PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Media massa atau Pers adalah
suatu istilah yang mulai digunakan pada tahun 1920-an untuk
mengistilahkan jenis media yang secara khusus didesain untuk mencapai
masyarakat yang sangat luas. Dalam pembicaraan sehari-hari, istilah ini sering
disingkat menjadi media.
Masyarakat dengan tingkat ekonomi
rendah memiliki ketergantungan
dan kebutuhan terhadap media massa yang lebih tinggi daripada masyarakat dengan
tingkat ekonomi tinggi karena pilihan mereka yang terbatas. Masyarakat dengan
tingkat ekonomi lebih tinggi memiliki lebih banyak pilihan dan akses banyak
media massa, termasuk bertanya langsung pada sumber atau ahli dibandingkan
mengandalkan informasi yang mereka dapat dari media massa tertentu.
Seiring dengan berjalannya waktu dan
perkembangan teknologi dan sosial budaya, telah berkembang media-media lain
yang kemudian dikelompokkan ke dalam media massa seperti internet dan telepon selular.
Dalam
jenis media ini terdapat ciri-ciri seperti:
1. Sumber
dapat mentransmisikan pesannya kepada banyak penerima (melalui SMS atau
internet misalnya)
2.
Isi
pesan tidak hanya disediakan oleh lembaga atau organisasi namun juga oleh
individual
3.
Tidak
ada perantara, interaksi terjadi pada individu
4.
Komunikasi
mengalir (berlangsung) ke dalam
5.
Penerima
yang menentukan waktu interaksi
Dengan
adanya kebebasan media massa maka akhirnya mengalami pergeseran ke arah liberal
pada beberapa tahun belakangan ini. Ini merupakan kebebasan pers yang terdiri
dari dua jenis : Kebebasan Negatif dan Kebebasan Positif.
·
Kebebasan
negatif merupakan kebebasan yang berkaitan dnegan masyarakat dimana media massa
itu hidup. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dari interfensi pihak luar
organisasi media massa yang berusaha mengendalikan, membatasi atau mengarahkan
media massa tersebut.
·
Kebebasan
positif merupakan kebebasan yang dimiliki media massa secara organisasi dalam
menentukan isi media. Hal ini berkaitan dengan pengendalian yang dijalankan
oleh pemilik media dan manajer media terhadap para produser, penyunting serta
kontrol yang dikenakan oleh para penyunting terhadap karyawannya.
Kedua
jenis kebebasan tersebut, bila melihat kondisi media massa Indonesia saat ini
pada dasarnya bisa dikatakan telah diperoleh oleh media massa kita. Memang
kebebasan yang diperoleh pada kenyataannya tidak bersifat mutlak, dalam arti
media massa memiliki kebebasan positif dan kebebasan negatif yang kadarnya
kadang-kadang tinggi atau bisa dikatakan bebas yang bebas-sebebasnya tanpa
kontrol sedikitpun.
Kemudian
cakupan permasalahan suatu komunikasi politik di Indonesia tidak hanya ditinjau
dari segi ilmu politik, hubungan internasional, pemerintahan dan administrasi
negara saja, melainkan juga mencakup penilaian terhadap budaya politik yang
pada hakikatnya merupakan totalitas dari segala sikap, tingkah laku, dan
perbuatan manusia yang berkaitan dengan pendekatan gatra politik suatu bangsa.
Gatra politik adalah aspek-aspek kehidupan politik dalam bermasyarakat yang
mantab dengan dipengaruhi oleh kecerdasan dan kesadaran politik.
Kemajuan
teknologi dunia telah mempercepat perluasan sistem politik yang berlaku
disetiap negara. Meningkatnya kemajuan teknologi informal juga akan mempersulit
perkembangan ideologi dan politik yang berlangsung dalam suatu negara.
Serangkaian penemuan baru dalam teknologi informasi menyebabkan arus informasi
membanjiri seluruh strata masyarakat dalam forum nasional, regional, maupun
internasional. Fungsi komunikasi dapat memperpendek jarak atau dapat pula menjauhkan
jarak, semua tergantung pada sifat pesan yang dikomunikasikan.
Komunikasi
politik, adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh
sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi
tersebut dapat mengikat semua kelompok atau warganya melalui suatu sanksi yang
ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik. Pada hakikatnya komunikasi
politik, adalah upaya sekelompok manusia yang mempunyai orientasi, pemikiran
politik dan ideologi sebagaimana yang mereka harapkan. Kecepatan arus informasi
atau komunikasi, tukar-menukar fakta dan data visualisasi kemajuan suatu
negara, merupakan stimulus bagi setiap negara untuk lebih meningkatkan taraf
kehidupannnya.
B.
RUMUSAN MASALAH
Kemerdekaan
bangsa Indonesia dapat terwujud seiring dengan penyaluran aspirasi oleh gerakan
Kebangkitan Nasional 1908 yang dipelopori oleh Dr. Soetomo beserta masyarakat
dan para pejuang Indonesia melalui surat kabar Retno Doemilah. Pers nasional
sejak periode Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 semakin nyata memainkan
peranan penting dalam mempertahankan kedulatan negara Republik Indonesia.
Rintangan
yang dihadapi oleh perkembangan Pers di Indonesia terjadi pada periode
Demokrasi Terpimpin yang menjadikan pers sebagai alat untuk mempertajam pertentangan-pertentangan
politik dan ideologi (alat revolusi).
