PENDAHULUAN
Hukum
adalah suatu norma atau peraturan yang mengikat terhadap masyarakat baik itu
tertulis maupun tidak tertulis, dalam kaitannya hukum pidana yaitu suatu hukum
yang mengatur hubungan antara subjek hukum dalam hal perbuatan-perbuatan yang
diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan berakibat
diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan/atau denda bagi para pelanggarnya
dimana sanksi pemidanaan dan/atau denda ini di jatuhkan dalam hukum acara pidana
yang bertujuan untuk mencari kebenaran secara materiil yaitu kebenaran yang
sebenar-benarnya. Karena sanksi hukum pidana ini akan merampas sebagian hak
dari terdakwa, maka dari itu diperlukan sesuatu yang jelas kebenarannya sebelum
seseorang dinyatakan bersalah atau di nyatakan sebagai terdakwa.
Sejarah
perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada beberapa sistem atau
teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem atau teori pembuktian
ini bervariasi menurut waktu dan tempat (negara). Seperti halnya Negara Belanda
dan Eropa, Indonesia menganut sistem Eropa Kontinental dimana sistem ini
merupakan hasil kodifikasidari berbagai ketentuan-ketentuan hukum secara
sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya.
Artinya hakim disini berperan aktif untuk mencari kebenaran materiil atau
kebenaran yang sebenar-benarnya dengan cara menafsirkan alat-alat bukti yang
sah yang dihadirkan di dalam persidangan dan mengkofidikasinya dengan
teori-teori yang sudah ada terdahulu, hakim jugalah yang memutuskan apakah
seseorang itu bersalah atau tidak, jika dinyatakan bersalah hakim pula lah yang
berhak memutuskan seorang tersebut mendapatkan sanksi berupa sanksi pidana
dan/atau sanksi denda.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apasaja
alat bukti yang sah untuk menguatkan suatu kebenaran perkara pidana di
Indonesia?
2. Bagaimana
penerapan alat bukti dalam kekuatan pembuktian?
PEMBAHASAN
2.1 Alat
bukti yang sah dalam perkara pidana di Indonesia
a. Pengertian Alat Bukti
Dalam kosa kata bahasa Inggris, ada dua kata
yang sama diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai “bukti” namun kedua kata
tersebut memiliki perbedaan yang cukup prinsip. Kata yang pertama yaitu “evidence” yang artinya yaitu informasi yang
memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu keyakinan bahwa beberapa bagian
atau keseluruhan fakta itu benar. Kata yang kedua yaitu “proof” yang berarti suatu yang mengacu pada hasil suatu proses
evaluasi dan menarik kesimpulan terhadap evidence.
Ditarik kesimpulan oleh Dennis tentang
istilah tersebut diatas bahwa kata evidence lebih dekat pada pengertian
alat bukti menurut hukum positif, sedangkan proof
dapat diartikan[1] sebagai
pembuktian yang mengarah pada suatu proses.
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia kata “bukti” terjemahan dari Bahasa Belanda “bewijs”
diartikan sebagai sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Dalam
kamus hukum “bewijs” artinya sebagai segala sesuatu yang memperlihatkan
kebenaran fakta tertentu atau ketidakbenaran fakta lain oleh para pihak dalam perkara
pengadilan guna memberi bahan kepada hakim bagi penilaiannya. Sementara itu
pembuktian diartikan sebagai proses, perbuatan, atau cara membuktikan.
Menurut R. Subekti berpendapat bahwa
membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil
yang dikemukakan dalam suatu persengketaan[2]
Pada dasarnya bukti merujuk pada alat-alat
bukti termasuk barang bukti yang menyatakan kebenaran peristiwa, sementara
pembuktian merujuk pada suatu proses terkait mengumpulkan bukti, memperlihatkan
bukti sampai pada penyampaian bukti tersebut disidang pengadilan.[3]
b. Alat-alat bukti
Alat – alat bukti dalam
KUHAP masih tetap sama dengan yang tercantum dalam HIR
yang pada dasarnya sama
dengan ketentuan dalam Ned strafvordering dan
Alat Bukti di negara yang menganut Eropa Kontinental.
