google-site-verification: google9a13747b79e1f4cd.html NILAI KEADILAN DALAM PUTUSAN HAKIM | Artikel Law Office MAH
SEMUA ARTIKEL
M.Ardiansyah Hasibuan

NILAI KEADILAN DALAM PUTUSAN HAKIM


Mempersoalkan putusan hakim berarti mempersoalkan hakim dan tugasnya sebagai pelaksana hukum maupun sebagai pencipta hukum. Putusan hakim menurut Mertokusumo[1] adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.

Pasal 2 ayat (1) UU PKK mengatur bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada Badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.

Tampaknya tugas pokok dan hakim ini sangat sederhana, yaitu hanya menerima, memeriksa, serta mengadii suatu perkara, namun pada kenyataannya tidaklah sesederhana itu, sebagaimana dikemukakan oleh Cardozo[2] mantan Hakim Agung Amerika Serilcat bahwa pekerjaan memutuskan perkara memang berlangsung setiap hari di ratusan pengadilan di seluruh negeri, sehingga orang mungkin menduga bahwa para hakim yang telah mengikuti ribuan kali atau lebih perkara-perkara di persidangan akan mudah menggambarkan proses peradilan tetapi ternyata di dalam kenyataannya tidak ada sesuatu yang lebih jauh dari pengungkapan kebenaran. Pada hakikatnya seorang hakim diharapkan memberi pertimbangan tentang salah tidaknya seseorang atau benar tidaknya suatu peristiwa yang dipersengketakan, kemudian memberikan dan menentukan hukumnya.

Pada prinsipnya hakim hanyalah menerima setiap perkara yang diajukan kepadanya untuk diselesaikan dan hal ini berarti telah ada suatu peristiwa atau kejadian ataupun persengketaan yang timbul, kemudian peristiwa, kejadian dan persengketaan itu dibawa ke hadapan hakim agar supaya hakim menentukan hukum yang berlaku atas peristiwa dan persengketaan itu.

Peristiwa atau kejadian ataupun persengketaan yang diajukan para pihak terlebih dahulu harus dikonstatir oleh hakim. Konstatering peristiwa atau kejadian menurut Mertokusumo[3] berarti melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang diajukan tersebut, akan tetapi untuk sampai kepada konstateringnya itu harus mempunyai kepastian. Hakim harus pasti akan konstateringnya, sehingga konstateringnya tidak sekadar dugaan atau kesimpulan yang dangkal atau gegabah saja. Hakim haruslah menggunakan sarana-sarana atau alat untuk memastikan tentang peristiwa yang bersangkutan. Jadi mengonstatir peristiwa, kecuali melihat atau membenarkan telah terjadinya peristiwa atau telah menganggap telah terbuktinya peristiwa tersebut, maka diakui sebagal peristiwa yang benar-benar terjadi. Hal yang harus dikonstatir adalah peristiwa, tetapi untuk sampai pada konstatering harus melakukan pembuktian lebih dahulu. Kegiatan yang dilakukan hakim dalam fase pertama ini semata-mata bersifat logis.

Dalam menentukan kebenaran suatu peristiwa, Kattsoff (1989: 180-189) mengemukakan beberapa teori, yaitu: 1) Teori Koherensi (Coherence Theory) yang pada prinsipnya menyatakan bahwa makna suatu pernyataan (proposisi) cenderung benar jika makna suatu pernyataan tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan makna pernyataan-pernyataan yang lain yang benar, atau dengan kata lain makna suatu pernyataan saling berhubungan dengan pengalaman yang ada. Ukuran derajat kebenaran menurut teori ini ialah “derajat keadaan saling berhubungan.” Jikalau keadaan saling berhubungan dengan semua kenyataan, itulah yang dimaksud dengan kebenaran mutlak; 2) Teori Korespondensi (Corresponsdence Theory), teori ini menyatakan bahwa suatu pernyataan benar jika makna pernyataan itu sungguh-sungguh sesuai dengan faktanya; 3) Teori Empiris, yang memandang bahwa kebenaran adalah berdasarkan pengalaman-pengalaman indriawi manusia. Makna suatu pernyataan bersifat meramalkan atau hipotesis, kalau ramalan makna suatu pernyataan terpenuhi, maka itulah kebenaran; 4) Teori Pragmatis, yang memandang bahwa kebenaran itu adalah jika makna suatu pernyataan berdasarkan konsekuensi yang ditimbulkan atau kebenaran merupakan gagasan yang berguna atau dapat dilaksanakan di dalam suatu situasi.

