![]() |
Hukum Pertanahan |
Tanah
punya arti penting bagi kehidupan manusia. Selain sebagai sumber penghidupan,
tanah juga merupakan tempat manusia bermukim. Tanah juga tak hanya bernilai
ekonomis tapi juga ada masalah sosial dan politis di dalamnya.
Secara
umum pengaturan soal tanah diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang
Ketentuan Pokok Agraria (UUPA). UUPA antara lain diatur soal macam-macam hak
atas tanah, yaitu:
a.
Hak Milik
b.
Hak Guna Usaha
c.
Hak Guna Bangunan
d.
Hak Pakai
e.
Hak Sewa
f.
Hak Membuka Hutan
g.
Hak Memungut Hasil Hutan
h.
Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut
di atas yang akan ditetaplan dengan UU serta hak-hak yang sifatnya sementara
seabagai yang disebukan dalam pasal 53 UUPA.
1. Hak Milik
Hak
milik adalah hak turun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas
tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA, dan hak milik dapat
beralih dan dialihkan kepada pohak lain (lihat Pasal 20 UUPA).
Menurut Pasal 22 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 9/1999
tentang Tatacara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan ada 3 hal yang menjadi dasar lahirnya hak milik atas tanah. Antara
lain:
a.
Menurut hukum
adat;
b.
Karena ketentuan Undang-Undang;
c.
Karena penetapan pemerintah.
Hak
milik atas tanah yang lahir karena hukum adat misalnya, Hak milik atas tanah
yang terjadi dengan jalan pembukaan tanah (pembukaan hutan). Pembukaan tanah di
suatu tempat tertentu merupakan awal dari lahirnya kepemilikan tanah bagi
individu atau kelompok, yang menurut hukum adat pembukaan tanah tersebut
diawali dengan pemberitahuan kepada persekutuan hukum dan diberi tanda dan
batas tertentu[1].
Yang
dimaksud dengan pembukaan tanah adalah pembukaan tanah yang dilakukan secara
bersama-sama dengan masyarakat hukum adat yang dipimpin oleh ketua adat melalui
tiga sistem penggarapan yaitu, matok gilah matok galeng, matok sirah gilir
galeng, dan sistem blubaran. Sehingga muncul pertumbuhan tanah seperti di tepi
sungai, danau atau laut, tanah yang tumbuh demikian
itu diangggap menjadi kepunyaan orang
yang memiliki tanah yang berbatasan, karena biasanya pertumbuhan tersebut
sedikit banyak terjadi karena usahanya. Dengan sendirinya terjadi hak milik,
dengan demikian itu juga melalui suatu proses pertumbuhan memakan waktu.
Hak
milik atas tanah yang lahir karena ketentuan undang-undang misalnya karena jual
beli, wasiat, hibah, dan sebagainya
Hak milik atas tanah yang lahir karena Penetapan
Pemerintah, misalnya Hak milik atas tanah ini terjadi karena permohonan
pemberian hak milik atas tanah oleh pemohon dengan memenuhi prosedur dan
persyaratan yang telah ditentukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Bila semua
persyaratan yang telah ditentukan dipenuhi pemohon, maka Badan Pertanahan
Nasional menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH). SKPH ini wajib
didaftarkan oleh pemohon kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten /Kota
setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan sertifikat hak milik
atas tanah. Pendaftaran SKPH menandai telah lahirnya hak milik atas tanah.
2. Hak Guna Usaha (HGU)
Hak
guna usaha adalah hak yang diberikan Negara kepada Perusahaan pertanian,
perikanan atau perusahaan peternakan untuk melakukan kegiatan usahanya di
Indonesia (lihat Pasal 28 ayat 1 UUPA).
Hak
guna usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan
ketentuan, jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang
layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman. Hak
guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pihak
yang dapat memegang HGU ialah a). Warga Negara Indonesia; b). Badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dengan syarat utama, Pertama didirikan menurut ketentuan
hukum Negara Republik Indonesia, Kedua berkedudukan
di Indonesia (lihat Pasal 30 UUPA)
HGU
diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Untuk perusahaan yang
memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna usaha untuk waktu
paling lama 35 tahun. Sementara, atas permintaan pemegang hak dan mengingat
keadaan perusahaannya jangka waktu yang disebut sebelumnya dapat diperpanjang
dengan waktu paling lama 25 tahun.
Hal
perpanjangan HGU ini dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah (PP 40 tahun 1996). HGU hapus dikarenakan 7
hal, yakni:
1.
Karena berakhirnya jangka waktu pemberian HGU;
2.
Karena tidak terpenuhi syarat pemegangnya;
3.
Karena pencabutan hak;
4.
Karena pneyerahan suka rela;
5.
Karena ditelantarkan;
6.
Karena kemusnahan tanahnya;
7.
Pemegang HGU tidak memenuhi syarat dan tidak
melepaskan kepada pihak yang memenuhi syarat.
3. Hak Guna Bangunan (HGB)
Hak
Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan- bangunan atas
tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun
(lihat Pasal 35 ayat 1 UUPA).
HGB
berbeda dengan hak milik atas tanah. Sebab subjek hukum yang bisa menjadi pemegang HGB adalah (Pasal 31
ayat 1 UUPA) :
1.
Warga Negara Indoensia, dan;
2.
