(Kajian
Hukum TerhadapUndang –
Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Advokat,
Dan Surat
Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015
Tahun 2015 Tentang Penyumpahan Advokat)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Advokat atau di Indonesia
lebih populer dengan sebutan pengacara, telah dikenal sejak zaman Romawi dengan
sebutan officium nobile (profesi
mulia). Disebut sebagai profesi yang mulia karena advokat mengabdikan dirinya untuk
kepentingan masyarakat dan bukan bagi dirinya sendiri serta kewajibannya untuk
turut menegakkan hak asasi manusia. Abdul Hakim G. Nusantara mengatakan bahwa
advokat sebagai kegiatan pelayanan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat
miskin dan buta hukum[1].
Sejak revolusi Perancis
sampai pada zaman modern sekarang ini, motivasi pemberian bantuan hukum bukan
hanya berdasarkan rasa perikemanusiaan kepada orang yang tidak mampu, melainkan
telah menimbulkan hak politik atau hak warga negara yang berlandaskan kepada
konstitusi modern.
Kedudukan dan peran
advokat dalam sistem hukum dan peradilan di indonesia sebagaimana tersurat pada
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Advokat yaituadvokat berstatus sebagai penegak
hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan
perundang-undangan. Penegak hukum dalam hal ini kemudian harus dipahami secara
utuh dan konkrit. Advokat dalam menjalankan profesinya akan selalu bersinggungan
dengan aparat penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa, hakim.
Dalam sistem peradilan
pidana misalnya, masing-masing penegak hukum mempunyai tugas yang berbeda. Polisi
bertugas di bidang penyelidikan dan penyidikan. Kejaksaan bertugas dibidang penuntutan,
hakim bertugas memutus perkara dan advokat meperjuangkan kepentingan masyarakat
(klien). Dalam rangka membela klien, advokat harus memegang teguh prinsip equality before the law (persamaan di
depan hukum) dan asas presumption of
innocene (praduga tak bersalah). Tujuannya adalah agar dalam tugas
pembelaannya dijalankan secara efektif[2]. Hakim
berpangkal pada posisinya yang obyektif sehingga penilaiannya juga harus
objektif. Lain halnya dengan jaksa penuntut umum yang mewakili negara
berpangkal pada posisi subjektif. Advokat dalam hal ini mewakili kepentingan
tersangka/terdakwa (klien) ada pada posisi subjektif.
Ditengah sikap skeptis
masyarakat terhadap penegakan hukum di indonesia saat ini, peran advokat di
harapkan dapat menjadi harapan. Masa transisi dimana negara ini masih mencari bentuk terbaik
dalam pelaksanaan tata pemerintahannya,termasuk pelaksanaan fungsi advokat.
Profesi advokat harus dijalankan secara independen, profesional, dan bergerak
pada asas keadilan, kemanfaatan, dankepastian hukum. Oleh karena itu profesi
advokat perlu diatur secaracermat dan sistematis dalam suatu perundang-undangan
khusus (exceptionalacts).
Profesi advokat sangat penting keberadaannya,terutama dalam
mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia, yaitu terwujudnya masyarakat yang egaliter, sejahtera,
adil, dan makmur berdasar atas hukum nasional. Artinya, hukum merupakan jembatan menuju terwujudnya
cita-citanasional tersebut melalui serangkaian aturan dan proses-proses hukum (dueto process and rules of law). Advokat
merupakan profesi yang bebasdan independen dari segala pengaruh atau tekanan (intervention) pihak lain. Hal inilah yang mendasari
pemberian “label” penegak hukum bagi profesi advokat dalam undang-undang
advokat. Profesi advokat harus dijalankan dengan tanpa tekanan atau intimidasi dari elemen-elemen pemerintahan
lainnya.
Selama ini dalam praktek pelaksanaan undang-undang advokat
banyak pelaggaran yang dilakukan advoakt itu sendiri. Hal ini kemudian
menjadikan profesi advokat tidak lagi sebagai “officium nobile”. Hal ini dapat kita lihat semakin banyaknya
pelanggaran yang melibatkan oknun advokat. Pelanggaran yang terjadi tidak hanya
sebatas pada pelanggaran etika profesi tetapi juga ada yang melakukan tindak
pidana. Selain pelanggaran yang bersifat personal advokat, konflik organisasi
advokat juga memberi sumbangan yang cukup buruk terhadap elektabilitas profesi
advokat.
