google-site-verification: google9a13747b79e1f4cd.html Artikel Law Office MAH - Hukum Acara Perdata Artikel Law Office MAH: Hukum Acara Perdata - All Post
SEMUA ARTIKEL
M.Ardiansyah Hasibuan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Acara Perdata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Acara Perdata. Tampilkan semua postingan



Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya “Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Edisi Kedua, Cetakan Keempat, Jakarta, 2009” menyatakan bahwa Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Ringkasnya eksekusi adalah menjalankan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (res judicata / inkracht van gewijsde) yang bersifat penghukuman (condemnatoir), yang dilakukan secara paksa, jika perlu dengan bantuan kekuatan umum.

Pengaturan eksekusi terdapat dalam Bab Kesepuluh Bagian kelima HIR atau titel keempat bagian keempat RBG, yaitu pada Pasal 195 s.d. Pasal 224 HIR atau Pasal 206 s.d. 258 RBG. Namun yang masih berlaku efektif adalah Pasal 195 s.d. Pasal 208 dan Pasal 224 HIR, atau Pasal 206 s.d. 240 dan Pasal 258 RBG, sedangkan Pasal 209 s.d 223 HIR, dan Pasal 242 s.d. Pasal 257 RBG yang mengatur tentang sandera (gijzeling) tidak berlaku lagi secara efektif.

Objek eksekusi berupa eksekusi putusan perdata yang meliputi putusan berkekuatan hukum tetap, putusan provisi (terbatas mengenai tindakan sementara  tidak mengenai materi pokok perkara), putusan serta merta / yang dapat dijalankan lebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad disingkat UbV), Pasal 180 ayat (1) HIR / Pasal 191 ayat (1) RBg dan SEMA  Nomor 3 Tahun 2000 dan  SEMA Nomor 4 Tahun 2001 tentang Permasalahan Serta Merta  (uitvoerbaar bij voorraad) dan provisionil. Kemudian eksekusi atas Putusan Perdamaian (acte van dading), grosse akta notarial, eksekusi jaminan seperti gadai, hak tanggungan, fidusia, sewa beli, leasing), eksekusi Putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), juga eksekusi putusan lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa atau disebut dengan Quasi Pengadilan yaitu Putusan Arbitrase Nasional, Putusan Arbitrase Internasional atau Arbitrase asing, Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan Putusan Komisi Informasi.

Ditinjau dari jenis-jenisnya eksekusi terdiri dari putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk melakukan pembayaran sejumlah uang (pasal 196 HIR/pasal 208 RBg), Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan sesuatu perbuatan (Pasal 225 HIR/259 Rbg), eksekusi putusan terhadap perkara perdata lingkungan hidup yang berisi penghukuman melakukan pemulihan lingkungan sebagaimana tercantum (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup), Eksekusi Riil (Pasal 1033 RV, Pasal 200 ayat 11 HIR / Pasal 218 ayat (2) RBg). 

Pelaksanaan eksekusi dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri yang teknisnya  dilaksanakan oleh Panitera atau Jurusuta/Jurusita Pengganti. Eksekusi mesti dimohonkan lalu ditelaah oleh Panitera Muda atau Tim yang ditugaskan oleh Ketua Pengadilan Negeri, yang hasilnya dituangkan dalam bentuk resume. Dalam hal hasil telaah tersebut menyatakatan eksekusi dapat dilaksanakan maka ditindaklanjuti dengan pembayaran panjar. Setelah panjar dibayar kemudian ditindaklanjuti dengan peringatan (Aanmaning), yaitu Ketua Pengadilan Negeri memperingatkan termohon eksekusi untuk melaksanakan isi putusan paling lama 8 (delapan) hari, yang dicatat dalam berita acara sebagai landasan keabsahan penetapan eksekusi selanjutnya. Bagi objek eksekusi akan dilelang harga limit tanahnya ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan hasil Apraisal dari Penilai Publik.