Untuk alat bukti di negara yang menganut
Sistem Hukum Common Law Seperti Amerika
Serikat alat buktinya berbeda dengan
Alat bukti yang di pergunakan di negara kita
alat bukti menurut Criminal
Procedure Law Amerika Serikat yang di sebut form
of evidence, terdiri dari :
a. Real evidence ( bukti sungguhan )
b. Documentary evidence (bukti documenter )
c. Testimonial evidence ( bukti kesaksian )
Indonesia sendiri
menggunakan alat bukti yang berbeda dengan negara Amerika Serikat, alat bukti
tersebut yaitu :
a. Keterangan Saksi
Syarat – syarat Seorang
Saksi
Pada umunya semua orang
dapat menjadi saksi, terkecuali orang yang menjadi saksi yang tercantum dalam
Pasal 186 KUHAP Yaitu :
-
Keluarga sedarah atau
semenda dalam garis lurus ke atas
atau ke bawah sampai derajat ke tiga dari terdakwa atau yang bersama – sama
sebagi terdakwa
-
Saudara dari terdakwa atau yang
bersama - sama sebagai terdakwa, saudara
ibu atau saudara bapak , juga mereka yang
mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak – anak saudara terdakwa sampai
derajat ketiga.
-
Suami atau Istri terdakwa
meskipun sudah bercerai atau yang bersama
– sama sebagai terdakwa
Di dalam
Pasal 168 KUHAP di katakan “cukup Jelas”
banyak Masalah yang timbul
berhubungan dengan ketentuan yang
di sebutkan dalam Pasal 168 KUHAP dan
dalam Pasal 170 KUHAP “ Bahwa mereka
yang karena Pekerjaan, harkat, martabat atau jabatanya di wajibkan menyimpan
rahasia dan dapat minta di bebaskan dari kewajiban memberikan keterangan
sebagai saksi.
Pekerjaan atau jabatan yang di kemukan dalam Pasl 170 KUHAP yang menetukan adanya kewajiban untuk menyimpan
rahasia di tentukan oleh Peraturan Perundang – undangan orang yang
harus menyimpan rahasia jabatan misalnya Dokter yang harus merahasiakan penyakit yang di derita
pasienya sedangkan yang di maksud karena martabatnya dapat mengundurkan diri adalah pastor
agama Katolik Roma (berhubungan
dengan kerahasian orang – orang yang
melakukan pengakuan dosa kepada pastor tersebut )
Karena dalam Pasal 170 KUHAP mengatur
mengenai “dapat minta di bebaskan dari keawajiban untuk memberikan keterangan
sebagai saksi “kekecualian menjadi saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan
atau karena martabatnya merupakan ke kecualian Relatif ”.
Dalam
Pasal 171 KUHAP di tambah kekecualian
untuk memberi ke saksian di bawah sumpah yaitu :
-
Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin
-
Orang sakit ingatan atau
sakit jiwa meskipun ingatanya baik kembali
Mengenai kewajiban saksi mengucapkan sumpah
atau janji karena KUHAP masih mengikuti peraturan lama (HIR) di mana
di tentukan bahwa pengucapan sumpah
merupakan syarat mutlak suatu kesaksian yaitu sebagai
alat bukti
Dan dalam
pasal 160 ayat ( 3 ) KUHAP di katakan
bahwa sebelum memberi
keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut acara
agamanya masing – masing, bahwa ia
akan memberikan keteranganya
yang sebenarnya dan tidak lain
dari pada yang sebenarnya.
Pengucapan Sumpah itu merupakan syarat
mutlak dapat di baca dalam Pasal 161 (
1) dan ( 2 ) KUHAP sebagai berikut :
“dalam
hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji , sebagaimana di maksud
dalam Pasal 160 ( 3
) dan (4) maka pemeriksaan
terhadap nya tetap di lakukan,
sedang ia dengan surat penetapan hakim
ketua sidang dapat di kenakan sandera di
tempat rumah tahanan negara paling lama 14 hari
( ayat 1 )”
Dalam pasal 161 ( 2 ) tersebut menunjukan bahwa pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak “
Keterangan saksi atau ahli yang tidak di sumpah
atau mengucapkan janji, tidak
dapat di anggap sebagai alat bukti yang
sah tetapi hanyala merupakan keterangan
yang dapat menguatkan keyakinan hakim
Lain halnya
dalam Pasal 165 ( 7 ) KUHAP “keterangan dari saksi yang tidak di sumpah meskipun
sesuatu satu dengan yang lain,
tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang di sumpah dapat di pergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah yang lain”
Isi dan Nilai Keterangan seorang saksi:
Dalam pasal 185 (5) KUHAP dinyatakan bahwa baik pendapat maupun rekaan , yang di peroleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi dlam
pasal 185 (1) Di Katakan “Dalam
Keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang
di peroleh dari orang lain atau testimonutim
de auditu jadi keterangan saksi yang di peroleh dari orang lain bukan
alat bukti yang sah dan dalam pasal 30 (1) HIR dahulu , hanya di katakan bahwa keterang
saksi harus lah mengenai hal – hal dan ke adaan
yang di alami, di lihat atau di
dengar olehnya sendiri yaitu saksi.
