Sumber: google
Mekanisme Pemilihan Kepala Desa menurut PP No.72 Tahun 2005 tentang Desa pada pasal 43 disebutkan bahwa : Badan Permusyawaratan Desa atau BPD memberitahukan kepada Kepala Desa mengenai akan berakhirnya masa jabatan kepala desa secara tertulis 6 (enam) bulan sebelum berakhir masa jabatan. BPD memproses pemilihan kepala desa, paling lama 4 (empat) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan kepala desa. Pada pasal 47 sampai 52 disebutkan bahwa untuk pencalonan dan pemilihan Kepala Desa, BPD membentuk Panitia Pemilihan yang terdiri dari unsur perangkat desa, pengurus lembaga kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat. Panitia pemilihan melakukan pemeriksaan identitas bakal calon berdasarkan persyaratan yang ditentukan, melaksanakan pemungutan suara, dan melaporkan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa kepada BPD. Panitia pemilihan melaksanakan penjaringan dan penyaringan Bakal Calon Kepala Desa sesuai persyaratan.Calon Kepala Desa yang telah memenuhi persyaratan ditetapkan sebagai Calon Kepala Desa oleh Panitia Pemilihan.
Calon Kepala Desa yang berhak dipilih diumumkan kepada masyarakat ditempat-tempat yang terbuka dan Calon Kepala Desa dapat melakukan kampanye sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Calon Kepala Desa yang dinyatakan terpilih adalah calon yang mendapatkan dukungan suara terbanyak. Panitia Pemilihan Kepala Desa melaporkan hasil pemilihan Kepala Desa kepada BPD. Calon Kepala Desa Terpilih ditetapkan dengan Keputusan BPD berdasarkan Laporan dan Berita Acara Pemilihan dari Panitia Pemilihan.Calon Kepala Desa Terpilih disampaikan oleh BPD kepada Bupati/Walikota melalui Camat untuk disahkan menjadi Kepala DesaTerpilih. Bupati/Walikota menerbitkan Keputusan tentang Pengesahan Pengangkatan Kepala Desa Terpilih paling lama 15 (lima belas) hari terhitung tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari BPD. Kepala Desa Terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota paling lama 15 (lima belas) hari terhitung tanggal penerbitan keputusan Bupati/Walikota. Pelantikan Kepala Desa dapat dilaksanakan di desa bersangkutan dihadapan masyarakat. Masa jabatan Kepala Desa adalah 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Timbulnya Konflik Pemilihan Kepala Desa yang berkepanjangan akibat fanatisme dan kerasnya konfrontasi pendukung calon kepala desa yang secara tatap muka saling memperjuangkan kemenangan calon masing- masing. Bahkan kadang telah melupakan nilai dari demokrasi dan melunturkan nilai etika yang selama ini tertanam dalam masyarakat desa. Konflik diawali dengan ketidakpuasan, berbagai rasa curiga atas kemenangan calon terpilih akan adanya kecurangan dan manipulasi sebagai akibat dari perolehan suara yang sangat ketat, dan reaksi sejumlah pihak yang berkepentingan atas kasus ini cenderung berlebihan. Fanatisme kelompok penduduk saling hujat, curiga, hilangnya sikap saling menghormati dan menghargai atas keunggulan lawan adalah sikap-sikap tidak terpuji yang pada gilirannya menimbulkan konflik. Maraknya sengketa Pemilihan Kepala Desa untuk mendapatkan kekuasaan tidak legowo menerima kekalahan dengan melakukan perbuatan tidak terpuji seperti penyelegelan kantor Desa, menjadikan pemerintahan lumpuh, dan merugikan hak-hak masyarakat dalam mendapatkan pelayanan hanya karena kepentingan dan ego segelintir orang.
Polemik sengketa Pemilihan Kepala Desa, pacsa pemilihan sering mengalami jalan buntu walau telah diupayakan dengan cara musyawarah,atau perhitungan suara ulang, bahkan menjadwal ulang pilkades.
