PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Telah kita maklumi, bahwa pada saat berdirinya Negara hukum RI, hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia
waktu itu adalah hukum acara warisan Pemerintah kolonial Belanda, lazim
disebut "Het Herziene In-landsch Reglement atau HIR (Staatsblad tahun
1941 Nomor:44) .
Namun
seiring perkembangan zaman maka dalam praktek dirasakan bahwa
ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang diatur dalam HIR itu kurang
menghargai hak-hak asasi manusia khususnya terhadap tersangka dalam
kasus pidana, lalu kemudian atas inisiatip Pemerintah dan DPR(waktu-itu)
diambil langkah melakukan pembaharuan hukum acara pidana dengan
mencabut HIR dan menggantinya dengan Undang-Undang hukum acara pidana
yang baru yang ketentuannya lebih menjamin perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia, tersangka atau terdakwa.
Maka
lahirlah Undang-Undang hukum acara pidana yang baru dan mulai berlaku
sejak tanggal 31 Desember 1981 yang disebut Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana disingkat KUHAP berdasarkan Undang-Undang No. 8 tahun 1981.
Keberadaan KUHAP pada hakekatnya bertujuan untuk:
1. Mencari
dan mendapatkan kebenaran materiil ialah kebenaran dari suatu perkara
pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan
tepat.
2. Mencari pelaku dari suatu tindak pidana serta menjatuhkan hukuman/ pidana terhadapnya apabila benar terbukti bersalah.
3. Menjaga
agar mereka yang tidak bersalah tidak dijatuhi hukuman/pidana walaupun
orang tersebut telah didakwa melakukan suatu tindak-pidana atau
perbuatan pidana.
Untuk
mencapai tujuan tersebut, dalam KUHAP dicantumkan sejumlah peraturan
yang mampu menjaga batas atau rambu-rambu antara pelaksanaan "upaya
paksa" yakni penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledah¬an baik
barang maupun orang/badan, pembukaan surat-surat dll, dengan "hak asasi
manusia/tersangka", yang didakwa melakukan suatu tindak pidana, sehingga
dapat mencerminkan bahwa KUHAP adalah masih dalam ruang lingkup suatu
negara hukum.
Untuk
menjamin agar KUHAP dapat dilaksanakan dengan baik sebagaimana yang
dicita-citakan, maka dalam KUHAP diatur lembaga baru dengan nama
PRAPERADILAN. Praperadilan memberi wewenang tambahan kepada Pengadilan
Negeri untuk melakukan pemeriksaan terhadap kasus-kasus pidana yang
berkaitan dengan penggunaan "upaya paksa" seperti penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan dll, yang dilakukan oleh Penyidik
dan atau Penuntut umum.
Masyarakat awam
hukum khususnya tersangka kasus pidana, belum tentu-sudah mengetahui
adanya lembaga hukum baru seiring berlakunya KUHAP yang bertujuan untuk
melindungi hak-hak asasinya sebagai manusia/tersangka dari tindakan
"upaya paksa" yang lazim dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut umum
berupa penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan dll,
Kondisi yang demikian mendorong Penulis untuk menyajikan sebuah makalah yang berjudul: "PRAPERADILAN DAN ANEKA PERSOALANNYA",
sehingga kelak diharapkan harus berani angkat bicara berdasarkan hukum
demi mempertahankan hak-hak asasinya sebagai manusia yang berharkat dan
bermartabat melalui lembaga praperadilan yang sesungguhnya telah diatur
dalam KUHAP sejak kelahirannya pada tanggal 31 Desember 1981 yang silam.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah makalah ini adalah :
1. Pengadilan manakah yang berwenang atas permasalahan praperadilan ?
2. Apa sajakah yang menjadi ruang lingkup praperadilan ?
3. Bagaimanakah putusan hakim dalam acara praperadilan ?
PEMBAHASAN
A. Hukum Acara Pidana
Menurut Teori, Hukum Acara Pidana mengatur cara-cara bagaimana negara menggunakan haknya untuk melakukan penghukuman dalam perkara-perkara yang terjadi. Hukum acara pidana merupakan suatu sistem kaidah atau norma yang diberlakukan oleh negara, dalam hal ini oleh kekuasan kehakiman, untuk melaksanakan hukum pidana. Dengan lain perkataan, fungsi hukum acara pidana menyangkut penetapan Hakim tentang apakah telah terjadi suatu tindak pidana, apakah seseorang tertentu dapat dipersalahkan telah melakukannya, dan tentang penjatuhan hukuman tertentu, dan juga peraturan-peraturan tentang pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan..
