BREAKING NEWS

Tampilkan postingan dengan label Hukum Acara Perdata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Acara Perdata. Tampilkan semua postingan

Selasa, 18 November 2025

KEDUDUKAN HUKUM PENGGUGAT INTERVENSI (TUSSENKOMST) DALAM HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA

https://artikel.mah.my.id/2025/11/kedudukan-hukum-penggugat-intervensi.html
 

Abstrak

Intervensi atau tussenkomst merupakan salah satu lembaga hukum acara perdata yang memberikan kesempatan kepada pihak ketiga untuk ikut serta dalam suatu perkara yang sedang berjalan di pengadilan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan hukum penggugat intervensi dalam sistem hukum acara perdata Indonesia, termasuk jenis-jenis intervensi, syarat-syarat, hak dan kewajiban, serta implikasinya terhadap proses peradilan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggugat intervensi memiliki kedudukan hukum yang sah sebagai pihak dalam perkara, dengan pembedaan antara intervensi accessoir (memihak) dan principaal (mandiri). Kedudukan ini memberikan hak prosesual yang berbeda tergantung jenis intervensinya, namun tetap harus memenuhi syarat kepentingan hukum langsung terhadap objek sengketa.

Kata Kunci: Intervensi, Tussenkomst, Hukum Acara Perdata, Voeging, Vrijwaring


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum acara perdata Indonesia mengenal berbagai lembaga hukum yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan bagi para pencari keadilan. Salah satu lembaga yang penting namun seringkali kurang mendapat perhatian adalah lembaga intervensi atau tussenkomst. Intervensi memungkinkan pihak ketiga yang memiliki kepentingan hukum untuk ikut serta dalam suatu perkara perdata yang sedang berjalan di pengadilan.

Dalam praktik peradilan, seringkali terjadi situasi di mana putusan pengadilan terhadap suatu perkara dapat mempengaruhi kepentingan pihak lain yang tidak terlibat langsung dalam perkara tersebut. Untuk melindungi kepentingan hukum pihak ketiga dan mencegah putusan yang saling bertentangan, maka lembaga intervensi menjadi relevan dan penting untuk dikaji secara mendalam.

Permasalahan muncul ketika belum ada keseragaman pemahaman mengenai kedudukan hukum penggugat intervensi, terutama terkait dengan hak dan kewajibannya dalam proses peradilan, serta perbedaan antara berbagai jenis intervensi yang dikenal dalam sistem hukum acara perdata.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

  1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai intervensi dalam sistem hukum acara perdata Indonesia?
  2. Bagaimana kedudukan hukum penggugat intervensi dalam perkara perdata?
  3. Apa saja jenis-jenis intervensi dan bagaimana implikasinya terhadap hak dan kewajiban penggugat intervensi?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

  1. Menganalisis pengaturan hukum mengenai intervensi dalam sistem hukum acara perdata Indonesia
  2. Menjelaskan kedudukan hukum penggugat intervensi dalam perkara perdata
  3. Mengidentifikasi jenis-jenis intervensi dan implikasinya terhadap hak dan kewajiban penggugat intervensi

D. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (legal research) dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder berupa literatur dan jurnal hukum, serta bahan hukum tersier berupa kamus hukum. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, dan analisis data menggunakan metode kualitatif dengan pola berpikir deduktif.


II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Hukum Acara Perdata

Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara menjaga berlakunya hukum perdata materiil. Hukum acara perdata mengatur proses penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan, mulai dari pengajuan gugatan hingga eksekusi putusan.

Dalam sistem hukum acara perdata Indonesia, yang bersumber dari Herziene Indonesisch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura serta Rechtsreglement Buitengewesten (RBg) untuk luar Jawa dan Madura, terdapat berbagai asas penting seperti asas sederhana, cepat, dan biaya ringan, asas hakim aktif, serta asas audi et alteram partem (mendengar kedua belah pihak).

B. Pihak dalam Perkara Perdata

Pihak dalam perkara perdata pada prinsipnya adalah penggugat dan tergugat. Penggugat adalah pihak yang merasa haknya dilanggar dan mengajukan gugatan ke pengadilan, sedangkan tergugat adalah pihak yang digugat karena dianggap melanggar hak penggugat.

Namun dalam perkembangannya, hukum acara perdata juga mengenal kemungkinan adanya pihak lain dalam suatu perkara, seperti:

  • Turut tergugat
  • Turut penggugat
  • Pihak intervensi
  • Kuasa hukum

C. Kepentingan Hukum (Legal Standing)

Kepentingan hukum merupakan syarat fundamental dalam hukum acara perdata. Seseorang baru dapat mengajukan gugatan atau ikut dalam suatu perkara jika ia memiliki kepentingan hukum (legal standing). Kepentingan hukum ini harus bersifat langsung, konkret, dan aktual terhadap objek sengketa, bukan sekadar kepentingan moral atau ekonomi semata.


III. PEMBAHASAN

A. Pengaturan Hukum Intervensi dalam Sistem Hukum Acara Perdata Indonesia

1. Dasar Hukum Intervensi

Lembaga intervensi atau tussenkomst dalam hukum acara perdata Indonesia diatur dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) Pasal 279 sampai dengan Pasal 283. Meskipun HIR dan RBg tidak mengatur secara eksplisit mengenai intervensi, dalam praktik peradilan di Indonesia tetap mengakui dan menerapkan lembaga ini berdasarkan asas konkordansi dan yurisprudensi.

Pasal 279 Rv menyatakan bahwa setiap pihak ketiga yang berkepentingan dalam suatu perkara yang sedang berjalan dapat ikut serta dalam perkara tersebut, baik untuk membantu salah satu pihak maupun untuk kepentingannya sendiri.

2. Pengertian Intervensi

Intervensi adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak ketiga untuk masuk atau ikut serta dalam suatu perkara perdata yang sedang diperiksa oleh pengadilan, karena pihak ketiga tersebut mempunyai kepentingan hukum terhadap objek sengketa atau putusan yang akan dijatuhkan dalam perkara tersebut.

