Barang siapa yang,
setelah membaca KUHAP, berkesimpulan bahwa jaksa tidak dapat mengajukan
Peninjauan Kembali (PK) atau bahwa hanya terpidana atau ahli warisnya yang
dapat mengajukan PK, maka orang itu pasti telah salah membaca undang-undang.
Pembacaan yang teliti terhadap Pasal 263 KUHAP menunjukkan bahwa jaksa
diberikan hak untuk mengajukan PK. Namun KUHAP juga memberikan batasan dalam
hal apa jaksa dapat mengajukan PK, yaitu dalam hal ada putusan yang sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap yang didalam pertimbangannya menyatakan
perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti pemidanaan. Jadi tidak
terhadap semua putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap
jaksa berhak mengajukan PK.
Dalam tulisan ini disarankan agar dilakukan koreksi secepatnya atas praktek hukum dan dicarikan upaya mengatasi kerugian yang dialami oleh pihak-pihak yang dalam putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum dinyatakan tidak bersalah tetapi kemudian dipidana karena adanya PK oleh jaksa. Disarankan juga agar Presiden, selaku Kepala Negara, meminta maaf kepada para korban PK jaksa dan seluruh rakyat Indonesia atas kesalahan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan jaksa-jaksa penuntut umum dalam perkara-perkara PK yang diajukan oleh jaksa.
1. Pendahuluan
Pertanyaan
yang terus menerus diajukan sejak tahun 1996 adalah apakah jaksa dapat
mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana terhadap suatu putusan
pengadilan yang sudah mempunyai hukum yang tetap. Pertanyaan ini muncul karena
pada tahun 1996, untuk pertama kalinya, jaksa mengajukan permohonan PK dalam
perkara dengan terdakwa, Mochtar Pakpahan, seorang aktivis buruh pada masa itu.
Sejak itu Jaksa secara terus menerus mengajukan PK. Tidak dalam semua kasus
yang diajukan jaksa memenangkan PK. Mahkamah Agung (MA) bersikap mendua
mengenai hal ini. Ada majelis MA yang menyatakan jaksa tidak berhak mengajukan
PK, ada yang menyatakan jaksa dapat mengajukan PK.
Dalam
putusan PK dimana MA menerima permintaan PK dari jaksa, MA menyatakan
menciptakan hukum karena KUHAP tidak mengaturnya. Dalam Negara v Muchtar
Pakpahan, sebagaimana dikutip dalam Negara v Pollycarpus (PUTUSAN No. 109
PK/Pid/2007) , MA misalnya menyatakan: “Dalam menghadapi problema yuridis hukum
acara pidana ini dimana tidak diatur secara tegas pada KUHAP maka Mahkamah
Agung melalui putusan dalam perkara ini berkeinginan menciptakan hukum acara
pidana sendiri, guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang
Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan pemeriksaan Peninjauan Kembali
(PK) dalam perkara pidana.”
Dalam
hal MA tidak dapat menerima permohonan jaksa, MA menyatakan bahwa MA tidak
berwenang memutuskan mengenai PK. Dalam Negara v H. MULYAR bin SAMSI (Putusan
MA No84PK/Pid/2006 Tahun 2006), MA menyatakan bahwa PK Jaksa tidak dapat
diterima dengan alasan:
Bahwa Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah menentukan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, Terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauankembali kepada Mahkamah Agung;
Bahwa Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah menentukan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, Terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauankembali kepada Mahkamah Agung;
Bahwa
ketentuan tersebut telah mengatur secara tegas dan limitative bahwa yang dapat
mengajukan peninjauankembali adalah Terpidana atau ahli warisnya. Hal ini
berarti bahwa yang bukan Terpidana atau ahli warisnya tidak dapat mengajukan
peninjauankembali.
Dengan
adanya ketentuan yang tegas dan limitatif tersebut, tidak diperlukan lagi
ketentuan khusus, yang mengatur bahwa yang bukan Terpidana atau ahli warisnya
tidak dapat mengajukan peninjauankembali;
Bahwa “due proses of law”
tersebut berfungsi sebagai pembatasan kekuasaan Negara dalam bertindak terhadap
warga masyarakat, dan bersifat normatif, sehingga tidak dapat ditafsirkan dan
tidak dapat disimpangi, karena akan melanggar keadilan dan kepastian hukum ;
Menimbang,
berdasarkan hal-hal tersebut disimpulkan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak dapat
mengajukan permohonan peninjauankembali atas putusan pidana yang telah
berkekuatan hukum tetap. Oleh karenanya apa yang dimohonkan oleh Jaksa Penuntut
Umum merupakan kesalahan dalam penerapan hukum acara, sehingga permohonan
peninjauan kembali yang dimajukan oleh Jaksa Penuntut Umum haruslah dinyatakan
tidak dapat diterima;
Pertimbangan-pertimbangan
hukum yang dikemukakan oleh dua majelis pada MA tentu membingungkan, yang mana
yang harus diikuti. Hal ini tentu akan menyebabkan adanya ketidakpastian hukum.