Hukum acara pidana menjadi sangat penting karena apabila tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya seperti yang terdapat dalam KUHAP, akan berakibat fatal bahkan mungkin juga mengakibatkan lolosnya pelaku tindak pidana dan jerat hukum, atau bahkan mungkin melahirkan gugatan hukum yang diarahkan kepada badan-badan penegak hukum.
[baca juga: Penahanan Tidak Sah Berdasarkan KUHAP]
B. Pengetian Praperadilan
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila ditegaskan bahwa Negara Indonesia
berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka.
Berkaitan dengan praperadilan telah diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam Pasal 1 butir 10 dan Bab X, bagian
kesatu dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP dan Pasal 95 sampai
dengan Pasal 97ayat (3) KUHAP.
Di
dalam pedoman pelaksanaan KUHAP, Keputusan Menteri Kehakiman RI No.
M.01.PW.07.03, tahun 1982 dinyatakan bahwa penegakan hukum merupakan
salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman
dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun merupakan
pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum,
dengan kata lain baik secara preventif maupun represif. Sedangkan tujuan
dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau
setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan tujuan untuk
mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum dan selanjutnya memintakan pemeriksaan dan putusan
dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak
pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat
dipersalahkan.
Menurut pasal 1 huruf 10 KUHAP, praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam UU ini, tentang :
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan pengadilan.
3. Permintaan
ganti kerugian atau rehabiltasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
a. Ganti
kerugian adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas
tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan,
dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara
yang diatur dalam UU ini (pasal 1 angka 22 KUHAP).
b. Rehabilitasi
adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan,
kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat
penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan,
dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara
yang diatur dalam UU ini (pasal 1 angka 23 KUHAP).
Dengan
demikian, persoalan praperadilan telah menjadi wewenang Pengadilan
Negeri seperti kewenangan yang lainnya dalam memeriksa dan memutuskan
perkara pidana dan perdata.
C. Dasar Hukum
Dasar hukum praperadilan adalah pasal 77- 83 KUHAP. Yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 77
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Pasal 78
(1) Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 adalah praperadilan.
(2) Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.
Pasal 79
Permintaan
pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan
diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan
negeri dengan menyebutkan alasannya.
Pasal 80
Permintaan
untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau
penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak
ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya.
Pasal 81
Permintaan
ganti kerugian dan atau rehabiitasi akibat tidak sahnya penangkapan
atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan
diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada
ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.
Pasal 82
(1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut:
a. dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang;
b. dalam
memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau
penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan;
permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya
penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat
pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dan tersangka atau pemohon
maupun dan pejabat yang berwenang;
c. perneriksaan tersebut dilakukan cara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya;
d. dalam
hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri
sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum
selesai, maka permintaan tersebut gugur;
e. putusan
praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk
mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh
penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.
(2) Putusan
hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81, harus memuat dengan
jelas dasar dan alasannya.
(3) Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga memuat hal sebagai berikut :
a. dalam
hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak
sah; maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan
masing-masing harus segera membebaskan tersangka;
b. dalam
hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau
penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka
wajib dilanjutkan;
c. dalam
hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak
sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan
rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian
penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan,
maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;
d. dalam
hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk
alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut
harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu
disita.
(4) Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Pasal 95.
Pasal 83
(1) Terhadap
putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79,
Pasal 80, dan Pasal 81 tidal dapat dimintakan banding.
(2) Dikecualikan
dan ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan
tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat
dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang
bersangkutan.
D. Ruang Lingkup
Selanjutnya menurut KUHAP yang termasuk dan menjadi lingkup praperadilan meliputi perkara :
1. Sah atau tidaknya penangkapan.
2. Sah atau tidaknya penahanan.
3. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan.
4. Sah atau tidaknya penghentian penuntutan.
5. Ganti rugi dan rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan.
6. Ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penuntutan.
7. Rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan.
8. Rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penuntutan.
Adapun alasan-alasan sahnya untuk penghentian penyidikan dapat disebutkan antara lain :
1. Tidak
terdapat cukup bukti, dalam arti tidak dapat ditemukan alat-alat bukti
sah yang cukup. Artinya alat-alat bukti seperti yang dimaksud dalam
Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk, dan keterangan terdakwa, tidak terpenuhi ataupun alat-alat
bukti minimum dari tindak pidana tersebut tidak dapat dijumpai,
diketemukan dan tidak tercapai.
2. Peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, artinya bahwa dimana
penyidik berpendapat, peristiwa yang semula dianggap sebagai tindak
pidana namun kemudian secara nyata bahwa peristiwa itu bukanlah suatu
tindak pidana, maka penyidik kemudian menghentikan penyidikan atas
peristiwa tersebut.
3. Penyidikan
dihentikan demi hukum karena berdasarkan undang-undang memang tidak
dapat dilanjutkan peristiwa hukum tersebut, misalnya dalam hal ini
antara lain tersangka meninggal dunia, terdakwa sakit jiwa, peristiwa
tersebut telah diputus dan memiliki kekuatan hukum tetap, peristiwa
hukum tersebut telah kadaluasa.
Sedangkan
berkaitan dengan subjek hukum praperadilan adalah setiap orang yang
dirugikan. Untuk sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak
ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya yaitu untuk menegakkan hukum, keadilan dan
kebenaran melalui sarana pengawasan secara horisontal.
Yang
berhak mengajukan upaya pra peradilan untuk memeriksa sah tidaknya
upaya paksa, tuntutan ganti kerugian, dna permintaan rehabilitasi adalah
:
1. Tersangka atau
2. Keluarga tersnagka atau
3. Ahli waris tersangka atau
4. Kuasa hukum tersangka atau
5. Pihak ketiga yang berkepentingan
Yang berhak mengajukan upaya gugatan pra peradilan untuk sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan adalah
1. Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan
Yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan adalah
a. Saksi korban tindak pidana atau
b. Pelapor atau
c. Organisasi
non pemerintah (ornop/lsm), ini dimaksudkan untuk memberi hak kepada
kepentingan umum terkait tindak pidana korupsi, lingkungan, dll. Untuk
itu sangat layak dan proporsional untuk memberi hak kepada masyarakat
umum yang diwakili ornop.
2. Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan.
Saat proses
pemeriksaan praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh
Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh Panitera. Pemeriksaan perkara
praperadilan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.
E. Tata Cara Permohonan
Tata cara permohonan praperadilan yaitu :
- Permohonan praperadilan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan surat permohonan yang menyebut alas an-alasannya.
- dalam waktu 3 hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditujukan menetapkan hari sidang.
a. Pasal 83 ayat 2 huruf D KUHAP :
Dalam
hal suatu perkara sudah dimulai diperiksa oleh pengadilan negeri
sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum
selesai maka permintaan tersebut gugur.
b. Pasal 83 KUHAP
Terhadap
putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding, kecuali putusan
praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan, penyidik atau penuntut umum dapat meminta putusan ahkir
tahun kepada ketua pengadilan negeri.
F. Persoalan Prapidana
Persoalan
praperadilan telah menjadi bagian dari tugas dan wewenang Pengadilan
Negeri yang tidak boleh ditangani oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan lain. Hanya saja yang perlu diperhatikan, bahwa macam proses
acara praperadilan bukanlah sebagian dari tugas memeriksa dan memutuskan
(mengadili) perkara tindak pidananya itu sendiri, sehingga putusan
praperadilan bukanlah merupakan tugas dan fungsi untuk menangani suatu
tindak pidana (pokok) yang berupa memeriksa dan memutus perkara tindak
pidana yang berdiri sendiri sebagai putusan akhir.
Jika
demikian, putusan praperadilan walaupun yang mencakup sah atau tidaknya
suatu penghentian penyidikan atau penuntutan juga bukan merupakan atau
yang dapat digolongkan sebagai putusan akhir walaupun dapat dimintakan
banding. Putusan akhir mengenai hal tersebut ada pada Pengadilan Negeri.
Oleh karenanya, apapun yang diputus oleh praperadilan adalah yang khas,
spesifik, dan mempunyai karakter sendiri, sebab disini hakim hanya
mempunyai tugas dan wewenang sebagai sarana pengawasan secara horisontal
demi penegakan hukum, keadilan dan kebenaran.