 
Pengertian Perlawanan/ Verzet

Verzet adalah suatu upaya hukum terhadap suatu putusan di luar hadirnya pihak Tergugat (disebut putusan verstek). Pasal 129 ayat (1) HIR atau Pasal 83 Rv menegaskan: Tergugat yang sedang dihukum sedang ia tidak hadir (verstek) dan tidak menerima putusan itu, dapat mengajukan perlawanan atas putusan itu. Berdasarkan ketentuan tersebut, upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan verstek adalah perlawanan (verzet). Verzet artinya perlawanan terhadap putusan verstek yang telah dijatuhkan pengadilan tingkat pertama yang diajukan  oleh tergugat yang diputus verstek tersebut, dalam waktu tertentu, yang diajukan ke Pengadilan Negeri yang memutus perkara itu juga.

Pada  asasnya  perlawanan  ini disediakan bagi pihak tergugat yang (pada umum- nya) dikalahkan. Bagi penggugat yang dikalahkan dengan putusan verstek tersedia upaya hukum banding. Jadi apabila terhadap tergugat dijatuhkan putusan verstek, dan dia keberatan atasnya, tergugat dapat mengaju- kan perlawanan (verzet), bukan upaya banding. Terhadap putusan verstek, tertutup upaya banding, oleh karena itu permohonan banding terhadapnya cacat formil, dengan demikian tidak dapat diterima.  Dalam Putusan Mahkamah  Agung  ditegaskan bahwa permohonan banding yang diajukan terhadap   putusan   verstek   tidak   dapat   diterima, karena upaya hukum terhadap verstek adalah verzet.

Perlawanan (verzet) dihubungkan dengan putusan verstek mengandung arti bahwa tergugat berupaya melawan putusan verstek atau tergugat mengajukan perla- wanan terhadap putusan verstek dengan  tujuan agar putusan itu dilakukan pemerik- saan ulang secara menyeluruh sesuai dengan proses pemeriksaan kontradiktor dengan per- mintaan agar putusan verstek dibatalkan serta sekaligus meminta agar gugatan penggugat ditolak. Dengan demikian, tujuan verzet memberi kesempatan kepada tergugat untuk membela kepentingannya atas kelalaian menghadiri persidangan diwaktu yang lalu.

 

Syarat Hukum Acara Verzet

Menurut Pasal 129 ayat (1) dan Pasal 83 Rv yang berhak mengajukan perlawanan hanya terbatas pihak tergugat saja, sedang kepada penggugat tidak diberi hak mengajukan perlawanan, dalam hal ini pihak tergugat tidak oleh pihak ketiga. Perluasan atas hak yang dimiliki tergugat untuk mengajukan perlawanan meliputi ahli warisnya apabila pada tenggang waktu pengajuan perlawanan tergugat meninggal dunia, dan dapat diajukan kuasa. Tergugat yang tidak hadir disebut pelawan dan penggugat yang hadir disebut terlawan.

Dalam praktik peradilan maka apabila tergugat yang diputus dengan verstek mengajukan verzet maka kedua perkara tersebut dijadikan satu dan dalam register diberi satu nomor perkara. Penggugat yang diputus verstek, bisa mengajukan banding, bila ia tidak diterima oleh karena gugatannya dinyatakan tidak dapat diterima atau ditolak. Bila penggugat yang  diputus  verstek banding, maka tergugat yang tidak  hadir, tidak bisa verzet. Tenggang waktu mengaju- kan perlawanan (verzet) adalah 14 hari  setelah diberitahukan dan  diterimanya putusan verstek oleh tergugat.  Jika  putusan itu tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri, maka perlawanan masih diterima sampai pada hari ke-8 sesudah peneguran  atau dalam hal tidak hadir sesudah dipanggil dengan patut sampai pada hari ke-14, ke-8 sesudah dijalankan surat perintah.