Berhubungan
dengan tidak dicantumkannya
pengamatan Hakim sebagai alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP, maka kesaksian de
auditu tidak di jadikan alat bukti melalui pengamatan Hakim dan mungkin alat pentunjuk,
yang penilaian dan pertimbangannya
hendaknya di serahkan kepada Hakim
Menurut
KUHAP keterangan satu saksi bukan
saksi hanya berlaku bagi pemeriksaan biasa dan pemeriksaan singkat tidak berlaku
bagi pemeriksaan cepat hal ini dapat di simpulkan dari penjelasan pasal 184
KUHAP sebagi berikut.
“Dalam acara pemeriksaan cepat keyakinan
Hakim cukup di dukung satu alat bukti
yang sah”.
Jadi ini berarti satu saksi, satu keterangan
ahli satu surat, satu petunjuk atau keterangan terdakwa di sertai keyakinan
hakim cukup sebagai alat bukti untuk me midana
terdakwa dalam perkara cepat.
Acara pemeriksaan cepat ini terbagi dua, Paragraf
satu mengenai acar pemeriksaan
tindak pidana ringan dan paragraf
– paragraf acara pemeriksaan perkara pelangaran lalu lintas jalan.[5]
b. Keterangan
Ahli (Verklaringen Van Een Deskundige: Expert Testimony)
Keterangan
Seorang ahli di sebut sebagai alat bukti pada urutan ke dua oleh pasal 183 KUHAP berbeda dengan di HIR dahulu tidak mencantumkan keterangan ahli se
bagai alat bukti. Dalam pasal 186
keterangan seorang ahli
ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan jadi pasal tersebut tidak menjawab siapa yang
di sebut ahli dan apa itu keterangan
ahli dalam Pasal 343 Ned Sv keterangan
ahli adalah pendapat seseorang ahli yang
berhubungan dengan ilmu
pengetahuan yang telah di pelajarinya (tentang sesuatu yang di
mintai pertimbangan nya) jadi
keterangan tersebut di ketahui bahwa yang di maksud dengan keahlian ialah ilmu pengetahuan yang telah di
pelajari ( dimiliki seseorang )
dalam HR yang meliputi kriminalistik. Dan
isi keterangan seorang saksi dan ahli berbeda, keterangan seorang
saksi mengenai apa yang di alami saksi itu sendiri sedangkan keterangan seorang ahli
ialah mengenai sauatu penilaina mengenai suatu penilain mengenai hal –
hal yang sudah nyata ada dan pengambilan
kesimpulan mengenai hal – hal itu dan dalam KUHAP membedakan
keterangan seorang ahli di
persidangan sebagai alat bukti “ keterangan ahli “ ( Pasal 186 KUHAP)
dan keterangan seorang ahli secara
tertulis di luar persidangan sebagai
alat bukti “Surat“ ( Pasal 187 butir c KUHAP ).[6]
c. Alat Bukti
Surat
Dalam Pasal 184 Alat Bukti Surat terdiri atas 4 ayat
-
Berita acara dan surat lain
dalam bentuk resmi yang di buat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang di buat di hadapan nya yang membuat
keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang di dengar, dilihat
atau yang di alaminya di sertai alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.
-
Surat yang di buat menurut
ketentuan peraturan perundang – undangan
atau surat yang di buat oleh pejabat
mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana
yang menjadi tanggung jawab nya dan yang di peruntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan
-
Surat keterangan dari
seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan ke ahlianya mengenai sesuatu
hal atau ke adaaanya yang di minta secar
resmi dari padanya.
-
Surat lain yang hanya
dapat berlaku jika ada hubungan nya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain .[7]
d. Alat
Bukti Petunjuk
Petunjuk
di dalam Pasal 184 KUHAP sebagai alat bukti yang ke empat
yaitu masih mengikuti HIR Pasal
195, HIR Pasal 295 dan dalam Undang –
undang Mahkamah Agung
Nomor Undang – undang Nomor 1 Tahun 1950
telah menghapus petunjuk sebagai alat bukti.