Beberapa masalah konflik antara lain; kepala desa merupakan jabatan baru yang menjanjikan, mekanisme penyelenggaraan belum terjadwal dengan sempurna; belum jelasnya peraturan . Panitia Pilkades dibentuk oleh Kepala Daerah Kabupaten/kota berbeda dengan Pemilu yang panitianya dibentuk secara structural dan lebih netral dari pengaruh kekuasaan. Pada tahap pemungutan suara kadang tidak terpikirkan oleh Panitia Pilkades untuk membuat beberapa Tempat Pemungutan suara untuk mendekati pemilih, hingga tidak terpusat dalam satu tempat walaupun hal ini sederhana akan menimbulkan keengganan masyarakat yang tempat tinggalnya terpencil dan harus berjalan karena belum tersedianya transportasi yang memadai. Hal ini menjadikan peluang besar bagi calon Kades untuk menggunakan cara-cara dengan memobilisasi pemilih menyediakan alat transportasi yang akhrinya menimbulkan hutang budi, sehingga calon pemilih terbebani akan melakukan balas jasa dengan memilih calon tersebut. Terpusatnya masa secara tatap muka akan berpotensi konflik batin maupun fisik apabila hasil perhitungan suara calon tidak sesuai dengan harapan. Dibeberapa tempat belum ada pengaturan tentang permilihan Kades yang dituangkan dalam Peraturan Daerah. Namun Pembuat peraturan tetap berpikir positif bahwa masyarakat desa tetap memiliki nilai-nilai musyawarah dan mufakat.
Terkait dengan persoalan yuridis ada beberapa hal penting untuk diperhatikan dalam proses pelaksanan Pilkades. Pertama, pada tahap pra pemungutan suara. Di dalam UU Pemerintahan Daerah hanya disebutkan bahwa Pilkades diatur dengan Perda. Secara teknis yuridis, kata “dengan” harus ditafsirkan bahwa pengaturan mengenai Pilkades harus dengan Perda dan tidak dilimpahkan lagi ke bentuk peraturan lain. Berbeda dengan kata “berdasarkan” yang secara bebas pengaturannya dapat didelegasikan dengan peraturan lainnya. Terjadinya sengketa pasca Pilkades di bebarapa daerah Kabupaten/Desa karena belum adanya aturan yang jelas. Diperlukan adanya kejelasan peraturan lainnya, misal Peraturan Gubernur/Bupati. Semakin tidak jelas apabila peraturan Gubernur/Bupati saling bertentangan.
Panitia pelaksana Pilkades adalah panitia khusus yang dibentuk oleh kepala daerah kabupaten/ kota. Berbeda dengan Pemilu yang panitianya dibentuk KPUD yang secara struktural lebih netral dari pengaruh kekuasaan. Kedua, pada terpusatnya tahap pemungutan suara, dengan alasan terbatasnya dana harus mendapat perhatian, untuk menghindari tersentralnya masa akan berpotensi konflik batin dan fisik, serta menjadi faktor yang secara psikologis mengganggu pilihan yang murni berdasarkan hati nurani.
Ketiga, pasca Pilkades, dan Pembuat peraturan mungkin terlalu berpikir positif bahwa nilai musyawarah dianggap masih sangat melekat dalam masyarakat desa sehingga apabila terdapat sengketa dapat diselesaikan dengan musyawarah. Meskipun anggapan demikian tidak keliru, namun seharusnya peraturan untuk menjamin kepastian hukum. Sehingga semua pihak dapat secara sadar dan menghormati proses yang benar serta mengeliminasi adanya hukum rimba (siapa yang kuat / dekat dengan orang kuat dia akan menang). Hal ini nampak dari tidak jelasnya pengaturan terhadap sengketa Pilkades. Akibat tidak pastinya definisi mengenai objek sengketa, legal standing, mekanisme penyelesaian, lembaga yang berwenang, tentunya akan sangat menyulitkan penyelesaian perkaranya secara hukum. Kepastian hukum yang berarti adanya standar yang sama tersebut harus diterapkan dalam Pilkades. Mulai dari tahap awal hingga akhir. Tidak ada alasan untuk mendiskriminasikan Pilkades, karena desa merupakan bagian struktur pemerintahan yang diakui dalam hukum positif . Demikian seharusnya negara hukum yang menghormati asas equality before the law yang setiap orang tidak hanya harus berlaku sama dalam ketaatan hukum, tetapi juga harus diperlakukan sama oleh hukum itu sendiri, termasuk dalam hal ini masyarakat desa dan Pilkades mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum yang seharusnya tidak ada perbedaan perlakuan antara pilkades, pileg, dan pilpres yang prosesnya diperlukan standardisasi yang sama sehingga akan lebih mudah dalam menyelesaikan sengketa, apabila terjadi persengketaan.