Kemudian ketika perkara verzet disidangkan dan tergugat dikalahkan dengan verstek lagi maka tergugat tidak dapat mengajukan banding. Dalam praktik verzet  ini harus diberitahukan atau dinyatakan dengan tegas dan bila tidak maka pernyataan verzet bersangkutan dinyatakan tidak dapat diterima.

 

Proses  Pemeriksaan Verzet

Proses pemeriksaan verzet dilakukan dengan cara sebagai berikut:

-         Perlawanan diajukan kepada Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan verstek. Agar permintaan perlawanan memenuhi syarat formil, maka:

(a)  Diajukan oleh tergugat sendiri atau kuasanya;

(b)  Disampaikan kepada Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan verstek sesuai batas tenggang waktu yang ditentukan; dan

(c)  Perlawanan ditujukan kepada putusan verstek tanpa menarik pihak lain, selain dari pada penggugat semula.

-       Perlawanan terhadap verstek, bukan perkara baru. Perlawanan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan gugatan semula maka perlawanan bukan perkara baru, akan tetapi merupakan bantahan yang ditujukan kepada ketidak- benaran dalil-dalil gugatan,  dengan alasan putusan verstek yang dijatuhkan, keliru atau tidak benar. Sedemikian eratnya kaitan perlawanan dengan gugatan semula, menyebabkan komposisi pelawan sama persis dengan tergugat asal dan terlawan adalah penggugat asal.

Perlawanan mengakibatkan putusan verstek mentah kembali. Apabila diaju- kan verzet terhadap  putusan  verstek maka dengan sendirinya putusan verstek menjadi mentah kembali yaitu ekstensinya dianggap tidak pernah ada sehingga putusan verstek tidak dapat dieksekusi. Ekstensi putusan verstek bersifat relatif dan mentah selama tenggang waktu  verzet masih belum terlampaui. Secara formil putusan verstek memang ada, tetapi secara materiil, belum memiliki kekuatan eksekutorial.

-      Pemeriksaan perlawanan dilakukan terhadap materi verzet.  Materi  verzet adalah tanggapan terhadap putusan verstek/dalil-dalil penggugat asal.Verzet hanya mempermasalahkan alasan ketidakhadiran tergugat menghadiri pengadilan. Proses pemeriksaannya dengan acara biasa.

 

Baca Juga: Eksistensi Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet) Dalam Sistem Peradilan Perdata di Indonesia


Putusan Verzet

Apabila dalam putusan penyelesaian satu perkara diterapkan acara verstek yang dibarengi dengan acara verzet terhadap putusan verstek tersebut, Pengadilan Negeri akan  menerbitkan   dua   bentuk   putusan: (a). Produk pertama, putusan verstek sesuai dengan acara verstek, yang digariskan pasal 125 ayat (1) HIR dan (b). Produk kedua, putusan verzet berdasarkan acara verzet yang diatur Pasal 129 ayat (1) HIR. Kedua putusan itu, saling berkaitan karena  sama-sama bertitik tolak dari kasus yang sama. Akan tetapi, keberadaannya masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. Secara teoritis, putusan verzet bersifat asesor terhadap putusan verstek. Artinya putusan verzet merupakan ikutan dari putusan verstek. Oleh karena itu, putusan verzet tidak  mungkin lahir, kalau putusan verstek tidak ada. Bertitik tolak dari pendekatan asesor tersebut, substansi pokok putusan verzet, tidak boleh menyimpang dari permasalahan dalil pokok gugatan yang tertuang  dalam  putusan verstek.

Pada sisi lain, ditinjau dari segi upaya hukum, verzet menurut pasal 129 ayat (1)  HIR merupakan upaya perlawanan terhadap putusan verstek. Berarti putusan verstek yang dijatuhkan pengadilan, merupakan koreksi terhadap putusan verstek. Dengan begitu, jika tergugat mengajukan verzet terhadap putusan verstek, Pengadilan Negeri harus memeriksa dan menilai apakah putusan verstek yang dijatuhkan sudah tepat atau tidak. Tepat atau tidaknya putusan verstek tersebut, dinilai dan dipertimbangkan Pengadilan Negeri dalam putusan verzet.

