1. Tujuan
Untuk
menghindari suatu perkawinan yang dilarang oleh hukum Islam dan peraturan
perundang-undangan
2. Syarat
a. Apabila calon suami atau isteri tidak memenuhi
syarat-syarat hukum Islam dan perundang-undangan.
b. Apabila calon mempelai tidak sekufu karena
perbedaan agama
3. Pihak yang dapat melakukan pencegahan
a. Keluarga garis lurus ke atas dan ke bawah.
b. Saudara.
c. Wali nikah.
d. Wali pengampu.
e. Suami atau isteri (lain) yang masih terikat
perkawinan dengan calon suami atau isteri tersebut.
f. Pejabat pengawas perkawinan.
4. Prosedur pencegahan.
a.
Pemberitahuan kepada PPN setempat.
b.
Mengajukan permohonan pencegahan ke Pengadilan Agama setempat.
c. PPN memberitahukan hal tersebut kepada calon mempelai.
c. PPN memberitahukan hal tersebut kepada calon mempelai.
1. Akibat hukum: perkawinan tidak dapat
dilangsungkan, selama belum ada pencabutan pencegahan perkawinan.
2. Cara pencabutan dengan menarik kembali
permohonan pencegahan perkawinan pada Pengadilan Agama oleh yang mencegah dan
dengan putusan Pengadilan Agama.
3. PPN tidak boleh melangsungkan atau membantu
melangsungkan perkawinan walaupun tidak ada pencegahan perkawinan, jika ia
mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (1), Pasal 8,
9,10 atau 12 UUP.
Penolakan Perkawinan
a. Penolakan
dilakukan oleh PPN, apabila PPN berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut
terdapat larangan menurut UUP.
b. Acara :
1) Atas permintaan calon mempelai, PPN mengeluarkan
surat keterangan tertulis tentang penolakan tersebut disertai dengan alasannya.
2) Calon mempelai tersebut berhak mengajukan
permohonan ke Pengadilan Agama (wilayah PPN tersebut) dengan menyerahkan surat
keterangan penolakan tersebut untuk memberikan.
3) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan
acara singkat dan akan memberikan ketetapan berupa : menguatkan penolakan
tersebut atau memerintahkan perkawinan tersebut dilangsungkan.
B. Pembatalan Perkawinan
Ketentuan
Pasal 22 UUP menyatakan bahwa: ?Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan? Dalam Penjelasan
Pasal 22 disebutkan bahwa pengertian ?dapat? pada pasal ini diartikan bisa
batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya
masing-masing tidak menentukan lain. Dengan demikian, jenis perkawinan di atas
dapat bermakna batal demi hukum dan bisa dibatalkan.
Lebih lanjut
menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 3 Tahun 1975 ditentukan bahwa
?Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat larangan
menurut hukum munakahat atau peraturan perundang-undanagan tentang perkawinan,
maka Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan
pihak-pihak yang berkepentingan?
1. Perkawinan dapat dibatalkan (Pasal 71 - 76 KHI),
apabila:
a) Suami melakukan poligami tanpa ijin dari Pengadilan
Agama.
b) Perempuan yang dinikahi ternyata masih menjadi
isteri pria lain yang mafqud.
c) Perempuan yang dinikahi ternyata masih dalam masa
iddah dari suami lain.
d) Perkawinan
yang melanggar batas umur perkawinan.
e) Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau
dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak..
f) Perkawinan
yang dilaksanakan dengan paksaan.
2. Perkawinan batal (Pasal 70) apabila:
a) Seorang suami melakukan poligami padahal dia sudah mempunyai
4 orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isteri tersebut sedang dalam
iddah talak raj’i.
b) Menikahi
kembali bekas isteri yang telah di li ?an.
c) Menikahi
bekas isterinya yang telah ditalak tiga kali (kecuali ?).
d) Perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan
darah, semenda dan susuan.
e) Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isterinya.
3. Pembatalan
perkawinan karena adanya ancaman, pempuan atau salah sangka. Suami atau isteri
dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila:
a) Perkawinan
dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
b) Pada waktu
dilangsungkan perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami
atau isterinya.
c) Bila ancaman
telah terhenti atau yang bersalah sangka menyadari keadaannya, dan dalam waktu
6 bulan setelah itu tetap hidup sebagai suami isteri dan tidak menggunakan haknya,
maka haknya menjadi gugur.
4. Pihak yang dapat mengajukan pembatalan:
a) Pihak
keluarga suami atau isteri dalam garis lurus ke atas dan ke bawah.
b) Suami atau
isteri
c) Pejabat yang
berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan.
d) Para pihak
yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacad pada rukun dan syarat
perkawinan menurut hukum.
5. Acara pembatalan perkawinan
Permohonan pembatalan diajukan ke Pengadilan Agama
dimana suami atau isteri bertempat tinggal atau di tempat perkawinan
dilangsungkan.
6. Akibat hukum
a)
Pembatalan perkawinan berarti adanya
putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan adalah
tidak sah. Akibat hukum dari pembatalan tersebut adalah bahwa perkawinan
tersebut menjadi putus dan bagi para pihak yang dibatalkan perkawinannya
kembali ke status semula karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada
dan para pihak tersebut tidak mempunyai hubungan hukum lagi dengan kerabat dan
bekas suami maupun isteri.
b)
Batalnya perkawinan dimulai setelah
putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum telap, tetapi berlaku surut
sejak saat berlangsungnya perkawinan.
c)
Keputusan pembatalan tidak berlaku
surut terhadap :
-
Perkawinan yang batal karena suami
atau isteri murtad;
-
Anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut;
-
Pihak ketiga yang mempunyai hak dan
beritikad baik.;
-
Batalnya perkawinan tidak memutus
hubungan hukum anak dengan orang tua.
d)
Perbedaan dengan perceraian dalam
hal akibat hukum :
a.
Keduanya menjadi penyebab putusnya
perkawinan, tetapi dalam perceraian bekas suami atau isteri tetap memiliki
hubungan hukum dengan mertuanya dan seterusnya dalam garis lurus ke atas,
karena hubungan hukum antara mertua dengan menantu bersifat selamanya.
b.
Terhadap harta bersama diserahkan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk bermusyawarah mengenai
pembagiannya karena dalam praktik tidak pernah diajukan ke persidangan dan di
dalam perundang-undangan hal tersebut tidak diatur.
e) Catatan:
Dalam pembatalan perkawinan ada istilah fasaakh dan fasid
0 komentar:
Posting Komentar