(Sebuah Observasi Kronologis-Hipotetis Terhadap Munculnya Terminologi Syiqaq di Peradilan Agama)
Syiqaq adalah puncak perselisihan antara suami dan istri yang dikhawatirkan dapat memunculkan entitas kemadharatan apabila perkawinan mereka diteruskan. Sedangkan dalam penjelasan pasal 76 ayat (1) UU. No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, syiqaq diartikan sebagai perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami dan istri.
Syiqaq adalah puncak perselisihan antara suami dan istri yang dikhawatirkan dapat memunculkan entitas kemadharatan apabila perkawinan mereka diteruskan. Sedangkan dalam penjelasan pasal 76 ayat (1) UU. No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, syiqaq diartikan sebagai perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami dan istri.
Di lingkungan Peradilan Agama, diskursus menganai perselisihan dan pertengkaran sebagai salah satu alasan perceraian yang kemudian dinisbahkan dengan syiqaq rasanya belum selesai. Ada yang berpendapat keduanya harus dipisahkan melalui separasi (qarinah) berupa dharar pada perkarasyiqaq, namun tidak sedikit pula yang menilai secara kategoris, bahwa syiqaq sudah termasuk bagian dalam perselisihan dan pertengkaran.
Perbedaan pendapat tersebut paling tidak ditengarai oleh persepsi –sebagai output dari interpretasi– yang berbeda terhadap konotasi syiqaq. Memang, beberapa intelektual muslim telah sejak dulu memberikan deskripsi tentang syiqaq secara variatif.
Perdebatan tentang situasi ini menjadi begitu penting dan menarik ketika faktor terjadinya perceraian di Pengadilan Agama didominasi oleh pasal 19 PP. No. 9 tahun 1975 atau pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) poin (f), yakni antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Pada saat yang sama, perkara syiqaq menjadi sangat langka.
Selama perbedaan pendapat ini masih terjadi, maka penerimaan perkara perceraian di Pengadilan Agama dengan alasan perselisihan dan pertengkaran akan mengalami divergensi, yakni apakah include di dalamnya perkara syiqaq atau tidak. Padahal, jika dianalisa melalui kronologi lahirnya peraturan terkait alasan percaraian, maka kita akan menjumpai fenomena sebagai berikut :
Pada tahun 1974, lahir UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam UU yang belaku global bagi seluruh masyarakat Indonesia secara multi-religitersebut tidak dijumpai alasan perceraian.
Alasan perceraian kemudian terpapar dalam PP. No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 19 PP. tersebut, disebutkan terdapat 6 (enam) alasan perceraian yang mana salah satunya adalah “antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga” (poin f). Kata syiqaq tidak dapat dijumpai pada pasal tersebut. Hal ini sangat wajar karena PP. tersebut berfungsi sebagai pelaksana UU Perkawinan, oleh karenanya juga harus bersifat multi-religi, sedangkan term syiqaq sangat identik dengan Hukum Islam. Jika term syiqaq masuk dalam PP. No. 9 tahun 1975, tentulah akan mendapat penolakan dari berbagai kalangan karena PP. tersebut bisa dianggap diskriminatif. Maka alasan perceraian yang dapat mengakomodir syiqaq hanyalah poin f di atas.
Selanjutnya, pada tahun 1989 lahir UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Ada yang menarik dalam UU tersebut. Pada pasal 76 diketengahkan kata syiqaq yang secara implisit termasuk sebagai alasan perceraian. Hal ini wajar pula karena Peradilan Agama berdasarkan asaspersonalitas keislaman bertindak sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam dan menjadikan Hukum Islam sebagai pondasi konstruktif dalam pembuatan putusan bagi para hakimnya. Namun, dalam penjelasan pasal tersebut syiqaq masih diartikan sama dengan pasal 19 poin f PP. No. 5 tahun 1975.