Sudikno Mertokusumo mendefinisikan intervensi sebagai campur tangan atau masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara yang sedang berjalan antara pihak-pihak lain, karena ia mempunyai kepentingan terhadap perkara tersebut.

3. Prinsip-Prinsip Intervensi

Beberapa prinsip yang mendasari lembaga intervensi adalah:

a. Prinsip Kepentingan Hukum: Pihak ketiga harus memiliki kepentingan hukum yang langsung terhadap objek sengketa

b. Prinsip Efisiensi Peradilan: Intervensi dimaksudkan untuk menghindari putusan yang saling bertentangan dan menghemat biaya serta waktu

c. Prinsip Perlindungan Hukum: Memberikan kesempatan kepada pihak ketiga untuk melindungi kepentingan hukumnya

d. Prinsip Non-Prejudice: Intervensi tidak boleh merugikan pihak-pihak yang berperkara

B. Kedudukan Hukum Penggugat Intervensi dalam Perkara Perdata

1. Status Hukum Penggugat Intervensi

Penggugat intervensi memiliki kedudukan hukum sebagai pihak dalam perkara (party to the case). Kedudukan ini memberikan konsekuensi hukum bahwa penggugat intervensi:

a. Terikat dengan putusan pengadilan dalam perkara tersebut b. Memiliki hak dan kewajiban prosesual sebagaimana pihak dalam perkara c. Dapat mengajukan upaya hukum sesuai dengan jenis intervensi yang dilakukan d. Harus hadir dalam persidangan dan dapat memberikan keterangan

Kedudukan sebagai pihak dalam perkara membedakan penggugat intervensi dengan saksi atau pihak lain yang hanya memberikan keterangan namun tidak terikat dengan putusan.

2. Syarat-Syarat Intervensi

Untuk dapat diterima sebagai penggugat intervensi, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Syarat Materiil:

  • Memiliki kepentingan hukum langsung terhadap objek sengketa
  • Kepentingan tersebut bersifat konkret dan aktual
  • Ada hubungan hukum dengan salah satu pihak atau objek sengketa
  • Tidak merugikan pihak-pihak yang berperkara

b. Syarat Formil:

  • Perkara masih dalam proses pemeriksaan (belum berkekuatan hukum tetap)
  • Diajukan melalui gugatan intervensi tertulis
  • Memuat alasan dan dasar kepentingan hukum yang jelas
  • Diajukan pada tingkat pemeriksaan yang sesuai (pengadilan negeri, tinggi, atau kasasi)

3. Prosedur Pengajuan Intervensi

Prosedur pengajuan intervensi adalah sebagai berikut:

a. Pihak ketiga mengajukan permohonan intervensi secara tertulis kepada majelis hakim yang memeriksa perkara

b. Dalam permohonan harus dijelaskan:

  • Identitas pemohon intervensi
  • Perkara yang akan diintervensi
  • Alasan dan dasar hukum intervensi
  • Kepentingan hukum yang dimiliki
  • Petitum atau tuntutan (dalam voeging principaal)

c. Majelis hakim akan mempertimbangkan terlebih dahulu apakah intervensi dapat diterima (ontvankelijk)

d. Jika diterima, pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan melibatkan pihak intervensi

e. Jika ditolak, perkara dilanjutkan tanpa melibatkan pihak ketiga tersebut

C. Jenis-Jenis Intervensi dan Implikasinya terhadap Hak dan Kewajiban

1. Voeging (Intervensi Sukarela)

Voeging adalah bentuk intervensi di mana pihak ketiga atas kehendak sendiri (sukarela) masuk dalam suatu perkara yang sedang berjalan karena merasa memiliki kepentingan hukum. Voeging terbagi menjadi dua jenis:

a. Voeging Accessoir (Intervensi Memihak)

Pengertian dan Karakteristik:

Voeging accessoir adalah intervensi di mana pihak ketiga masuk dalam perkara untuk membantu atau mendukung salah satu pihak yang berperkara (penggugat atau tergugat). Pihak intervensi dalam hal ini tidak mengajukan tuntutan sendiri yang berdiri sendiri, melainkan semata-mata untuk memperkuat posisi pihak yang didukungnya.

Karakteristik voeging accessoir:

  • Bersifat accessoir atau tambahan
  • Tidak dapat mengajukan tuntutan yang bertentangan dengan pihak yang didukung
  • Nasibnya mengikuti pihak yang didukung (accessorium sequitur principale)
  • Kedudukan subordinat terhadap pihak principal

Hak-Hak dalam Voeging Accessoir:

Pihak intervensi accessoir memiliki hak-hak sebagai berikut:

  • Memberikan keterangan dan penjelasan untuk menguatkan posisi pihak yang didukung
  • Mengajukan bukti-bukti yang mendukung
  • Mengajukan saksi yang relevan
  • Memberikan kesimpulan atau tanggapan
  • Hadir dalam persidangan
  • Mengetahui perkembangan perkara

Kewajiban dalam Voeging Accessoir:

  • Mengikuti sikap dan strategi hukum pihak yang didukung
  • Tidak mengajukan tuntutan yang berbeda atau bertentangan
  • Tunduk pada putusan yang dijatuhkan
  • Membayar biaya perkara sesuai ketentuan
  • Tidak memperlambat proses pemeriksaan

Implikasi Putusan:

Putusan terhadap pihak yang didukung secara otomatis berlaku juga bagi pihak intervensi accessoir. Jika pihak yang didukung kalah, maka pihak intervensi juga dianggap kalah. Upaya hukum (banding, kasasi) hanya dapat dilakukan jika pihak principal juga mengajukannya.

b. Voeging Principaal (Intervensi Mandiri)

Pengertian dan Karakteristik:

Voeging principaal adalah intervensi di mana pihak ketiga masuk dalam perkara dengan kepentingan hukum sendiri yang berdiri sendiri (mandiri/independen). Pihak intervensi dalam hal ini mengajukan tuntutan atau gugatan tersendiri yang dapat berbeda dengan tuntutan penggugat atau pembelaan tergugat.

