A.
Latar Belakang Penelitian
Wartawan adalah seseorang yang memiliki tugas
sebagai pegiat jurnalistik. Dalam aktivitas kesehariannya ia dihabiskan untuk
melakukan ritual jurnalistik dari mulai memburu, meliput, mencatat dan
melaporkan sebuah berita. Ritual jurnalistik nampaknya sangat melelahkan, namun
bagi wartawan kelelahan itu bukanlah suatu persoalan. Justeru kelelahan itu
bagi wartawan merupakan sebuah kerja keras dalam menggapai sebuah tujuan yang
mulia berupa mengungkap tabir kebenaran perspektif jurnalistik.
Untuk itulah seorang wartawan asal Amerika Marry
Mapes (dalam Ishwara,2011:31) menegaskan bahwa: ” Jurnalism is not medicine,
but it can heal. It is not law, but it can bring a bout justice. It is not the
military, but it can help keep us safe”. (Dunia wartawan) bukanlah obat, tapi
dia dapat menyembuhkan. Jurnalisme buklanlah hukum tapi dia dapat membawa
keadilan. Jurnalisme bukanlah militer, tetapi dia dapat membantu menjaga kita
aman).
Begitu pun Ishwara (2014:34-38) mengungkapkan,
“wartawan adalah seseorang yang menjalankan profesi jurnalistik. Ia merupakan
sosok manusia yang setiap harinya melakukan ritual jurnalistik demi mencari
berita yang bersifat aktual, faktual, dan di dalamnya terkandung nilai
kebenaran”.
Nilai kebenaran dan keadilan bagi wartawan merupakan
dua persoalan yang selalu diingat dalam menjalankan tugasnya. Berbagai
rintangan, hambatan, gangguan, dan tantangan tidak pernah dirasakan. Bahkan,
permasalahan ini dianggap wartawan sebagai duri yang akan mengganggunya dalam
mengungkap kebenaran di balik suatu persitiwa. Oleh karena itu, kebebasan pers
dalam menjalankan tugasnya dilindungi oleh undang-undang, sehingga tak ada
seorang pun yang dapat menghalang-halangi wartawan dalam menjalankan tugasnya.
Meski kebebasan wartawan dalam menjalankan profesinya dijamin undang-undang
namun bukan berarti wartawan dapat hidup liar semaunya tanpa memiliki aturan
dan etika dalam bertugas dilapangan.
Dalam menjalankan tugas mencari kebenaran dalam
perspektif jurnalistik wartawan dibebani berbagai aturan yang harus ditaatinya.
Seperti diantaranya, harus taat pada Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang
Pers, dan taat pada Kode Etik Jurnalisti sebagai etik profesi, merupakan
tuntutan atau keharusan yang tidak bisa ditunda-tunda. Dan, memang itu
realitasnya, wartawan sebagai pengemban profesi aturan-aturan tersebut harus
dibawa setiap saat dalam menjalankan tugasnya.
Memang itulah wartawan. Di sisi lain ia sebagai manusia
bebas dalam berkarya, namun di lain pihak wartawan adalah sosok yang berat oleh
beban aturan. Belum lagi aturan yang bersifat konvensional namun menjadi suatu
keharusan untuk tidak dilanggar. Setiap tempat atau pos liputan wartawan
seperti Pemda, Pendidikan, dan Olahraga misalnya, pada hakikatnya memiliki
aturan-aturan yang bersifat konvensional yang tidak untuk dilanggar oleh
wartawan dalam bertugas. Aturan main yang bersifat mengikat kebebasan wartawan
ini dibuat oleh wartawan itu sendiri bersama orang-orang atau pejabat instansi
yang memiliki tugas dan wewenang untuk membawahi dan bekerja sama dengan
wartawan.
Meski begitu, sistem aturan konvensional yang lahir
berdasarkan komprositas antara kedua belah pihak, ternyata bukanlah suatu
persoalan bagi wartawan. Bahkan, mereka nampaknya sudah enjoy dengan
aturan-aturan itu sehingga dalam dirinya tidak merasa ditekan, dipasung,
terlebih merasa dikebiri akibat aturan konvensional itu. Tidak menutup
kemungkinan wartawan sudah paham mengenai risiko dari sistem news beat dalam
dunia jurnalistik. Sistem news beat adalah merupakan sebuah sistem
peliputan yang dilakukan wartawan berdasarkan pos berita.