Kemudian, pada tahun 1991 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam KHI, alasan perceraian tidak lagi 6 (enam) poin sebagaimana pasal 19 PP. No. 5 tahun 1975, melainkan 8 (delapan) poin dengan tambahan pelanggaran taklik talak oleh suami dan murtad. Sayangnya, syiqaq tidak dimasukkan dan ditambahkan dalam alasan perceraian tersebut. Padahal jika syiqaq dimaknai berbeda dan berdiri sendiri dari alasan perselisihan dan pertengkaran, seharusnya syiqaq dapat ditambahkan dalam pasal tersebut karena sebelumnya istilah syiqaq sudah “disinggung” dalam UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Selain pasal 76 UU No. 7 tahun 1989, syiqaq sebagai salah satu alasan perceraian juga terdapat dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama pada tahun 2010 (edisi revisi). Dalam buku tersebutsyiqaq secara lebih tegas dan jelas merupakan alasan tersendiri dalam perkara perceraian. Tata cara pemeriksaan perkara syiqaq juga dibedakan. Hanya saja dalam beberapa elaborasinya, perkara syiqaq masih mengacu pada alasan perceraian poin f dan pasal 76 di atas. Amar putusan perkarasyiqaq pun sama dengan lainnya.
Penelusuran di atas kemudian melahirkan hipotesis yang mengarah pada kesimpulan secara komprehensif, bahwa syiqaq sudah termasuk dan terkandung dalam alasan perceraian di mana “antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga” (poin f). Kesimpulan tersebut paling tidak berdasarkan pertimbangan berikut :
Pertama, independensi syiqaq dari poin f melalui qarinah berupa dharar tidak serta merta dapat diaplikasikan karena belum ada barometer yang jelas sejauh mana ketentuan yang menuju kepada kondisi dharar tersebut. Selain itu, kondisi sebuah rumah tangga dapat sewaktu-waktu berubah sehingga kondisi dalam kategori dharar tidak dapat dipastikan.
Kedua, sampai hari ini, peraturan yang secara eksplisit menyebutkan alasan perceraian hanya ada dua, yaitu PP. No. 9 tahun 1975 (pasal 19) dan KHI (pasal 116). Pada kedua peraturan tersebut, term syiqaq sama sekali tidak ditemukan.
Ketiga, telah ternyata bahwa syiqaq yang hanya dikenal dalam Hukum Islam tidak dimasukkan sebagai alasan perceraian dalam pasal 116 KHI. Padahal, lahirnya KHI melalui Inpres No. 1 tahun 1991 disinyalir sebagai salah satu proses akomodasi secara esensial Hukum Islam sebagai hukum positif melalui Peradilan Agama dengan asas personalitas keislamannya, berbeda dengan alasan perceraian dalam PP. 9 tahun 1975 yang lebih bersifat plural.
Keempat, konsiderasi syiqaq pertama kali muncul pada pasal 76 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, namun dalam penjelasan pasal tersebut pengertian syiqaq secara substantif masih senada dengan pasal 19 huruf (f) PP. No. 9 tahun 1975 sebagai salah satu alasan perceraian tanpa perbedaan yang signifikan. Unsur dharar sama sekali tidak muncul dalam penjelasan pasal tersebut, hanya terdapat kata “tajam” yang masih mengalami multi-tafsir. Apakah tajam dalam arti perselisihan yang dapat menimbulkan bahaya (baca : dharar), ataukah tajam dalam arti perselisihan yang terus menerus (tidak sekadar “sering”) yang kemudian dikonfirmasikan oleh kalimat berikutnya. Ketika UU No. 7 tahun 1989 dua kali mengalami perubahan, pasal tentang syiqaq pun tidak tersentuh sama sekali.
Kelima, titik tekan pasal 76 UU No. 7 tahun 1989 sebenarnya bukanlah syiqaq itu sendiri sebagai salah satu alasan perceraian, melainkan keharusan mendengarkan saksi keluarga sekaligus kewenangan Pengadilan Agama untuk manghadirkan hakam dalam perkara perceraian yang disebabkan perselisihan dan pertengkaran yang kemudian diistilahkan sebagai syiqaq.
Lahirnya KHI sejatinya memberikan oportunitas terhadap formalisasi Hukum Islam ke dalam ranah Hukum Nasional. Hal ini akan sangat membantu hakim pengadilan agama karena selalu melibatkan regulasi organik sebagai landasan dalam penerapan hukum. Namun sebagai mana kita ketahui, dalam pasal 116 KHI alasan perceraian sama dengan pasal 19 PP. No. 9 tahun 1975 yang kemudian ditambah dua poin, yakni Suami melanggar taklik talak (poin g) dan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga (poin h). Jika syiqaq harus dimaknai terpisah dari perselisihan dan pertengkaran (poin f), sudah semestinya syiqaq juga dimasukkan sebagai poin tersendiri sebagaimana dua poin sebelumnya.
0 komentar:
Posting Komentar