Badan hukum[2]
yang didirikan menurut hukum indonesia, dan berkedudukan di Indonesia
Sedangkan,
macam-macam tanah yang bisa diberikan HGB, seperti dijelaskan dalam Pasal 21 PP
No. 40 tahun 1996 antara lain:
1.
Hak Guna Bangunan yang diberikan dari tanah
negara;
2.
Hak Guna Bangunan yang diberikan dari tanah hak pengelolaan;
3.
Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas tanah
hak milik.
HGB
diberikan untuk jangka waktu 30 tahun, dan dapat diperpanjang selama 20 tahun
lagi (Pasal 25 dan Pasal 29 PP No. 40 tahun 1996). HGB ini harus didaftarkan di
dalam buku tanah oleh Kantor Pertanahan terkait (Pasal 38 UUPA, Pasal 22, 23
dan 24 PP No. 40 tahun 1996).
Menurut UPPA Pasal 35 ayat (3) UUPA Jo Pasal 34 ayat 2
PP No 40 tahun 1996, HGB dapat beralih, karena;
1.
Jual beli;
2.
Tukar menukar;
3.
Penyertaan dalam modal;
4.
Hibah;
5.
Pewarisan.
HGB
hapus karena:
1. Karena berakhirnya jangka waktu pemberiannya;
2. Karean tidak terpenuhinya syarat pemegannya;
3. Karena pencabutan hak;
4.
Karena penyerahan sukarela;
5. Karena ditelantarkan;
6. Karena pemegang haknya tidak memenuhi kewajibannya;
7. Karena pemegang haknya tidak memenuhi
kewajibannya berdasarkan perjanjian pemberian
haknya;
8. Karena putusan
pengadilan;
9.
Karena kemusnahan tanahnya.
HGB
dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Hal ini bisa
dilakukan berdasarkan Pasal 39 UPPA yang pengaturan lebih lanjut soal jaminan
HGB ini diatur dalam Pasal 33 PP No. 40 tahun 1996. Soal Jaminan, nanti akan
kita bahas lebih rinci dalam bab-bab berikutnya.
4. Hak Pakai Dan Hak Sewa
Hak
pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang, dan
kewajiban yang ditentukan dalam Keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang
bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan
jiwa dan ketentuan undang-undang (Pasal 41 ayat 1 UUPA).
Dari
definisi di atas, pengertian hak pakai sekilas mirip dengan hak sewa. Tapi
harus diingat, hak pakai bukan merupakan perjanjian sewa menyewa.
Hak
Sewa merupakan hak pakai yang memiliki ciri-ciri khusus. Persewaan bersifat
perseorangan. Maksudnya, menyewa dari orang yang telah punya hak atas tanah,
sehingga tidak dimungkinkan persewaan tanah yang dikuasai oleh negara.
Sebab
negara bukan pemilik tanah, melainkan negara hanya menguasai. Pasal 44 ayat 1
UUPA) mengatakan, seseorang atau badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah,
apabila ia berhak untuk mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan
banguan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
5. Hak Membuka Hutan
Undang-Undang
No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) menyebutkan hutan
berdasarkan statusnya terdiri dari:
1.
Hutan Negara;
2.
Hutan Hak.
Hutan
Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
Dengan kata lain, tidak ada orang atau badan hukum yang punya sertifikat hak
milik, atau hak guna usaha, dan sebagainya atas tanah tersebut. Sehingga
penguasaanya oleh negara, jadi kalau mau menguasai
atau kelola hutan ini, harus seizin negara.
Sedangkan,
Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
Dulu hutan hak disebut hutan milik. Jadi hutan semacam ini ada yang punya. Yang
punya bisa individu/orang atau badan hukum. Namun, Mahkamah Konstitusi melalui
putusannya No. 35 PUU-X/2012 telah mengatur hal baru di mana MK menambahkan
satu lagi status hutan yaitu Hutan adat[3].
Dulu hutan adat masuk dalam hutan negara. Tapi sejak putusan MK, hutan adat
tidak lagi masuk dalam Hutan Negara melainkan berdiri sendiri.
Definisi hutan adat
berdasarkan putusan MK di atas adalah hutan yang berada di wilayah masyarakat
hukum adat. Hingga tulisan ini dibuat belum ada penjelasan secara rinci apa
yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat, apakah individu, badan hukum atau
kelompok masyarakat. Intinya setelah putusan MK tersebut, status Hutan tidak
lagi dua tapi tiga yaitu Hutan Negara, Hutan Hak, dan Hutan Adat.
6. Hak Mengambil/Memungut Hasil Hutan
Pasal
67 UU Kehutanan mengatakan, “masyarakat hukum adat berhak melakukan pemungutan
hasul hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang
bersangkutan.” Pasal 68 ayat 2 UU Kehutanan berbunyi: “Masyarakat berhak
memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku”.