Karakteristik voeging principaal:

  • Bersifat mandiri dan independen
  • Memiliki tuntutan hukum sendiri
  • Kedudukan setara dengan pihak asli
  • Dapat memiliki kepentingan yang berbeda
  • Putusan dapat berbeda dengan pihak asli

Hak-Hak dalam Voeging Principaal:

Pihak intervensi principaal memiliki hak-hak penuh sebagai pihak dalam perkara:

  • Mengajukan gugatan/tuntutan sendiri
  • Mengajukan dan memeriksa bukti-bukti secara mandiri
  • Mengajukan saksi dan ahli
  • Memberikan replik dan duplik
  • Mengajukan kesimpulan
  • Mengajukan upaya hukum (verzet, banding, kasasi) secara mandiri
  • Mendapatkan putusan tersendiri
  • Mengajukan permohonan eksekusi

Kewajiban dalam Voeging Principaal:

  • Mengajukan gugatan intervensi yang lengkap dan jelas
  • Membuktikan kepentingan hukumnya
  • Menghadiri persidangan
  • Membayar biaya perkara sendiri
  • Tunduk pada hukum acara yang berlaku
  • Tidak menyalahgunakan hak prosesual

Implikasi Putusan:

Putusan terhadap pihak intervensi principaal bersifat mandiri dan dapat berbeda dengan putusan terhadap pihak asli. Misalnya, dalam sengketa tanah, penggugat asli dapat kalah tetapi pihak intervensi principaal dapat menang jika dapat membuktikan kepemilikannya. Upaya hukum dapat dilakukan secara independen tanpa tergantung pihak lain.

2. Vrijwaring (Intervensi Paksa)

Pengertian dan Karakteristik:

Vrijwaring adalah bentuk intervensi di mana salah satu pihak dalam perkara (penggugat atau tergugat) memanggil pihak ketiga untuk turut serta dalam perkara tersebut. Pihak ketiga dalam hal ini tidak masuk secara sukarela, melainkan dipaksa masuk oleh salah satu pihak yang berperkara.

Vrijwaring biasanya terjadi dalam kasus-kasus:

  • Hubungan hukum berantai (misalnya jual beli berantai)
  • Penjaminan atau penanggungan
  • Kuasa atau perwakilan
  • Hubungan kerja atau kontrak

Karakteristik vrijwaring:

  • Bersifat paksa (tidak sukarela)
  • Pihak ketiga dipanggil oleh pihak dalam perkara
  • Biasanya ada hubungan hukum beruntun
  • Bertujuan untuk melimpahkan tanggung jawab
  • Dapat berjenjang (vrijwaring bertingkat)

Contoh Kasus Vrijwaring:

A menggugat B atas sengketa tanah. B merasa bahwa tanah tersebut dibeli dari C yang menjamin keabsahan kepemilikan. B kemudian memanggil C untuk turut serta dalam perkara (vrijwaring). Jika B kalah, B dapat menuntut ganti rugi dari C.

Hak-Hak dalam Vrijwaring:

Pihak yang dipanggil dalam vrijwaring memiliki hak:

  • Membela diri terhadap tuntutan
  • Mengajukan bukti-bukti
  • Mengajukan bantahan dan pembelaan
  • Mengajukan upaya hukum
  • Mendapat putusan tersendiri mengenai tanggung jawabnya

Kewajiban dalam Vrijwaring:

  • Memenuhi panggilan pengadilan
  • Memberikan keterangan yang diminta
  • Mempertanggungjawabkan hubungan hukumnya dengan pihak yang memanggil
  • Tunduk pada putusan
  • Melaksanakan kewajiban jika dinyatakan bertanggung jawab

Implikasi Putusan:

Putusan dalam vrijwaring dapat bersifat berlapis. Hakim akan memutus:

  1. Perkara pokok antara penggugat asli dan tergugat asli
  2. Tanggung jawab pihak yang dipanggil (tergugat vrijwaring) terhadap tergugat asli

Jika tergugat asli kalah dan harus membayar ganti rugi kepada penggugat, kemudian tergugat vrijwaring juga dinyatakan bertanggung jawab, maka tergugat vrijwaring harus mengganti kerugian tergugat asli.

3. Perbandingan Jenis-Jenis Intervensi

AspekVoeging AccessoirVoeging PrincipaalVrijwaring
InisiatifPihak ketiga sendiriPihak ketiga sendiriPihak dalam perkara
SifatSukarela, memihakSukarela, mandiriPaksa
TuntutanTidak ada tuntutan sendiriAda tuntutan mandiriTergantung posisi
KedudukanAccessoir/pembantuPrincipaal/setaraTergugat/turut tergugat
PutusanMengikuti pihak yang didukungMandiri/terpisahMandiri tentang tanggung jawab
Upaya HukumTergantung pihak principalMandiriMandiri
TujuanMembantu pihak tertentuMelindungi kepentingan sendiriMelimpahkan tanggung jawab

D. Yurisprudensi dan Praktik Peradilan

1. Putusan Mahkamah Agung tentang Intervensi

Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam berbagai putusannya telah memberikan pedoman mengenai intervensi:

Putusan MA No. 492 K/Sip/1970: Menegaskan bahwa intervensi hanya dapat diterima jika pemohon memiliki kepentingan hukum langsung terhadap objek sengketa, bukan sekadar kepentingan ekonomi atau moral.

Putusan MA No. 3201 K/Pdt/1984: Menyatakan bahwa intervensi yang diajukan setelah perkara diputus pada tingkat pertama tidak dapat diterima karena tidak memenuhi syarat formil.

Putusan MA No. 1148 K/Sip/1973: Menegaskan bahwa dalam voeging principaal, pihak intervensi memiliki kedudukan yang setara dengan pihak asli dan berhak mengajukan upaya hukum secara mandiri.

2. Praktik Intervensi di Pengadilan

Dalam praktik peradilan di Indonesia, intervensi paling sering terjadi dalam:

a. Sengketa Tanah: Pihak ketiga yang mengklaim hak atas tanah yang disengketakan

b. Sengketa Waris: Ahli waris lain yang tidak diikutsertakan dalam gugatan

c. Sengketa Perdata Lainnya: Kreditor dalam perkara kepailitan, pembeli dalam sengketa jual beli, dll.