Defenisi
alat bukti petunjuk dalam Pasal 188 (1) KUHAP “ Petunjuk adalah perbutan kejadian
atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang
lain, maupun dengan tindak pidana itu
sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindakan pidana dan siapa
pelakunya. [8]
e. Alat Bukti
Keterangan Terdakwa
KUHAP
Sangat jelas dan sengaja di cantumkan
“Keterangan Terdakwa” sebagai alat bukti
dalam Pasal 184 butir c berbeda dengan peraturan dalam HIR yang menyebut
“Pengakuan Terdakwa” sebagai alat
bukti menurut pasal 295 dapat di lihat dengan Jelas bahwa “ Keterangan
Terdakwa” sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan Karena Pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat – syarat berikut :
-
Mengaku ia yang melakukan delik yang di dakwakan
-
Mengaku ia bersalah
-
Mengaku terdakwa
sebagai alat bukti
Menurut Memorie van Toelichting Ned Sv Penyangkalan
terdakwa bisa menjadi alat buktiyang sah dan sudah jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai alat
bukti dengan pengakuan terdakwa ialah bahwa tetapi membena kan beberapa keadaan atau perbuatan yang
menjurus kepada terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti
lain yang merupakan alat bukti.[9]
c.
Dasar
hukum
KUHAP
BAGIAN KE EMPAT
Pembuktian dan
Putusan
Dalam Acara
PemeriksaanBiasa
Pasal 183
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang
kecuali apabila sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperbolehkan keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar – benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya .
Pasal 184
1)
Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan
saksi;
b. Keteranga
nahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan
terdakwa;
2) Hal
yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Pasal 185
1)
Keterangan saksi sebagai
alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
2)
Keterangan seorang saksi
saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya
3)
Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya
4)
Keterangan beberapa
saksi yang berdiri sendiri-sendiri
tentang suatu kejadian atau keadaan
dapat digunakan sebagai suatu
alat bukti yang sah apabila keterangan saksi
itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga
dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
5)
Baik pendapat
maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan
keterangan saksi
6)
Dalam menilai kebenaran
keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh
memperhatikan:
a. Persesuian
antara keterangan saksi satu dengan yang lain ;
b. Persesuaian
antara keterangan saksi dengan alat
bukti lain;
c. Alasan
yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d. Cara
hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya.
7) Keterangan
dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak
merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan
dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah
yang lain.
Pasal 186
Keterangan
ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Pasal 187
Surat
sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah
jabatan atau sumpah jabatan atau
dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a. Berita
acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri,
disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. Surat
yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang
dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau
sesuatu keadaan;
c. Surat
keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atas sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari
padanya;
d. Surat
lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.
Pasal
188
(1) Petunjuk
adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik
antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
a. Keterangan
sanksi;
b. Surat;
c. Keterangan
terdakwa;
(3) Penilian
atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
diakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Pasal 189
1) Keterangan
terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia
lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
2) Keterangan
terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan
bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
3) Keterangan
terdakwa hanya dapa tdigunakan terhadap dirinya sendiri.
Keterangan terdakwa saja
tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
d. Parameter pembuktian
1. Bewijstheorie
Bewijstheorie
adalah teori pembuktian yang dipakai sebagai dasar pembuktian oleh hakim di
pengadilan. Ada empat teori pembuktian. Pertama adalah posotief wettelijk
bewijstheorie yang mana hakim terikat secara positif kepada alat bukti menurut
undang-undang. Artinya, jika dalam pertimbangan, hakim telah menganggap terbukti
suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut dalam undang-undang
tanpa diperlukan keyakinan, hakim dapat menjatuhkan putusan. Posotief wettelijk
bewijstheorie ini digunakan dalam hukum acara perdata.
Kedua, conviction intime yang berarti
keyakinan semata. Artinya, dalam menjatuhkan putusan, dasar pembuktiannya
semata-mata diserahkan kepada keyakinan hakim. Dia tidak terikat oleh alat
bukti, namun atas dasar keyakinan yang timbul dari hati nurani dan sifat
bijaksana seorang hakim, ia dapat menjatuhkan putusan.
Ketiga, conviction raisonee. Artinya,
dasar pembuktian menurut keyakinan hakim
dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis. Dalam konteks hukum acara
pidana di Indonesia, conviction raisonee digunakan dalam persidangan perkara
tindak pidana ringan.
Keempat, yang secara umum dianut dalam sistem
peradilan pidana termasuk di Indonesia, adalah negatief wettelijk
bewijstheorie. Dasar pembuktian menurut keyakinan hakim yang timbul dari
alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif.
2. Bewijsmiddelen
Bewijsmiddelen
adalah alat-alat bukti yang digunakan untuk membuktikan telah terjadinya suatu
peristiwa hukum. Mengenai apa saja yang menjadi alat bukti, akan diatur dalam
hukum acara.