Salah satu prakarsa terpenting yang
dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pada tahun 1966 adalah menata dan membina
pers nasional melalui ketentuan perundang-undangan dan Ketentuan-ketentuan Pokok
Pers (UU No.11 tahun 1966) sebagai produk legislatif pertama dibidang
pembinaan pers di masa pemerintahan Orde Baru. Selanjutnya undang-undang
tentang ketentuan Pokok Pers tersebut disempurnakan melalui Undang-undang No.4
tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers. Pembinaan pers pun
menyempurnakan UU No.4 tahun 1967 menjadi UU No.21 tahun 1982.
Berikutnya dikeluarkan pula Peraturan Menteri Penerangan No 01/PER/MENPEN/1984
tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, sebagai peraturan pelaksanaan Undang-undang
Pokok Pers tersebut.
Fungsi,
tugas, hak, dan tanggung jawab pers nasional merupakan suatu kesatuan yang tak
terpisahkan dan sudah diatur dengan jelas dalam system pers Pancasila
berdasarkan Garis Besar Haluan Negara, Undang-undang Pokok Pers, serta Kode
Etik Jurnalistik. Sistem Pers Pancasila mempunyai landasan idiil Pancasila,
landasan konstitusional Undang-undang Dasar 1945, landasan operasional
Garis-garis Besar Haluan Negara, landasan professional Kode Etik Jurnalistik,
dan landasan etis nilai-nilai kemasyarakatan. Dalam Bab II, Pasal 2 ayat (3)
tentang fungsi pers dinyatakan:
“Dalam rangka meningkatkan peranannya
dalam pembangunan, pers berfungsi sebagai penyebar informasi yang objektif,
menyalurkan aspirasi rakyat, meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat,
serta melakkan control sosial yang konstruktif. Dalam hal ini perlu
dikembangkan interaksi positif antara pemerintah, pers, dan masyarakat”.
Sosialisasi politik akan lebih cepat
penyebarannya dan segera terealisasikan, apabila dilakukan dengan melalui media
massa. Harold Laswell menjelaskna hubungan antara politik dan komunikasi, yakni
politik tidak lepas dari persoalan “siapa”, serta “dengan
pengaruh yang bagaimana”. Bagi pengertian masyarakat luas, politik yang
disebarluaskan melalui media massa, adalah serangkaian gambaran tentang
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang seharusnya.
Dalam komunikasi politik di Indonesia
menggunakan Demokrasi Pancasila yang membantu memberi kesempatan bagi
masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya, sehingga terjadi hubungan timbal
balik antara masyarakat dengan masyrakat maupun dengan lembaga perwakilan
rakyat dan pemerintah. Sebagaimana tercantum didalam GBHN (TAP MPR
RI No.II/MPR/1988) : “ Penerangan dan media massa sebagai wahana
informasi dan komunikasi timbal balik antara sesama warga masyarakat dan antara
masyarakat dengan pemerintah, diarahkan untuk menggelorakan semangat pengabdian
dan perjuangan bangsa, memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional,
meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara, mempertebal
nilai-nilai budaya bangsa untuk mempertebal kepribadian Indonesia, mencerdaskan
kehidupan bangsa, mengembangkan komunikasi sosial, serta menyalurkan aspirasi
dan menggairahkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan”.
Dalam
aplikasinya, partisipasi politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara guna
mewujudkan pembanguna nasional yang sama rata dapat dilakukan dalam proses
pemilihan umum.
Berdasarkan
hal tersebut maka perumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah apa saja
fungsi dan peranan pers sebagai media politik.
C. TUJUAN
Mengetahui
fungsi dan peranan media massa atau pers sebagai media politik.
PEMBAHASAN
Kebebasan
Pers secara subtansif tidak saja dijadikan indikator atau cermin tingkat
kebebasan yang dimilki masyarakat yang bersangkutan, namun ia juga merupakan
cermin tingkat kematangan dan kedewasaan politik yang telah mereka perjuangkan.
Indikator tingkat kematangan dan kedewasaan politik ini oleh sementara
kalangan,khususnya oleh mereka yang digolongkan dalam kelompok – kelompok yang
memegang peranan penting di dalam masyarakat dimana pun, seperti para wartawan,
cendikiawan, para professional maupun para politisi. Kelompok – kelompok ini
menganggap sangat penting dalam menjamin bergulirnya roda suatu pemerintahan
yang demokratis. Tingkat kematangan dan kedewasaan politik , ternyata telah
pula mengundang pertentangan dari kekuatan – kekuatan politik yang ada tanpa
melihat system sosial dan ideology yang dianutnya. Pertentangan antara kekuatan
– kekuatan sosial dan politik yang ada sesungguhnya bermuara pada dua masalah
yang esensial dalam kehidupan bernegara, yaitu masalah pembangunan nasional
dalam hal ini penetapan kebijakan oleh pemerintah dan masalah kebebasan pers.
Kekuatan – kekuatan sosial dan politik tersebut mempertanyakan tentang kadar
atau bobot yang harus diberikan kepada upaya penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan negara, sedangkan pada sisi yang lain juga dipertanyakan tentang
kadar dan bobot yang diperjuangkan untuk memperoleh kebebasan yang layak
dimiliki oleh semua anggota masyarakat.