MA, sebagaimana pertimbangan-pertimbangan hukum yang diajukan di atas
menunjukkan, ternyata tidak satu. Putusan Majelis yang satu belum tentu diikuti
oleh Majelis yang lain.
Tulisan
ini akan membahas mengenai dasar hukum dari jaksa dalam mengajukan PK dan
setelah menemukan dasar hukumnya maka akan dibahas mengenai batasan-batasan
dalam mengajukan PK sebagaimana diatur dalam KUHAP. Dalam membahas mengenai PK
oleh jaksa ini, saya hanya menggunakan bahan hukum primer, yaitu undang-undang
dan Putusan-putusan MA. Putusan MA yang saya gunakan dalam tulisan ini dapat
diakses pada situs web dari Mahkamah Agung. Alasan tidak menggunakan bahan
sekunder adalah karena dalam pertimbangan hukumnya MA membuat rujukan pada
bahan hukum sekunder.
2. Tinjauan Atas Pasal 263
KUHAP
Pasal
263 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa “terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung.” Ketentuan ini memberikan hak kepada
terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan peninjauan kembali atas putusan
pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan digunakannya kata
terpidana atau ahli warisnya menandakan bahwa dalam putusan pengadilan yang
sudah mempunyai kekuatan tetap yang dimintakan peninjuan kembali, seseorang
sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman pidana atau ada pemidanaan.
Dikecualikan
dari hal-hal yang tidak dapat diajukan peninjauan kembali adalah putusan bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum. Perumusan dalam Pasal 263 ayat (1) ini
memang agak sedikit kacau. Yang dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali
adalah terpidana atau ahli warisnya. Sementara untuk putusan bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum tidak ada terpidana. Maka adanya klausul “kecuali
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum” sangatlah tidak masuk akal
ditempatkan dalam ayat tersebut.
Kalau
kemudian jaksa mengajukan peninjauan kembali, menjadi layak karena adanya
klausul “kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum”. Jaksa
dapat berpikir bahwa yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) adalah Peninjuan
kembali oleh terpidana atau ahli warisnya. Sementara untuk putusan bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum dapat diajukan peninjauan kembali tetapi tidak
diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut. Dimana diaturnya, jaksapun
tidak tahu dan hal ini berarti ada kekosongan hukum. MA, dari perspektif jaksa,
berpikir bahwa MA dapat mengisi kekosongan tersebut melalui ketentuan bahwa
hakim harus menggali nilai-nilai dalam masyarakat dan MA memang melakukannya
dalam Negara v Muchtar Pakpahan dan lain-lain.
Bahwa
jaksa dapat mengajukan peninjauan kembali mendapat landasannya dalam Pasal 263
ayat (3). Pasal 263 ayat (3) tersebut menyatakan “Atas dasar alasan yang sama
sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali
apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan
terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.” Ayat (3) ini
merupakan landasan hukum bagi jaksa dalam mengajukan PK atas putusan pengadilan
yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Persyaratan dalam Pasal 263 ayat (3)
“……………. apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah
dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti dengan pemindanaan” menunjukkan
bahwa ketentuan Pasal 263 ayat (3) tidak ditujukan bagi Terpidana karena dalam
konteks Pasal 263 ayat (3) memang tidak ada yang disebut “Terpidana”. Tidak ada
“terpidana” tanpa adanya “pemidanaan”.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Pasal 263 ayat (1) ditujukan untuk PK bagi
Terpidana atau ahli warisnya. Yang diajukan PK menurut Pasal 263 ayat (1)
adalah terhadap putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yang isinya
“pemidanaan”. Pasal 263 ayat (3) adalah PK yang diajukan terhadap putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang tidak berisi
pemidanaan. Karena tidak ada pemidanaan maka tidak ada terpidana dan oleh
karenanya tidak ditujukan bagi Terpidana atau ahli warisnya yang memang tidak ada.