Dalam hukum acara pidana di Indonesia, alat
bukti yang diakui di pengadilan sama dengan alat bukti yag digunakan di banyak
Negara.
3. Bewijvoering
Secara
harfiah bewijvoering diartikan sebagai penguraian cara bagaimana menyampaikan
alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan. Bagi Negara-negara yang cenderung
menggunakan process model dalam sistem peradilan pidananya, perihal
bewijsvoering ini cukup mendapatkan perhatian. Dalam due process model, Negara
begitu menjunjung tinggi hak asasi manusia (hak-hak tersangka) sehingga acap
kali seorang tersangka dibebaskan oleh pengadilan dalam pemeriksaan pra
peradilan lantaran alat bukti diperoleh dengan cara yang tidak sah atau yang
disebut dengan istilah unlawful legal evidence. Bewijsvoering ini semata-mata
menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat formalistis. Konsekuensi selanjutnya
sering kali mengesmpingkan kebenaran dan fakta yang ada.
4. Bewijslast
Bewijslast
atau burden of proof adalah pembagian beban pembuktian yang diwajibkan oleh
undang-undang untuk membuktikan suatu peristiwa hukum. Dalam hukum positif .
Dalam konteks perkara pidana secara universal
yang berlaku di dunia, kewajiban untuk membuktikan dakwaan yang di dakwakan
kepada tersangka merupakan kewajiban jaksa penuntut umum. Hal ini merupakan
konsekuensi atas asas diferensiasi fungsional dalam criminal process yang
menyerahkan fungsi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pengadilan kepada
lembaga-lembaga yang berwenang, yakni kepolisian kejaksaan, pengadilan, dan
lembaga permasyarakatan.
Lazimnya jaksa penuntut umum akan membuktikan
kesalahan terdakwa, sedangkan sebaliknya terdakwa beserta penasihat hukum akan
membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan.suatu kondisi
yang mana jaksa penuntut umum dan terdakwa sama-sama membuktikan di sidang
pengadilan dinamakan asas pembalikan beban pembuktian “berimbang” seperti
dikenal di Amerika Serikat dan juga di Indonesia. Pembuktian oleh terdakwa yang
menunjukkan bahwa dia tidak bersalah telah melakukan suatu kejahatan dikenal
dengan istilah exculpatory evidence. Secara sederhana exculpatory evidence
diartikan sebagai bukti yang cenderung meniadakan atau mengurangi kesalahan
terdakwa.
5. Bewijskracht
Bewijskracht
dapat diartikan sebagai kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti dalam
rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan. Penilaian tersebut merupakan
otoritas hakim.
Dalam hukum acara pidana,
kekuatan semua alat bukti pada hakikatnya sama, tidak ada satu melebihi yang
lain. Tegasnya, alat bukti dalam hukum acara pidana tidak mengenal hierarki.
Hanya saja ada ketentuan-ketentuan yang mensyaratkan keterkaitan antara bukti
yang satu dengn bukti yang lain. Oleh karena itu, dalam hukum acara pidana
terdapat bukti yang bersifat sebagai pelengkap. Bukti tersebut timbul dari
bukti yang lain.
6. Bewijs Minimmum
Secara
sederhana, bewijs minimmum adalah bukti minimum yang diperlukan dalam
pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim. Dalam konteks hukum acara pidana di
Indonesia, untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, paling tidak harus ada
dua alat bukti ditambah dengan keyakinan hakim. Artinya untuk dapat menjatuhkan
pidana, bewijs minimmum-nya adalah dua alat bukti.
e. Tujuan dan fungsi pembuktian
R. Supomo berpendapat bahwa pembuktian
mempunyai dua arti, yang pertama dalam arti luas, pembuktian membenarkan
hubungan hukum, misal : jika hakim mengabulkan gugatan penggugat. Gugatan
penggugat yang dikabulkan mengandung arti bahwa hakim telah menarik kesimpulan
bahwa hal yang dikemukakan oleh penggugat sebagai hubungan hukum antara
penggugat dan tergugat adalah benar. Oleh karena itu membuktikan dalam arti
luas berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah.
Kedua, dalam arti terbatas, pembuktian hanya diperlukan apabila hal yang
dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat, sementara hal yang tidak
dibantah tidak perlu dibuktikan.
·
Tujuan Pembuktian
Penuntut
umum harus berusaha membuktikan tindak pidana yang dilakukan terdakwa di muka sidang
pengadilan dengan alat bukti yang telah disiapkan secara lengkap di dalam
berita acara yang telah dilimpahkan.
