Istilah “provisionil” pada dasarnya dikenal dengan “provisionileis vonnis”, “putusan takdim”, “provisoire, “voorlopige”, “provisional”, “voorlaufig”, “provissorich ainstwelling”, “bij vooraad”, dan lain sebagainya.[1] Istilah-istilah tersebut pada intinya menjelaskan bahwa “Putusan Provisionil” adalah putusan yang sifatnya sangat segera dan mendesak dilakukan hakim terhadap salah satu pihak dan bersifat sementara di samping adanya tuntutan pokok dalam surat gugatan.[2]
Pendapat lain juga menjelaskan yang dimaksud dengan Putusan Provisi atau provisionil
adalah putusan yang dijatuhkan sehubungan dengan tuntutan dalam pokok perkara,
dan sementara itu diadakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk kefaedahan salah
satu pihak atau kedua belah pihak. Putusan semacam itu banyak dipergunakan
dalam acara singkat dan dijatuhkan oleh karena segera harus diambil tindakan.
Putusan provisi ini tergolong dalam kategori putusan sela yang berbeda dengan
putusan akhir. Di dalam hukum acara perdata, selain putusan provisi terdapat
putusan praeparatoir yaitu putusan sela yang dipergunakan untuk
mempersiapkan perkara. Juga terdapat putusan insidentil, yaitu putusan sela
yang diambil jika terdapat insiden seperti misalkan memperbolehkan seseorang
masuk dalam perkara, atau atau adanya penggabungan gugatan yang harus segera
diputus, dan lain sebagainya.[3]
Putusan provisi ini sebenarnya lazim dikenal dalam
praktek hukum acara perdata yaitu permohonan Penggugat kepada pengadilan agar
mengeluarkan tindakan hukum sementara dengan maksud untuk mencegah suatu
kerugian yang semakin besar bagi penggugat dan memudahkan pelaksanaan putusan
hakim jika penggugat dimenangkan, oleh karenanya tindakan sementara ini
diperintahkan pelaksanaannya terlebih dahulu sedangkan perkara masih sedang
berjalan.[4] Hal ini
dapat ditemukan pada Penjelasan Pasal
185 HIR yang menyatakan:
“Putusan provisionil yaitu keputusan atas
tuntutan supaya di dalam hubungan pokok perkaranya dan menjelang pemeriksaan
pokok perkara itu, sementara diadakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk
kefaedahan salah satu pihak atau ke dua belah pihak. Keputusan yang demikian
itu banyak digunakan di dalam pemeriksaan singkat.”
Tidak hanya dalam hukum acara
perdata, putusan provisionil dapat ditemui juga dalam aturan arbitrase yang terletak
pada Pasal 32 ayat (1) UU 30/1999,
yaitu:
“Atas permohonan salah satu
pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat mengambil putusan provisionil atau
putusan sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa
termasuk penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang kepada pihak
ketiga, atau menjual barang yang mudah rusak.”
Sementara dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi,
provisi sebenarnya hanya dikenal dalam perkara sengketa kewenangan lembaga
negara. Pasal 63 UU No. 24 Tahun 2003 mengatur, MK dapat mengeluarkan
penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan
sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan MK.