MA
dalam putusan PK dalam Negara v Pollycarpus telah keliru ketika menyatakan:
2. Bahwa Pasal 263 KUHAP yang merupakan
pelaksanaan dari Pasal 21 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 mengandung hal yang
tidak jelas, yaitu:
a. Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut
Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebab logikanya terpidana
/ahliwarisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak
dan onslag van alle vervolging. Dalam konteks ini, maka yang berkepentingan
adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan dalam ketentuan pasal 263 ayat 2
KUHAP ;
b. Bahwa konsekwensi logis
dari aspek demikian maka pasal 263 ayat 3 KUHAP yang pokoknya menentukan “ Atas
dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan
permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang
didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu
pemidanaan” tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya sebab
akan merugikan yang bersangkutan, sehingga logis bila kepada Jaksa Penuntut
Umum diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali;
Menyangkut
butir 2.a dari pertimbangan MA tersebut, MA jelas keliru karena ketentuan Pasal
263 ayat (1) itu adalah untuk Terpidana atau Ahli warisnya. Logika MA juga
keliru ketika menyatakan “…….sebab logikanya terpidana /ahliwarisnya tidak akan
mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle
vervolging”, karena memang tidak ada terpidana dalam putusan vrijspraak dan
onslag van alle vervolging. Sedangkan butir 2.b dari pertimbangan tersebut
kekeliruan MA dalam menafsirkannya lebih parah. MA menyatakan “…………..tidak
mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan
yang bersangkutan,…..”. Sebagaimana saya sebutkan di atas, dalam konteks Pasal
263 ayat (3) tidak ada “terpidana”, karena kondisinya adalah “…tidak diikuti
oleh suatu pemidanaan”.
Sebenarnya
dalam putusan dalam Negara v Muchtar Pakpahan, sebagaimana dirujuk oleh MA
dalam Negara v Pollycarpus, MA sudah nyaris benar ketika menyatakan:
3. Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut
penafsiran Majelis Mahkamah Agung RI maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena
Jaksa Penuntut Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan
hakim dirubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi
tidak diikuti pemindanaan dapat dirubah dengan diikuti pemindanaan terhadap terdakwa;
Namun
MA melihat Pasal 263 ayat (3) KUHAP itu ditujukan kepada jaksa oleh karena JPU
adalah “pihak yang berkepentingan”. Persoalannya dalam Pasal 263 ayat (3) bukan
soal siapa yang “paling berkepentingan” tetapi Pasal 263 ayat (3) itu pada
dirinya memang ditujukan untuk jaksa. Dalam perkara pidana hanya ada dua pihak
yang berhadap-hadapan di depan hakim, Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa.
Terdakwa yang dinyatakan bersalah dan ada pemidanaan adalah Terpidana. Dengan
dinyatakan “paling berkepentingan” seolah-olah ada pihak lain yang
berkepentingan dengan kondisi yang disebutkan dalam Pasal 263 ayat (3)
tersebut.
Lagipula,
secara logis, jika KUHAP hanya mengatur PK oleh Terpidana atau ahli warisnya,
untuk apa lagi dibuat ketentuan Pasal 263 ayat (3). Pasal 263 ayat (1) sudah
cukup untuk menampung keperluan terpidana atau ahli warisnya.
Dengan
demikian adalah merupakan kesalahan membaca undang-undang jika ada yang
menyatakan bahwa KUHAP tidak mengatur mengenai hak atau wewenang dari jaksa
untuk mengajukan PK. Sebagaimana sudah saya tuliskan di atas, KUHAP memang
memberikan Hak bagi jaksa untuk mengajukan PK, sekalipun tidak secara nyata
disebutkan kata “jaksa penuntut umum”.
3. Putusan Bebas dan Putusan
Lepas dari Segala Tuntutan Hukum
Dalam
Pasal 263 ayat (1) kedua istilah hukum tersebut muncul dalam rumusan “…..,,
kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,…..”. Dalam Pasal
263 ayat (3) kedua istilah hukum itu tidak muncul. Kata-kata yang muncul adalah
“……………………apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah
dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”. Apakah
Putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum termasuk dalam apa
yang disebut dalam Pasal 263 ayat (3) “…..tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”?
Dalam
kedua macam putusan, yaitu putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan
hukum tidak ada pemidanaan. Dengan demikian jika dalam putusan bebas hakim
menyatakan suatu perbuatan yang didakwakan terbukti maka putusan semacam itu
dapat diajukan PK. Demikian juga halnya dalam putusan lepas dari segala
tuntutan hukum, dimana perbuatan yang didakwakan dinyatakan terbukti tetapi ada
alasan-alasan tertentu yang membuat hakim tidak menjatuhkan pidana, maka jaksa
dapat mengajukan PK.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa menurut KUHAP tidak hanya terpidana atau ahli
warisnya yang dapat mengajukan peninjauan kembali tetapi juga jaksa. Tentu
alasan untuk mengajukan peninjauan kembali adalah berbeda antara apa yang
diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya dengan yang diajukan oleh jaksa.