Sifat dan atau fungsi praperadilan yang khas, spesifik dan karakteristik tersebut akan menjembatani pada usaha pencegahan tindakan upaya paksa sebelum seseorang diputus oleh Pengadilan, pencegahan tindakan yang merampas hak kemerdekaan setiap warga negara, pencegahan atau tindakan yang melanggar hak asasi tersangka atau terdakwa, agar segala sesuatunya berjalan atau berlangsung sesuai dengan aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai dengan aturan main.
G. Putusan Hakim dalam Acara Praperadilan
Saat
proses pemeriksaan praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang
ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh Panitera.
Pemeriksaan perkara praperadilan tersebut dilakukan secara cepat dan
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari hakim harus sudah menjatuhkan
putusannya.
Proses
pengambilan keputusan hakim dalam perkara tertentu membutuhkan
pertimbangan dan pemikiran yang matang. Pada prakteknya, suasana
psikologis hakim bisa berpengaruh. Disparitas pemidanaan
berkaitan dengan kepribadian, nilai dan sikap hakim. Yang berpengaruh
antara lain kemampuan berpikir logis, kepribadian, jenis kelamin, usia,
dan pengalaman kerja. Sayang, referensi yang mengaitkan kondisi
psikologis hakim dengan putusannya masih sedikit
Isi
putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan, selain tentang sah
atau tidaknya penangkapan (Pasal 79 KUHAP), sah atau tidaknya
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (Pasal 80 KUHAP) atau
permintaan ganti rugi akibat kesalahan penerapan hukum (Pasal 81
KUHAP), putusan hakim juga memuat hakim juga hal-hal sebagai berikut :
- Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka.
- Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan.
- Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang dibutuhkan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasi.
- Dalam hal putusan menetapkan, bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.
Terhadap putusan praperadilan dalam hal sah tidaknya penangkapan atau penahan (Pasal 79 KUHAP), sah atau tidaknya penyidikan atau penuntutan (Pasal 80 KUHAP), dan ganti kerugian dan atau rehabilitasi (Pasal 81 KUHAP), tidak dapat dimintakan banding terkecuali untuk putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.
H. CONTOH KASUS
(Praperadilan Al-Amin)
Hakim berpendapat tertangkap tangan adalah kondisi istimewa sehingga tidak diperlukan adanya surat perintah penangkapan.
Upaya Tim Pembela Al-Amin Nur Nasution mempersoalkan prosedur penangkapan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) melalui jalur praperadilan berakhir sudah. Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan, Selasa (27/5), menyatakan penangkapan yang terjadi pada
dini hari 9 April 2008 adalah sah secara prosedur hukum yang berlaku.
Hakim
tunggal Artha Theresia Silalahi menyatakan KPK sudah memenuhi sejumlah
persyaratan tertangkap tangan sesuai Pasal 1 angka 19 UU No. 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Unsur yang dipenuhi antara
lain, penangkapan dilakukan segera setelah peristiwa tindak pidana
dilakukan, dan ditemukannya barang bukti yang dipergunakan untuk
melakukan tindak pidana tersebut.
Artha
menuturkan, Undang-undang tidak menjabarkan berapa rentang waktu yang
dimaksud dalam kalimat “dengan segera sesudah beberapa saat tindak
pidana dilakukan”. Oleh karena tidak ditentukan, maka mendasarkan fakta
yang dibeberkan di pengadilan, maka penangkapan dalam kondisi tertangkap
tangan itu dapat diterima oleh pengadilan. Meski petugas KPK tidak
mengantongi Surat Perintah Penangkapan, Artha berpendapat, dalam kondisi
tertangkap tangan maka tidak diperlukan lagi surat tersebut.
Tertangkap
tangan, jelas Artha, adalah suatu kondisi istimewa sehingga petugas
tidak perlu membekali diri dengan surat perintah penangkapan.
Pertimbangan ini mengacu pada Pasal 18 ayat (2) KUHAP. Ayat itu
menyebutkan, “Dalam hal
tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan
ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta
barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat.”
Artha
justru menilai bukti-bukti surat yang diajukan oleh Amin kurang tepat.
Sebab, bukti-bukti itu sudah memasuki materi dalam pemeriksaan pokok
perkara. Sebaliknya, bukti-bukti dari KPK berupa 23 bukti surat mulai
dari perintah penyelidikan, berita acara penangkapan, berita acara
penyitaan, berita acara pengembalian barang bukti hingga surat tanda
penerimaan barang bukti, dianggap Artha relevan untuk membuktikan sah
tidaknya proses penangkapan.