Kendala yang sering dihadapi dalam praktik:

  • Pemahaman yang belum seragam di kalangan praktisi hukum
  • Keterlambatan pengajuan intervensi
  • Kesulitan membuktikan kepentingan hukum langsung
  • Potensi penyalahgunaan untuk menunda proses peradilan

E. Analisis Kritis

1. Kelemahan Pengaturan Intervensi

Pengaturan intervensi dalam sistem hukum acara perdata Indonesia memiliki beberapa kelemahan:

a. Ketidaklengkapan Regulasi: HIR dan RBg tidak mengatur intervensi secara eksplisit, sehingga harus merujuk pada Rv yang sebenarnya bukan merupakan hukum nasional

b. Ketidakseragaman Praktik: Perbedaan pemahaman dan penerapan di berbagai tingkat pengadilan

c. Tidak Ada Batasan Waktu Jelas: Tidak ada ketentuan tegas mengenai batas waktu pengajuan intervensi

d. Potensi Penyalahgunaan: Intervensi dapat disalahgunakan untuk mengulur waktu pemeriksaan perkara

2. Perlunya Pembaruan Hukum Acara Perdata

Untuk mengatasi kelemahan tersebut, diperlukan:

a. Kodifikasi Lengkap: Memasukkan pengaturan intervensi secara komprehensif dalam RUU Hukum Acara Perdata

b. Kriteria Jelas: Menetapkan kriteria yang lebih jelas mengenai kepentingan hukum langsung

c. Batasan Waktu: Menentukan batas waktu pengajuan intervensi pada setiap tingkat peradilan

d. Sanksi: Memberikan sanksi bagi penyalahgunaan hak intervensi

e. Pedoman Teknis: Menerbitkan pedoman teknis atau SEMA untuk menyeragamkan praktik

3. Kontribusi Intervensi terhadap Keadilan

Meskipun memiliki kelemahan, lembaga intervensi memberikan kontribusi positif:

a. Perlindungan Hukum: Melindungi kepentingan pihak ketiga yang terpengaruh putusan

b. Efisiensi Peradilan: Menghindari putusan yang saling bertentangan dan mengurangi jumlah perkara

c. Akses Keadilan: Memberikan akses kepada pihak ketiga untuk membela haknya

d. Kepastian Hukum: Menyelesaikan sengketa secara komprehensif dalam satu perkara


IV. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:

  1. Pengaturan Hukum Intervensi: Intervensi diatur dalam Pasal 279-283 Rv dan diterapkan dalam praktik peradilan Indonesia meskipun HIR dan RBg tidak mengatur secara eksplisit. Lembaga ini diakui dalam yurisprudensi dan doktrin hukum sebagai bagian dari sistem hukum acara perdata Indonesia.
  2. Kedudukan Hukum Penggugat Intervensi: Penggugat intervensi memiliki kedudukan hukum sebagai pihak dalam perkara yang terikat dengan putusan pengadilan. Kedudukan ini memberikan hak dan kewajiban prosesual, dengan tingkat yang berbeda tergantung jenis intervensi yang dilakukan. Untuk dapat diterima, penggugat intervensi harus memenuhi syarat materiil (kepentingan hukum langsung) dan syarat formil (diajukan pada waktu yang tepat dengan alasan yang jelas).
  3. Jenis-Jenis Intervensi dan Implikasinya:
    • Voeging Accessoir: Memberikan hak terbatas untuk membantu pihak yang didukung, dengan nasib yang mengikuti pihak tersebut
    • Voeging Principaal: Memberikan hak penuh sebagai pihak mandiri dengan tuntutan tersendiri dan putusan yang independen
    • Vrijwaring: Melibatkan pihak ketiga secara paksa dengan tujuan melimpahkan tanggung jawab dalam hubungan hukum beruntun

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis menyarankan:

  1. Kepada Pembuat Undang-Undang:
    • Segera menyelesaikan RUU Hukum Acara Perdata yang memuat pengaturan lengkap dan jelas mengenai intervensi
    • Menetapkan kriteria objektif mengenai kepentingan hukum langsung dan batasan waktu pengajuan intervensi
    • Memasukkan sanksi bagi penyalahgunaan hak intervensi untuk mengulur waktu
  2. Kepada Mahkamah Agung:
    • Menerbitkan SEMA atau Perma yang memberikan pedoman teknis mengenai penerapan intervensi
    • Melakukan sosialisasi dan pelatihan kepada hakim mengenai berbagai jenis intervensi dan implikasinya
    • Membangun basis data yurisprudensi tentang intervensi untuk panduan praktisi hukum
  3. Kepada Praktisi Hukum:
    • Meningkatkan pemahaman mengenai lembaga intervensi dan penggunaannya secara tepat
    • Tidak menyalahgunakan intervensi sebagai sarana mengulur waktu pemeriksaan perkara
    • Menggunakan intervensi sebagai strategi hukum yang efektif untuk melindungi kepentingan klien
  4. Kepada Akademisi:
    • Melakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas intervensi dalam praktik peradilan
    • Mengembangkan konsep dan teori intervensi yang sesuai dengan konteks hukum Indonesia
    • Memasukkan materi intervensi secara komprehensif dalam kurikulum pendidikan hukum

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Mertokusumo, Sudikno. (2010). Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Harahap, M. Yahya. (2016). Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.

Soeparmono, R. (2005). Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi. Bandung: Mandar Maju.

Syahrani, Riduan. (2013). Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. (2009). Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Reglement op de Rechtsvordering (Rv), Staatsblad 1847 Nomor 52 jo. Staatsblad 1849 Nomor 63.

Herziene Indonesisch Reglement (HIR), Staatsblad 1941 Nomor 44.