4. Alasan untuk mengajukan
peninjauan kembali
Pasal
263 ayat (2) memuat daftar dasar yang dapat diajukan untuk melakukan peninjauan
kembali oleh terpidana atau ahli warisnya.
a. apabila
terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu
sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa
putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan
penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan
ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu
telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan
yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan
yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan
hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Bagi
jaksa terdapat alasan untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali yaitu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (3) sebagaimana telah disinggung di
atas, yaitu apabila putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap itu
menyatakan bahwa suatu perbuatan yang sudah didakwakan terbukti tetapi tidak
diikuti dengan pemidanaan. Hal ini tentu karena mungkin ada kekhilafan hakim,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) butir c.
Kata-kata
yang digunakan pada awal Pasal 263 ayat (3) seolah-olah menunjukkan bahwa semua
alasan yang disebutkan dalam Pasal 263 ayat (2) akan berlaku bagi PK oleh
Jaksa. Namun demikian, alasan-alasan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 263
ayat (2) butir a dan b tidak berlaku bagi jaksa. Hanya butir c dari Pasal 263
ayat (2) yang berlaku bagi jaksa untuk mengajukan PK sesuai Pasal 263 ayat (3).
Dalam
Negara v Pollycarpus misalnya, jaksa mengajukan novum. Jaksa membolakbalik
ketentuan dalam Pasal 263 ayat (2) butir a. Malangnya, MA dalam PK malah
menerima novum yang diajukan oleh jaksa tersebut. Dalam Negara v Pollycarpus,
Majelis PK MA menyatakan: “Sesuai dengan
ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP, salah satu alasan diajukannya
peninjauan kembali adalah apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan
kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih
berlangsung, maka hasilnya akan menjadi putusan menjadi berbeda”
Pasal
263 ayat (2) butir a yang mengatur mengenai dasar mengajukan PK adalah untuk
Terpidana dan bukan untuk Jaksa. MA mengubah Pasal 263 ayat (2) butir a KUHAP
ketika menyatakan “….., maka hasilnya akan menjadi putusan menjadi berbeda”.
Ini merupakan penyimpangan yang nyata yang dilakukan oleh MA.
Ini
tentu aneh mengingat ketentuan dalam Pasal 263 ayat (3) secara jelas membatasi
hanya terhadap putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang didalamnya dinyatakan
perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti pemidanaan.
Jika
dibaca sesuai Pasal 263 ayat (3) maka jaksa dapat mengajukan PK terhadap
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang tidak berupa
pemidanaan karena dalam putusan dinyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan
sudah terbukti tetapi tidak diikuti dengan pemidanaan yang dengan jelas
memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata dari
hakim. Jadi jaksa tidak dapat mengajukan PK kalau dalam putusan bebas hakim
menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan tidak terbukti.
5.Pembatasan
Sesuai
dengan uraian-uraian di atas maka hak jaksa untuk mengajukan PK sangat
terbatas, yaitu hanya terhadap putusan yang dalam pertimbangannya hakim
menyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu
pemidanaan. Jaksa tidak dapat mengajukan PK kalau:
1. Putusan-putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap itu ternyata ada pemidanaan.
2. dalam putusan bebas hakim
menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan tidak terbukti;
Pengajuan
PK oleh Jaksa selama ini tentulah melanggar KUHAP. Maka putusan PK MA dalam
Negara v Muchtar Pakpahan, dan Negara v Pollycarpus dan lain-lain merupakan
kecelakaan atau bahkan dosa-dosa hukum MA terhadap korban-korban PK jaksa dalam
kasaus-kasus tersebut.
6.Penutup
Sesuai
dengan uraian-uraian yang disebutkan di atas maka sebagai kesimpulan penutup
adalah bahwa menurut KUHAP, jaksa berhak atau dapat mengajukan PK tetapi hanya
terbatas pada putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang dalam
pertimbangan hukumnya dinyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi
tidak diikuti dengan suatu pemidanaan.
Oleh
karena itu perlu dilakukan koreksi terhadap praktek hukum yang ada dan
melakukan perbaikan-perbaikan dimana perlu di kalangan hakim, jaksa, dan
advokat untuk mengatasi kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan dalam proses hukum
semenjak munculnya kasus PK oleh jaksa.
MA, Jaksa Agung, dan PERADI,
sebagai organisasi yang didirikan dan berfungsi mengemban amanat UU Advokat,
harus bersama-sama mencari sarana hukum yang mungkin untuk membebaskan mereka
yang kemudian dipidana setelah sebelumnya menurut putusan pengadilan yang sudah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap tidak dipidana.
0 komentar:
Posting Komentar