Dengan adanya sistem ini maka lahirnya pelabelan
wartawan itu sendiri, di antaranya seperti wartawan pemda, wartawan ekonomi,
politik, budaya, pendidikan, olahraga, dan sebagainya. Pelabelan wartawan yang
muncul akibat dari sistem beat ini tidak mustahil mengikat wartawan dalam
bertugas, bahkan tidak menutup kemungkinan wartawan akan tunduk pada
aturan-aturan di mana wartawan itu beraktivitas. Jika wartawan tidak mengikuti
aturan di mana ia ngepos, atau ditugaskan konsekuensinya ia akan mendapatkan
sangsi sosial baik dari teman seprofesi maupun orang-orang yang ada di tempat
tersebut.
Wartawan Kompas senior Ishwara (2014:45-49)
mengungkapkan bahwa;“ Sistem beat dalam dunia jurnalistik pada hakikatnya
memiliki nilai postif dan negatif. Namun, yang sangat krusial, sistem beat ini
akan menciptakan kemandulan wartawan dalam berpikir kritis”. Dari apa yang
diungkapkan Ishwara tersebut memberikan suatu pemahaman bahwa sistem beat di
satu sisi sangat baik namun di lain pihak berdampak buruk. Kontribusi nilai
baik melalui sistem ini adalah, wartawan dapat terkonsentrasi dalam bertugas.
Ia tidak harus meliput banyak berita tapi lebih konsentrasi pada pos
liputannya. Wartawan olahraga tidak usah repot-repot berpikir liputan berita
pembunuhan karena persoalan itu sudah ada yang bertanggungjawab yaitu wartawan
kepolisian. Oleh karenanya, sistem beat ini akan lebih memudahkan kerja
wartawan, dan wartawan akan lebih fokus dalam bidang liputannya. Semakin
terkonsentrasi dalam bidang liputan, semakin mudah wartawan dalam menuai
kepintaran dalam bidang liputannya.
Hal lain dari sistem news beat yaitu akan
memberikan pengaruh negatif pada wartawan itu sendiri. Nilai negatif tersebut
diantaranya adalah kreatifitas wartawan kurang berkembang, berkurangnya
pengalaman liputan bidang berita. Oleh karenanya, semakin kurang pengalaman
liputan berita, sangat memungkinkan untuk ketidaksiapan wartawan itu sendiri
untuk menempati jabatan editor. Hal terpenting lainnya yang patutut diperhatian
nilai negatifnya dari sistem news beat ini akan membuat daya kritis wartawan
itu hilang secara perlahan. Padahal daya kritis dan skeptis merupakan modal kuat
wartawan dalam bertugas. Apalah artinya kita menjadi wartawan jika kedua modal
itu hilang atau tergadaikan.
Untuk itu, menurut Ishwara, gaya kerja wartawan
dengan sistem pos liputan akan melahirkan wartawan yang mandul dan mereka akan
lebih taat pada lingkungan di mana ia bertugas. Langkah yang harus dilakukan
dalam mengatasi persoalan itu, Ishwara memberikan solusi diantaranya, jika Pers
tetap mempergunakan sistem news beat, posisi bidang liputan wartawan harus
dirolling paling lama setahun sekali. Misalnya, wartawan olahraga dipindahkan
ke pos liputan kepolisian, dan sebaliknya. Upaya ini dilakukan tiadak lain
untuk menghindari adanya suatu perspengkolan antara wartawan dengan pejabat
lingkungannya sehingga akan melahirkan wartawan-wartawan yang acuh, tidak
kritis kemudian tumbuhlah wartawan yang social lost responsibility yang
bertentangan dengan etika profesi dan Undang-Undang No.40 Tahun 1999 sebagai role
of the gamenya wartawan.
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi,
dan pers adalah hak azasi manusia yang dilindungi Pancasila, UUD 1945, dan
Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana
masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi
kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkkan
kemerdekaan pers wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa,
tanggungjawab sosial, keberagamaan masyarakat, dan norma-norma agama (SK Dewan
Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang KEJ sebagai Peraturan Dewan Pers).
Kebebasan wartawan dalam menjalankan tugasnya sudah
tidak bisa dielakkan lagi. Kebebasan merupakan suatu kebutuhan wartawan dalam
menggali suatu kebenaran dari suatu peristiwa. Kebebasan merupakan tuntutan
profesi yang menjadi acuan bagi seorang wartawan. Wartawan yang profesional,
satu di antaranya memiliki ciri objektif dan bebas dalam mencari keobjektifan.