Sebelum dinyatakan Inkonstitusional
dan tidak punya kekuatan mengikat, di dalam UU Kehutanan terdapat Pasal yang
memberi sanksi pidana kepada masyarakat yang mengambil hasil hutan. Adalah
pasal 50 ayat 3 huruf e dan i yang menyatakan, huruf e “setiap orang dilarang menebang pohon atau memanen atau
memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat
yang berwenang. Masyarakat yang melanggarnya diancam pidana paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah).[4]
Huruf i “setiap orang dilarang menggembalakan
ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud
tersebut oleh pejabat yang berwenang. Masyarakat yang melanggarnya diancam
pidana paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp.10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah).[5]
Pasal
50 ayat 3 huruf e dan i UU Kehutanan ini tentu sangat merugikan dan mengancam
masyarakat yang hidup di sekitar area hutan yang menggantungkan kehidupannya
dari hasil hutan. Sehingga pasal tersebut diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap
bertentangan dengan UUD 1945 yang merupakan hukumn positif tertinggi. MK dalam
putusannya No. 95/PUU-XII/2014 mengabulkan permohonan uji materil (judicial review) tersebut. Intinya dalam
putusannya MK mengatakan pasal 53 huruf e dan i tersebut bertentangan dengan
UUD 1945 (konstitusi) dan dinyatakan tidak punya kekuatan mengikat (tidak berlaku).
MK
dalam pertimbangan hukumnya menyatakan ketentuan tindak pidana kehutanan dalam
Pasal 50 ayat (3) huruf e dan huruf i UU Kehutanan tersebut tidak berlaku bagi
masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan, sepanjang melakukan
penebangan pohon, memanen, memungut hasil hutan dan beternak dalam kawasan
hutan dilakukan bukan untuk kepentingan
komersial. MK berpendapat masyarakat yang hidup secara turun temurun di
dalam hutan membutuhkan sandang, pangan, dan papan untuk kebutuhan
sehari-harinya yang harus dilindungi oleh negara, bukan malah diancam dengan
hukuman pidana.[6]
Jadi sekarang bagi masyarakat baik yang hidup di dalam
hutan maupun disekitar hutan dapat mengambil hasil hutan sepanjang masyarakat
tersebut memang menggantungkan kebutuhan hidupnya (sandang, pangan dan papan)
dari hutan dan bukan untuk kepentingan komersil.
6. Hak-Hak Lain
Hak-hak
lain akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya
sementara, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 UUPA. UUPA memberi banyak
macam hak atas tanah. Seperti Hak Gadai, Hak Bagi Hasil atas Tanah dan Hak Sewa
atas tanah Pertanian.
I.
Hak Gadai atas tanah seperti dalam Pasal 7
Undang-undang No. 56 Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
mengatakan, tanah-tanah pertanian yang sudah digadai selama 7 (tujuh) tahun
atau lebih harus dikembalikan kepada yang empunya dalam waktu sebulan setelah
tanaman yang ada selesai dipanenen tanpa kewajiban untuk menuntut pembayaran
uang tebusan. Ketentua ini memberi batasan soal lamanya waktu atas gadai tanah
dimaksud, sehingga tidak menimbulkan kerugian salah satu pihak. Gadai atas
tanah ini biasa terjadi di masyarakat pedesaan. Misalnya di Sumatera Utara,
khususnya di daerah pantai di mana terjadi gadai atas tanaman keras seperti tanaman kelapa yang sudah berbuah durian,
mangga, dan pinang.
Gadai
atas tanaman dan gadai atas tanah hampir punya rumusan yang sama. di mana
selama masa gadai, dan belum dapat ditebus oleh pihak yang menggadaikan, maka
selama itu pula pihak penerima gadai berhak mengambil hasil atas tanaman atau
tanah yang digadaikan. Proses gadai berlangsung menurut kesepakatan para pihak
yang menjalin perikatan. Baik tentang masa waktu gadai dan besarnya jumlah
pinjam serta pengembaliannya.
II.
Hak Bagi hasil adalah hak atas tanah yang
dimiliki pemilik tanah karena pengelolaan sebidang tanah pertanian oleh pihak
lain yang jumlahnya ditentukan atas kesepakatan para pihak dari hasil yang diperoleh.
Hak
bagi hasil atas tanah sering dijumpai dalam masyarakat berupa hasil tanah
pertanian yang dikelola oleh orang lain baik di atas tanah adapt, maupun di
atas tanah pribadi. Baik tanah berupa sawah, maupun tanah darat yang penting
bisa ditanami tanaman atau kacang-kacangan. Praktek ini sering dijumpai di
Sumatera Barat, khususnya di daerah Pasaman
Barat dimana terjadi terjadi perikatan antara sesama warga masyarakat
dalam pengelolaan lahan persawahan milik satu kaum yang kerjakan oleh pihak di
luar kaum (sukunya). Pihak luar kaum adalah orang yang datang ingin
berusaha/bekerja mengolah tanah pada lokaso tanah kaum (suku) tertentu, yang
tidak satu keturunan dengan pengelola
tanah dimaksud.
III.
Hak sewa tanah adalah pemilik tanah pertanian
menyerahkan pengelolaannya epada phak lain secara mutlak setelah ada perjanjian
sewa atas tanah dimaksud. Hak sewa tanah pertanian bisa dilakukan antara sesama
individu maupun sesama kelompok yang kesemuanya didasarkan pada asas musyawarah mufakat.
7. Langkah Mengurus Sertifikat Tanah
Penulis
merasa perlu membahas ini. Sebab, soal pengurusan sertifikat justru menjadi
masalah cukup sering dihadapi masyarakat sehari-hari. Pengurusan sertifikat
dalam hukum disebut pendaftaran tanah. Soal pendaftaran tanah diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Status hak
milik atas tanah sering menjadi masalah di masyarakat. Sebab tak jarang
dijumpai banyak masyarakat yang merasa punya hak milik atas tanah namun
buktinya hanya berupa surat girik, letter C
dsb.