Selama
pembacaan putusan, Anggota Tim Pembela Al-Amin, Sirra Prayuna, justru
mengumbar senyum. “Ada yang tidak dipertimbangkan hakim,” ujarnya
kemudian, seusai sidang. Ia menilai, hakim tidak mencoba untuk menggali
lebih jauh kesesuaian antara Berita Acara Penyitaan—yang dijadikan bukti
oleh KPK—dengan kesaksian penyidik KPK Edgar Diponegoro. Padahal
kesaksian Edgar di persidangan, menurut Sirra mengandung kejanggalan.
"Dalam
kesaksian, Edgar mengaku menemukan uang pecahan 100 ribu, tapi dalam
berita acara penyitaan tertulis pecahan 50 ribu. Itu sama sekali tidak
diperhatikan oleh hakim," ujarnya. Yang dimaksud Sirra adalah uang yang
ditemukan dalam amplop putih di saku jas yang tergeletak di bagasi mobil
Amin.
Eksepsi KPK ditolak
Dalam
hal penafsiran Pasal 63 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, hakim tidak
sepakat dengan dalil Jaksa KPK yang bersikukuh bahwa praperadilan atas
perkara yang penuntutannya diajukan oleh KPK harus dilayangkan ke
Pengadilan Tipikor. Mencermati Pasal 63 ayat (1) dan (3), Artha menilai
bahwa yang harus diajukan ke Pengadilan Tipikor hanyalah gugatan
rehabilitasi dan kompensasi.
Selajutnya,
berdasarkan Pasal 63 ayat (2), Artha ternyata tidak menemukan ketentuan
yang mengatur secara jelas ke pengadilan mana permohonan praperadilan
harus dilayangkan. Oleh karena kurang terangnya aturan lex specialis, maka ketentuan yang berlaku menurut Artha adalah hukum acara sesuai dengan ketentuan lex generalis, yakni KUHAP.
Pasal 63 ayat (2) UU KPK
Gugatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi hak orang yang
dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan, jika terdapat
alasan-alasan pengajuan praperadilan sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Lebih
lanjut, Artha menengok pada Pasal 77-78 KUHAP. Berpijak pada pasal itu,
Artha berpendapat PN Jakarta Selatan berwenang mengadili perkara
praperadilan yang diajukan Amin. Pasal itu menentukan PN berwenang
memeriksa perkara praperadilan sepanjang masih dalam wilayah hukum
pemohon.
Artha
juga menuturkan, praperadilan merupakan suatu mekanisme kontrol
horizontal untuk menghindari aparat mengabaikan prosedur formal dalam
melakukan penangkapan, penahanan, dan penghentian penyidikan serta
penuntutan. Keabsahan tindakan-tindakan itu, ujar Artha, memang
selayaknya harus bisa diuji di muka hakim.
Tak hanya itu, ia juga mengintip Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 15 Tahun 1983 sebagai
acuan. SEMA itu intinya menyatakan bahwa yang menjadi ukuran permohonan
praperadilan adalah kepentingan pemohon, bukannya termohon. Dengan
demikian, kalau praperadilan diperiksa oleh Pengadilan Tipikor, sama
saja praperadilan itu akan condong pada kepentingan termohon.
KESIMPULAN
1. Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam UU ini, tentang :
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan pengadilan.
c. Permintaan
ganti kerugian atau rehabiltasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
i. Ganti
kerugian adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas
tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan,
dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara
yang diatur dalam UU ini (pasal 1 angka 22 KUHAP).
ii. Rehabilitasi
adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan,
kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat
penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan,
dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara
yang diatur dalam UU ini (pasal 1 angka 23 KUHAP).
2. Ruang lingkup praperadilan antara lain :
a. Sah atau tidaknya penangkapan.
b. Sah atau tidaknya penahanan.
c. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan.
d. Sah atau tidaknya penghentian penuntutan.
e. Ganti rugi dan rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan.
f. Ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penuntutan.
g. Rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan.
h. Rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penuntutan.
3. Tata cara permohonan praperadilan yaitu :
a. Permohonan praperadilan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan surat permohonan yang menyebut alas an-alasannya.
b. dalam waktu 3 hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditujukan menetapkan hari sidang.
0 komentar:
Posting Komentar