Bentuk Putusan Verzet, yaitu:

1.    Perlawanan (verzet) tidak dapat diterima. Pertimbangan hakim untuk menjatuhkan bentuk putusan demikian apabila teng- gang waktu mengajukan verzet yang ditentukan Pasal 129 ayat (1) HIR telah dilampaui. Dalam kasus yang seperti itu, gugur hak mengajukan verzet dengan akibat hukum tergugat dianggap mene- rima putusan verstek sekaligus tertutup hak tergugat mengajukan banding dan kasasi, dengan demikian putusan verstek memperoleh        kekuatan       hokum tetap. Bentuk putusan yang menyatakan verzet tidak dapat diterima, harus dicantumkan amar        berisi    penegasan  menguatkan putusan verstek, sehingga amarnya selengkapnya berbunyi :

-      Menyatakan pelawan sebagai pelawan

yang tidak benar atau pelawan yang salah.

-      Menyatakan perlawanan (verzet) dari pelawan tidak dapat diterima.

-      Menguatkan putusan verstek.

2.    Menolak perlawanan (verzet). Amar putusannya selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

-      Menyatakan pelawan sebagai pelawan yang tidak benar.

-      Menolak perlawanan pelawan.

-      Menguatkan putusan verstek.

3.    Mengabulkan  perlawanan  (verzet). Alasan hakim untuk mengabulkan per- lawanan tersebut  karena  Terlawan sebagai penggugat asal, tidak mampu membuktikan dalil gugatan. Sehingga amar putusan yang dijatuhkan selengkap- nya berbunyi sebagai berikut:

-      Menyatakan sebagai pelawan yang benar.

-      Mengabulkan perlawanan pelawan.

-      Membatalkan putusan verstek.

-      Menolak gugatan terlawan

 Sumber: Jurnal Uapaya Hukum Dalam Perkara Perdata


 

Ketentuan yang mengatur tentang perlawanan pihak ketiga (derden verzet) terdapat dalam HIR dan RBg pada pasal-pasal sebagai berikut:

1.   Pasal 195 ayat (6) HIR menyatakan bahwa :

Perlawanan (verzet) terhadap pelaksanaan putusan, juga dari pihak ketiga berdasarkan dalil tentang adanya hak miliknya atas benda-benda yang disita itu, sama halnya dengan semua sengketa tentang upaya- upaya paksaan yang diperintahkan untuk ditetapkan, diajukan kepada dan diadili oleh Pengadilan Negeri yang mempunyai untuk keseluruhannya atau sebagian daripadanya harus dilakukan di luar wilayah hukum Pengadilan Negeri yang dipimpinnya itu.

2.   Pasal 206 ayat (6) RBg menyatakan bahwa :

Perlawanan (verzet) terhadap pelaksanaan putusan, juga dari pihak ketiga berdasarkan dalil tentang adanya hak miliknya atas benda-benda yang disita itu, sama halnya dengan semua sengketa tentang upaya- upaya paksaan yang diperintahkan untuk ditetapkan, diadili oleh Pengadilan Negeri yang mempunyai wilayah hukum dalam mana       tindakan-tindakan pelaksanaan tersebut dijalankan.

 

Ketentuan tentang derden verzet diatur juga dalam Rv pada pasal-pasal sebagai berikut:

1.   Pasal 378 Rv menyatakan 

Pihak-pihak ketiga berhak melakukan perlawanan terhadap suatu putusan yang merugikan hak-hak mereka, jika mereka secara pribadi atau wakil mereka yang sah menurut hukum atau pun pihak yang mereka wakili tidak dipanggil di sidang pengadilan atau karena penggabungan perkara atau campur tangan dalam perkara pernah menjadi pihak.