Rumudi (1983:36) menguraian mengenai lima kriteria wartawan yang profesional
yaitu:
1.
Dalam menjalankan tugasnya wartawan harus
memiliki dua kaki yang kokoh.
2.
Harus terampil dalam menjalankan tugas.
3.
Memiliki intelektual yang tinggi.
4.
Berani mengungkapkan kebenaran dan
bertanggungjawab.
5.
Memiliki keberanian dan tanggung jawab
dalam mengungkapkan kebenaran di balik suatu fakta. Dalam mengungkap suatu
kebenaran, wartawan bekerja berdasarkkan payung kebebasan dan tidak memihak
pada suatu golongan. Itulah sosok wartawan sejati yang memiliki tanggung jawab
moral dan sadar kalau hasil karyanya bukan hanya dipertanggungjawabkan
dihadapan sesama manusia, akan tetapi hasil karyanya akan dipertanggungjawabkan
di hadapan Sang Pencipta Alam Semesta.
Kehadiran kebebasan bagi wartawan merupakan modal
yang luar biasa dalam menjalankan profesinya. Wartawan bebas meliput, dan
berkomunikasi bukan hanya untuk gaya-gayaan melainkan tuntutan tugas yang harus
seperti itu. Lantas sudahkah wartawan memiliki kebebasan dalam bertugas?
Jawaban dari pertanyaan itu bisa ya, dan bisa juga tidak. Kebebasan wartawan
dalam beraktifitas baru dalam batasan-batasan tertentu, dan tidak untuk secara
menyeluruh. Bahkan, wartawan yang mendiami satu pos bidang liputan pun mereka
nampaknya tidak bekerja bebas secara maksimal.
Pasalnya, wartawan korban sistem news beat, mereka
harus taat dan patuh terhadap norma-norma atau etika liputan yang sudah
disepakati bersama antara wartawan itu sendiri dengan lingkungan kerjanya.
Aturan yang bersifat konvensional tak tertulis ini pada hakikatnya telah
mengikat kebebasan wartawan dalam bekerja. Anehnya, wartawan tidak merasa
dirugikan, karena mereka beranggapan aturan itu disepakati bersama secara sadar
dalam rangka membangun sistem hubungan mutualisma demi tercapainya „kemesraan‟
hubungan antara kedua belah pihak.
Fenomena seperti digambarkan di atas, nampaknya
terjadi pada komunitas wartawan hukum yang meliput bidang berita pengadilan di
Kota Medan. Dalam menjalankan tugasnya wartawan hukum harus taat pada norma
yang berlaku di kantor pengadilan. Wartawan ketika melakukan reportase berita
hukum lebih dominan berkomunikasi nonverbal ketimbang komunikasi verbal serta
lebih banyak mencatat ketimbang bertanya. Liputan berita hukum memang
kenyataanya seperti itu. Norma dan etika sangat patut dijungjung tinggi oleh
siapapun tak terkecuali wartawan yang memiliki kebebasan dalam bertugas.
Berdasarkan uraian di atas dalam penelitian ini
peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Reportase Wartawan dalam Peliputan Berita
Hukum”. Penelitian dilakukan di kantor Pengadilan Negeri Kelas 1 Khusus
Kota Medan, karena di kantor ini telah lama terbentuk komunitas wartawan
peliput berita hukum dengan sasaran liputan mereka adalah Pengadilan dan Kantor
Kejaksaan, termasuk Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Dalam penelitian ini
peneliti menggunakan teori dan metode fenemonologi, dengan alasan teori ini dipandang
tepat dan relevan dalam menggali secara mendalam mengenai pengalaman sadar
wartawan peliput berita hukum di Pengadilan Kota Medan.
B.
Rumusan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas maka pernelitian
ini akan mengkaji mengenai aktivitas wartawan dalam melakukan liputan berita
pada bidang hukum, khususnya dalam liputan berita sidang perkara di Pengadilan
Negeri Kelas I Khusus Kota Medan. Oleh karenanya, rumusan penelitian ini
adalah: “Repotase Wartawan Dalam Berita Hukum Di Kota Medan”.
Dari masalah penelitian tersebut kemudian dilakukan
identifikasi berdasarkan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.
