Abstrak
Intervensi atau tussenkomst merupakan salah satu lembaga hukum acara perdata yang memberikan kesempatan kepada pihak ketiga untuk ikut serta dalam suatu perkara yang sedang berjalan di pengadilan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan hukum penggugat intervensi dalam sistem hukum acara perdata Indonesia, termasuk jenis-jenis intervensi, syarat-syarat, hak dan kewajiban, serta implikasinya terhadap proses peradilan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggugat intervensi memiliki kedudukan hukum yang sah sebagai pihak dalam perkara, dengan pembedaan antara intervensi accessoir (memihak) dan principaal (mandiri). Kedudukan ini memberikan hak prosesual yang berbeda tergantung jenis intervensinya, namun tetap harus memenuhi syarat kepentingan hukum langsung terhadap objek sengketa.
Kata Kunci: Intervensi, Tussenkomst, Hukum Acara Perdata, Voeging, Vrijwaring
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum acara perdata Indonesia mengenal berbagai lembaga hukum yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan bagi para pencari keadilan. Salah satu lembaga yang penting namun seringkali kurang mendapat perhatian adalah lembaga intervensi atau tussenkomst. Intervensi memungkinkan pihak ketiga yang memiliki kepentingan hukum untuk ikut serta dalam suatu perkara perdata yang sedang berjalan di pengadilan.
Dalam praktik peradilan, seringkali terjadi situasi di mana putusan pengadilan terhadap suatu perkara dapat mempengaruhi kepentingan pihak lain yang tidak terlibat langsung dalam perkara tersebut. Untuk melindungi kepentingan hukum pihak ketiga dan mencegah putusan yang saling bertentangan, maka lembaga intervensi menjadi relevan dan penting untuk dikaji secara mendalam.
Permasalahan muncul ketika belum ada keseragaman pemahaman mengenai kedudukan hukum penggugat intervensi, terutama terkait dengan hak dan kewajibannya dalam proses peradilan, serta perbedaan antara berbagai jenis intervensi yang dikenal dalam sistem hukum acara perdata.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
- Bagaimana pengaturan hukum mengenai intervensi dalam sistem hukum acara perdata Indonesia?
- Bagaimana kedudukan hukum penggugat intervensi dalam perkara perdata?
- Apa saja jenis-jenis intervensi dan bagaimana implikasinya terhadap hak dan kewajiban penggugat intervensi?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
- Menganalisis pengaturan hukum mengenai intervensi dalam sistem hukum acara perdata Indonesia
- Menjelaskan kedudukan hukum penggugat intervensi dalam perkara perdata
- Mengidentifikasi jenis-jenis intervensi dan implikasinya terhadap hak dan kewajiban penggugat intervensi
D. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (legal research) dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder berupa literatur dan jurnal hukum, serta bahan hukum tersier berupa kamus hukum. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, dan analisis data menggunakan metode kualitatif dengan pola berpikir deduktif.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara menjaga berlakunya hukum perdata materiil. Hukum acara perdata mengatur proses penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan, mulai dari pengajuan gugatan hingga eksekusi putusan.
Dalam sistem hukum acara perdata Indonesia, yang bersumber dari Herziene Indonesisch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura serta Rechtsreglement Buitengewesten (RBg) untuk luar Jawa dan Madura, terdapat berbagai asas penting seperti asas sederhana, cepat, dan biaya ringan, asas hakim aktif, serta asas audi et alteram partem (mendengar kedua belah pihak).
B. Pihak dalam Perkara Perdata
Pihak dalam perkara perdata pada prinsipnya adalah penggugat dan tergugat. Penggugat adalah pihak yang merasa haknya dilanggar dan mengajukan gugatan ke pengadilan, sedangkan tergugat adalah pihak yang digugat karena dianggap melanggar hak penggugat.
Namun dalam perkembangannya, hukum acara perdata juga mengenal kemungkinan adanya pihak lain dalam suatu perkara, seperti:
- Turut tergugat
- Turut penggugat
- Pihak intervensi
- Kuasa hukum
C. Kepentingan Hukum (Legal Standing)
Kepentingan hukum merupakan syarat fundamental dalam hukum acara perdata. Seseorang baru dapat mengajukan gugatan atau ikut dalam suatu perkara jika ia memiliki kepentingan hukum (legal standing). Kepentingan hukum ini harus bersifat langsung, konkret, dan aktual terhadap objek sengketa, bukan sekadar kepentingan moral atau ekonomi semata.
