak atau ke dua belah pihak. Keputusan yang demikian itu banyak digunakan di dalam pemeriksaan singkat.”
           
Tidak hanya dalam hukum acara perdata, putusan provisionil dapat ditemui juga dalam aturan arbitrase yang terletak pada Pasal 32 ayat (1) UU 30/1999, yaitu:
“Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga, atau menjual barang yang mudah rusak.”
Sementara dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, provisi sebenarnya hanya dikenal dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara.  Pasal 63 UU No. 24 Tahun 2003 mengatur, MK dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan MK.
Dalam sejarah Mahkamah Konstitusi, tercatat hanya beberapat kali permohonan putusan provisi, diantaranya yang diajukan oleh Amrozi dkk dalam perkara pengujian UU No.2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak menerima permohonan tersebut. MK mempertimbangkan: UU MK tidak mengenal permohonan provisi dalam pengujian undang-undang; dalam setiap pengujian UU, UU yang diuji tersebut tetap berlaku sebelum dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, permohonan provisi dikenal dalam sengketa kewenagan lembaga negara yang diatur dalam Pasal 63 UU MK; bahwa mekanisme permohonan provisi sifatnya harus penting dan mendesak; dan permohonan provisi adalah permohonan yang bersifat sementara dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pokok permohonan. Sehingga MK mengganggap permohonan provisi yang diajukan tidak berdasar dan beralasan hukum.[5]
Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat dalam permohonan pengujian UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diajukan oleh Bibit-Chandra, MK mengabulkan sebagian permohonan provisi yang diajukan dan menolak permohonan selebihnya. Permohonan yang dikabulkan terbatas yang terkait dengan pengujian UU, yakni menunda penerapan Pasal 32 Ayat (1) huruf c Jo Pasal 32 Ayat (3) UU KPK oleh Presiden, yakni tindakan administratif  berupa pemberhentian Pimpinan KPK yang menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan. Dalam Putusannya No. 133/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK terhadap UUD 1945, MK memberikan pertimbangan sebagai berikut: [6]
Meskipun pada awalnya permohonan provisi adalah ranah hukum acara perdata, namun hukum acara Mahkamah Konstitusi juga mengatur permohonan provisi dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara sebagaimana dimuat dalam Pasal 63 UU MK yang berbunyi, “Mahkamah dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”. Selain itu, jika diperlukan untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara, Pasal 86 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Penjelasannya memberikan kewenangan kepada Mahkamah untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan jika terjadi kekosongan/kekurangan dalam hukum acara. Dalam praktik selama ini, Mahkamah telah menggunakan Pasal 86 tersebut untuk memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum melalui beberapa putusan sela yang berlaku mengikat dan telah dilaksanakan. Tambahan pula, dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD, berdasarkan Pasal 16 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang-Undang juga dibuka kemungkinan bagi Mahkamah untuk menerbitkan ketetapan atau putusan di dalam permohonan provisi.”
 “...Oleh karenanya, meskipun dalam UU MK tidak dikenal putusan provisi dalam perkara pengujian undang-undang, seiring dengan perkembangan kesadaran hukum, kebutuhan praktik dan tuntutan rasa keadilan masyarakat serta dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, Mahkamah memandang perlu menjatuhkan putusan provisi dalam perkara a quo dengan mendasarkan pada aspek keadilan, keseimbangan, kehati-hatian, kejelasan tujuan, dan penafsiran yang dianut dan telah berlaku tentang kewenangan Mahkamah dalam menetapkan putusan sela.
Putusan provisi tersebut baru pertama kali dalam sejarah MK permintaan provisi dikabulkan dalam pengujian Undang-Undang. Walaupun UU MK tidak mengatur secara spesifik mengenai Putusan Provisi, undang-undang tidak melarang Mahkamah Konstitusi untuk mengintrodusir mekanisme ini dalam perkara pengujian undang-undang. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran atas UUD 1945 yang paling tidak ketika pemeriksaan pendahuluan dilakukan potensi pelanggaran tersebut telah terdeteksi oleh Mahkamah Konstitusi.



[1] Lilik Mulyadi, Tuntutan Provisionil Dalam  Hukum Acara Perdata Pada  Praktik Peradilan, PT Djambatan, Jakarta, 1996, hal. 22-23 dan Lilik Mulyadi, Tuntutan Provisionil Dalam  Hukum Acara Perdata Indonesia (Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya), Bayu Media Publishing, Malang, 2008, hal. 28-29.
[2] Ibid, hal. 25
[3] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Cet ke-X, 2005, hal. 46-57, 106-107.
[4] R. Subekti, Praktek Hukum, Alumni, 1976, hal. 71
[5]  Lihat Putusan MK No. 21/PUU-VI/2008, tanggal 21 Oktober 2008
[6]  Lihat pertimbangan MK dalam putusan No. 133/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK terhadap UUD 1945.

0 komentar:

Posting Komentar

Most Trending