Mengutip kata pepatah lama “karena nila setitik rusak susu
sebelanga”. Hal ini kemudian terjadi pada profesi advokat. Karena tindakan
oknum advokat yang tidak bertanggung jawab, kemudian mengakibatkan buruknya
citra advokat dimata masyarakat. Apabila hal seperti ini terus terjadi dan
tidak ada upaya yang luar biasa untuk mengatasinya, maka profesi advokat akan
semakin rapuh dan akan meninggalkan jiwanya sebagai “pembela yang benar”. Untuk
mengatasi hal tersebut, maka perlu diadakan reformasi pada profesi advokat. Pertama,
mengembalikan profesi advokat sebagai sebuah profesi mulia yang independen dan tidak tersentuh
kepentingan kekuasaan. Kedua, mengembalikan fungsi yang hakiki dari profesi
advokat untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan mengawal konstitusi.
Ketiga, menjalankan fungsi check and balances bagi institusi-institusi
penegak hukum lainnya. Keempat, mendorong dan memfasilitasi serta menegakkan
prinsip-prinsipnegara hukum yang demokratis guna mewujudkan kedaulatan rakyat.
Kelima, melindungi
martabat dan hak asasi manusia.
Profesi advokat harus senantiasa mencirikan independensi dan profesionalitasnya sesuai dengan
amanat undang-undang. Inilah kondisi ideal profesi advokat, meski pada beberapa hal idealitas tersebut belum atau masih sulit untuk
diwujudkan. Independensi profesi advokat merupakan bagian dari prinsip negara hukum yang demokratis. Prinsip
ini diperlukan untuk melindungi profesi advokat dari intervensi, bujukan, rayuan,
paksaan maupun pengaruh lembaga, teman sejawat, atau pihak-pihak lain, sehingga advokat dalam menangani suatu perkara
benar-benar berdasar pada hukum, rasa keadilan dan hati nurani.
Profesi advokat yang independen dimaksudkan agar penyelenggaraan peradilan berjalan
sesuai dengan koridor hukum (fair trial). Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, profesi
advokat yang masuk kedalam sistem lembaga peradilan harus ditopang oleh advokat-advokat
yang memiliki kapabilitas, integritas, dan kualitas pribadi yang tinggi.
Persoalan moralitas dewasa ini menjadi salah satu mainstream yang paling penting. Moralitas penegak
hukum, khususnya advokat, harusmenjadi perhatian lebih karena demikian sangat
menentukan alur proses peradilan.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian diatas, dapat
dirumuskan rumusan masalah,
yaitu:
1.
Bagaimana politik hukum dan Profesi Advokat
2. Bagaimana
politik hukum dalam
Undang-Undang nomor 18 tahun 2003 Tentang Advokat pasca dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 73 Tahun 2015 Tentang Penyumpahan Advokat?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
POLITIK
HUKUM DAN PROFESI ADVOKAT
a.
Politik
Hukum
Politik pada umumnya
diberi berbagai arti seperti kebijakan, seni kekuasaan, dan cara, akal dan
taktik. Intinya politik adalah cara mempengaruhi orang lain agar dapat
bertingkah laku sesuai dengan kehendak mempengaruhi yakni orang yang mempunyai
kekuasaan.[3] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
politik hukum didefinisikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi
garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan,
dan cara bertindak.[4]
Definisi dari KBBI tersebut lebih melihat politik hukum sebagai blueprint
terhadap sekalian kebijakan yang akan diambil dalam rangka penegakan hukum pada
segenap dimensi kehidupan masyarakat. Dengan demikian, politik hukum merupakan patronase bagi stakeholder dalam
melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya di bidang hukum.