III. PEMBAHASAN
A. Pengaturan Hukum Intervensi dalam Sistem Hukum Acara Perdata Indonesia
1. Dasar Hukum Intervensi
Lembaga intervensi atau tussenkomst dalam hukum acara perdata Indonesia diatur dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) Pasal 279 sampai dengan Pasal 283. Meskipun HIR dan RBg tidak mengatur secara eksplisit mengenai intervensi, dalam praktik peradilan di Indonesia tetap mengakui dan menerapkan lembaga ini berdasarkan asas konkordansi dan yurisprudensi.
Pasal 279 Rv menyatakan bahwa setiap pihak ketiga yang berkepentingan dalam suatu perkara yang sedang berjalan dapat ikut serta dalam perkara tersebut, baik untuk membantu salah satu pihak maupun untuk kepentingannya sendiri.
2. Pengertian Intervensi
Intervensi adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak ketiga untuk masuk atau ikut serta dalam suatu perkara perdata yang sedang diperiksa oleh pengadilan, karena pihak ketiga tersebut mempunyai kepentingan hukum terhadap objek sengketa atau putusan yang akan dijatuhkan dalam perkara tersebut.
Sudikno Mertokusumo mendefinisikan intervensi sebagai campur tangan atau masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara yang sedang berjalan antara pihak-pihak lain, karena ia mempunyai kepentingan terhadap perkara tersebut.
3. Prinsip-Prinsip Intervensi
Beberapa prinsip yang mendasari lembaga intervensi adalah:
a. Prinsip Kepentingan Hukum: Pihak ketiga harus memiliki kepentingan hukum yang langsung terhadap objek sengketa
b. Prinsip Efisiensi Peradilan: Intervensi dimaksudkan untuk menghindari putusan yang saling bertentangan dan menghemat biaya serta waktu
c. Prinsip Perlindungan Hukum: Memberikan kesempatan kepada pihak ketiga untuk melindungi kepentingan hukumnya
d. Prinsip Non-Prejudice: Intervensi tidak boleh merugikan pihak-pihak yang berperkara
B. Kedudukan Hukum Penggugat Intervensi dalam Perkara Perdata
1. Status Hukum Penggugat Intervensi
Penggugat intervensi memiliki kedudukan hukum sebagai pihak dalam perkara (party to the case). Kedudukan ini memberikan konsekuensi hukum bahwa penggugat intervensi:
a. Terikat dengan putusan pengadilan dalam perkara tersebut b. Memiliki hak dan kewajiban prosesual sebagaimana pihak dalam perkara c. Dapat mengajukan upaya hukum sesuai dengan jenis intervensi yang dilakukan d. Harus hadir dalam persidangan dan dapat memberikan keterangan
Kedudukan sebagai pihak dalam perkara membedakan penggugat intervensi dengan saksi atau pihak lain yang hanya memberikan keterangan namun tidak terikat dengan putusan.