Bagaimana pemahaman wartawan mengenai
reportase berita hukum di Pengadilan Negeri Kelas 1 Khusus Kota Medan?
2.
Bagaimana pemaknaan wartawan mengenai
reportase berita hukum di Pengadilan Negeri kelas 1 Khusus Kota Medan?
3.
Bagaimana pengalaman komunikasi
wartawan dalam reportase berita hukum di Pengadilan Negeri Kelas 1 Khusus Kota Medan?
C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang peneliti tentukan,
maka peneliti bertujuan untuk mengetahui:
1.
Pemahaman wartawan mengenai reportase
berita hukum pada Pengadilan Negeri Kelas 1 Khusus Kota Medan.
2.
Pemaknaan wartawan mengenai reportase
berita hukum pada Pengadilan Negeri Kelas 1 Khusus Kota Medan.
3.
Pengalaman komunikasi wartawan dalam reportase berita hukum pada Pengadilan
Negeri Kelas 1 Khusus Medan.
D.
Kegunaan Penelitian
Merujuk
dari uraian di atas maka dari penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan
baik secara akademis maupun manfaat secara praktis.
1. Kegunaan Akademis
Peneliti diharapkan dapat berguna terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan, diantaranya dapat berguna dalam memperluas teori
dan kajian ilmu komunikasi pada umumnya, dan bidang dunia jurnalistik pada
khususnya. Kemudian hasil penelitian ini pun diharapkan dapat menjadi sebuah
rujukan bagi para peneliti dalam penelitian selanjutnya. Selain itu, hasil
penelitian ini diharapkan dapat melengkapi kepustakaan ilmu komunikasi
(jurnalistik), serta bahan informasi bagi pihak yang berkepentingan dengan
masalah profesionalisme dalam menjalankan tugas jurnalistik genre reportase
hukum.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendorong
media massa untuk memberikan pembekalan terhadap wartawan dalam melakukan
reportase berita hukum khususnya di kantor Pengadilan. Kemudian dari hasil
penelitian ini diharapkan wartawan dapat memahami tentang aturan reportase
berita hukum di pengadilan, khususnya bagi wartawan yang baru terjun ke dunia
jurnalistik dan ditugaskan meliput berita-berita hukum. Narasumber wartawan
yang sedang menjalankan tugas jurnalistik.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Fenomenologi
Dalam
teori fenomenologi menurut Alferd Schutz manusia yang berperilaku sebagai
„aktor‟. Ketika seseorang melihat atau mendengar apa yang dikatakan aktor dia
akan memahami makna dan tindakan tersebut. Dalam dunia sosial disebut relitas
interpretatif (Kuswarno,2009:110). Makna sebuah realitas dalam teori ini bukan
hanya berasal dari individu namun juga bersifat intersubjektif. Individu
sebagai anggota masyarakat berbagi persepsi dasar mengenai dunia yang mereka
internalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan mereka melakukan
interaksi atau komunikasi.
Fenomenologi
berasal dari bahasa Yunani, phainomai yang memiliki makna menampak dan phainomenon
yang artinya merujuk pada yang menampak. Sebagai metode dalam filsafat yang
berawal dari individu dan kesadaran pengalamanya juga berusaha untuk
menghindari asumsi utama, prasangka, dan nilai-nilai filosofis. Sebagaimana
diungkapkan Kuswarno (2008:21) fenomenologi merupakan salah satu aliran
filsafat, sekaligus metode berfikir yang membawa perubahan besar dalam ilmu
sosial. Pendekatan inilah yang membuat para ilmuwan melihat gejala sosial
secara berbeda, sekaligus membuat ilmu sosial menemukan dirinya sendiri.