Pertanyaannya
apakah letter C dan/Girik bukti kepemilikan atas tanah yang sah? Jawabnya
tidak. Sederhananya Letter C dan/Girik ini hanya sebagai bukti pembayaran pajak
atas tanah yang dikuasai seseorang. Girik misalnya, ia bukan merupakan hak atas
tanah tapi hanya berupa bukti bahwa atas bidang tanah tersebut dikuasai dan
dibayarkan pajaknya oleh si pemilik girik. Begitu juga dengan Letter
C hanya sebagai bukti yang menguasai tanah
tersebut telah membayar pajak. Banyak lagi surat atau dokumen-dokumen sejenis
seperti Petok D, rincik, ketitir, dsb.
Setelah
Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA) diudangkan dan dinyatakan berlaku pada tanggal 24 September 1960,
masyarakat diharuskan mendaftarkan (konversi) tanahnya agar mendapat hak atas
tanah sebagaimana diatur dalam UUPA.
Hak
atas tanah yang dimaksud antara lain hak milik, hak guna usaha, hak pakai, dsb.
Karena yang menjadi bukti hak atas tanah yang sah adalah sertifikat (sertifikat
hak milik untuk bukti kepemilikan atas tanah, sertifikat HGU untuk bukti hak guna
usaha, dsb) sebagaimana diatur dalam UUPA.
Hanya
saja, lantaran tidak semua masyarakat
paham hukum, atau paham akan aturan tersebut sehingga tak semua masyarakat
melakukan pendaftaran tanah yang dimaksud. Berhubung terdapat begitu banyak
jenis hak atas tanah yang belum bersertifikat, dengan metode pendaftaran
(pensertifikatan) yang berbeda-beda, maka perlu dibuat disclaimer bahwa yang akan disampaikan adalah metode
pendaftaran/pensertifikatan atas tanah girik. Sebab dalam praktik jenis tanah
hak inilah yang mungkin paling banyak ditemukan di masyarakat. Oleh sebabnya,
akan disampaikan langkah-langkah mensertifikatkan tanah sebagai berikut:[7]
1.
Mendapatkan surat rekomendasi dari lurah/camat
perihal tanah yang bersangkutan, yang menyatakan bahwa atas tanah tersebut
belum pernah disertifikatkan serta riwayat pemilikan tanah dimaksud yang
dilampirkan dengan surat Riwayat Tanah.
2.
Pembuatan surat yang menyatakan bahwa tanah
tersebut tidak dalam keadaan sengketa dari RT/RW/Lurah
3.
Dilakukan tinjau lokasi dan pengukuran tanah
oleh kantor pertanahan.
4.
Penerbitan Gambar Situasi atau Surat Ukur, yang
dilanjutkan dengan pengesahannya.
5.
Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) sesuai dengan luas yang tercantum dalam Gambar Situasi atau
Surat Ukur. Pembayaran BPHTB tersebut dilakukan apabila tanah yang dimohon
berasal dari tanah negara atau tanah garapan. Atau dalam hal pada waktu proses
pelaksanaan AJB-nya dulu, BPHTB tersebut belum dibayarkan. Jika berasal dari
tanah bekas hak milik adat, tidak ada biaya BPHTB tersebut.
6.
Proses pertimbangan pada panitia A.
7.
Pengumuman di Kantor Pertanahan dan Kantor
Kelurahan/Kecamatan letak tanah setempat selama lebih kurang 2 bulan.
8.
Pengesahan pengumuman.
9.
Penerbitan Sertifikat tanah.
Untuk
proses pensertifikatan tanah tersebut hanya bisa dilakukan jika pada waktu
pengecekan di kantor kelurahan setempat dan kantor pertanahan terbukti bahwa
tanah tersebut memang belum pernah disertifikatkan dan selama proses tersebut
tidak ada pihak-pihak yang mengajukan keberatan (perihal pemilikan tanah
tersebut).
Prosesnya
bisa 6 bulan sampai 1 tahun. Tapi, jika terjadi suatu kendala di lapangan,
seperti pemekaran wilayah, tuntutan dari pihak yang merasa berhak, atau
sengketa, proses tersebut bisa makan waktu lebih lama dari yang diperkirakan.
Bahkan hal-hal yang tidak berhubungan juga bisa menghambat proses tersebut,
misal, karena pergantian kepala kantor pertanahan, kesalahan penunjukan batas
atau gambar atau human error lainnya, juga bisa menghambat proses tersebut di
lapangan.
Sedangkan, pihak yang berhak mengajukan pendaftaran/ pensertifikatkan
tersebut adalah pemilik yang sah ataupun ahli waris yang sah dari tanah
dimaksud ataupun kuasa dari mereka.
Sehingga, jika kepemilikan tanah tersebut masih terdaftar atas nama nenek dari
pihak yang akan mengajukan permohonan, harus diurus dulu surat-surat waris
(keterangan waris) yang menunjukkan pemohon adalah ahli waris yang sah dari orang yang bersangkutan. Jika pemohon adalah
pembeli akhir dari tanah dimaksud, maka pemohon harus membuktikannya dengan
melampirkan asli akta jual beli tanah yang berkenaan.