Dalam sejarah Mahkamah Konstitusi, tercatat hanya beberapat kali permohonan
putusan provisi, diantaranya yang diajukan oleh Amrozi dkk dalam perkara
pengujian UU No.2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, Mahkamah
Konstitusi menyatakan tidak menerima permohonan tersebut. MK mempertimbangkan:
UU MK tidak mengenal permohonan provisi dalam pengujian undang-undang; dalam
setiap pengujian UU, UU yang diuji tersebut tetap berlaku sebelum dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945, permohonan provisi dikenal dalam sengketa
kewenagan lembaga negara yang diatur dalam Pasal 63 UU MK; bahwa mekanisme
permohonan provisi sifatnya harus penting dan mendesak; dan permohonan provisi
adalah permohonan yang bersifat sementara dan sama sekali tidak ada hubungannya
dengan pokok permohonan. Sehingga MK mengganggap permohonan provisi yang
diajukan tidak berdasar dan beralasan hukum.[5]
Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat dalam permohonan pengujian UU
No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK)
yang diajukan oleh Bibit-Chandra, MK mengabulkan sebagian permohonan provisi
yang diajukan dan menolak permohonan selebihnya. Permohonan yang dikabulkan
terbatas yang terkait dengan pengujian UU, yakni menunda penerapan Pasal 32
Ayat (1) huruf c Jo Pasal 32 Ayat (3) UU KPK oleh Presiden, yakni tindakan
administratif berupa pemberhentian
Pimpinan KPK yang menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan. Dalam
Putusannya No. 133/PUU-VII/2009 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK terhadap UUD
1945, MK memberikan pertimbangan sebagai berikut: [6]
“Meskipun pada awalnya
permohonan provisi adalah ranah hukum acara perdata, namun hukum acara Mahkamah
Konstitusi juga mengatur permohonan provisi dalam perkara sengketa kewenangan
lembaga negara sebagaimana dimuat dalam Pasal 63 UU MK yang berbunyi, “Mahkamah
dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau
termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan
sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”. Selain itu, jika diperlukan untuk
melindungi hak-hak konstitusional warga negara, Pasal 86 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Penjelasannya memberikan kewenangan
kepada Mahkamah untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan jika
terjadi kekosongan/kekurangan dalam hukum acara. Dalam praktik selama ini,
Mahkamah telah menggunakan Pasal 86 tersebut untuk memutus perkara perselisihan
hasil pemilihan umum melalui beberapa putusan sela yang berlaku mengikat dan
telah dilaksanakan. Tambahan pula, dalam perkara pengujian undang-undang
terhadap UUD, berdasarkan Pasal 16 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang-Undang juga dibuka
kemungkinan bagi Mahkamah untuk menerbitkan ketetapan atau putusan di dalam
permohonan provisi.”
“...Oleh karenanya, meskipun dalam UU MK tidak
dikenal putusan provisi dalam perkara pengujian undang-undang, seiring dengan
perkembangan kesadaran hukum, kebutuhan praktik dan tuntutan rasa keadilan
masyarakat serta dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang
adil, Mahkamah memandang perlu menjatuhkan putusan provisi dalam perkara a
quo dengan mendasarkan pada aspek keadilan, keseimbangan, kehati-hatian,
kejelasan tujuan, dan penafsiran yang dianut dan telah berlaku tentang
kewenangan Mahkamah dalam menetapkan putusan sela.
Putusan provisi tersebut baru pertama kali dalam
sejarah MK permintaan provisi dikabulkan dalam pengujian Undang-Undang. Walaupun
UU MK tidak mengatur secara spesifik mengenai Putusan Provisi, undang-undang
tidak melarang Mahkamah Konstitusi untuk mengintrodusir mekanisme ini dalam perkara
pengujian undang-undang. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran
atas UUD 1945 yang paling tidak ketika pemeriksaan pendahuluan dilakukan
potensi pelanggaran tersebut telah terdeteksi oleh Mahkamah Konstitusi.
[1] Lilik Mulyadi, Tuntutan Provisionil Dalam Hukum Acara Perdata Pada
Praktik Peradilan, PT Djambatan, Jakarta, 1996, hal. 22-23 dan Lilik Mulyadi, Tuntutan Provisionil
Dalam Hukum Acara Perdata Indonesia (Normatif, Teoretis, Praktik dan
Masalahnya), Bayu Media Publishing, Malang, 2008, hal. 28-29.
[2] Ibid, hal. 25
[3] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Cet ke-X, 2005, hal. 46-57, 106-107.
[4]
R. Subekti, Praktek Hukum, Alumni, 1976, hal. 71
[5]
Lihat Putusan MK No.
21/PUU-VI/2008, tanggal 21 Oktober 2008
[6] Lihat pertimbangan MK dalam putusan No. 133/PUU-VII/2009 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK terhadap UUD 1945.
0 komentar:
Posting Komentar