2.   Pasal 379 Rv menyatakan bahwa : 

Perlawanan ini diperiksa hakim yang menjatuhkan putusan itu. Perlawanan diajukan dengan suatu pemanggilan untuk menghadap sidang terhadap semua pihak yang  telah mendapat keputusan dan peraturan umum mengenai cara berperkara berlaku dalam perlawanan ini.

Pasal 380 Rv menyatakan bahwa : Jika putusan yang demikian dijatuhkan terhadap pihak ketiga dalam suatu persidangan dan perlawanan terhadapnya dilakukan sesuai pasal yang lalu, maka hakim yang memeriksa perkara berwenang jika untuk itu ada alasan-alasan mengizinkan penundaan perkara itu sampai perkara perlawanan diputus

3.   Pasal 381 Rv menyatakan bahwa :

Hakim yang memeriksa perkara perlawanan, jika ada alasan-alasannya dapat menunda pelaksanaan putusan yang dilawan sampai saat perlawanan itu diputus.

4.   Pasal 382 Rv menyatakan bahwa :

Apabila perlawanan disahkan, maka putusan yang dilawan itu diperbaiki hanya sejauh hal merugikan hak-hak pihak ketiga itu, kecuali jika putusan yang dijatuhkan mengenai hal- hal yang tidak dapat dipecah, menghendaki pembatalan seluruhnya.  


Baca Juga: Beragam Dalil Putusan Praperadilan Penetapan Tersangka


        Bunyi pasal-pasal tersebut di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan derden verzet adalah perlawanan pihak ketiga terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan merugikan pihak ketiga. Dalam perlawanan pihak ketiga ini umumnya dalam suatu perkara tidak diikutsertakan dalam persidangan pengadilan dan tidak ada sangkut pautnya dengan para pihak yang sedang bersengketa tetapi barang-barang miliknya yang sah, baik terhadap barang-barang bergerak maupun tidak bergerak yang disita oleh pengadilan.

Adanya perlawanan pihak ketiga dalam suatu sengketa disebabkan oleh karena dalam suatu perkara yang dihadapi oleh para pihak yang sedang bersengketa tidak ada hubungannya dengan pihak ketiga dan keputusan hakim dari pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan nyata-nyata telah merugikan pihak ketiga baik secara langsung maupun tidak langsung. Umumnya kerugian pihak ketiga dalam derden verzet adalah barang-barang milik pihak ketiga baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak yang disita oleh pengadilan untuk pelunasan utang atau pemenuhan prestasi pihak yang dikalahkan dalam suatu perkara di pengadilan.

Apabila perlawanan pihak ketiga  ini disahkan dan atau dikabulkan maka pengadilan akan memperbaiki keputusan yang telah merugikan pihak ketiga tersebut hanya terhadap barang-barang yang dapat dipecah, sedangkan terhadap barang-barang yang tidak dapat dipecah umumnya pihak ketiga menghendaki adanya pembatalan putusan pengadilan secara keseluruhan. Barang-barang yang tidak dapat dipecah bisa juga berupa barang-barang bergerak maupun tidak bergerak.

Berdasarkan pada ketentuan Pasal 195 ayat (6) HIR / Pasal 206 ayat (6) RBg, maka diberi kemungkinan bagi pihak ketiga untuk mengajukan perlawanan terhadap eksekusi yang akan dijalankan sehingga perlawanan pihak ketiga (derden verzet) ini menjadi alat atau cara untuk menunda atau menangguhkan pelaksanaan putusan (eksekusi). Salah satu syarat agar perlawanan dapat dipertimbangkan sebagai alasan untuk menunda eksekusi yaitu perlawanan itu harus diajukan sebelum eksekusi dijalankan. Sebab jika eksekusi telah selesai dijalankan, maka tentunya tidak ada relevansinya untuk menunda ataupun menangguhkan eksekusi.