Jika hakim telah berhasil mengonstatir peristiwa, yaitu dengan membenarkan suatu peristiwa, maka peristiwa yang benar tersebut dikualifikasi ke dalam aturan hukum. Dalam hal ini Mertokusumo[4] menjelaskan bahwa mengualifikasikan berarti menilai peristiwa yang telah dianggap terbukti itu termasuk hubungan hukum apa atau yang mana, dengan perkataan lain menemukan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir. Dalam menemukan hukumnya hakim melakukan penerapan hukum (rechts toepassing) terhadap peristiwanya. Dicarikan dan peraturan hukum yang ada, ketentuan-ketentuan yang dapat diterapkan pada peristiwa yang bersangkutan.

Menemukan hukumnya suatu peristiwa dengan cara menerapkan peraturan hukum yang berlaku adalah suatu hal yang wajar saja. Dalam kenyataan penemuan hukum bukan hanya sekadar menerapkan peraturan hukum yang ada dan berlaku saja tetapi juga menciptakan sendiri hukum jikalau peraturan hukumnya tidak tegas atau tidak jelas ataupun peraturan hukumnya tidak ada.

Hakim tidak boleh menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan ia wajib memeriksa dan mengadilinya (Pasal 14 ayat (1) UU PKK). Hakim dianggap sebagai orang yang bijaksana, tempat orang bertanya, maka dianggap tahu akan hukumnya (lus Curia Novit), meskipun mungkin tidak tahu. Pada hakikatnya dan seorang hakim diharapkan untuk mempertimbangkan dan memutuskan tentang siapa yang benar.

Keberadaan asas recht weigering (dilarang menolak mengadili perkara) tersebut karèna hakim tidak hanya bertumpu pada hukum tertulis saja, tetapi juga pada hukum tidak tertulis. Pasti banyak hal yang tidak atau belum diatur oleh hukum tertulis, sehingga karena itu Pasal 27 ayat (1) UU PKK mewajibkan hakim sebagai penegak hukum dan keadilan untuk menggali dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Pada prinsipnya hakim tidak diberi wewenang untuk mengubah suatu undang-undang tetapi hakim dapat saja menyimpang dari undang-undang dalam menjatuhkan putusannya dengan berdasar pada perkembangan kehidupan masyarakat.

Putusan hakim tidak dapat dibatalkan atau dianulir oleh siapa saja, kecuali tentunya sesuai dengan saluran yang disiapkan oleh peraturan hukum untuk hal tersebut. Setiap putusan hakim dipandang benar dan tetap sah serta mempunyai kekuatan hukum sepanjang putusan tersebut tidak dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Apa pun yang diputuskan oleh hakim dipandang sebagai hukum yang berlaku dan dapat dipaksakan keberlakuannya paling tidak terhadap orang-orang yang berperkara.

Melakukan kualifisir terhadap suatu peristiwa jauh lebih sulit dan mengonstatir peristiwa, karena mengonstatir peristiwa berarti melihat peristiwa konkret, sesuatu yang pada umumnya dapat dilihat, sedangkan kualifisering dalam hal mi berarti abstraksi dan peristiwa yang konkret tersebut. Dalam hal ini daya cipta seorang hakim sangat besar pengaruhnya oleh karena menemukan hukum dengan melalui cara penafsiran memerlukan kreativitas yang tinggi.

Berbagai aliran atau mazhab penemuan hukum yang merupakan aliran tentang ajaran sumber hukum sebagai titik tumpu dan interpretasi dan konstruksi dikemukakan oleh Mertokusumo[5] yaitu: Legisme; Historis; begriffjuris prudens; interessenjurisprudens; Freirechtbewegung, dan Penemuan Hukum Modern.

Selanjutnya Sudikno Mertokusumo menjelaskan pandangan ke semua aliran atau mazhab tersebut, yaitu: Paham legis berpendapat bahwa semua hukum berasal dari kehendak penguasa tertinggi yang dalam hal ini pembentuk undang-undang, sehingga semua hukum terdapat dalam undang-undang (hanya undang-undanglah yang dapat menjadi sumber hukum). Undang-undang dipandang cukup jelas dan lengkap yang berisi semua jawaban terhadap persoalan hukum, sehingga hakim berkewajiban menerapkan aturan hukum pada peristiwa konkretnya melalui metode penafsiran gramatikal dan subsumatif.

Lain halnya dengan mazhab Historis yang memandang undang-undang tidaklah lengkap, karena yang tertuang di dalam undang-undang tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat, sehingga menimbulkan kekosongan dalam Undang-undang. Hukum timbul dari kesadaran masyarakat di suatu tempat pada waktu tertentu dan hal ini terdapat dalam kebiasaan.

Mazhab Begriffjurisprudens berpandangan bahwa hukum dilihat sebagai suatu sistem tertutup yang mencakup segala-galanya yang mengatur semua perbuatan sosial. Aliran ini mengajarkan sekalipun undang-undang itu tidak lengkap, tetapi undang-undang masih dapat menutupi kekurangannya sendiri, karena undang-undang memiliki daya meluas.

