Dijeratnya para
pelaku tindak pidana perbankan dengan ketentuan tindak pidana korupsi beberapa
tahun belakangan ini bisa menimbulkan efek buruk bagi dunia perbankan. Dalam
skala luas, hal ini bisa menimbulkan ketidakpercayaan perbankan nasional dan
internasional terhadap kepastian hukum di Indonesia.
Pertanyaan yang bisa
dimunculkan terhadap hal ini, kepada siapakah (adresat) hukum perbakan
ditujukan? Lalu dalam hal-hal apa saja hukum perbankan bisa dikesampingkan oleh
undang-undang Tindak Pidana Korupsi?
Pertanyaan ini begitu
penting dikedepankan, mengingat dalam beberapa kasus perbankan yang dijerat
dengan tindak pidana korupsi telah menimbulkan keresahan dikalangan dunia
perbankan. Ketidak pastian hukum dalam bidang perbankan sudah menunjukkan ciri
terjadinya krisis kelebihan kriminalisasi, yakni mengenai banyaknya atau
melimpahnya perbuatan yang dikriminalisasikan dan krisis pelampauan batas dari
pidana, berupa pengendalian perbuatan dengan tidak menggunakan sanksi pidana
yang efektif. (muladi :1984).
Tidak Taat Asas Pidana
Penggunaan hukum
pidana sebagai sebuah bentuk penghukuman merupakan hal yang limitatif sifatnya.
Oleh karenanya, dalam mempergunakan hukum pidana haruslah memperhatikan
garis-garis kebijakan penggunaan hukum pidana, salah satunya adalah mentaati
asas-asas hukum yang berlaku dalam hukum pidana. Terkait dengan hal ini,
Herbert L. Packer di dalam bukunya The Limit of Criminal Sanction, menyatakan
bahwa ada tiga inti yang harus dijadikan patokan memandang hukum pidana, yakni
: Pertama, Sanksi Pidana sangatlah diperlukan karena kita tidak dapat
hidup, sekarang maupun di masa depan tanpa pidana. Kedua, Sanksi Pidana
merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk
menghadapai kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan serta merta untuk menghadapi
ancaman-ancaman dari bahaya. Ketiga, Sanksi Pidana suatu ketika merupakan
penjamin yang utama, dan suatu ketika merupakan pengancam utama dari kebebasan
manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secar hemat-cermat dan secara
manusiawi, atau sebaliknya akan menjadi pengancam apabila digunakan secara
sembarangan dan secara paksa.
Untuk itulah, hukum
pidana dibatasi dengan beberapa asas-asas penting yang sifatnya mengikat,
sehingga harus selalu diijadikan pedoman dalam penggunaan sarana hukum pidana,
agar tujuan pemidanaan bisa terjaga dengan baik dalam suatu proses penegakan
hukum pidana, dari awal hingga akhir.
Dalam kasus tindak
pidana perbankan yang diserap sebagai tindak pidana korupsi hal ini sering
diabaikan. Banyak kasus yang kemudian muncul menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dalam kasus BLBI misalnya, hukum pidana korupsi yang seharusnya ditegakkan,
dinegasikan dengan penyelesaian hukum perdata. Hal ini jelas bertentangan
dengan undang-undang tindak pidana korupsi, yang menyatakan secara jelas bahwa
pengembalian kerugian negara sebagai akibat perbuatan korupsi tidak
menghilangkan sifat melawan hukum pidananya.
Sebaliknya dalam
kasus Neloe, Hukum Pidana Korupsi menjadi sangat superior terhadap hukum
perbankan. Hal ini jelas sangat aneh bin ajaib. Karena secara normatif,
perbuatan yang dilakukan oleh Neloe telah secara jelas dan tegas telah diatur
dalam UU No 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Tetapi faktanya, Neloe dihukum
dengan UU Korupsi.
Dalam dua contoh
kasus diatas, tampak penegakan hukum yang dikedepankan tidak mempertimbangkan
secara cermat dan tepat asas lex spesialis derogat legi generalis,
menurut kekhususan yang sistematis.
Kekhususan yang
Sistematis (Sistematis Specialite) merupakan suatu ketentuan pidana yang
menyatakan walaupun tidak memuat semua unsur dari suatu ketentuan yang bersifat
umum, ia tetap dapat dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat
khusus, yaitu apabila dengan jelas diketahui, bahwa pembentuk undang-undang
memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu
ketentuan pidana yang bersifat khusus
Lebih lanjut, dampak
buruk lainnya adalah timbulnya deligitimasi undang-undang perbankan itu
sendiri. Padahal, jika melihat ketentuan hukum perbankan, aspek hukum yang
terkait dalam undang-undang ini didominasi oleh ketentuan hukum administrasi
dan perdata, sementara ketentuan hukum pidana mendapatkan porsi yang sangat
kecil karena kapasitas dan misinya ditujukan sebagai sarana hukum terakhir (ultimum
remedium).
Pembagian porsi hukum
ini bukan tanpa dasar, hal ini telah mempertimbangkan aspek iklim perbankan
nasional pada khususnya dan kepercayaan luar negeri terhadap integritas aktor
perbankan nasional pada umumnya.
0 komentar:
Posting Komentar