Menurut yurisprudensi seperti dalam Putusan MA tanggal 31 Agustus 1977 No. 697 K/Sip/1974 ditegaskan tentang formalitas pengajuan perlawanan terhadap eksekusi yaitu harus diajukan sebelum penjualan lelang dijalankan (sebelum eksekusi dijalankan). Kalau eksekusi sudah selesai dijalankan, upaya yang dapat diajukan pihak ketiga  untuk membatalkan eksekusi harus melalui gugatan. Demikian pula dalam Putusan MA No.786 K/Pdt/1988 antara lain ditegaskan bahwa derden verzet atas eksekusi berdasarkan alasan sebagai pemilik dapat dibenarkan asal diajukan sebelum eksekusi selesai. Sehubungan dengan itu, oleh karena perlawanan diajukan pada saat sita eksekusi diajukan, Pengadilan Negeri diperintahkan untuk mengangkat sita eksekusi.

 

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam derden verzet agar dapat dipertimbangkan dalam menunda eksekusi yaitu harus berdasarkan “dalil  hak  milik”.  Ketentuan Pasal 195 ayat (6) HIR secara tegas menyatakan bahwa pihak ketiga yang hendak mengajukan perlawanan terhadap eksekusi hanya didasarkan pada dalil hak milik. Dengan demikian di luar dalil hak milik,  maka perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga tidak akan diterima hakim. Dalam hal perlawanan didasarkan pada barang yang akan dieksekusi telah dijaminkan kepada pelawan, maka berdasarkan pada ketentuan Pasal 195 ayat (6), dalil seperti itu tidak relevan untuk menunda eksekusi. Akan tetapi sebaliknya, kalau dalil barang yang hendak dieksekusi telah dijaminkan kepada pelawan dihubungkan dengan asas yang melarang eksekusi dijalankan terhadap barang yang sudah dijaminkan (diagunkan) kepada pihak ketiga, maka cukup alasan untuk membenarkan perlawanan terhadap eksekusi berdasarkan dalil yang demikian. Pembenaran perlawanan eksekusi terhadap barang yang telah dijaminkan kepada pelawan oleh karena mempunyai relevansi untuk menunda eksekusi, secara kualitas termasuk dalam klasifikasi eksekusi yang noneksekutabel.

Pada hakikatnya perlawanan pihak ketiga dilakukan terhadap suatu putusan yang dijatuhkan oleh hakim dan upaya hukum ini bersifat fakultatif dalam artian tidak bersifat imperatif yang harus dijalankan oleh para  pihak. Dalam derden verzet ini, kedudukan pihak ketiga sebagai pelawan yang tidak ikut terlibat dan dilibatkan dalam suatu putusan, dan pelawan akan menarik para pihak yang terlibat dalam suatu putusan yang telah dijatuhkan dan dianggap serta dirasa telah merugikannya sebagai terlawan. Dalam mengajukan upaya hukum derden verzet tidak dibatasi jangka waktu untuk mengajukannya.

 Sumber: Jurnal Perlawanan Pihak Ketiga (Dender Verzet) Sebagai Upaya Mengangguhkan Eksekusi




Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan. Tetapi untuk  menjamin kepastian hukum bagi  kreditor maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti kreditor akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

Lalu, bagaimana dengan perjanjian fidusia yang tidak di buatkan akta notaris dan didaftarkan  di kantor pendaftaran fidusia alias dibuat dibawah tangan? Pengertian akta di bawah tangan adalah sebuah akta yang dibuat antara pihak-pihak dimana pembuatanya tidak di hadapan pejabat pembuat akta yang sah yang ditetapkan oleh undang-undang (notaris, PPAT dll). 