Fenomenologi
lanjutnya, merupakan pendekatan yang beranggapan bahwa fenomena bukanlah
realitas yang berdiri sendiri. Fenomena yang tampak merupakan objek yang penuh
dengan makna yang transendental. Untuk mendapatkan nilai kebenaran yang
sesungguhnya, maka harus menerobos melalui fenomena
yang tampak itu. Dunia sosial, merupakan tempat keseharian manusia hidup
senantiasa merupakan suatu yang intersubjektif dan sarat dengan makna. Oleh
karena itu fenomenologi merupakan cara yang digunakan manusia untuk memahami
dunia melalui pengalaman langsung. (Littlejohn & Foss, 2014: 57)
Menurut Littlejohn & Foss, Theoris of Humas Communiciation-terjemahan
(2014), fenomenologi diartikan sebagai suatu studi tentang kesadaran dari
perspektif pokok seseorang. Istilah fenomenologi ini juga sering digunakan
sebagai anggapan umum untuk menunjukkan pola pengalaman subjektif dari berbagai
jenis dan tipe subjek yang ditemui. Pendekatan fenomenologi bahkan kerap
digolongkan sebagai salah satu varian penelitian kualitatif untuk memperoleh
ungkapan-ungkapan pengalaman personal dengan tujuan memahami makna dari
berbagai gejala dan peristiwa yang dialami orang-orang dalam situasi tertentu.
Dengan begitu fenomenologi membuat pengalaman nyata sebagai data pokok sebuah
realita.
Stanley Deetz dalam Littlejohn & Foss, Theoris
of Humas Communication-terjemah (2014:46) menyimpulkan tiga prinsip dasar
fenomenologi sebagai berikut:
1. Pengetahuan ditemukan secara langsung dalam pengalaman yang sadar
artinya kita akan mengetahui dunia ketika kita berhubungan dengannya.
2. Makna benda terdiri atas kekuatan benda dalam kehidupan seseorang.
Dengan kata lain bagaimana kita berhubungan dengan benda menentukan maknanya
bagi anda.
3. Bahasa merupakan kendaraan makna. Kita mengalami dunia melalui
bahasa yang digunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan dunia itu.
(Littlejohn &Foss, 2014:57)
Dengan demikian, tugas utama dari fenomenologi Schutz,
dan pemahaman kaum fenomenologis sebagaimana diungkapkan Mulyana (2001:63)
tiada lain merekonstruksi dunia kehidupan manusia “sebenarnya” dalam bentuk
yang mereka sendiri alami. Realitas dunia tersebut bersifat intersubjektif,
dalam arti bahwa anggota masyarakat berbagi persepsi dasar mengenai dunia yang
mereka internalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan mereka melakukan
interaksi atau komunikasi.
Memahami fenomena sebagaimana adanya merupakan usaha
kembali sebagaimana usaha penampilannya dalam kesadaran. Usaha kembali pada
fenomena tersebut merupakan pedoman metodik. Tidak mungkin untuk melukiskan
fenomena-fenomena sampai pada hal-hal yang khusus satu demi satu, yang paling
pokok adalah menangkap hakikat fenomena-fenomena. Olehkarena itu, metode
tersebut sebagaimana diungkapkan Husserl (dalam Nurhadi,2002:35) harus dapat
menyisihkan hal-hal yang tidak hakiki, agar hakikat ini dapat mengungkap diri
sendiri dan bukan suatu abstraksi melainkan instuisi mengenai hakikat sesuatu
tersebut.
Asumsi pokok dari fenomenologi menurut Litlejohn
(2008:38) adalah manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan
memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Olehkarena itu, interpretasi
merupakan proses aktif yang memberikan makna atas sesuatu yang dialami manusia.
Dengan kata lain pemahaman adalah sesuatu tindakan kreatif yakni tindakan
menuju pemaknaan.
Dalam dunia tindakan pada diri seseorang persepektif fenomenologi,
Schutz (dalam Nurhadi,2015:33) mengusulkan dua fase tindakan, yaitu tindakan in
order to motive yang merujuk pada masa lalu. Dia mencotohkan, jika
seseorang membuka payung ketika hujan turun, maka motif pertama (motif–untuk)
akan berupa pernyataan menjaga baju tetap kering. Sedangkan motif kedua (because
motive), atau motif sebab, dengan melihat pengalaman dan pengetahuan
sebelumnya tentang bagaimana akibatnya pada baju jika hujan tanpa payung,
misalnya digambarkan sebagai pernyataan agar baju tidak basah. Semua tingkah
manusia pada hakikatnya mempunyai motif, begitu pula wartawan yang melakukan
reportase berita hukum di Pengadilan Negeri Kota Medan.