2. Syarat-Syarat Intervensi
Untuk dapat diterima sebagai penggugat intervensi, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Syarat Materiil:
- Memiliki kepentingan hukum langsung terhadap objek sengketa
- Kepentingan tersebut bersifat konkret dan aktual
- Ada hubungan hukum dengan salah satu pihak atau objek sengketa
- Tidak merugikan pihak-pihak yang berperkara
b. Syarat Formil:
- Perkara masih dalam proses pemeriksaan (belum berkekuatan hukum tetap)
- Diajukan melalui gugatan intervensi tertulis
- Memuat alasan dan dasar kepentingan hukum yang jelas
- Diajukan pada tingkat pemeriksaan yang sesuai (pengadilan negeri, tinggi, atau kasasi)
3. Prosedur Pengajuan Intervensi
Prosedur pengajuan intervensi adalah sebagai berikut:
a. Pihak ketiga mengajukan permohonan intervensi secara tertulis kepada majelis hakim yang memeriksa perkara
b. Dalam permohonan harus dijelaskan:
- Identitas pemohon intervensi
- Perkara yang akan diintervensi
- Alasan dan dasar hukum intervensi
- Kepentingan hukum yang dimiliki
- Petitum atau tuntutan (dalam voeging principaal)
c. Majelis hakim akan mempertimbangkan terlebih dahulu apakah intervensi dapat diterima (ontvankelijk)
d. Jika diterima, pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan melibatkan pihak intervensi
e. Jika ditolak, perkara dilanjutkan tanpa melibatkan pihak ketiga tersebut
C. Jenis-Jenis Intervensi dan Implikasinya terhadap Hak dan Kewajiban
1. Voeging (Intervensi Sukarela)
Voeging adalah bentuk intervensi di mana pihak ketiga atas kehendak sendiri (sukarela) masuk dalam suatu perkara yang sedang berjalan karena merasa memiliki kepentingan hukum. Voeging terbagi menjadi dua jenis:
a. Voeging Accessoir (Intervensi Memihak)
Pengertian dan Karakteristik:
Voeging accessoir adalah intervensi di mana pihak ketiga masuk dalam perkara untuk membantu atau mendukung salah satu pihak yang berperkara (penggugat atau tergugat). Pihak intervensi dalam hal ini tidak mengajukan tuntutan sendiri yang berdiri sendiri, melainkan semata-mata untuk memperkuat posisi pihak yang didukungnya.
Karakteristik voeging accessoir:
- Bersifat accessoir atau tambahan
- Tidak dapat mengajukan tuntutan yang bertentangan dengan pihak yang didukung
- Nasibnya mengikuti pihak yang didukung (accessorium sequitur principale)
- Kedudukan subordinat terhadap pihak principal
Hak-Hak dalam Voeging Accessoir:
Pihak intervensi accessoir memiliki hak-hak sebagai berikut:
- Memberikan keterangan dan penjelasan untuk menguatkan posisi pihak yang didukung
- Mengajukan bukti-bukti yang mendukung
- Mengajukan saksi yang relevan
- Memberikan kesimpulan atau tanggapan
- Hadir dalam persidangan
- Mengetahui perkembangan perkara
Kewajiban dalam Voeging Accessoir:
- Mengikuti sikap dan strategi hukum pihak yang didukung
- Tidak mengajukan tuntutan yang berbeda atau bertentangan
- Tunduk pada putusan yang dijatuhkan
- Membayar biaya perkara sesuai ketentuan
- Tidak memperlambat proses pemeriksaan
Implikasi Putusan:
Putusan terhadap pihak yang didukung secara otomatis berlaku juga bagi pihak intervensi accessoir. Jika pihak yang didukung kalah, maka pihak intervensi juga dianggap kalah. Upaya hukum (banding, kasasi) hanya dapat dilakukan jika pihak principal juga mengajukannya.
b. Voeging Principaal (Intervensi Mandiri)
Pengertian dan Karakteristik:
Voeging principaal adalah intervensi di mana pihak ketiga masuk dalam perkara dengan kepentingan hukum sendiri yang berdiri sendiri (mandiri/independen). Pihak intervensi dalam hal ini mengajukan tuntutan atau gugatan tersendiri yang dapat berbeda dengan tuntutan penggugat atau pembelaan tergugat.
Karakteristik voeging principaal:
- Bersifat mandiri dan independen
- Memiliki tuntutan hukum sendiri
- Kedudukan setara dengan pihak asli
- Dapat memiliki kepentingan yang berbeda
- Putusan dapat berbeda dengan pihak asli
Hak-Hak dalam Voeging Principaal:
Pihak intervensi principaal memiliki hak-hak penuh sebagai pihak dalam perkara:
- Mengajukan gugatan/tuntutan sendiri
- Mengajukan dan memeriksa bukti-bukti secara mandiri
- Mengajukan saksi dan ahli
- Memberikan replik dan duplik
- Mengajukan kesimpulan
- Mengajukan upaya hukum (verzet, banding, kasasi) secara mandiri
- Mendapatkan putusan tersendiri
- Mengajukan permohonan eksekusi
Kewajiban dalam Voeging Principaal:
- Mengajukan gugatan intervensi yang lengkap dan jelas
- Membuktikan kepentingan hukumnya
- Menghadiri persidangan
- Membayar biaya perkara sendiri
- Tunduk pada hukum acara yang berlaku
- Tidak menyalahgunakan hak prosesual
Implikasi Putusan:
Putusan terhadap pihak intervensi principaal bersifat mandiri dan dapat berbeda dengan putusan terhadap pihak asli. Misalnya, dalam sengketa tanah, penggugat asli dapat kalah tetapi pihak intervensi principaal dapat menang jika dapat membuktikan kepemilikannya. Upaya hukum dapat dilakukan secara independen tanpa tergantung pihak lain.