Apabila kita amati dari dua aspek tersebut, pembangunan nasional dan kebebasan pers, terutama ketika memberi tekanan yang berbeda. Artinya bila kita menganggap bahwa salah satu lebih penting dari pada yang lainnya, sudah barang tentu akan mengundang banyak pertanyaan. Hal tersebut telah lama dipersoalkan tidak saja di Indonesia,akan tetapi juga hampir di seluruh negara – negara berkembang, dalam konteks ini, kita menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyelenggaraan suatu kekuasaan negara, maka merupakan suatu keharusan yang mutlak bahwa persatuan dan kesatuan nasional merupakan suatu prioritas yang harus dipelihara dan dijaga. Bahkan kalau kita lihat di negara – negara sedang berkembang, hal ini merupakan salah satu tugas utama, yaitu pada sisi lain meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, sedangkan pada sisi lain meningkatkan pertumbuhan kehidupan politik. Kedua ciri khas ini didalam mengembang makna yang dalam, yang tidak bisa dipisahkan dari pengertian stabilitas, pembangunan ekonomi dan efesien. Disini sesungguhnya yang sering kita jumpai, bahwa ketiga pengertian tersebut mampu menggeser prinsip – prinsip kebebasan. Hal ini disebabkan karena pada umumnya sering ada dugaan keras bahwa ciri – ciri kebebasan mempunyai potensi untuk mengganggu stabilitas, bahkan mampu pula mengacaukan kehidupan politik dan tak heran pula bila terpaksa harus mengorbankan makna pentingnya efisiensi dalam pembangunan.
Permasalahan yang kita hadapi sekarang ini tidak sekedar hanya menggambarkan suatu pertentangan antara prinsip – prinsip efisiensi berlawan dengan prinsip kebebasaan semata akan tetapi tidak mustahil bahwa dalam masyarakat tradisional seperangkat nilai – nilai telah menjadi acuan untuk pembenaraan dari para penyelenggara kekuasaan negara yang pasti sangat mengagungkan unsur stabilitas, antara stabilitas dan pembangunan ekonomi memang berjalan seiring bahkan saling mendukung pada suatu masa tertentu. Namun akan janggal bila unsur stabilitas dijadikan alasan untuk menutup saluran – saluran komunikasi dan tersumbatnya sumber – sumber informasi yang mampu menentukan kadar kebebasaan yang bisa disampaikan kepada masyarakat luas. Dari gambaran seperti ini,kita menyadari bagaimana sesungguhnya posisi pers Indonesia dalam mengantisipasi keadaan yang berat sebelah tersebut.
Apabila kita amati dari dua aspek tersebut, pembangunan nasional dan kebebasan pers, terutama ketika memberi tekanan yang berbeda. Artinya bila kita menganggap bahwa salah satu lebih penting dari pada yang lainnya, sudah barang tentu akan mengundang banyak pertanyaan. Hal tersebut telah lama dipersoalkan tidak saja di Indonesia,akan tetapi juga hampir di seluruh negara – negara berkembang, dalam konteks ini, kita menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyelenggaraan suatu kekuasaan negara, maka merupakan suatu keharusan yang mutlak bahwa persatuan dan kesatuan nasional merupakan suatu prioritas yang harus dipelihara dan dijaga. Bahkan kalau kita lihat di negara – negara sedang berkembang, hal ini merupakan salah satu tugas utama, yaitu pada sisi lain meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, sedangkan pada sisi lain meningkatkan pertumbuhan kehidupan politik. Kedua ciri khas ini didalam mengembang makna yang dalam, yang tidak bisa dipisahkan dari pengertian stabilitas, pembangunan ekonomi dan efesien. Disini sesungguhnya yang sering kita jumpai, bahwa ketiga pengertian tersebut mampu menggeser prinsip – prinsip kebebasan. Hal ini disebabkan karena pada umumnya sering ada dugaan keras bahwa ciri – ciri kebebasan mempunyai potensi untuk mengganggu stabilitas, bahkan mampu pula mengacaukan kehidupan politik dan tak heran pula bila terpaksa harus mengorbankan makna pentingnya efisiensi dalam pembangunan.
Permasalahan yang kita hadapi sekarang ini tidak sekedar hanya menggambarkan suatu pertentangan antara prinsip – prinsip efisiensi berlawan dengan prinsip kebebasaan semata akan tetapi tidak mustahil bahwa dalam masyarakat tradisional seperangkat nilai – nilai telah menjadi acuan untuk pembenaraan dari para penyelenggara kekuasaan negara yang pasti sangat mengagungkan unsur stabilitas, antara stabilitas dan pembangunan ekonomi memang berjalan seiring bahkan saling mendukung pada suatu masa tertentu. Namun akan janggal bila unsur stabilitas dijadikan alasan untuk menutup saluran – saluran komunikasi dan tersumbatnya sumber – sumber informasi yang mampu menentukan kadar kebebasaan yang bisa disampaikan kepada masyarakat luas. Dari gambaran seperti ini,kita menyadari bagaimana sesungguhnya posisi pers Indonesia dalam mengantisipasi keadaan yang berat sebelah tersebut.