Rechtsreglement Buitengewesten (RBg), Staatsblad 1927 Nomor 227.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

C. Yurisprudensi

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 492 K/Sip/1970 tentang Kepentingan Hukum dalam Intervensi.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3201 K/Pdt/1984 tentang Syarat Formil Pengajuan Intervensi.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1148 K/Sip/1973 tentang Kedudukan Intervensi Principaal.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 879 K/Sip/1972 tentang Vrijwaring dalam Perkara Perdata.

D. Jurnal dan Artikel Ilmiah

Asikin, Zainal. (2015). "Problematika Intervensi dalam Hukum Acara Perdata Indonesia". Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 45, No. 2, hlm. 215-234.

Nugroho, Susanti Adi. (2017). "Kedudukan Pihak Ketiga dalam Perkara Perdata: Analisis terhadap Lembaga Intervensi". Jurnal Yudisial, Vol. 10, No. 1, hlm. 77-96.

Hartono, Sunaryati. (2012). "Pembaruan Hukum Acara Perdata: Urgensi Pengaturan Intervensi dalam RUU HAP". Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1, No. 2, hlm. 297-315.

Rahardjo, Handri. (2018). "Voeging dan Vrijwaring: Perbandingan dalam Sistem Civil Law dan Common Law". Jurnal Hukum Acara Perdata, Vol. 4, No. 1, hlm. 45-67.

Widjaja, Gunawan. (2014). "Efektivitas Lembaga Intervensi dalam Penyelesaian Sengketa Perdata di Indonesia". Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 33, No. 3, hlm. 189-206.

E. Sumber Lain

Remy, Sjahdeini Sutan. (2016). "Intervensi dalam Perkara Perdata: Teori dan Praktik". Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Hukum Acara Perdata, Jakarta, 15 Maret 2016.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. (2019). Laporan Penelitian tentang Implementasi Intervensi dalam Praktik Peradilan. Jakarta: MA-RI.

Selasa, 17 Oktober 2023

EKSEKUSI PERDATA DAN PERMASALAHAN HUKUMNYA



Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya “Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Edisi Kedua, Cetakan Keempat, Jakarta, 2009” menyatakan bahwa Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Ringkasnya eksekusi adalah menjalankan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (res judicata / inkracht van gewijsde) yang bersifat penghukuman (condemnatoir), yang dilakukan secara paksa, jika perlu dengan bantuan kekuatan umum.

Pengaturan eksekusi terdapat dalam Bab Kesepuluh Bagian kelima HIR atau titel keempat bagian keempat RBG, yaitu pada Pasal 195 s.d. Pasal 224 HIR atau Pasal 206 s.d. 258 RBG. Namun yang masih berlaku efektif adalah Pasal 195 s.d. Pasal 208 dan Pasal 224 HIR, atau Pasal 206 s.d. 240 dan Pasal 258 RBG, sedangkan Pasal 209 s.d 223 HIR, dan Pasal 242 s.d. Pasal 257 RBG yang mengatur tentang sandera (gijzeling) tidak berlaku lagi secara efektif.

Objek eksekusi berupa eksekusi putusan perdata yang meliputi putusan berkekuatan hukum tetap, putusan provisi (terbatas mengenai tindakan sementara  tidak mengenai materi pokok perkara), putusan serta merta / yang dapat dijalankan lebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad disingkat UbV), Pasal 180 ayat (1) HIR / Pasal 191 ayat (1) RBg dan SEMA  Nomor 3 Tahun 2000 dan  SEMA Nomor 4 Tahun 2001 tentang Permasalahan Serta Merta  (uitvoerbaar bij voorraad) dan provisionil. Kemudian eksekusi atas Putusan Perdamaian (acte van dading), grosse akta notarial, eksekusi jaminan seperti gadai, hak tanggungan, fidusia, sewa beli, leasing), eksekusi Putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), juga eksekusi putusan lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa atau disebut dengan Quasi Pengadilan yaitu Putusan Arbitrase Nasional, Putusan Arbitrase Internasional atau Arbitrase asing, Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan Putusan Komisi Informasi.

Ditinjau dari jenis-jenisnya eksekusi terdiri dari putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk melakukan pembayaran sejumlah uang (pasal 196 HIR/pasal 208 RBg), Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan sesuatu perbuatan (Pasal 225 HIR/259 Rbg), eksekusi putusan terhadap perkara perdata lingkungan hidup yang berisi penghukuman melakukan pemulihan lingkungan sebagaimana tercantum (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup), Eksekusi Riil (Pasal 1033 RV, Pasal 200 ayat 11 HIR / Pasal 218 ayat (2) RBg). 

Pelaksanaan eksekusi dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri yang teknisnya  dilaksanakan oleh Panitera atau Jurusuta/Jurusita Pengganti. Eksekusi mesti dimohonkan lalu ditelaah oleh Panitera Muda atau Tim yang ditugaskan oleh Ketua Pengadilan Negeri, yang hasilnya dituangkan dalam bentuk resume. Dalam hal hasil telaah tersebut menyatakatan eksekusi dapat dilaksanakan maka ditindaklanjuti dengan pembayaran panjar. Setelah panjar dibayar kemudian ditindaklanjuti dengan peringatan (Aanmaning), yaitu Ketua Pengadilan Negeri memperingatkan termohon eksekusi untuk melaksanakan isi putusan paling lama 8 (delapan) hari, yang dicatat dalam berita acara sebagai landasan keabsahan penetapan eksekusi selanjutnya. Bagi objek eksekusi akan dilelang harga limit tanahnya ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan hasil Apraisal dari Penilai Publik.

Minggu, 28 Februari 2021

Verzet (Perlawanan) Dalam Hukum Acara Perdata

 
Pengertian Perlawanan/ Verzet

Verzet adalah suatu upaya hukum terhadap suatu putusan di luar hadirnya pihak Tergugat (disebut putusan verstek). Pasal 129 ayat (1) HIR atau Pasal 83 Rv menegaskan: Tergugat yang sedang dihukum sedang ia tidak hadir (verstek) dan tidak menerima putusan itu, dapat mengajukan perlawanan atas putusan itu. Berdasarkan ketentuan tersebut, upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan verstek adalah perlawanan (verzet). Verzet artinya perlawanan terhadap putusan verstek yang telah dijatuhkan pengadilan tingkat pertama yang diajukan  oleh tergugat yang diputus verstek tersebut, dalam waktu tertentu, yang diajukan ke Pengadilan Negeri yang memutus perkara itu juga.