Setelah
sertifikat tanah terbit, surat-surat tanah yang asli beserta akta jual beli
tidak dikembalikan kepada pemiliknya karena surat-surat tersebut digunakan
sebagai bukti pendaftaran tanah, dan juga dasar penerbitan sertifikat tanah
yang pemilik terima. Hal ini juga mencegah agar asli surat-surat tanah dan akta
jual beli tersebut tidak beredar lagi di masyarakat untuk diperjual-belikan.
Sehingga tidak terjadi potensi konflik di kemudian hari.
9. Penggusuran Paksa
Penggusuran
sudah menjadi salah satu masalah pelik yang dialami masyarakat. Siapa lagi yang
menjadi korban penggusuran kalau bukan masyarakat miskin yang hidup di bantaran
kali atau perkampungan. Ada banyak alasan yang digunakan pemerintah sehingga
melakukan penggusuran paksa, misalnya demi kepentingan umum, demi menata kota
agar lebih indah ramah lingkungan, penataan ruang dan sebagainya.
Namun
dibalik itu, ada hal-hal, aturan atau prosedur hukum yang harus diperhatikan
oleh Pemerintah agar penggusuran yang dilakukan sesuai dengan hukum sehingga
tidak melanggar hak-hak masyarakat.
Penggusuran Paksa
merupakan pelanggaran HAM berat. Sehingga tindakan penggusuran sudah sepatutnya
tidak dilakukan. Sebab dampak dari penggusuran tersebut sangat besar. Seperti
menyebabkan orang menjadi tunawisma, hilangnya rasa aman, terisolasi dari
komunitas dan keluarga, hilangnya hak untuk jaminan sosial, hilangnya hak atas
identitas, hilangnya hak untuk akses kesehatan, hilangnya hak anak untuk
mengenyam pendidikan karena mahalnya biaya pindah rumah, kerugian ekonomi,
meteri dan juga kerugian psikologis berupa trauma
serta depresi yang sangat
mendalam apalagi jika korbannya anak-anak kecil. Bahkan, dalam beberapa kasus
menyebabkan hilangnya nyawa orang[8].
Undang-Undang
Dasar 1945 (UUD 45) sebagai dasar hukum positif tertinggi, menjamin semua orang
berhak atas tempat tinggal dan hidup yang layak (lihat Pasal 28 H UUD 1945)
juga setiap warga negara berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi (lihat Pasal 28 G UUD 45). Dan adalah
kewajiban atau tugas negara untuk memenuhi itu semua.
Pasal
40 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatakan “setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta
berkehidupan yang layak”. Dan masih banyak lagi peraturan lainnya baik nasional
maupun internasional yang menjamin hak setiap orang untuk memeperoleh hak atas
tempat tinggal seperti Undang-Undang (UU) No 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Pemukiman, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, Konvensi tentang
Penghapusan Segala Jenis Diskriminasi Terhadap Perempuan yang pemerintah
Indonesia sudah ratifikasi melalui UU No. 8 tahun 1984, Konvensi Hak Anak yang
sudah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36
Tahun 1996. Sehingga penggusuran sepatutnya bukan lah solusi. Sebab dampak yang
ditimbulkan akibat penggusuran sangat besar dan berkepanjangan.
Menurut
Komite PBB untuk Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mengatakan bahwa
pengusiran/penggusuran “hanya dapat dibenarkan di dalam keadaan yang luar
biasa, dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang terkait”.
Bahkan dalam “keadaan yang luar biasa” di mana pengusiran paksa bisa dilakukan
tanpa melanggar hukum internasional, ada beberapa persyaratan tentang tata cara
yang harus diikuti:
Ø Pertama, pemerintah
harus memastikan bahwa sebelum ada pengusiran – terutama yang melibatkan banyak
orang – bahwa semua kemungkinan lain telah dijelajahi
dengan melakukan perundingan dengan orang-orang yang terkena pengusiran, dengan
pandangan untuk menghindari atau sedikitnya memperkecil kebutuhan untuk
menggunakan kekuatan paksa.
Ø Kedua, pengusiran seharusnya tidak
membuat seseorang menjadi tunawisma atau rentan terhadap pelanggaran hak-hak
manusia lainnya. Pemerintah dengan demikian harus memastikan bahwa alternatif
tempat tinggal atau lahan yang memadai harus tersedia bagi orang terkena pengusiran.
Ø Terakhir, di dalam kasus-kasus yang
jarang terjadi di mana pengusiran paksa dianggap dapat dibenarkan, pengusiran
tersebut harus dilaksanakan dengan kepatuhan yang ketat pada ketentuan-ketentuan
tambahan hukum hak asasi manusia internasional terkait dan sesuai dengan
prinsip-prinsip umum kewajaran dan kesebandingan (general principles of reasonableness and proportionality). Hal ini
temasuk yang di bawah ini sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU No. 11 tahun
2005 tentang Pengesahan Internasional Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak
Ekonomi Sosial Budaya (UU Ekosob) Jo Komentar Umum PBB No 7 angka 16 :[9]
1.
Pemberitahuan yang wajar dan patut harus diberikan kepada semua orang yang akan diusir sebelum tanggal jadwal dari pengusiran;
2.