2. Vrijwaring (Intervensi Paksa)
Pengertian dan Karakteristik:
Vrijwaring adalah bentuk intervensi di mana salah satu pihak dalam perkara (penggugat atau tergugat) memanggil pihak ketiga untuk turut serta dalam perkara tersebut. Pihak ketiga dalam hal ini tidak masuk secara sukarela, melainkan dipaksa masuk oleh salah satu pihak yang berperkara.
Vrijwaring biasanya terjadi dalam kasus-kasus:
- Hubungan hukum berantai (misalnya jual beli berantai)
- Penjaminan atau penanggungan
- Kuasa atau perwakilan
- Hubungan kerja atau kontrak
Karakteristik vrijwaring:
- Bersifat paksa (tidak sukarela)
- Pihak ketiga dipanggil oleh pihak dalam perkara
- Biasanya ada hubungan hukum beruntun
- Bertujuan untuk melimpahkan tanggung jawab
- Dapat berjenjang (vrijwaring bertingkat)
Contoh Kasus Vrijwaring:
A menggugat B atas sengketa tanah. B merasa bahwa tanah tersebut dibeli dari C yang menjamin keabsahan kepemilikan. B kemudian memanggil C untuk turut serta dalam perkara (vrijwaring). Jika B kalah, B dapat menuntut ganti rugi dari C.
Hak-Hak dalam Vrijwaring:
Pihak yang dipanggil dalam vrijwaring memiliki hak:
- Membela diri terhadap tuntutan
- Mengajukan bukti-bukti
- Mengajukan bantahan dan pembelaan
- Mengajukan upaya hukum
- Mendapat putusan tersendiri mengenai tanggung jawabnya
Kewajiban dalam Vrijwaring:
- Memenuhi panggilan pengadilan
- Memberikan keterangan yang diminta
- Mempertanggungjawabkan hubungan hukumnya dengan pihak yang memanggil
- Tunduk pada putusan
- Melaksanakan kewajiban jika dinyatakan bertanggung jawab
Implikasi Putusan:
Putusan dalam vrijwaring dapat bersifat berlapis. Hakim akan memutus:
- Perkara pokok antara penggugat asli dan tergugat asli
- Tanggung jawab pihak yang dipanggil (tergugat vrijwaring) terhadap tergugat asli
Jika tergugat asli kalah dan harus membayar ganti rugi kepada penggugat, kemudian tergugat vrijwaring juga dinyatakan bertanggung jawab, maka tergugat vrijwaring harus mengganti kerugian tergugat asli.
3. Perbandingan Jenis-Jenis Intervensi
| Aspek | Voeging Accessoir | Voeging Principaal | Vrijwaring |
|---|---|---|---|
| Inisiatif | Pihak ketiga sendiri | Pihak ketiga sendiri | Pihak dalam perkara |
| Sifat | Sukarela, memihak | Sukarela, mandiri | Paksa |
| Tuntutan | Tidak ada tuntutan sendiri | Ada tuntutan mandiri | Tergantung posisi |
| Kedudukan | Accessoir/pembantu | Principaal/setara | Tergugat/turut tergugat |
| Putusan | Mengikuti pihak yang didukung | Mandiri/terpisah | Mandiri tentang tanggung jawab |
| Upaya Hukum | Tergantung pihak principal | Mandiri | Mandiri |
| Tujuan | Membantu pihak tertentu | Melindungi kepentingan sendiri | Melimpahkan tanggung jawab |
D. Yurisprudensi dan Praktik Peradilan
1. Putusan Mahkamah Agung tentang Intervensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam berbagai putusannya telah memberikan pedoman mengenai intervensi:
Putusan MA No. 492 K/Sip/1970: Menegaskan bahwa intervensi hanya dapat diterima jika pemohon memiliki kepentingan hukum langsung terhadap objek sengketa, bukan sekadar kepentingan ekonomi atau moral.