Fenomena yang dipahami manusia merupakan sebuah
refleksi dari pengalaman transendental dan pemahaman tentang makna. Dalam
penelitian ini fenomenologi diharapkan akan mampu membangun pemahaman tentang
realitas. Realitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah realitas dunia
wartawan peliput berita hukum di Pengadilan Negeri Kelas 1 Khusus Kota Medan
yang merupakan aktor sosial yang mengalami peristiwa tersebut dalam
kehidupannya. Fomenologi dalam konteks penelitian ini diharapkan dapat
mengungkap dan menggali secara mendalam mengenai fenomena yang sejati mengenai
motif dan pengalaman komunikasi reportase wartawan hukum pada Pengadilan Negeri
Kelas 1 Khusus di Kota Medan.
2. Reportase
Secara etimologis reportase berasal dari bahasa
Inggris (to reportage) yang artinya “the act or proces of reporting
news, something (as news) that is reported”. Atau “ Writting intended to
give an acount of absorved or documented events”. (Reportase merupakan
aktivitas komunikasi jurnalistik yaitu aktivitas wartawan dalam melaporkan
peristiwa). Teknik reportase jurnalistik terdiri dari observasi (mendatangi
lokasi), wawancara (bertanya/menggali), dan riset data atau studi literatur
(Jorgensen,2009:137).
Kemudian dalam bahasa Indonesia bergeser reportase
memiliki makna laporan atau liputan. Orang yang melaporkan suatu peristiwa
melalui liputannya disebut reorter. Reportase atau peliputan berita merupakan
suatu profesi yang biasa dilakukan oleh seorang wartawan. Oleh karenanya,
reportase jurnalistik bagi wartawan adalah cara atau metode dalam mengumpulkan
atau memburu bahan berita untuk ditulis dan dipublikasikan di media tempatnya
bekerja. Dalam konsteks definisi jurnalistik teknik reportase merupakan tahap
pertama sebelum penulisan (writing), penyuntingan (editing) dan
penyebarluasan (publishing) berita (Sumadiria 2000:146).
Reportase menurut Subekti (1996:25) adalah liputan
suatu peristiwa yang dilakukan oleh wartawan kemudian dilaporkan dalam bentuk
berita ke media massanya. Reportase wartawan bisa dalam bentuk berita diduga
ataupun berita tak diduga. Berita diduga adalah berita yang sudah diketahui
atau dibuat oleh redaksi melalui rapat proyeksi. Kemudian berita tidak diduga
adalah berita yang tidak diketahui keberlangsungannya sehingga wartawan harus
memiliki ketajaman dalam mencium, melihat, mendengar, dan merasakan. Untuk
meliput berita tak terduga ini selain membutuhkan indra yang tajam juga sangat
dipengaruhi oleh pengalaman wartawan itu sendiri.
Seorang wartawan ungkap Subekti dalam melakukan
liputan beritanya senantiasa melakukan komunikasi baik komunikasi antarpribadi
maupun komunikasi kelompok. Dua jenis komunikasi ini merupakan senjata utama
wartawan yang diaplikasikan dalam wawancara dengan sumber berita di mana
wartawan itu ditugaskan. Melalui wawancara dengan berbagai sumber berita ini
merupakan syarat mutlak seorang wartawan dalam mengungkap sebuah realitas
kebenaran berdasaran perspektif jurnalistik.
Peliputan berita hukum yang dilakukan wartawan lebih
dominan di Pengadilan Negeri di mana orang melanggar hukum dimintai
pertanggungjawaban secara hukum positif untuk mendapat kepastian sangsinya.
Repotase berita hukum adalah ritual jurnalistik yang dilakukan wartawan peliput
berita hukum. Mereka melakukan liputan seputar dunia hukum mulai dari
pengadilan, wawancara, jaksa, hakim, pengacara sampai pada keluarga terdakwa,
terdakwa, saksi, dan para pakar hukum. Berita hukum yang lebih kuat diberitakan
oleh wartawan adalah berita seputar pergelaran sidang, dan kasus korospsi yang
digelar di Pengadilan Tipikor.
3. Wartawan
Secara etimologis kata wartawan berasal dari kata
warta dan akhir wan. Warta memiliki makna berita, wan artinya
mengacu pada orangnya. Wartawan adalah orang yang memiliki tugas mewartawakan
berita. Atau wartawan sama artinya dengan pewarta (Subekti.1996:4-5). Dalam
bahasa inggris wartawan sama dengan jurnalist. Etimologis ini diambil dari kata
jourlistik yang artinya kegiatan meliput dan mencatat peristiwa, sedangkan
journalist, adalah orang yang melakukan kegiatan jurnalistik
(Suhandang,1997:12).