Informasi tentang pengusiran yang akan
dilakukan, dan, jika mungkin, tentang peruntukan lain bagi lahan atau tempat
tinggal itu, harus disediakan di dalam waktu yang cukup kepada semua yang
terkena pengusiran;
3.
Pejabat pemerintah atau pewakilan mereka harus
hadir selama pengusiran, terutama ketika banyak orang sedang diusir;
4.
Semua orang yang melakukan pengusiran harus
memiliki pengenal yang jelas dan sesuai;
5.
Pengusiran tidak boleh dilakukan ketika cuaca
sangat buruk atau di malam hari, kecuali para penghuni menyetujuinya;
Pertolongan
hukum harus diberikan bagi mereka yang memerlukannya; dan;
6.
Bilamana mungkin, bantuan hukum harus disediakan
bagi yang membutuhkannya supaya mereka dapat memperoleh penggantian melalui
peradilan.
Jika penggusuran
dilakukan tanpa mengindahkan prosedur-prosedur di atas, maka masyarakat/warga
berhak menolak penggusuran tersebut.
10. Korban Penggusuran Paksa Berhak Atas Ganti Rugi
Jika
penggusuran memang tak dapat lagi dihindarkan. Maka masyarakat yang tanah atau
rumahnya digusur berhak atas ganti rugi. Lantas siapa yang berhak mendapat
ganti rugi? Benarkah warga yang tinggal/menguasai tanah negara tidak berhak
mendapat ganti rugi ?
Sebelumnya
kita harus tahu dahulu bahwa Tanah untuk Kepentingan Umum itu digunakan untuk
pembangunan (lihat Pasal 10 UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum/UU
Pengadaan Tanah). Adapun Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan
menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan
dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan
hukum Pihak yang Berhak.[10]
Siapakah
pihak
yang berhak itu? Pihak yang
berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah yang
dibutuhkan bagi pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 ayat 3 UU Pengadaan Tanah dan Pasal 17 Peraturan Presiden No. 71 tahun
2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum (Perpres 71/2012) yang
meliputi:
a.
pemegang hak atas tanah;
b.
pemegang pengelolaan;
c.
nadzir untuk tanah wakaf;
d.
pemilik tanah bekas milik adat;
e.
masyarakat hukum adat;
f.
pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik;
g.
pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan/atau
h.
pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.
Adapun
jenis objek engadaan tanah yang berhak mendapat ganti kerugian menurut Pasal 1
ayat 4 dan Pasal 33 UU Pengadaan Tanah adalah:
a.
tanah;
b.
ruang atas tanah dan bawah tanah;
c.
bangunan;
d.
tanaman;
e.
benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau
f.
kerugian lain yang dapat dinilai
Berdasarkan
Pasal 36 UU Pengadaan Tanah, Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk:
a.
uang;
b.
tanah pengganti;
c.
permukiman kembali;
d.
kepemilikan saham;
atau
e.
bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Kepemilikan
tanah bekas milik adat dibuktikan antara lain :
a.
Petuk pajak Bumi/Landrente, girik, pipil,
ketitir, Verponding Indonesia atau alat pembuktian tertulis dengan nama apapun
juga sebagaimana dimaksud dalam pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan
Konversi Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;
b.
Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan
yang dibubuhi tanda kesaksian oleh kepala adat, lurah, kepala desa atau nama lain
yang dibuat
sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dengan
disertai alas hak yang dialihkan;
c.
Surat tanda bukti hak milik yang ditrerbitkan
berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan;
d.
Surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat
yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang tidak disertai
kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua
kewajiban yang disebut di dalamnya; atau
e.
Surat keterangan riwayat tanah yang pernah
dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan disertai dengan alas hak
yang dialihkan
Syarat mendapatkan ganti rugi bagi warga
yang sudah turun
temurun menguasai/tinggal di tanah negara menurut Pasal 23 dan
25 Perpres 71/2012:
1.
Bukti tanah
a.
sertipikat hak atas tanah yang telah berakhir
jangka waktu haknya;
b.
surat sewa-menyewa tanah;
c.
surat keputusan penerima obyek tanah landreform;
d.
surat ijin garapan/membuka tanah; atau
e.
surat penunjukan/pembelian kavling tanah pengganti.
2.
Bukti Bangunan
a.
Ijin Mendirikan Bangunan dan bukti fisik bangunan;
b.
Surat Pernyataan Penguasaan Fisik; atau
c.
bukti tagihan atau pembayaran listrik, telepon,
atau perusahaan air minum, dalam 1 (satu) bulan terakhir
d.
sertipikat hak atas tanah yang telah berakhir
jangka waktu haknya;
e.
surat sewa-menyewa tanah;
f.
surat keputusan penerima obyek tanah landreform;
surat
ijin garapan/membuka tanah; atau
g.
surat penunjukan/pembelian kavling tanah pengganti.
Bagaimana jika tidak memiliki bukti surat tanah dan bangunan?
Menurut
Pasal 26 UU Pengadaan Tanah, Pembuktian pemilikan atau penguasaan dapat
dilakukan dengan bukti lain berupa pernyataan tertulis dari yang bersangkutan
dan keterangan yang dapat dipercaya dari paling sedikit 2 (dua) orang saksi
dari lingkungan masyarakat setempat yang tidak mempunyai hubungan keluarga yang
bersangkutan sampai derajat kedua,
baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal, yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan adalah benar sebagai pemilik atau menguasai sebidang
tanah/bangunan tersebut.