Putusan MA No. 3201 K/Pdt/1984: Menyatakan bahwa intervensi yang diajukan setelah perkara diputus pada tingkat pertama tidak dapat diterima karena tidak memenuhi syarat formil.
Putusan MA No. 1148 K/Sip/1973: Menegaskan bahwa dalam voeging principaal, pihak intervensi memiliki kedudukan yang setara dengan pihak asli dan berhak mengajukan upaya hukum secara mandiri.
2. Praktik Intervensi di Pengadilan
Dalam praktik peradilan di Indonesia, intervensi paling sering terjadi dalam:
a. Sengketa Tanah: Pihak ketiga yang mengklaim hak atas tanah yang disengketakan
b. Sengketa Waris: Ahli waris lain yang tidak diikutsertakan dalam gugatan
c. Sengketa Perdata Lainnya: Kreditor dalam perkara kepailitan, pembeli dalam sengketa jual beli, dll.
Kendala yang sering dihadapi dalam praktik:
- Pemahaman yang belum seragam di kalangan praktisi hukum
- Keterlambatan pengajuan intervensi
- Kesulitan membuktikan kepentingan hukum langsung
- Potensi penyalahgunaan untuk menunda proses peradilan
E. Analisis Kritis
1. Kelemahan Pengaturan Intervensi
Pengaturan intervensi dalam sistem hukum acara perdata Indonesia memiliki beberapa kelemahan:
a. Ketidaklengkapan Regulasi: HIR dan RBg tidak mengatur intervensi secara eksplisit, sehingga harus merujuk pada Rv yang sebenarnya bukan merupakan hukum nasional
b. Ketidakseragaman Praktik: Perbedaan pemahaman dan penerapan di berbagai tingkat pengadilan
c. Tidak Ada Batasan Waktu Jelas: Tidak ada ketentuan tegas mengenai batas waktu pengajuan intervensi
d. Potensi Penyalahgunaan: Intervensi dapat disalahgunakan untuk mengulur waktu pemeriksaan perkara
2. Perlunya Pembaruan Hukum Acara Perdata
Untuk mengatasi kelemahan tersebut, diperlukan:
a. Kodifikasi Lengkap: Memasukkan pengaturan intervensi secara komprehensif dalam RUU Hukum Acara Perdata
b. Kriteria Jelas: Menetapkan kriteria yang lebih jelas mengenai kepentingan hukum langsung
c. Batasan Waktu: Menentukan batas waktu pengajuan intervensi pada setiap tingkat peradilan
d. Sanksi: Memberikan sanksi bagi penyalahgunaan hak intervensi
e. Pedoman Teknis: Menerbitkan pedoman teknis atau SEMA untuk menyeragamkan praktik
3. Kontribusi Intervensi terhadap Keadilan
Meskipun memiliki kelemahan, lembaga intervensi memberikan kontribusi positif:
a. Perlindungan Hukum: Melindungi kepentingan pihak ketiga yang terpengaruh putusan
b. Efisiensi Peradilan: Menghindari putusan yang saling bertentangan dan mengurangi jumlah perkara
c. Akses Keadilan: Memberikan akses kepada pihak ketiga untuk membela haknya
d. Kepastian Hukum: Menyelesaikan sengketa secara komprehensif dalam satu perkara
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
- Pengaturan Hukum Intervensi: Intervensi diatur dalam Pasal 279-283 Rv dan diterapkan dalam praktik peradilan Indonesia meskipun HIR dan RBg tidak mengatur secara eksplisit. Lembaga ini diakui dalam yurisprudensi dan doktrin hukum sebagai bagian dari sistem hukum acara perdata Indonesia.
- Kedudukan Hukum Penggugat Intervensi: Penggugat intervensi memiliki kedudukan hukum sebagai pihak dalam perkara yang terikat dengan putusan pengadilan. Kedudukan ini memberikan hak dan kewajiban prosesual, dengan tingkat yang berbeda tergantung jenis intervensi yang dilakukan. Untuk dapat diterima, penggugat intervensi harus memenuhi syarat materiil (kepentingan hukum langsung) dan syarat formil (diajukan pada waktu yang tepat dengan alasan yang jelas).