Di dalam sidang pengadilan penuntut umum dengan cara yang ditentukan
oleh undang-undang berusaha mendapatkan fakta-fakta prbuatan materil yang
dilakukan terdakwa sesuai dengan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan.
Data-data perbuatan materil tersebut didapat dari alat bukti keterangan
saksi,keterangan ahli atau alat-alat bukti yang lain, sehingga fakta-fakta yang
didapat dari keterngan-keterangan ersebut dapat menggambarkan tindak pidana
yang dilakukan terdakwa yang sesuai dengan isi dari surat dakwaan.
Penuntut umum dalam usaha membuktikan tindak pidana yang dilakukan
terdakwa dengan alat bukti yang diajukan berusaha untuk dapat meyakinkan
majelis hakim bahwa tindak pidana yang didakwakan betul-betul terjadi dan dapat
dinyatakan salah.
Dalam
hal ini penuntut umum harus dengan cermat mencatat hasil pembuktiaan didalam sidang.
Untuk menjaga adanya kesamaan bahan analisis,apabila perlu minta kepada paitera
melalui hakim ketua untuk mencatat hasil pembuktian sebagai hasil sidang (pasal
202 ayat (3) KUHAP).
Dalam usaha penuntut umum meyakinkan hakim atas terbuktinya surat dkwaan
perlu memperhatikan :
1. Di dalam sidang harus teliti dan cermat dalam usaha
menemukan bukti perbuatan atau akibat dari perbuatan terdakwa.
2. Data dan fakta dari hasil sidang yang menentukan
adanya tindak pidana harus dicatat atau suruh catat.
Harus dapat menilai alat bukti
yang memenuhi syarat yang sah dan alat bukti yang tidak dapat digunakan karena
tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti.
·
Fungsi Pembuktian
Menurut
Sudikno Mertokusumo, membuktikan mempunyai beberapa pengertian, yaitu arti
logis, konvensional dan yuridis. Dari beberapa pengertian tersebut berkaitan
dengan fungsi dari pembuktian, untuk lebih jelasnya akan diuraikan pengertian
pembuktian yang pertama, secara logis, ialah pembuktian berfungsi untuk
memberikan kepastian yang bersifat mutlak karena berlaku bagi setiap orang dan
tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Kedua, pembuktian dalam arti konvensional
yaitu berfungsi untuk memberikan kepastian yang bersifat nisbi atau relatif,
pembuktian secara nisbi atau relatif ini dibagi menjadi dua, yakni kepastian
yang didasarkan pada perasaan belaka atau kepastian yang bersifat intuitif yang
biasa disebut conviction intime dan
kepastian yang didasarkan pada pertimbangan akal biasa disebut conviction rasionance. Ketiga,
membuktikan dalam arti yuridis[10]
ialah berfungsi untuk memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang
memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran
suatu peristiwa yang diajukan.
Pada
dasarnya fungsi dari pembuktian adalah mencari kebenaran atas suatu peristiwa.
Dalam konteks hukum, fungsi pembuktian adalah mecari kebenaran suatu peristiwa
hukum. Dalam konteks hukum pidana, pembuktian merupakan inti dari persidangan
perkara pidana karena dalam hukum pidana berfungsi untuk mencari
kebenaran materil. Pembuktian dalam perkara pidana sudah dimulai sejak
tahap penyelidikan untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagi
suatu tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Pada tahap
ini sudah terjadi pembuktian, dengan tindak penyidik mencari barang bukti,
maksudnya guna membuat terang suatu tindak pidana serta menentukan atau
menemukan tersangkanya.[11]
2.2 Penerapan
alat bukti dalam kekuatan pembuktian
a.
Kekuatan
pembuktian
Kekuatan
pembuktian atau yang dalam bahasa Belanda disebut dengan bewijskracht yaitu
masing-masing alat bukti dalam rangkaian penilian terbuktinya suatu dakwaan.
Penilaian tersebut merupakan otoritas atau kewenangan hakim. Hakimlah yang
menilai dan menentukan kesesuaian antara alat bukti dengan alat bukti yang
lain. Kekuatan pembuktian juga terletak pada bukti yang diajukan, apakah bukti
tersebut relevan atau tidak dengan perkara yang sedangdisidangkan. Jika bukti
tersebut relevan, kekuatan pembuktian selanjutnya mengarah pada apakah bukti
tersebut dapat diterima atau tidak.
Dalam
hukum acara pidana, kekuatan semua alat bukti pada hakikatnya sama, tidak ada
satu melebihi yang lain. Tegasnya alat bukti dalam hukum acara pidana tidak
mengenal hierarki. Hanya saja ada ketentuan-ketentuan yang mensyaratkan
keterkaitan antara bukti[12]
yang satu dengan bukti yang lain. Oleh karena itu, dalam hukum acara pidana
terdapat bukti yang bersifat sebagai pelengkap. Bukti tersebut timbul dari
bukti yang lain.[13]
b.