Pada  asasnya  perlawanan  ini disediakan bagi pihak tergugat yang (pada umum- nya) dikalahkan. Bagi penggugat yang dikalahkan dengan putusan verstek tersedia upaya hukum banding. Jadi apabila terhadap tergugat dijatuhkan putusan verstek, dan dia keberatan atasnya, tergugat dapat mengaju- kan perlawanan (verzet), bukan upaya banding. Terhadap putusan verstek, tertutup upaya banding, oleh karena itu permohonan banding terhadapnya cacat formil, dengan demikian tidak dapat diterima.  Dalam Putusan Mahkamah  Agung  ditegaskan bahwa permohonan banding yang diajukan terhadap   putusan   verstek   tidak   dapat   diterima, karena upaya hukum terhadap verstek adalah verzet.

Perlawanan (verzet) dihubungkan dengan putusan verstek mengandung arti bahwa tergugat berupaya melawan putusan verstek atau tergugat mengajukan perla- wanan terhadap putusan verstek dengan  tujuan agar putusan itu dilakukan pemerik- saan ulang secara menyeluruh sesuai dengan proses pemeriksaan kontradiktor dengan per- mintaan agar putusan verstek dibatalkan serta sekaligus meminta agar gugatan penggugat ditolak. Dengan demikian, tujuan verzet memberi kesempatan kepada tergugat untuk membela kepentingannya atas kelalaian menghadiri persidangan diwaktu yang lalu.

 

Syarat Hukum Acara Verzet

Menurut Pasal 129 ayat (1) dan Pasal 83 Rv yang berhak mengajukan perlawanan hanya terbatas pihak tergugat saja, sedang kepada penggugat tidak diberi hak mengajukan perlawanan, dalam hal ini pihak tergugat tidak oleh pihak ketiga. Perluasan atas hak yang dimiliki tergugat untuk mengajukan perlawanan meliputi ahli warisnya apabila pada tenggang waktu pengajuan perlawanan tergugat meninggal dunia, dan dapat diajukan kuasa. Tergugat yang tidak hadir disebut pelawan dan penggugat yang hadir disebut terlawan.

Dalam praktik peradilan maka apabila tergugat yang diputus dengan verstek mengajukan verzet maka kedua perkara tersebut dijadikan satu dan dalam register diberi satu nomor perkara. Penggugat yang diputus verstek, bisa mengajukan banding, bila ia tidak diterima oleh karena gugatannya dinyatakan tidak dapat diterima atau ditolak. Bila penggugat yang  diputus  verstek banding, maka tergugat yang tidak  hadir, tidak bisa verzet. Tenggang waktu mengaju- kan perlawanan (verzet) adalah 14 hari  setelah diberitahukan dan  diterimanya putusan verstek oleh tergugat.  Jika  putusan itu tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri, maka perlawanan masih diterima sampai pada hari ke-8 sesudah peneguran  atau dalam hal tidak hadir sesudah dipanggil dengan patut sampai pada hari ke-14, ke-8 sesudah dijalankan surat perintah.

Kemudian ketika perkara verzet disidangkan dan tergugat dikalahkan dengan verstek lagi maka tergugat tidak dapat mengajukan banding. Dalam praktik verzet  ini harus diberitahukan atau dinyatakan dengan tegas dan bila tidak maka pernyataan verzet bersangkutan dinyatakan tidak dapat diterima.

 

Proses  Pemeriksaan Verzet

Proses pemeriksaan verzet dilakukan dengan cara sebagai berikut:

-         Perlawanan diajukan kepada Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan verstek. Agar permintaan perlawanan memenuhi syarat formil, maka:

(a)  Diajukan oleh tergugat sendiri atau kuasanya;

(b)  Disampaikan kepada Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan verstek sesuai batas tenggang waktu yang ditentukan; dan

(c)  Perlawanan ditujukan kepada putusan verstek tanpa menarik pihak lain, selain dari pada penggugat semula.

-       Perlawanan terhadap verstek, bukan perkara baru. Perlawanan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan gugatan semula maka perlawanan bukan perkara baru, akan tetapi merupakan bantahan yang ditujukan kepada ketidak- benaran dalil-dalil gugatan,  dengan alasan putusan verstek yang dijatuhkan, keliru atau tidak benar. Sedemikian eratnya kaitan perlawanan dengan gugatan semula, menyebabkan komposisi pelawan sama persis dengan tergugat asal dan terlawan adalah penggugat asal.

Perlawanan mengakibatkan putusan verstek mentah kembali. Apabila diaju- kan verzet terhadap  putusan  verstek maka dengan sendirinya putusan verstek menjadi mentah kembali yaitu ekstensinya dianggap tidak pernah ada sehingga putusan verstek tidak dapat dieksekusi. Ekstensi putusan verstek bersifat relatif dan mentah selama tenggang waktu  verzet masih belum terlampaui. Secara formil putusan verstek memang ada, tetapi secara materiil, belum memiliki kekuatan eksekutorial.

-      Pemeriksaan perlawanan dilakukan terhadap materi verzet.  Materi  verzet adalah tanggapan terhadap putusan verstek/dalil-dalil penggugat asal.Verzet hanya mempermasalahkan alasan ketidakhadiran tergugat menghadiri pengadilan. Proses pemeriksaannya dengan acara biasa.