Akta di bawah tangan bukanlah akta otentik yang memiliki nilai pembuktian sempurna. Sebaliknya, akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di depan pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna.  Untuk akta yang dilakukan  di bawah tangan biasanya harus  diotentikan ulang oleh para pihak jika hendak dijadikan alat bukti sah, misalnya di pengadilan. Pertanyaannya adalah apakah sah dan memiliki kekuatan bukti hukum suatu akta di bawah tangan? Menurut pendapat penulis, sah-sah saja digunakan asalkan para pihak mengakui keberadaan dan isi akta  tersebut. Dalam prakteknya,  di kampung atau karena kondisi tertentu menyebabkan hubungan hukum dikuatkan lewat akta di bawah tangan seperti dalam proses jual beli dan utang piutang. Namun, agar akta tersebut kuat, tetap harus dilegalisir para pihak kepada pejabat yang berwenang.

Saat ini, banyak lembaga  pembiayaan (finance) dan bank (bank umum  maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia. Prakteknya lembaga pembiayaan menyediakan barang  bergerak yang diminta konsumen (semisal motor atau mesin industri) kemudian diatasnamakan konsumen sebagai debitur (penerima kredit/pinjaman). Konsekuensinya debitur menyerahkan kepada kreditur (pemberi kredit)  secara fidusia. Artinya debitur sebagai pemilik atas nama barang menjadi pemberi fidusia kepada kreditur yang dalam posisi  sebagai penerima fidusia.  Praktek sederhana dalam jaminan fidusia adalah debitur/pihak yang punya barang  mengajukan pembiayaan kepada kreditor, lalu kedua belah sama-sama sepakat mengunakan jaminan fidusia terhadap benda milik debitor dan dibuatkan akta notaris lalu didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Kreditur sebagai penerima fidusia akan mendapat sertifkat fidusia, dan salinannya diberikan kepada debitur.  Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate eksekusi), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Fakta di lapangan menunjukan, lembaga pembiayaan dalam melakukan perjanjian pembiayaan mencamtumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia. Tetapi ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan.

Jika penerima fidusia mengalami kesulitan di lapangan, maka ia  dapat meminta pengadilan setempat melalui juru sita membuat surat penetapan permohonan bantuan pengamanan eksekusi. Bantuan pengamanan eksekusi ini bisa ditujukan kepada aparat kepolisian, pamong praja dan pamong  desa/kelurahan dimana benda objek jaminan fidusia berada. Dengan demikian bahwa pembuatan sertifikat jaminan fidusia melindungi penerima fidusia jika pemberi fidusia gagal memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian kedua belah pihak.


Akibat Hukum
Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditor bisa melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan  dari kreditor. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitor dan sebagian milik kreditor. Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata  dan dapat digugat ganti kerugian.

Dalam konsepsi hukum pidana,  eksekusi objek fidusia di bawah tangan masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditor melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Pasal ini menyebutkan:
  1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
  2. Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.

Situasi ini dapat terjadi jika kreditor dalam eksekusi  melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditor yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia.  Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat  terjadi mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor dan debitor.

Bahkan apabila debitor mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UU No. 42 Tahun 1999 Tentang jaminan fidusia, karena tidak syah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat.  Mungkin saja debitor yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai

Pasal  372 KUHPidana menandaskan: Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Oleh kreditor, tetapi ini juga bisa jadi blunder karena bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditor dan debitor, dibutuhkan keputusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukan  porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak.  Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi proses hukum yang panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, margin yang hendak dicapai perusahaan tidak terealisir bahkan mungkin merugi, termasuk rugi waktu dan pemikiran.

Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia sebenarnya rugi sendiri karena tidak punya hak eksekutorial yang legal. Poblem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan customer service yang prima selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada. Mungkin karena kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat perkembangan zaman. Bayangkan, jaminan fidusia harus dibuat di hadapan notaris sementara lembaga pembiayaan melakukan perjanjian dan transaksi fidusia di lapangan dalam waktu yang relatif cepat.

Saat ini banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada objek barang yang dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama remedial, rof coll, atau remove. Selama ini perusahaan pembiayaan merasa tindakan mereka aman dan lancar saja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena masih lemahnya daya tawar nasabah  terhadap kreditor sebagai pemilik dana. Ditambah lagi pengetahuan hukum masyarakat yang masih rendah.  Kelemahan ini termanfaatkan oleh pelaku bisnis industri keuangan, khususnya sektor lembaga pembiayaan dan bank yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan.