Berapa besar ganti kerugian dan siapa yang menetapkan ?
Berdasarkan
Pasal 34 UU Pengadaan Tanah dan Pasal 63 Perpers 71/2012, Nilai ganti kerugian
merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk
Kepentingan Umum yang penilaiannya ditetapkan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan
Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik
11. Tahapan Yang Harus Dilakukan Pemerintah Ketika Akan Membebaskan Lahan
Menurut
Pasal 13 UU Pengadaan Tanah, Pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum
diselenggarakan melalui tahapan:
1.
Perencanaan; yaitu pembuatan dokumen yang
meliputi (lihat Pasal 5 Perpres 71/2012)
a.
maksud dan tujuan rencana pembangunan;
b.
kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan
Rencana Pembangunan Nasional dan Daerah;
c.
letak tanah;
d.
luas tanah yang
dibutuhkan;
e.
gambaran umum status tanah;
f.
perkiraan waktu pelaksanaan Pengadaan Tanah;
g.
perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan;
h.
perkiraan nilai tanah; dan
i.
rencana penganggaran
Dokumen ini selanjutnya
disampaikan kepada Gubernur sebagai bahan untuk melakukan pemberitahuan kepada
publik dan masyarakat yang terkena pembebasan
lahan
2.
Persiapan Pengadaan Tanah. Tahap Persiapan ini meliputi:
a.
Pemberitahuan (lihat Pasal 12,13,14,15 Pepres
71/2012) yaitu Tim yang dibentuk Gubernur melakukan pemberitahuan kepada
masyarakat secara langsung dan tidak langsung. Pemberitahuan secara langsung
meliputi sosialisasi, tatap muka atau surat pemberitahuan sedangkan
pemberitahuan tidak langsung melalui media cetak maupun elektronik. Undangan
untuk pemberitahuan melalui tatap muka disampaikan lurah kepada warga lokasi
proyek secara tertulis paling lambat 3 hari sebelum pertemuan. Sedangkan
pemberitahuan di media massa minimal 1 kali hari kerja di media lokal dan
nasional
b.
Pendataan
awal lokasi (Perkap BPN no.5/2012 pasal 7 & 10) Petugas (satgas A)
melakukan pendataan fisik Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan
Tanah (pengukuran batas keliling lokasi pengadaan tanah; pengukuran bidang per
bidang; menghitung, menggambar bidang per bidang dan batas keliling; dan pemetaan bidang per
bidang dan batas keliling bidang tanah). Petugas (satgas B) Pendataan data
Pihak yang Berhak (warga) dan Objek Pengadaan Tanah (nama, pekerjaan, dan
alamat Pihak yang Berhak; Nomor Induk Kependudukan atau identitas diri lainnya
Pihak yang Berhak; bukti penguasaan dan/atau kepemilikan tanah, bangunan,
tanaman, dan/atau benda yang berkaitan dengan tanah; letak tanah, luas tanah
dan nomor identifikasi bidang; status tanah dan dokumennya; jenis penggunaan
dan pemanfaatan tanah; penguasaan dan/atau
kepemilikan tanah, bangunan,
dan/atau benda lain yang berkaitan dengan tanah;
pembebanan hak atas tanah; dan ruang atas dan ruang bawah tanah.
Dari data yang
dikumpulkan lalu dibentuk daftar sementara lokasi rencana pembangunan yang
ditandatangani oleh tim persiapan sebagai bahan untuk konsultasi publik
c.
Konsultasi Publik Rencana Pembangunan (pasal 23
UU no.02/2012 & Bagian keempat
perpres 71/2012) :
Tim persiapan melalui
aparat kelurahan mengundang warga atau pihak yang terdampak secara tertulis
paling lambat 3 hari sebelum konsultasi dengan dan dibuktikan dengan tanda
terima dari warga. Konsultasi ini bertujuan untuk mendapat kesepakatan lokasi
rencana pembangunan dari warga setempat atau pihak yang berhak. Tim persiapan
menjelaskan kepada warga tentang:
Ø maksud
dan tujuan rencana pembangunan untuk kepentingan umum;
Ø tahapan
dan waktu proses penyelenggaraan Pengadaan Tanah;
Ø peran
Penilai dalam menentukan nilai Ganti Kerugian;
Ø insentif
yang akan diberikan kepada pemegang hak;
Ø Obyek
yang dinilai Ganti Kerugian;
Ø bentuk
Ganti Kerugian; dan
Ø hak
dan kewajban Pihak yang Berhak
Jika
konsultasi publik menghasilkan kesepakatan maka dituangkan dalam berita acara
kesepakatan. Namun bila tidak mencapai kesepakatan maka diadakan konsultasi
publik ulang paling lama 30 hari. Jika konsultasi publik ulang tetap tidak
menghasilkan kesepakatan maka tim persiapan menyampaikan masalah keberatan
kepada Gubernur untuk dilakukan verifikasi keberatan warga yang dilakukan oleh
tim kajian yang dibentuk oleh gubernur selama 14 hari kerja. Berdasar
rekomendasi dari tim kajian kemudian gubernur menetapkan lokasi rencana
pembangunan yang diumumkan melalui kantor kelurahan dan kecamatan lokasi
rencana pembangunan dan media massa. Pihak yang masih keberatan dengan penetapan
lokasi rencana pembangunan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) paling lambat 30 hari setelah dikeluarkan penetapan lokasi
rencana pembangunan hingga kasasi ke Mahkamah Agung.