Sesungguhanya peraturan perundang-undangan yang menentukan terkait dengan implementsi proses pemilihan kepala desa adalah Peraturan Daerah/Peraturan Gubernur yang merujuk pada Peraturan perundang- undangan yang berlaku. Namun dari beberapa sengketa Pemilihan Kepala Desa peraturan daerah belum secara jelas dan tegas penyelesaian sengketa pasca pilkada. Dalam beberapa sengketa para calon yang kalah seringkali mengadukan sengketa Pilkades kepada Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Tata Usaha Negara. Kompetensi peradilan terhadap sengketa pemilihan kepala desa menjadi pertanyaan penting, apabila penyelesaian panitia pilkades tidak diterima oleh para pihak. Menurut tataran normatif jika ada pihak yang merasakan ketidak adilan atas produk hukum itu harus mengacu pada kompetensi peradilan, Keputusan berada pada ranah peradilan adiministrasi (PTUN) sedangkan untuk peraturan ranahnya adalah peradilan umum. Jika kedudukan peraturan itu berada di bawah undang- undang maka pengajuan keberatan dilakukan lewat yudicial review ke Mahkamah Agung. Sedangkan untuk Undang-undang ke atas kewenangannya berada pada Mahkamah Konstitusi (vide pasal l0 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi). Kewenganan dari Peradilan umum adalah sengketa perkara perdata dan pidana walaupun berlaku asas hakim tidak boleh menolak perkara, akan tetapi asas ini berlaku khususnya apabila datang kepadanya perkara perdata. Ikhwal untuk perkara sengketa Pilkades bukan perkara perdata, dan belum tentu mengandung unsur pidana. Jika mengandung unsur pidana kewenangan peradilan dalam hal ini pengadilan negeri bukan karena perkara itu sengketa Pilkades tetapi karena perbuatan yang diadili memenuhi kriteria dalam hukum pidana.
Kewenganan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) berhubungan dengan
sengketa Tata usaha negara yaitu antara badan atau pejabat tata usaha
negara dengan orang atau badan hukum perdata akibat dikeluarkannya
keputusan tata usaha negara. Jika Pilkades dikategorikan sengketa TUN
karena pertama pemerintah dalam ini Camat/pejabat dari kecamatan
dan/atau atas nama pemerintah Kabupaten/kota dan jajarannya lazimnya
tidak mengeluarkan keputusan terkait dengan hukum Tata Usaha Negara.
Keputusan Bupati dalam Pilkades dikeluarkan apabila persoalan Pilkades
sudah selesai. Jika Panitia pilkades digugat apabila dianggap
mengeluarkan keputusan yang merugikan akan tetapi panitia ini bukan
badan atau pejabat negara. Perlu diketahui Panitia Pilkades hanya
melaporkan hasil penyelenggaraan pilkades beserta lampirannya dan bukti
penjelasan, tidak menentukan dan memutuskan hasil pemilihan Kepala Desa.
Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara menyangkut keputusan tertulis
yang dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintah
Sengketa Pemilihan Kepala Desa semakin menarik untuk dibahas. Mengingat pentingnya keberlangsungan kehidupan masyarakat desa yang sejatinya semakin menjauh dari konsep awal yaitu mengawal proses demokratisasi di desa. Diperlukan langkah-langkah bijak para pihak yang bertikai, melepaskan ego kekuasaan untuk memikirkan jalan terbaik sebagai tanggung jawab moral demi kepentingan rakyat, agar tidak berdampak pada penyelenggaraan pemerintahan desa dalam peningkatan pelayanan publik serta kesejahteraan masyarakat .
Sengketa Pemilihan Kepala Desa semakin menarik untuk dibahas. Mengingat pentingnya keberlangsungan kehidupan masyarakat desa yang sejatinya semakin menjauh dari konsep awal yaitu mengawal proses demokratisasi di desa. Diperlukan langkah-langkah bijak para pihak yang bertikai, melepaskan ego kekuasaan untuk memikirkan jalan terbaik sebagai tanggung jawab moral demi kepentingan rakyat, agar tidak berdampak pada penyelenggaraan pemerintahan desa dalam peningkatan pelayanan publik serta kesejahteraan masyarakat .
0 komentar:
Posting Komentar