Merujuk Pasal 1 angka 4 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang
pers, menjelalskan bahwa: “ wartawan adalah orang yang secara teratur
melaksanakan kegiatan jurnalistik”. Peraturan Dewan Pers pun mengeluarkan
definisi yang tidak jauh berbeda dengan isi dari undang-undang tersebut. Di
mana dalam peraturan Dewan Pers wartawan adalah: “orang yang melakukan kegiatan
jurnalistik secara teratur. Wartawan adalah orang yang secara teratur
melaksanakan kegiatan jurnalistik berupa mencaqri, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasibaik dalam bentu tulisan, suara,
gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan
media cetak, elektronik dan segala jenis saluran lainnya”.
Dari uraian di atas maka definisi wartawan tersebut
sejalan dengan apa yang diungkapkan Kovach (2007:112) yang menjelaskan bahwa
wartawan adalah orang yang melaksanakan kegiatan jurnalistik dan kegitan itu
dilakukan secara teratur. Pada dasarnya, wartawan yang ada pada era modern,
memiliki status yaitu sebagvai pekerja (worker) dan profesi (professional).
SementaraYunus (2012:38) mengungkapkan bahwa wartawan adalah orang yang
melakukan pekerjaan kewartawanan dan atau tugas-tugas jurnalistik secara rutin,
atau dalam definisi lain wartawan dapat dikatakan sebagai orang yang
pekerjaannya mencari dan menyusun berita unjtuk dimuat di media massa baik cetak,
elektronik maupun online.
Dalam menjalankan tugasnya wartawan bukan hanya pintar
dalam meliput berita, akan tetapi harus pintar pula dalam menyajikan fakta,
menafsirkkan, dan mempromosikan fakta. Dengan adanya kepintaran itulah, maka
wartawan merupakan seseorang yang menjalankan profesinya secara profesional
karena profesi wartawan merupakan keahlian yang terdidik, tidak bisa dilakukan
oleh setiap orang, mempunyai organisasi (PWI), serta dalam menjalankan tugasnya
wartawan diyaungi oleh etikk profesi yang disebut dengan Kode Etik Jurnalistik.
Zaenuddin (2015:17) mengungkapkan menjadi seorang
wartawan tidaklah mudah, paling tidak harus memenuhi persyaratan yang tepat
sesuai dengan tugasnya sebagai wartawan. Persyaratan itu adalah hobi menulis,
terampil berbicara, cinta bahasa, senang bergaul, senang berpetualang, menyukai
tantangan, mampu bekerja di bawah tekanan, panjang telinga, dan hidung tajam.
Sedangkan, wartawan berdasarkan klasifikasinya menurut Zaenuddin, yaitu
wartawan koran, wartawan majalah/tabloid, wartawan radio, wartawan televisi,
wartawan infotainment, wartawan online, dan wartawan foto.
Wartawan ditinjau dari sudut konten berita atau pos
liputan, bidang liputan serta mengacu pada news beat, maka muncul pelabelan
wartawan seperti wartawan pendidikan, wartawan olahraga, wartawan ekonomi dan
BUMN, wartawan seni budaya, wartawan birokrasim politik, wartawan hiburan,
wartawan kepolisian, dan wartawan hukum. Wartawan hukum adalah wartawan yang
bidang liputannya padfa bidang dunia hukum, dan pos liputan meliputi kejaksaan,
kantor kehakiman, para penghacara, pengamat hukum, akademisi hukum, dan duania
persidanbgan di pengadilan. Wartawan hukum adalah wartawan yang lebih dominan
menyiarkan segala kegiatan di dunia hukum, dan lebih dominan melaporkan
mengenai jalannya persidangan di kantor pengadilan di mana wartawan itu
ditempatkan.
4. Berita Hukum
Merujuk pada tata bahasa, berita hukum memiliki dua
kata yaitu berita dan hukum. Berita adalah laporan terhangat hasil dari liputan
wartawan kemudian dilaporkan pada media massanya untuk diketahui oleh khalayak
(Ishwara,2014:35). Sementara hukum menurut Leon Duguit (dalam Masriani 2004:2)
adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, daya penggunaannya pada
saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan
bersama dan jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang
melakukan pelanggaran itu. Kemudian E Mayers (Masriani,2004:3) mengungkapan
hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan ditujukan
pada tingkah laku masyarakat dan yang menjadi pedoman bagi penguasa negara
dalam melakukan tugasnya.