- Jenis-Jenis Intervensi dan Implikasinya:
- Voeging Accessoir: Memberikan hak terbatas untuk membantu pihak yang didukung, dengan nasib yang mengikuti pihak tersebut
- Voeging Principaal: Memberikan hak penuh sebagai pihak mandiri dengan tuntutan tersendiri dan putusan yang independen
- Vrijwaring: Melibatkan pihak ketiga secara paksa dengan tujuan melimpahkan tanggung jawab dalam hubungan hukum beruntun
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis menyarankan:
- Kepada Pembuat Undang-Undang:
- Segera menyelesaikan RUU Hukum Acara Perdata yang memuat pengaturan lengkap dan jelas mengenai intervensi
- Menetapkan kriteria objektif mengenai kepentingan hukum langsung dan batasan waktu pengajuan intervensi
- Memasukkan sanksi bagi penyalahgunaan hak intervensi untuk mengulur waktu
- Kepada Mahkamah Agung:
- Menerbitkan SEMA atau Perma yang memberikan pedoman teknis mengenai penerapan intervensi
- Melakukan sosialisasi dan pelatihan kepada hakim mengenai berbagai jenis intervensi dan implikasinya
- Membangun basis data yurisprudensi tentang intervensi untuk panduan praktisi hukum
- Kepada Praktisi Hukum:
- Meningkatkan pemahaman mengenai lembaga intervensi dan penggunaannya secara tepat
- Tidak menyalahgunakan intervensi sebagai sarana mengulur waktu pemeriksaan perkara
- Menggunakan intervensi sebagai strategi hukum yang efektif untuk melindungi kepentingan klien
- Kepada Akademisi:
- Melakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas intervensi dalam praktik peradilan
- Mengembangkan konsep dan teori intervensi yang sesuai dengan konteks hukum Indonesia
- Memasukkan materi intervensi secara komprehensif dalam kurikulum pendidikan hukum
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Mertokusumo, Sudikno. (2010). Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Harahap, M. Yahya. (2016). Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.
Soeparmono, R. (2005). Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi. Bandung: Mandar Maju.
Syahrani, Riduan. (2013). Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. (2009). Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Reglement op de Rechtsvordering (Rv), Staatsblad 1847 Nomor 52 jo. Staatsblad 1849 Nomor 63.
Herziene Indonesisch Reglement (HIR), Staatsblad 1941 Nomor 44.
Rechtsreglement Buitengewesten (RBg), Staatsblad 1927 Nomor 227.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
C. Yurisprudensi
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 492 K/Sip/1970 tentang Kepentingan Hukum dalam Intervensi.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3201 K/Pdt/1984 tentang Syarat Formil Pengajuan Intervensi.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1148 K/Sip/1973 tentang Kedudukan Intervensi Principaal.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 879 K/Sip/1972 tentang Vrijwaring dalam Perkara Perdata.
D. Jurnal dan Artikel Ilmiah
Asikin, Zainal. (2015). "Problematika Intervensi dalam Hukum Acara Perdata Indonesia". Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 45, No. 2, hlm. 215-234.
Nugroho, Susanti Adi. (2017). "Kedudukan Pihak Ketiga dalam Perkara Perdata: Analisis terhadap Lembaga Intervensi". Jurnal Yudisial, Vol. 10, No. 1, hlm. 77-96.
Hartono, Sunaryati. (2012). "Pembaruan Hukum Acara Perdata: Urgensi Pengaturan Intervensi dalam RUU HAP". Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1, No. 2, hlm. 297-315.
Rahardjo, Handri. (2018). "Voeging dan Vrijwaring: Perbandingan dalam Sistem Civil Law dan Common Law". Jurnal Hukum Acara Perdata, Vol. 4, No. 1, hlm. 45-67.
Widjaja, Gunawan. (2014). "Efektivitas Lembaga Intervensi dalam Penyelesaian Sengketa Perdata di Indonesia". Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 33, No. 3, hlm. 189-206.
E. Sumber Lain
Remy, Sjahdeini Sutan. (2016). "Intervensi dalam Perkara Perdata: Teori dan Praktik". Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Hukum Acara Perdata, Jakarta, 15 Maret 2016.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. (2019). Laporan Penelitian tentang Implementasi Intervensi dalam Praktik Peradilan. Jakarta: MA-RI.