 

Baca Juga: Eksistensi Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet) Dalam Sistem Peradilan Perdata di Indonesia


Putusan Verzet

Apabila dalam putusan penyelesaian satu perkara diterapkan acara verstek yang dibarengi dengan acara verzet terhadap putusan verstek tersebut, Pengadilan Negeri akan  menerbitkan   dua   bentuk   putusan: (a). Produk pertama, putusan verstek sesuai dengan acara verstek, yang digariskan pasal 125 ayat (1) HIR dan (b). Produk kedua, putusan verzet berdasarkan acara verzet yang diatur Pasal 129 ayat (1) HIR. Kedua putusan itu, saling berkaitan karena  sama-sama bertitik tolak dari kasus yang sama. Akan tetapi, keberadaannya masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. Secara teoritis, putusan verzet bersifat asesor terhadap putusan verstek. Artinya putusan verzet merupakan ikutan dari putusan verstek. Oleh karena itu, putusan verzet tidak  mungkin lahir, kalau putusan verstek tidak ada. Bertitik tolak dari pendekatan asesor tersebut, substansi pokok putusan verzet, tidak boleh menyimpang dari permasalahan dalil pokok gugatan yang tertuang  dalam  putusan verstek.

Pada sisi lain, ditinjau dari segi upaya hukum, verzet menurut pasal 129 ayat (1)  HIR merupakan upaya perlawanan terhadap putusan verstek. Berarti putusan verstek yang dijatuhkan pengadilan, merupakan koreksi terhadap putusan verstek. Dengan begitu, jika tergugat mengajukan verzet terhadap putusan verstek, Pengadilan Negeri harus memeriksa dan menilai apakah putusan verstek yang dijatuhkan sudah tepat atau tidak. Tepat atau tidaknya putusan verstek tersebut, dinilai dan dipertimbangkan Pengadilan Negeri dalam putusan verzet.

Bentuk Putusan Verzet, yaitu:

1.    Perlawanan (verzet) tidak dapat diterima. Pertimbangan hakim untuk menjatuhkan bentuk putusan demikian apabila teng- gang waktu mengajukan verzet yang ditentukan Pasal 129 ayat (1) HIR telah dilampaui. Dalam kasus yang seperti itu, gugur hak mengajukan verzet dengan akibat hukum tergugat dianggap mene- rima putusan verstek sekaligus tertutup hak tergugat mengajukan banding dan kasasi, dengan demikian putusan verstek memperoleh        kekuatan       hokum tetap. Bentuk putusan yang menyatakan verzet tidak dapat diterima, harus dicantumkan amar        berisi    penegasan  menguatkan putusan verstek, sehingga amarnya selengkapnya berbunyi :

-      Menyatakan pelawan sebagai pelawan

yang tidak benar atau pelawan yang salah.

-      Menyatakan perlawanan (verzet) dari pelawan tidak dapat diterima.

-      Menguatkan putusan verstek.

2.    Menolak perlawanan (verzet). Amar putusannya selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

-      Menyatakan pelawan sebagai pelawan yang tidak benar.

-      Menolak perlawanan pelawan.

-      Menguatkan putusan verstek.

3.    Mengabulkan  perlawanan  (verzet). Alasan hakim untuk mengabulkan per- lawanan tersebut  karena  Terlawan sebagai penggugat asal, tidak mampu membuktikan dalil gugatan. Sehingga amar putusan yang dijatuhkan selengkap- nya berbunyi sebagai berikut:

-      Menyatakan sebagai pelawan yang benar.

-      Mengabulkan perlawanan pelawan.

-      Membatalkan putusan verstek.

-      Menolak gugatan terlawan

 Sumber: Jurnal Uapaya Hukum Dalam Perkara Perdata

Eksistensi Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet) Dalam Sistem Peradilan Perdata di Indonesia


 

Ketentuan yang mengatur tentang perlawanan pihak ketiga (derden verzet) terdapat dalam HIR dan RBg pada pasal-pasal sebagai berikut:

1.   Pasal 195 ayat (6) HIR menyatakan bahwa :

Perlawanan (verzet) terhadap pelaksanaan putusan, juga dari pihak ketiga berdasarkan dalil tentang adanya hak miliknya atas benda-benda yang disita itu, sama halnya dengan semua sengketa tentang upaya- upaya paksaan yang diperintahkan untuk ditetapkan, diajukan kepada dan diadili oleh Pengadilan Negeri yang mempunyai untuk keseluruhannya atau sebagian daripadanya harus dilakukan di luar wilayah hukum Pengadilan Negeri yang dipimpinnya itu.

2.   Pasal 206 ayat (6) RBg menyatakan bahwa :

Perlawanan (verzet) terhadap pelaksanaan putusan, juga dari pihak ketiga berdasarkan dalil tentang adanya hak miliknya atas benda-benda yang disita itu, sama halnya dengan semua sengketa tentang upaya- upaya paksaan yang diperintahkan untuk ditetapkan, diadili oleh Pengadilan Negeri yang mempunyai wilayah hukum dalam mana       tindakan-tindakan pelaksanaan tersebut dijalankan.

 

Ketentuan tentang derden verzet diatur juga dalam Rv pada pasal-pasal sebagai berikut:

1.   Pasal 378 Rv menyatakan 

Pihak-pihak ketiga berhak melakukan perlawanan terhadap suatu putusan yang merugikan hak-hak mereka, jika mereka secara pribadi atau wakil mereka yang sah menurut hukum atau pun pihak yang mereka wakili tidak dipanggil di sidang pengadilan atau karena penggabungan perkara atau campur tangan dalam perkara pernah menjadi pihak.

2.   Pasal 379 Rv menyatakan bahwa : 

Perlawanan ini diperiksa hakim yang menjatuhkan putusan itu. Perlawanan diajukan dengan suatu pemanggilan untuk menghadap sidang terhadap semua pihak yang  telah mendapat keputusan dan peraturan umum mengenai cara berperkara berlaku dalam perlawanan ini.

Pasal 380 Rv menyatakan bahwa : Jika putusan yang demikian dijatuhkan terhadap pihak ketiga dalam suatu persidangan dan perlawanan terhadapnya dilakukan sesuai pasal yang lalu, maka hakim yang memeriksa perkara berwenang jika untuk itu ada alasan-alasan mengizinkan penundaan perkara itu sampai perkara perlawanan diputus

3.   Pasal 381 Rv menyatakan bahwa :

Hakim yang memeriksa perkara perlawanan, jika ada alasan-alasannya dapat menunda pelaksanaan putusan yang dilawan sampai saat perlawanan itu diputus.