Ada dua pandangan dalam hal ini: pertama lebih menekankan kepada peran dari
para professional yang menganut dan berpihak kepada prinsip – prinsip
kebebasaan, sedang pandangan kedua lebih menekan kepada pentingnya unsur
stabilitas sebagai indikator dalam mengantisipasi perkembangan atau perubahan
yang terjadi. Oleh karena itu sebagai suatu kelompok professional, para
wartawan dengan sendirinya pula akan tunduk kepada prinsip-prinsip kebebasaan
tadi, akan tetapi bila dilihat dari sisi lain terutama wartawan sebagai insan
sosial politik, ia terpaksa harus berjuang untuk mempertahankan eksistensinya
melalui sanggahan – sanggahan filosofisnya agar ruang gerak kebebasaan yang
diperjuangkan itu mempunyai makna dalam kenyataan hidupnya.
Melihat
uraian di atas, maka focus yang diamati tidak lain adalah masalah hubungan
antara pemerintah dan pers serta posisi masyarakat di antaranya hubungan itu
tidak jarang menimbulkan distorsi karena masing – masing pihak mencoba
mempertahankan posisinya terhadap kepentingan umum.
Apabila
kita menggunakan pendekatan yang dilandasi atas prinsip – prinsip kebebasaan,
seperti apa yang diperjuangkan oleh sebagian besar insan pers, maka wartawan
Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa pada akhirnya beban tanggung jawab politik
atas esensi dari arti kepentingan umum itu ternyata harus pula dipikul oleh
para penyelenggara pemerintahan negara. Demikian juga keadaannya sikap para
kelompok professional cendikiawan maupun para politisi sendiri di sebagian
besar negara – negara di dunia ini, berlaku dan bertindak yang sama, batasan
atas makna kepentingan umum pada dasarnya hanyalah suatu interpretasi atau
penentuan dari sudut pandang professional belaka.
Pemberitaan
– pemberitaan dalam media massa yang banyak menyangkut masalah – masalah
kesukuan, agama dan ras (sara) pada dasarnya juga tidak lepas dari kepentingan
umum. Dan pemberitaan semacam itu akhirnya akan menjadi sajian berita yang
memiliki kepekaan politik dan sosial dengan kadar yang tinggi. Dengan demikian
bila berita – berita yang semacam ini muncul di media massa dan bila
penanganannya didasarkan atas pertimbangan keamanan semata- mata maka sesungguhnya
pemecahannya tidaklah terlalu rumit karena penyelesainya cukup dengan
menggunakan pertimbangan politik saja. Akan tetapi sesungguhnya masalah yang
ada tidaklah sesederhana itu, karena apabila kepentingan umum terlibat di
dalamnya maka tinjauan dari sudut filosofis maupun analisis secara kontekstual
ternyata sangat dibutuhkan.dengan demikian jenis pemberitaan yang bermuatan
SARA tidaklah semata – mata hanya masalah keamanan dan ketertiban saja
melainkan juga merupakan masalah strategis yang akan memakan waktu lama, hal
ini berarti bahwa setiap pemberitaan yang terbuka (trasnparan) dan dapat
dipertanggung jawabkan, tidak lain merupakan bagian dari tindakan politik tidak
saja akan memperhatikan tetapi juga akan menunjang prinsip – prinsip stabilitas
pertumbuhan ekonomi maupun efesiensi.
Itu sebabnya pers Indonesia dan pers dimana saja dituntut untuk berani berjuang
pada tingkat pemikiran filosofis dan mampu meyakinkan para pelaksana kekuasaan
pemerintah negara, bahwa setiap upaya pemantapan suatu keadaan tertentu
misalnya masalah – masalah yang peka di mata masyarakat maupun pemerintah,
acapkali pers harus mengambil jalan dengan resiko tinggi.
Sikap
dan tindakan semacam ini oleh semantara para ahli dipandang sebagai kontribusi
pers terhadap setiap pemecahan masalah yang dihadapi oleh pemerintah dimana
saja.tindakan semacam ini pada dasarnya adalah merupakan tugas yang sifatnya
simbiosis, artinya antara pemerintah dan pers mengemban fungsi saling
membutuhkan. Dilihat dari tugas pers untuk bisa meyakinkan pemerintah maka pada
dasarnya pekerjaan ini hanya merupakan sebagian dari tugas pers yang memberi
ruang gerak yang lebih luas dalam proses pembangunan nasional pada umumnya.
Pada
satu sisi negara – negara yang memiliki pertumbuhan pers yang majemuk ditambah
pada sisi lainnya dengan model pemerintahan yang dibentuk atas dasar pusat –
pusat kekuatan politik yang hidup dalam masyarakat baik yang didasarkan atas
pengelompokkan politik maupun pengelompokan atas dasar kekuatan ekonomi, yang
satu dengan yang lain sesungguhnya mempunyai corak yang tidak sama, maka pada
umumnya dan acap kali terjadi bahwa kebijakan pemerintah yang diambil hanya
menguntungkan salah satu kekuatan tertentu dari pusat – pusat kekuatan yang
ada.
Dalam
kondisi seperti ini dan apa bila hal ini kita cari padanannya secara analogi
dalam kehidupan pers yang majemuk itu, maka akan sukar tercapai suatu
keselarasan tentang kebijakan pers secara nasional kalaupun terjadi di lapangan
implementasinya akan mengundang beragam interpretasi. Situasi seperti ini akan
sering mengundang lahirnya perbedaan penilaian luwes dan simpatik sedangkan
pada sisi lainnya memberi penilaian sebagai pejabat yang galak dan bersikap
apriori.