3.
Pelaksanaan Pengadaan Tanah (Bab IV perpres 71/2012). Meliputi:
a.
inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah;
Hasil inventarisasi dan
identifikasi penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah wajib diumumkan di
kantor kelurahan dan kecamatan setempat atau lokasi rencana pembangunan selama
14 hari. Warga yang keberatan dengan hasil daftar inventarisasi dapat
mengajukan keberatan selama 14 hari kepada Kantor wilayah Badan Pertanahan
Nasional selaku ketua pelaksana pengadaan tanah untuk kemudian dilakukan verifikasi.
b.
Penilaian Ganti
Kerugian;
Penetapan besarnya nilai
ganti kerugian dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah (Kanwil BPN)
berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik yang dibentuk oleh
kanwil BPN. Nilai Ganti kerugian yang dinilai oleh Penilai merupakan nilai pada
saat pengumuman Penetapan Lokasi pembangunan untuk Kepentingan umum.
c.
Musyawarah penetapan Ganti Kerugian
Setelah adanya hasil
penilaian nilai ganti kerugian, paling lama 30 hari kerja kemudian dilakukan
musyawarah penetapan ganti kerugian bersama warga yang berhak yang
diselenggarakan oleh ketua pelaksana pengadaan tanah (kanwil BPN) untuk
mencapai kesepakatan nilai dan bentuk ganti rugi. Jika sudah tercapai
kesepakatan kemudian dibuatkan berita acara kesepakatan. Namun bila tidak
tercapai kesepakatan, pihak yang keberatan dapat mengajukan keberatan ke
Pengadilan Negeri 14 hari setelah ditandatangani berita acara musyawarah hingga
kasasi ke Mahkamah Agung.
d.
Pemberian Ganti
Kerugian;
Setelah ada kesepakatan
atau putusan tetap terkait nilai dan bentuk ganti rugi maka pemerintah wajib
memberikan ganti rugi paling lama 7 hari setelah penetapan melalui rekening
bank (jika bentuk ganti ruginya uang) kepada setiap warga yang berhak. Namun
bila warga masih keberatan dengan nilai dan bentuk ganti rugi padahal sudah ada
putusan pengadilan yang tetap maka pemerintah menitipkan ganti rugi di
pengadilan. Jika bentuk ganti rugi adalah tanah pengganti maka dana pembelian
tanah dititipkan ke bank yang kemudian pemerintah wajib mencarikan tanah
pengganti paling lama 6 bulan sejak penetapan bentuk ganti rugi. Jika bentuk
ganti rugi adalah pemukiman kembali maka pemerintah menitipkan uang ke bank dan paling lama 1 tahun pemerintah
wajib menyediakan pemukiman kembali bagi warga yang berhak. Tanah pengganti
maupun pemukiman kembali status tanahnya harus atasnama warga yang berhak,
bukan sewa atau pinjam.
e.
Pelepasan tanah
Instansi
Setelah selesai semua
proses pemberian ganti kerugian, warga kemudian menyerahkan bukti
kepemilikan/penguasaan tanah kepada ketua pelaksana pengadaan tanah dan
menandatangani berita acara pelepasan tanah.
4.
Penyerahan hasil Pengadaan Tanah
Jika semua proses di atas
selesai dan warga pemilik atau yang menguasai tanah sudah menandatangani berita
acara pelepasan tanah, maka ketua pelaksana pengadaan tanah menyerahkan dokumen
hasil pengadaan tanah kepada instansi yang membutuhkan tanah
5.
Pembangunan
Berdasar laporan hasil
pengadaan tanah yang disampaikan ketua pelaksana pengadaan tanah, maka instansi
yang membutuhkan tanah sudah bisa mulai melakukan pembangunan.
[1] Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas
Tanah, (Jakarta : Republika, 2008), hal.59
[2] Yang termasuk badan hukum
adalah Perseroan Terbatas, Koperasi, dan Yayasan.
[3] Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor. 35 PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013.
[4] Pasal 78
ayat 5 UU Kehutanan “Barang siapa dengan
sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3)
huruf e atau huruf f, diancam dengan
pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)”.
[5] Pasal 78 ayat 8 UU Kehutanan “Barang siapa
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)”
[6] Putusan Mahkamam Konstitusi
Nomor. 95/PUU-XII/2014 tanggal 10 Desember 2015.
[7] Irma Devita, Bagaimana Cara Mensertifikatkan Tanah
Girik?, diakses dari
http://irmadevita.com/2012/bagaimana-cara-mensertifikatkan-tanah-girik/ tanggal 2 Juni 2018
[8] Alghifari Aqsa, Penggusuran Paksa dan Hak Atas Perumahan, diakses dari
https://alghif.wordpress.com/2012/05/09/penggusuran-paksa-dan-hak-atas-perumahan/ tanggal 30 Mei 2018
[9] Berdasarkan Pasal 31 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dapat dipahami bahwa
Komentar Umum PBB merupakan tafsir resmi dari Konvensi tentang Hak-Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui
UU No. 11 tahun
2005. Sehingga berlaku
sebagai hukum nasional
karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari UU No. 11 tahun 2005
0 komentar:
Posting Komentar