Oleh karenanya, berita hukum adalah merupakan berita
hasil liputan wartawan mulai dari mengumpulkan, mencatat hingga melaporkannya
dalam bentuk berita kepada media massa yang berisi tentang
pelanggaran-pelanggaran seseorang yang melanggar norma, kaidah, aturan yang
sudah ditetapkan oleh negara. Secara sederhana, berita hukum adalah berita yang
memiliki konten tentang pelanggaran norma atau kaidah baik yang mengacu pada
KUH Pidana dan KUH Perdata termasuk undang-undang, atau semua keputusan yang
sudah dijadikan sumber dari sumber segala hukum (Subekti,1996:45).
Berita hukum, kata Subekti, bisa dalam bentuk berita
mengenai persoalan hukum, termasuk pelanggarannya seperti pencurian,
perampokan, pembegalan, perbuatan asusila, penganiayaan, perjudian, penipuan,
perampokan dan pembunuhan dan melanggar KUH Pidana. Semua berita yang berbau
hukum atau tindak pidana memiliki nilai menarik untuk dijadikan sebuah berita.
Oleh karena itu, seseorang yang melanggar hukum erat kaitannya dengan perbuatan
kriminal atau kejahatan. Dengan demikian berita hukum adalah berita yang
diliput wartawan dalam persidangan di pengadilan. Jenis hukumnya bisa pidana,
perdata atau sumber-sumber hukum lainnya seperti undang-undang, dan sebagainya
yang menjadi sumber hukum dan sudah disahkan oleh pemerintah sebagai pengelola
negara.
Berita hukum yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
berita hasil reportase wartawan yang mengemban tugas atau beraktivitas di
Pengadilan Kota Medan. Berita hukum yang dilapoorkan wartawan bisa dalam bentuk
pergelaran sidang mulai dakwaan,eksepesi, pledoi, tuntutan sampai berita vonis
yang digelar dalam persidangan di Pengadilan umum, atau berita mengenai
tanggapan pakar-pakar hukum mengenai seputar perkembangan dunia hukum.
Wartawan yang beraktivitas di Pengadilan, menurutnya
lebih dominan melakukkan reportase berita hukum dari hasil kegiatannya dalam
persidangan di Pemngadilan. Wartawan melakukan reportase mulai dari proses
pergelaran sidang hingga berakhir pada vonis terhadap terdakwa yang diduga kuat
oleh pengadilan melakukan pelanggaran hukum baik secara pidana maupun perdata
termasuk undang-undang negara lainnya yang sudah menjadi payung hukum dalam
mengadili seseorang yang melanggarnya.
Berita hukum adalah berita erat kaitannya dengan dunia
hukum baik dalam segi sosialisasi hukum, pendapat tentang hukum maupun
peliputan berita seputar pelanggaran hukum. Hukum yang dimaksud adalah hukum
yang menjadi aturan pemerintah sehingga setiap orang yang melanggarnya mendapat
sangsi dari pemerintah dan dinyataan bersalah melalui sidang pengadilan.
Pelanggaran hukum itu bisa dalam berupa norma, etika, KUH Pidana, KUH Perdata,
undang-unjdang dan petaruran-peratuiran lainnya yang jelas payung hukumnnya dan
sudah ditetapkan oleh pemerintahan sebagai aturan dalam mengatur kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Berita hukum yang acapkali menjadi perhatian wartawan
adalah lebih diprioritaskan pada jalannya persidangan-persidangan seputar
pelanggaran hukum yang digelar di pengadilan. Olehkarena itu, wartawan yang
meliput berita ini lebih menempati pos atau rtuangan di kantor pengadilan
dengan menunggu dan meliput agenda-agenda sidang yang digelar di pengadilan
itu. Wartawan hukum yang beraktivitas di dunia hukum setiap harinya tidaklah
lepas dari pandangan mata seputar liputan berita hukum. Mereka melaporkan
berita mengenai jalannya gelar sidang perkara mulai dari saksi-saksi, saksi
ahli, saksi kunci, tuntutan, pledoi, sampai ke putusan. Laporan berita dalam
berita hukum ini lebih dominan disajikan dalam hard news dan soft
news dengan gaya penyajian staright news, dengan teknik penulisan piramid
terbalik.
0 komentar:
Posting Komentar