4.   Pasal 382 Rv menyatakan bahwa :

Apabila perlawanan disahkan, maka putusan yang dilawan itu diperbaiki hanya sejauh hal merugikan hak-hak pihak ketiga itu, kecuali jika putusan yang dijatuhkan mengenai hal- hal yang tidak dapat dipecah, menghendaki pembatalan seluruhnya.  


Baca Juga: Beragam Dalil Putusan Praperadilan Penetapan Tersangka


        Bunyi pasal-pasal tersebut di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan derden verzet adalah perlawanan pihak ketiga terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan merugikan pihak ketiga. Dalam perlawanan pihak ketiga ini umumnya dalam suatu perkara tidak diikutsertakan dalam persidangan pengadilan dan tidak ada sangkut pautnya dengan para pihak yang sedang bersengketa tetapi barang-barang miliknya yang sah, baik terhadap barang-barang bergerak maupun tidak bergerak yang disita oleh pengadilan.

Adanya perlawanan pihak ketiga dalam suatu sengketa disebabkan oleh karena dalam suatu perkara yang dihadapi oleh para pihak yang sedang bersengketa tidak ada hubungannya dengan pihak ketiga dan keputusan hakim dari pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan nyata-nyata telah merugikan pihak ketiga baik secara langsung maupun tidak langsung. Umumnya kerugian pihak ketiga dalam derden verzet adalah barang-barang milik pihak ketiga baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak yang disita oleh pengadilan untuk pelunasan utang atau pemenuhan prestasi pihak yang dikalahkan dalam suatu perkara di pengadilan.

Apabila perlawanan pihak ketiga  ini disahkan dan atau dikabulkan maka pengadilan akan memperbaiki keputusan yang telah merugikan pihak ketiga tersebut hanya terhadap barang-barang yang dapat dipecah, sedangkan terhadap barang-barang yang tidak dapat dipecah umumnya pihak ketiga menghendaki adanya pembatalan putusan pengadilan secara keseluruhan. Barang-barang yang tidak dapat dipecah bisa juga berupa barang-barang bergerak maupun tidak bergerak.

Berdasarkan pada ketentuan Pasal 195 ayat (6) HIR / Pasal 206 ayat (6) RBg, maka diberi kemungkinan bagi pihak ketiga untuk mengajukan perlawanan terhadap eksekusi yang akan dijalankan sehingga perlawanan pihak ketiga (derden verzet) ini menjadi alat atau cara untuk menunda atau menangguhkan pelaksanaan putusan (eksekusi). Salah satu syarat agar perlawanan dapat dipertimbangkan sebagai alasan untuk menunda eksekusi yaitu perlawanan itu harus diajukan sebelum eksekusi dijalankan. Sebab jika eksekusi telah selesai dijalankan, maka tentunya tidak ada relevansinya untuk menunda ataupun menangguhkan eksekusi.

Menurut yurisprudensi seperti dalam Putusan MA tanggal 31 Agustus 1977 No. 697 K/Sip/1974 ditegaskan tentang formalitas pengajuan perlawanan terhadap eksekusi yaitu harus diajukan sebelum penjualan lelang dijalankan (sebelum eksekusi dijalankan). Kalau eksekusi sudah selesai dijalankan, upaya yang dapat diajukan pihak ketiga  untuk membatalkan eksekusi harus melalui gugatan. Demikian pula dalam Putusan MA No.786 K/Pdt/1988 antara lain ditegaskan bahwa derden verzet atas eksekusi berdasarkan alasan sebagai pemilik dapat dibenarkan asal diajukan sebelum eksekusi selesai. Sehubungan dengan itu, oleh karena perlawanan diajukan pada saat sita eksekusi diajukan, Pengadilan Negeri diperintahkan untuk mengangkat sita eksekusi.

 

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam derden verzet agar dapat dipertimbangkan dalam menunda eksekusi yaitu harus berdasarkan “dalil  hak  milik”.  Ketentuan Pasal 195 ayat (6) HIR secara tegas menyatakan bahwa pihak ketiga yang hendak mengajukan perlawanan terhadap eksekusi hanya didasarkan pada dalil hak milik. Dengan demikian di luar dalil hak milik,  maka perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga tidak akan diterima hakim. Dalam hal perlawanan didasarkan pada barang yang akan dieksekusi telah dijaminkan kepada pelawan, maka berdasarkan pada ketentuan Pasal 195 ayat (6), dalil seperti itu tidak relevan untuk menunda eksekusi. Akan tetapi sebaliknya, kalau dalil barang yang hendak dieksekusi telah dijaminkan kepada pelawan dihubungkan dengan asas yang melarang eksekusi dijalankan terhadap barang yang sudah dijaminkan (diagunkan) kepada pihak ketiga, maka cukup alasan untuk membenarkan perlawanan terhadap eksekusi berdasarkan dalil yang demikian. Pembenaran perlawanan eksekusi terhadap barang yang telah dijaminkan kepada pelawan oleh karena mempunyai relevansi untuk menunda eksekusi, secara kualitas termasuk dalam klasifikasi eksekusi yang noneksekutabel.

Pada hakikatnya perlawanan pihak ketiga dilakukan terhadap suatu putusan yang dijatuhkan oleh hakim dan upaya hukum ini bersifat fakultatif dalam artian tidak bersifat imperatif yang harus dijalankan oleh para  pihak. Dalam derden verzet ini, kedudukan pihak ketiga sebagai pelawan yang tidak ikut terlibat dan dilibatkan dalam suatu putusan, dan pelawan akan menarik para pihak yang terlibat dalam suatu putusan yang telah dijatuhkan dan dianggap serta dirasa telah merugikannya sebagai terlawan. Dalam mengajukan upaya hukum derden verzet tidak dibatasi jangka waktu untuk mengajukannya.

 Sumber: Jurnal Perlawanan Pihak Ketiga (Dender Verzet) Sebagai Upaya Mengangguhkan Eksekusi

 
Copyright © 2014 Artikel Law Office MAH

Powered by JoJoThemes