Akibat
lain dari situasi seperti ini dalam tubuh insan pers sendiri muncul jargo –
jargon komunikasi seperti pers berkolusi dengan penguasa artinya pers dianggap
sebagai alat penguasa belaka dengan cara “tut wuri”saja sedang pers yang
dikategorikan bandel atau pemberani mempunyai konotasi sebagai pers berpihak
kepada sifat – sifat adversary.
Dua
Kutub Pers
Uraian tentang hubungan pers dan pemerintah di atas sesungguhnya menggambarkan adanya dua kutub hubungan yang satu dengan yang lain saling bertolak belakang. Pada kutub pertama lebih menekankan perlunya kerja sama antara pemerintah dan pers. Kerja sama ini dapat diungkapkan dalam lingkup konotasi yang negative, seperti menggunakan istilah crony (“konco”), atau dapat juga menggunakan terminology yang lebih moderat dengan memberi tekanan kepada aspek positif yang lebih banyak bentuk hubungan senacam ini di banyak negara biasa menggunakan istilah system partnership atau kemitraan.umumnya egara – Negara yang menggunakan system semacam ini, sifat hubungan tersebut lebih banyak dicerminkan dalam bentuk kerja sama yang sifatnya saling mendukung dan saling menghidupkan antara kepentingan pemerintah di satu pihak dengan kepentingan pers pada pihak lainnya atau lebih dikenal dengan menggunakan istilah simbiosis mutualitis.
Uraian tentang hubungan pers dan pemerintah di atas sesungguhnya menggambarkan adanya dua kutub hubungan yang satu dengan yang lain saling bertolak belakang. Pada kutub pertama lebih menekankan perlunya kerja sama antara pemerintah dan pers. Kerja sama ini dapat diungkapkan dalam lingkup konotasi yang negative, seperti menggunakan istilah crony (“konco”), atau dapat juga menggunakan terminology yang lebih moderat dengan memberi tekanan kepada aspek positif yang lebih banyak bentuk hubungan senacam ini di banyak negara biasa menggunakan istilah system partnership atau kemitraan.umumnya egara – Negara yang menggunakan system semacam ini, sifat hubungan tersebut lebih banyak dicerminkan dalam bentuk kerja sama yang sifatnya saling mendukung dan saling menghidupkan antara kepentingan pemerintah di satu pihak dengan kepentingan pers pada pihak lainnya atau lebih dikenal dengan menggunakan istilah simbiosis mutualitis.
Perlu dicatat kiranya di sini bahwa bentuk hubungan yang sifatnya cronies
(konco) tersebut juga dijumpai dalam system pers liberal.akan tetapi
pola hubungan itu kurang mendapat tempat di kalangan libertarian. Dalam pikiran
liberal, pola simbiosis itu dikhawatirkan bisa merugikan posisi wartawan sendiri.
Pada kutub lainnya penganut paham liberal seperti apa yang diungkapkan oleh de
sola pool (1972), maka para wartawan sangat yakin bahwa posisi mereka dengan
pemerintah adalah bertolak belakang. Wartawan digambarkan sebagai pihak baik
dan mau membantu masyarakat dalam mencari kejelasan informasi. Sebaliknya pihak
pemerintah digambarkan sebagai penguasa yang ditakuti. Bentuk hubungan semacam
ini seperti apa yang diutarakan, memiliki sifat yang sangat dominan , yaitu
sifat Advesary. Dalam artian pada Pers Liberal mencoba menempatkan diri seakan
akan berada dalam posisi Fis a Fis dengan pemerintah dengan asumsi bahwa Pers
ibarat Hero yang hendak membebaskan masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak nya
yang terancam, terampas oleh perlakuan para politisi yang dipandang sebagai
orang jahat yang selalu mementingkan diri sendiri maka dalam term ini kita
biasa mengenal istilah Bad News Is Good News. Di mana pemberitaan Pers selalu
dipenuhi keritikan terhadap pemerintah dan Politisi.
Apabila kita amati apa yang digambarkan oleh De Sola Pool tersebut di atas maka secara tidak langsung ia ingin menggambarkan bahwa Pola Adversari itu pada umumnya bersifat One-sided (satu sisi) dan tidak akurat. Ia hanya mementingakan satu sisi saja atau tidak melakukan Cover Both Side sehingga mengakibatkan sisi lain terabaikan.
Hubungan
Pers, pemerintah dan Masyarakat
Di kalangan pers yang menganut system Liberal seperti yang dianut oleh Indonesia sekarang ini, adanya kecenderungan besar untuk menyuarakan Budaya Pertentangan dalam artian bahwa akan jauh lebih menarik mengkritik penguasa daripada memujinya. Hal ini tentu saja berimplikasi pada makin sulitnya penguasa negara dalam menjalankan tugasnya karena merasa terus menerus diawasi mengingat begitu besarnya kekuatan dari sebuah media massa yang selalu disebut sebut sebagai salah satu kekuatan yang powerfull. Hal ini sering dialami oleh siapa saja yang sedang memerintah pada era kebebasan Pers. Maka mau tidak mau para penguasa selalu merangkul media ataupun para politisi membangun kerajaan media demi melindungi kepentingannya.