Teknik
pembuktian
Sistem
Pembuktian
Dalam hukum acara pidana sistem hukum pembuktian dalam sebutan: “sistem
negatif menurut undang-undang” seperti yang di atur dalam pasal 183 KUHAP sebagai berikut : “hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Sistem negative menurut undang-undang tersebut mempunyai maksud :
1. supaya terdakwa dapat di nyatakan salah diperlukan bukti minimum yang di
tetapkan oleh undang-undang ( pasal 183 KUHAP).
2. namun demikian biarpun alat bukti melebihi bukti
minimum yang di tetapkan undang-undang apabila hakim tidak yakin tentang
kesalahan terdakwa ia tidak boleh menjatuhkan pidana.
Dalam hal memutus perkara di sidang
peradilan peranan hakim besar sekali,
sebab meskipun alat bukti yang di ajukan penuntut umum lebih dari bukti minimum
apabila hakim tidak yakin bahwa terdakwa salah ia harus di bebaskan. Dalam
keyakinan yang di gunakan oleh hakim untuk menentukan bahwa terdakwa salah
adalah keyakinan dari hati nurani yang suci dan tidak dipengaruhi oleh unsure
dari luar tetapi keyakinan bersumber kepada yang maha pencipta. Maka dalam
keputusannya selalu di dahului dengan ucapan “demi keadilan yang berdasarkan
ketuhanan yang maha esa”.
Untuk menyatakan keyakinan dalam
memutus perkara di dahului dengan petimbangan hakim yang menggunakan kalimat:
“berdasarkan bukti-bukti yang sah, berkeyakinan akan kesalahan terdakwa” dan
seterusnya.
Dalam praktek peradilan sering
terjadi perkara perkaan yang bertujuan agar terdakwa di pidana, dengan adanya
perkara perkaan ini wajib menuntut umum maupun hakim harus bersifat waspada,
untuk itu meskipun terdakwa mengaku melakukan tindak pidana namun belum
merupakan jaminan bahwa tindakpidana itu ia lakukan.
Dalam pembuktian yang harus di
ingat penuntut umum: “bagaimana dengan alat bukti yang sah hakim yakin bahwa
terdakwa melakukan tindak pidana dan berbuat salah.” Karena peranan kebebasan
hakim dalam menerapkan hasil pembuktian kelihatan memegang peranan yang
menentukan.
Dalam sistem pembuktian ada
terdapat beberapa teori
a. Teori Subjektif murni ( convection intime)
Dalam ajaran subjektif murni adalaha didasarkan kepada
keyakinan hakim semata-mata. Maka dalam pelaksanaannya dibutuhkan seorang hakim
yan luas pengetahuannya masalah hukum, adat istiadat, jujur dan mempunyai
ketetapan hati yang tidak mudah dipengaruhi yang datang dari luar dirinya,
sehingga keyakinannya murni timbul dari dalam hati sanubari.
Ajaran subjektif dianut pada zaman Ancien regime
dimana raja-raja bertindak bebas dan sewenang-wenang, dengan demikian
mempengaruhi tugas para hakim pada zaman itu sehingga hakim dalam memutus
perkara tanpa memberi alasan yang berdasarkan undang-undang.
b. Teori Positif (Positief Wetterlijk)
Ajaran ini didasarkan kepada kemurnian undang-undang seperti diatur
dalam pasal 1 ayat (1) KUHAP yang bunyinya sebagai berikut:
1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas
kekuatan aturan pidana dalam undang yang telah ada sebelum perbuatan itu
dilakukan. Artinya hakim dalam memutuskan perkara harus berdasarkan
undang-undang, yang berarti tugas hakim hanya sebagai pelaksana undang-undang
belaka.
2) Tidak dapat dimungkiri bahwa dengan asas legalitet
tersebut yang dapat dipidana hanya mereka yang melakukan tindak pidana dan oleh
aturan undang-undang secara tegas dinyatakan dilarang.
Dalam ajaran tersebut memberi
kesempatan bagi orang melakukan perbuatan yang pada hakikatnya ia melakukan
kejahatan tetapi karena tidak diatur dalam undang-undang sebagai tindak pidana
ia lepas dari tuntutan pidana.
c. Teori Negatif (Negatief Wettelijk)
Apabila tindak pidana sudah dibuktikan dan ternyata terdakwa terbukti
melangggar hukum dan dinyatakan salah, hakim dalam memutus perkara pidana masih
diperlukan keyakinan atas tindak pidana yang sudah terbukti dan yang dinyatakan
salah itu.Pasal 183 KUHAP mengatur ketentuan sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya.”