Mazhab Interessenjurisprudens berpandangan bahwa peraturan hukum tidak boleh dilihat oleh hakim sebagai formal-legis belaka, tetapi harus dinilai menurut tujuannya. Undang-undang bukan satu-satunya sumber hukum, hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang luas untuk melakukan penemuan hukum dalam putusan hakim untuk mencapai tujuan hukum.

Mazhab Freirechtbewegung berpandangan bahwa hakim terikat pada batas-batas yang dapat dijabarkan dan sistem, ini menuju pada pemecahan masalah yang berdasarkan pada sistem. Mazhab Penemuan Hukum Modern berpandangan bahwa bukan sistem perundang-undangan yang merupakan titik tolak, tetapi masalah kemasyarakatan yang konkret yang harus dipecahkan. Undang-undang bukanlah penuh dengan kebenaran dan jawaban, paling tidak membutuhkan beberapa penafsiran untuk dapat dilaksanakan dalam situasi konkret, tetapi lebih merupakan usulan untuk penyelesaian suatu pedoman dalam penemuan hukum. Undang-undang bukan satu-satunya sumber hukum, tetapi masih banyak faktor-faktor penting lainnya yang dapat digunakan untuk penyelesaian masalah-masalah hukum.

Achmad Ali[6] membedakan metode penemuan hukurn oleh hakim ke dalam dua jenis, yaitu metode interpretasi dan metode konstruksi. Perbedaan interpretasi dengan konstruksi ialah bahwa interpretasi yang merupakan penafsiran terhadap teks undang-undang masih tetap berpegang pada bunyi teks itu, sedangkan pada konstruksi, hakim menggunakan penalaran logisnya untuk rnengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, di mana hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks itu tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.

Sesudah hakim mengonstatir dan mengkualifikasi peristiwa atau kejadian, maka tahapan berikutnya ialah hakim memberi konstitusinya. Hal ini berarti bahwa hakim memberikan keadilan dengan menentukan hukum yang menyelesaikan perkara tersebut. Dalam hal ini Mertokusumo[7] mengemukakan bahwa hakim mengambil kesimpulan dan adanya premis mayor, yaitu (peraturan) hukum dan premis minor, yaitu peristiwanya; siapa mencuri dihukum: A terbukti mencuri; A harus dihukum. Meskipun hal itu merupakan silogisme, akan tetapi tidak semata-mata hanya logika saja yang menjadi dasar kesimpulannya. Keadilan bukanlah produk dari intelek hakim tetapi adalah spirit.

Di dalam proses pengambilan keputusan untuk mengakhiri suatu perkara, ada kemungkinan hakim dihadapkan pada keadaan yang meragukan antara terbukti atau tidak, demikian pula konflik antara kepastian hukum atau keadilan, antara kepastian hukum atau kemanfaatan (doelmatgheid), mana yang harus dipentingkan? Dalam hal seperti ini diperlukan keberanian dan sikap tegas untuk menciptakan hukum yang adil.

Putusan hakim kecuali mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa juga mempunyai wibawa, dan wibawa ini ditentukan oleh pertimbangan yang menjadi dasar putusan. Pertimbangan atau alasan-alasan dimaksudkan sebagai pertanggungan jawab dan putusan sehingga putusan tersebut menjadi objektif (Pasal 23 UU PKK).

Proses konstatering, kualifisiening, dan konstituering merupakan satu kesatuan utuh dan putusan hakim. Dengan terpenuhinya syarat-syarat dan setiap tahapan mi akan melahirkan putusan yang adil. Anto[8] menggambarkan bahwa putusan hakim yang ideal jika memenuhi dua syarat, yaitu syarat teoretis dan syarat praktis. Memenuhi syarat teoretis jika telah sesuai dengan teori yang telah diuji kebenarannya, sedangkan memenuhi syarat praktis jika telah sesuai dengan kebutuhan praktik di lapangan, yakni dapat mencapai sasaran yang diinginkan dan dapat dipraktikkan.

Daftar Bacaan:
[1] Sudikno Mertokusumo, 1988, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Ed. Ke-3, Yogyakarta: Liberti, hIm. 167.
[2] Achmad Ali. Op. Cit., hlm.2
[3] Sudikno Mertokusumo, op. cit. hlm. 87
[4]Ibid., hlm. 88
[5] Sudikno Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum: Suatu Pengantar, Cet. I, Yonvakarta: Liberty. hlm 96-207
[6] Achmad Ali , op. Cit.,hlm. 156
[7] Sudikno Mertokusumo, Op. cit., hIm. 89.
[8] Arto, 2001, Mencari Keadilan, Cet. I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm, 98-99

0 komentar:

Posting Komentar

Most Trending