Di kalangan pers yang menganut system Liberal seperti yang dianut oleh Indonesia sekarang ini, adanya kecenderungan besar untuk menyuarakan Budaya Pertentangan dalam artian bahwa akan jauh lebih menarik mengkritik penguasa daripada memujinya. Hal ini tentu saja berimplikasi pada makin sulitnya penguasa negara dalam menjalankan tugasnya karena merasa terus menerus diawasi mengingat begitu besarnya kekuatan dari sebuah media massa yang selalu disebut sebut sebagai salah satu kekuatan yang powerfull. Hal ini sering dialami oleh siapa saja yang sedang memerintah pada era kebebasan Pers. Maka mau tidak mau para penguasa selalu merangkul media ataupun para politisi membangun kerajaan media demi melindungi kepentingannya.
Tentu
hal ini merupakan hal yang sangat dilematis di era keterbukaan seperti sekarang
ini, di satu sisi kita menginginkan adanya kehidupan berdemokrasi namun di sisi
lain kita menginginkan adanya stabilitas.
Bila
kita melihat kembali kepada teori pertentangan sebagaimana yang dikemukakan
oleh de sola pool tadi maka teori kebebasan selalu berpandangan bahwa elemen
permusuhan merupakan sesuatu yang sangat penting karena dengan begitu Pers
mampu menjalankan fungsinya sebagai watch Dog. Mengingat media massa memandang
dirinya sebagai pihak yang selalu memandang dirinya sebagai benteng dari
masyarakat dan kepentingan umum dalam melawan persekongkolan dari penguasa yang
dapat merugikan. Teori ini berpijak pada pandangan bahwa media massa mempunyai
fungsi untuk menciptakan suatu consensus di balik kebijakan nasional. Meski hal
tersebut dianggap canggung oleh sebagian praktisi media yang menganggap bahwa
salah satu fungsi media massa adalah membantu pemerintah dalam melaksanakan
kebijakan politik nasionalnya.
Dalam
hal ini Pers terkadang dibutuhkan untuk bertindak sebagai sebagai inspektur
Jenderal bagi pemerintah agar pemerintah lebih terbuka sekaligus sebagai
penghubung antara penyusunan kebijakan dengan publik. Dengan kata lain pers
bertindak sebagai komunikator bagi pemerintahan. Dalam fungsinya yang demikian
maka pers akan mampu membantu mendekatkan jarak antara kebutuhan publik dengan
kebijaksanaan pemerintah. Terutama sekali hal hal yang bersangkutan dengan
kepentingan masyarakat banyak. Meskipun demikian fungsi Pers sebagaimana yang
digambarkna di atas tadi sebagai jembatan ataupun sebagai sebagai penghubung
antara masyarakat dan Pemerintah jika dihubungkan dengan realitas Pers di
Indonesia maka hubungan segitiga antara Pers, Masyarakat dan Pemerintah
belumlah mencerminkan suatu hubungan yang ideal. Hal ini disebabkan oleh
berbagai hal seperti Kapitalisme Media, Intervensi parpol terhadap Pers itu
sendiri, adanya kedekatan wartawan dengan pejabat yang terkadang wartawan
menjadi subjektif, namun kita tidak bisa serta merta menumpahkan kesalahan ini
kepada Pers semata karena begitu banyak variabel yang menjadi kendali bagi
keharmonisan hubungan segitiga ini baik dari Politisi, penguasa dan pers itu
sendiri. Namun yang harus diwaspadai bahwa jangan sampai masyarakat menjadi
korban dari ketidak harmonisan ini untuk itu dibutuhkan tanggung jawab sosial
media.
Media
dan Tanggung Jawab sosial
Salah satu fungsi Media adalah sebagai alat control sosial dalam hal ini Media dapat saja melakukan kritik, bahkan kritik yang dilakukan oleh media tersebut bisa dianggap sebagai bagian dari kedewasaan politik. Dalam budaya politik manapun kritik melalui media adalah sesuatu yang lumrah kecuali dalam system perpolitikan yang otoriter.
Salah satu fungsi Media adalah sebagai alat control sosial dalam hal ini Media dapat saja melakukan kritik, bahkan kritik yang dilakukan oleh media tersebut bisa dianggap sebagai bagian dari kedewasaan politik. Dalam budaya politik manapun kritik melalui media adalah sesuatu yang lumrah kecuali dalam system perpolitikan yang otoriter.
Namun
yang perlu diperhatikan di sini adalah jangan sampai berbagai kritik yang
dilakukan oleh media jangan sampai menimbulkan ketidak tenangan sosial.
Antisipasi dari timbulnya keadaan tersebut , maka setiap pemberitaan media
dituntut semacam adanya tanggung jawab sosial. Tanggung jawab sosial media
sesungguhnya telah dikenal semenjak berakhirnya Perang dunia II , dan dimulai
serta dirintis di Amerika serikat. Inti pokok dari tanggung jawab sosial media
ini adalah dilatar belakangi oleh muculnya kebebasan Pers, bahwa setiap
kebebasan itu membawa konsekuensi tanggung jawab kepada masyarakat. Dalam hal
ini media massa dikontrol pemanfaatannya oleh masyarakat bahkan oleh kelompok minoritas
sekalipun mempunyai kesempatan yang sama dalam rangka mengutarakan pendapatnya
apabila ada sesuatu atau isu tertentu.