Bahwa hakim sebelum menjalankan tugasnya telah mengangkat sumpah lebih
dahulu, maka diharapkan tidak akan dipengaruhi, dari luar keyakinannya
sedangkan dalam batinnya para hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat.
d. Teori Pembuktian Bebas (Vrije Bewijsler)
Dalam teori ini seorang hakim dalam menjalankan tugasnya harus sebagai
seorang ahli dalam bidangnya dan selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan keputusannya harus up to date tidak hanya terpaku kepada suatu peraturan
perundang-undangan yang berlaku, ia wajib mengikuti perkembangan dan kemajuan
masyarakat.
Dalam memutus perkara hakim tidak terikat kepada undang-undang semata
tetapi didasarkan kepada ilmu pengetahuan dan logika, sehingga keputusan dapat
menyentuh rasa keadilan masyarakat pada zamannya.
c.
Alat-alat
bukti yang tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti
Alat-alat bukti yang tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti ialah:
1. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan (unus
testis nulus testis).
2. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri
atas suatu kejadian yang tidak ada kaitannya satu sama lain, kecuali keterangan
saksi-saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga
dapat membuktikan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu (ketting bewijs).
3. Keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain
(testimonium de auditu).
4. Saksi dalam memberi kesaksiannya merupakan pendapat
atau rekaan yang diperoleh dari pemikiran saja.
5. Keterangan saksi yang tidak di sumpah.
6. Keterangan saksi yang dinyatakan di luar sidang.
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Dari
makalah ini dapat ditarik kesimpulan bahwa alat bukti adalah sesuatu yang
menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Dan alat-alat yang digunakan untuk
membuktikan suatu kebenaran peristiwa pidana di Indonesia yang sah adalah telah
dijelaskan dalam Pasal 183 dan 184 KUHAP.
Pasal 183
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang
kecuali apabila sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperbolehkan keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar – benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya .
Dan
Pasal 184
1) Sesuai
dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP Alat
bukti yang sah ialah:
a. Keterangan
saksi
b. Keteranga
nahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan
terdakwa;
Kemudian kekuatan pembuktian yaitu
masing-masing alat bukti dalam rangkaian penilian terbuktinya suatu dakwaan.
Dalam hukum acara pidana sistem
hukum pembuktian dalam sebutan: “sistem negatif menurut undang-undang” seperti
yang di atur dalam pasal 183 KUHAP
sebagai berikut: “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang
bersalah melakukannya.”
Untuk menyatakan keyakinan dalam
memutus perkara di dahului dengan petimbangan hakim yang menggunakan kalimat:
“berdasarkan bukti-bukti yang sah, berkeyakinan akan kesalahan terdakwa” dan
seterusnya.
Dalam hal memutus perkara di
sidang peradilan peranan hakim besar sekali, sebab meskipun alat bukti yang di ajukan
penuntut umum lebih dari bukti minimum apabila hakim tidak yakin bahwa terdakwa
salah ia harus di bebaskan.
b.
Saran
Dalam
memutus suatu perkara pidana, hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman kepada
seorang terdakwa atau tersangka jika hakim belum mendapati alat-alat bukti yang
sah minimal dengan dua alat bukti, hal ini di negara Indonesia telah disebutkan
dalam KUHAP tepat di buku ke empat Pasal 183 dan 184. Dengan makalah ini, kami
menyarankan agar setiap perkara pidana haruslah diproses (mulai dari
penyelidikan, penyidikan, hingga memutus) sesuai dengan Kitab Undang-Undang
Acara Pidana yang berlaku di Indonesia, agar tidak terjadi kesalahan dalam memutus
perkara pidana.
Daftar
Pustaka
Hamzah Andi, 2000, Hukum Acara
Pidana Indonesia. Jakarta,
Sinar Grafika Offset
Hiariej Eddy.O.S., 2012, Teori Dan Hukum Pembuktian. Jakarta, Erlangga
[1] Eddy.O.S.Hiariej, 2012, Teori Dan Hukum Pembuktian, Jakarta, Erlangga,
hlm. 2
[2] Ibid., hlm. 3
[3] Ibid., hlm. 4
[10] Eddy.O.S.Hiariej, Op.cit., hlm. 6
[11] Ibid., hlm. 7
[13] Ibid., hlm. 26
0 komentar:
Posting Komentar