Penulis juga mengkhawatirkan adanya dugaan pengemplangan pendapatan negara non pajak sesuai UU No. 20 Tahun 1997 Tentang Pendapatan Negara Non Pajak, karena jutaan pembiayaan (konsumsi, manufaktur dan industri) dengan jaminan fidusia tidak didaftarkan dan mempunyai potensi besar merugikan keuangan pendapatan negara.

Proses Eksekusi
Bahwa asas perjanjian pacta sun servanda yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh  pihak-pihak yang bersepakat, akan menjadi undang-undang bagi keduanya, tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian. Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia  di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Inilah pilihan yang prosedural hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materiil yang dikandungnya. 

Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak menggunakan semua upaya hukum yang tersedia.  Biaya yang musti dikeluarkan pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis. Dalih mengejar margin besar juga harus mempertimbangkan rasa keadilan semua pihak.  Masyarakat yang umumnya menjadi nasabah juga harus lebih kritis dan teliti dalam melakukan transaksi. Sementara bagi Pemerintah, kepastian, keadilan dan ketertiban hukum adalah penting. 

sumber: hukumonline.com
Sebelum pembahasan terkait tahapan Pra-Mediasi perlu diketahu lebih lanjut terkait hal-hal lain yang mendukung pelaksanaan Mediasi di Pengadilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Adapun hal-hal tersebut antara lain seperti Pedoman Mediasi, Sifat Mediasi, Kewajiban menghadiri Mediasi, Biaya dan Tempat Mediasi, Mediator, dan Keterpisahan Mediasi dari Proses Litigasi.
Pedoman Mediasi di Pengadilan merupakan kewajiban Hakim Pemeriksa Perkara dalam mengupayakan Perdamaian melalui Mediasi antara kedua belah pihak, sehingga apabila Hakim Pemeriksa Perkara tidak memerintahkan atau mengupayakan damai kepada para pihak dengan Mediasi maka telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Mediasi di Pengadilan. Apabila hal tersebut terjadi maka dalam upaya hukum berikutnya dengan putusan sela memerintahkan pengadilan tingkat pertama untuk melakukan proses Mediasi.[1] Sifat dari Proses Mediasi ini pada dasarnya bersifat tertutup kecuali para pihak menghendaki lain, sehingga pada berakhirnya Mediasi, catatan Mediator wajib di musnahkan dan juga hal-hal yang terungkap dalam Mediasi tidak bisa digunakan sebaggai Alat Bukti di Persidangan Proses Litigasi.[2]
Seperti yang disebutkan di atas, bahwa pengupayaan damai melalui Mediasi merupakan kewajiban dan memiliki konsekuensi apabila tidak dilaksanakan oleh Hakim Pemeriksa Perkara. Jika dilihat dari sudut pandang Para Pihak, bahwa Para Pihak wajib mengahdiri secara langsung pertemuan Mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh Kuasa Hukumnya, kecuali terdapat alasan-alasan sah seperti kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan, di bawah pengampuan, berdomisili di luar negeri ataupun sedang menjalankan tugas negara, profesi atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.
Proses Mediasi ini dilakukan paling lama 30 hari terhitung sejak penetapan penunjukan Mediator, sehingga dalam 30 hari tersebut, harus sudah terbentuk Kesepakatan Perdamaian ataupun Pernyataan bahwa Mediasi Gagal atau tidak dapat dilanjutkan. Tempat Pelaksanaan Mediasi diselenggarakan di ruang Medasi Pengadilan atau tempat lain di Luar Pengadilan yang disepakati Para Pihak, tetapi untuk Mediator Hakim dilarang untuk menyelenggarakan Mediasi di Luar Pengadilan.[3]

Most Trending