Salah satu ciri dari tanggung jawab
sosial media ini adalah bahwa media massa boleh dimiliki oleh swasta untuk
mencari keuntungan, akan tetapi media massa atau pers harus berfungsi untuk
kepentingan umum atau kesejahteraan umum.danapabila Pers gagal melakukan
fungsinya tersebut maka masyarakat berhak menuntut dan meluruskannya. Hal ini
disebut oleh Dennis Mc Quail’s sebagai The Frame of Public Responsibility Yaitu
media berperan sebagai wadah penyaluran aspirasi masyarakat. Selain itu,
Organisasi media juga merupakan intitusi sosial tempat bertemunya banyak
komitmen profesional (baik secara sukarela maupun sebaliknya) yang bertujuan
untuk mencapai tujuan bersama perusahaan, memperoleh keuntungan dalam bisnis
media. Keunggulan dari alternatif ini; Pertama, memberi kesempatan kepada
publik untuk menyuarakan aspirasi secara langsung sehingga publikasi akan lebih
demokratis dan objektif. Kedua, membuka peluang kerja.
Kendalanya adalah, banyak media yang menolak statusnya sebagai ‘wakil’ masyarakat dengan mengatasnamakan kebebasan media.
Kendalanya adalah, banyak media yang menolak statusnya sebagai ‘wakil’ masyarakat dengan mengatasnamakan kebebasan media.
PERANAN PERS DALAM POLITIK
Pada puncak peringatan Hari Pers
Nasional (HPN) di Gedung DPRD Provinsi Jambi (9/2) lalu, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono meminta pers Indonesia untuk menempatkan diri menjadi bagian
dari solusi persoalan konflik. Pers diharapkan bisa menjadi bagian dalam
mengatasi sengketa di masyarakat. Presiden juga mengajak pers supaya dengan
penuh kesadaran ikut mengelola kehidupan masyarakat sehingga bisa menjadi
prakondisi yang memadai bagi pembangunan ekonomi .
Di sebuah negara demokratis, peranan pers atau media massa sangat penting. Setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif, pers atau media massa dikatakan sebagai pilar keempat (the fourth estate). Peran itu terasa sekali di Indonesia saat ini. Pers memiliki daya pengaruh terhadap proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari betapa pers tidak saja telah memainkan diri sebagai penyebar arus informasi kepada khalayak, namun juga ikut mengawal jalannya penyelenggaraan pemerintahan.
Peran seperti itu tidak dapat dilakukan dengan baik tanpa adanya persyaratan mutlak yakni kebebasan pers. Dengan kebebasan pers, informasi dan gagasan dapat disebarluaskan kepada khalayak tanpa dicekam ancaman pengekangan. Dalam bidang politik, misalnya, peran pers salah satunya adalah melakukan pemberitaan kepada aktor politik yang dinilai memiliki pengaruh terhadap kehidupan publik maupun kebijakan-kebijakan yang dibuat. Pers juga bisa memberi peringatan (early warning) tentang potensi penyimpangan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah.
Disini, pers berposisi sebagai watchdog terhadap pemerintah, untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah agar lebih hati-hati dan akuntabel dalam membuat kebijakan. Dalam sistem politik yang demokratis, kebijakan yang dianggap tidak memihak kepada rakyat dapat dikritik oleh media, maupun sebaliknya media juga bisa memberi dukungan manakala kebijakan pemerintah sesuai dengan kepentingan rakyat. Dengan kata lain, pers selalu dituntut akan tanggung jawab sosialnya. Kepentingan publik harus berada dalam posisi paling depan.
Dengan perannya seperti itu, di satu sisi nampak kebebasan memiliki nilai positif. Hanya saja di sisi lain juga membuka kekhawatiran. Potensi yang terakhir ini adalah bagaimana kebebasan pers justru digunakan sebagai sarana untuk membangun komunikasi patologis di masyarakat. Pers yang tidak seimbang dalam melakukan tugas jurnalistiknya rawan menebar benih kebencian. Pers dimanfaatkan sebagai instrumen politis dengan menempatkan dirinya berpihak pada posisi tertentu. Alih-alih untuk menjadi bagian dari solusi, penyimpangan pers merupakan bagian dari persoalan itu sendiri.
Kerawanan
seperti itu dapat diatasi manakala publik dapat menjadi pengawas dari pers itu
sendiri. Artinya, publik memiliki mekanisme penilaian dan pemilihan tersendiri
mana pers yang berpihak kepada masyarakat dan mana pers yang mementingkan
kelompok tertentu. Selain itu di sisi internal pers, tanggung jawab sosial
kepada publik tidak boleh tertekuk oleh kepentingan sektoral seperti
kepentingan penguasa maupun oleh konglomerasi. Idealisme pers tidak boleh
luntur oleh kooptasi kelompok yang memanfaatkan kebebasan pers untuk meneguk
keuntungan diri.
PERKEMBANGAN PERS di INDONESIA
Perkembangan
pers Nasional dapat dikategorikan menjadi beberapa peiode sbb :
1.
Tahun
1945 – 1950-an
Pada masa ini, pers sering disebut sebagai pers perjuangan. Pers Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk pers. Hal yang diperebutkan terutama adalah peralatan percetakan.
Pada bulan September-Desember 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya koran Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia.
Pada masa ini, pers sering disebut sebagai pers perjuangan. Pers Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk pers. Hal yang diperebutkan terutama adalah peralatan percetakan.
Pada bulan September-Desember 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya koran Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia.
2.
Tahun
1950 – 1960-an
Masa ini merupakan masa pemerintahan parlementer atau masa demokrasi liberal. Pada masa demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik dalam rangka memperkuat sistem pemerintah parlementer. Pers, pada masa itu merupakan alat propaganda dari Par-Pol. Beberapa partai politik memiliki media/koran sebagai corong partainya. Pada masa itu, pers dikenal sebagai pers partisipan.
Masa ini merupakan masa pemerintahan parlementer atau masa demokrasi liberal. Pada masa demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik dalam rangka memperkuat sistem pemerintah parlementer. Pers, pada masa itu merupakan alat propaganda dari Par-Pol. Beberapa partai politik memiliki media/koran sebagai corong partainya. Pada masa itu, pers dikenal sebagai pers partisipan.
3.
Tahun
1970-an
Orde baru mulai berkuasa pada awal tahun 1970-an. Pada masa itu, pers mengalami depolitisasi dan komersialisasi pers. Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi tiga partai, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Peraturan tersebut menghentikan hubungan partai-partai politik dan organisasi massa terhadap pers sehingga pers tidak lagi mendapat dana dari partai politik.
Orde baru mulai berkuasa pada awal tahun 1970-an. Pada masa itu, pers mengalami depolitisasi dan komersialisasi pers. Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi tiga partai, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Peraturan tersebut menghentikan hubungan partai-partai politik dan organisasi massa terhadap pers sehingga pers tidak lagi mendapat dana dari partai politik.
4.
Tahun
1980-an
Pada tahun 1982, Departemen Penerangan mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 1 Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan adanya SIUPP, sebuah penerbitan pers yang izin penerbitannya dicabut oleh Departemen Penerangan akan langsung ditutup oleh pemerintah. Oleh karena itu, pers sangat mudah ditutup dan dibekukan kegiatannya. Pers yang mengkritik pembangunan dianggap sebagai pers yang berani melawan pemerintah. Pers seperti ini dapat ditutup dengan cara dicabut SIUPP-nya.
Pada tahun 1982, Departemen Penerangan mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 1 Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan adanya SIUPP, sebuah penerbitan pers yang izin penerbitannya dicabut oleh Departemen Penerangan akan langsung ditutup oleh pemerintah. Oleh karena itu, pers sangat mudah ditutup dan dibekukan kegiatannya. Pers yang mengkritik pembangunan dianggap sebagai pers yang berani melawan pemerintah. Pers seperti ini dapat ditutup dengan cara dicabut SIUPP-nya.
5.
Tahun
1990-an
Pada tahun 1990-an, pers di Indonesia mulai melakukan repolitisasi lagi. Maksudnya, pada tahun 1990-an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di Indonesia mulai menentang pemerinah dengan memuat artikel-artikel yang kritis terhadap tokoh dan kebijakan Orde Baru. Pada tahun 1994, ada tiga majalah mingguan yang ditutup, yaitu Tempo, DeTIK, dan Editor.
Pada tahun 1990-an, pers di Indonesia mulai melakukan repolitisasi lagi. Maksudnya, pada tahun 1990-an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di Indonesia mulai menentang pemerinah dengan memuat artikel-artikel yang kritis terhadap tokoh dan kebijakan Orde Baru. Pada tahun 1994, ada tiga majalah mingguan yang ditutup, yaitu Tempo, DeTIK, dan Editor.
6.
Masa
Reformasi (1998/1999) – sekarang
Pada masa reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan pers. Pada masa ini terbentuk UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Era reformasi ditandai dengan terbukanya keran kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP. Sebelum tahun 1998, proses untuk memperoleh SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ. Habibie proses tersebut melibatkan 3 tahap saja.
Pada masa reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan pers. Pada masa ini terbentuk UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Era reformasi ditandai dengan terbukanya keran kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP. Sebelum tahun 1998, proses untuk memperoleh SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ. Habibie proses tersebut melibatkan 3 tahap saja.
PENUTUP
KESIMPULAN
Peranan Pers menurut
UU No.40/1999 pasal 6 Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum,
dan HAM, serta menghormati kebhinnekaan Mengembangkan pendapat umum berdasarkan
informasi yang tepat, akurat dan benar Melakukan pengawasan, kritik, koreksi,
dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum
Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Di sebuah negara demokratis, peranan pers atau media massa sangat penting. Setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif, pers atau media massa dikatakan sebagai pilar keempat (the fourth estate). Peran itu terasa sekali di Indonesia saat ini. Pers memiliki daya pengaruh terhadap proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari betapa pers tidak saja telah memainkan diri sebagai penyebar arus informasi kepada khalayak, namun juga ikut mengawal jalannya penyelenggaraan pemerintahan.
Disini, pers berposisi sebagai watchdog terhadap pemerintah, untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah agar lebih hati-hati dan akuntabel dalam membuat kebijakan. Dalam sistem politik yang demokratis, kebijakan yang dianggap tidak memihak kepada rakyat dapat dikritik oleh media, maupun sebaliknya media juga bisa memberi dukungan manakala kebijakan pemerintah sesuai dengan kepentingan rakyat. Dengan kata lain, pers selalu dituntut akan tanggung jawab sosialnya. Kepentingan publik harus berada dalam posisi paling depan.
0 komentar:
Posting Komentar