Menurut Mahfud MD, ada hubungan kausalitas antara politik dan
hukum. Hubungan ini kemudian memunculkan pertanyaan tentang apakah hukum yang
mempengaruhi politik ataukah sebaliknya. Dalam hubungan tersebut diatas, hukum
lebih cenderung terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang
lebih besar dari pada hukum. Sehingga apabila harus berhadapan dengan politik,
maka hukum berada dalam kedudukan yang lebih lemah.[5]
Dengan menggunakan asumsi dasar bahwa
hukum sebagai produk politik, maka politik akan sangat menentukan kebijakan
hukum. Secara lebih spesifik dapat dikemukakan bahwa konfigurasi politik suatu
negara akan melahirkan karakteristik politik hukum tertentu di negara tersebut.[6]
b.
Profesi
Advokat
Profesi
adalah bidang pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian/keterampilan tertentu.[7] Advokat
sebagai nama resmi profesi dalam sistem peradilan di Indonesia pertama-tama
ditemukan dalam ketentuan Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili (RO).
Advokat merupakan padanan dari kata advocaat
(belanda) artinya seseorang yang telah resmi diangkat untuk menjalankan
profesinya setelah memperoleh gelar meester in de rechten.[8] Advokat adalah orang
yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun diluar pengadilan yang
memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang. Dalam upaya menjunjung
tinggi citra profesi advokat sebagai profesi yang terhormat, advokat/pengacara
bukan sekedar mencari nafkah semata, tetapi juga harus memperjuangkan nilai
kebenaran dan keadilan, karena di dalamnya terdapat adanya idealisme dan
moralitas.[9]
Selain
berfungsi untuk membela kepentingan masyarakat (public defender) dan kliennya, advokat juga berfungsi dan
berkewajiban untuk berperan dalam pembangunan hukum (law
development), pembaruan hukum (law reform), dan pembuatan formulasi rumusan hukum (law rechtvorming).
Menurut
Frans Hendra Wiarta, kebebasan profesi advokat menjadi sangat penting artinya
bagi masyarakat yang memerlukan jasa hukum (legal
services) dan pembelaan (litigation)
dari seorang advokat. Masyarakat yang perlu dibela akan mendapat jasa hukum
dari seorang advokat independen yang membela semua kepentingan kliennya tanpa
ragu-ragu.[10]
2.
Politik
Hukum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
Hukum
sebagai alat rekayasa sosial merupakan fenomena yang menonjol pada masa kini.
Pada masa tradisional, hukum lebih merupakan pembadanan dari kaidah-kaidah
sosial yang sudah tenteram di dalam masyarakat. Dalam perkembangannya hingga
saat ini, hukum telah menjadi sarana yang sarat dengan keputusan politik.[11]
Munculnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat merupakan implementasi
dari kekuasaan kehakiman.
Kekuasaan
kehakiman yang bebas dari segala campur tangan pengaruh dari luar, memerlukan
profesi advokat. Hal ini adalah bentuk sinergisitas profesi advokat yang bebas,
mandiri dan bertanggung jawab untuk terselenggaranya suatu peradilan yang
jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam
menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia.
Pada
awal kemerdekaan, organisasi profesi advokat di Indonesia menganut multi bar
association system. Hal ini ditandai dengan terbentuknya beberapa profesi
advokat, dimulai dengan terbentuknya Persatuan Advokat Indonesia (PAI) pada
tanggal 14 Maret 1963 yang kemudian digantikan oleh Persatuan Advoat Indonesia
(PERADIN) pada tanggal 30 Agustus 1964.
Profesi
advokat yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum perlu
dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya supermasi
hukum.Kebebasan advokat juga telah
diakui secara universal. Dalam Resolusi
Konggres PBB tahun 1985 dinyatakan dengan tegas bahwa asas kebebasan advokat
merupakan syarat mutlak sebagai komponen atau bagian yang tidak terspisahkan
dari kebebasan peradilan.[12]
Dalam
realita kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, profesi advokat yang
kemudian diharapkan menjunjung tinggi supermasi hukum, pada akhirnya jatuh dan
dipandang sebagai penyumbang bobroknya penegakkan hukum di Indonesia. Banyak
advokat yang masuk kedalam pusaran suap yang akhirnya berujung pada sikap
skeptis masyarakat terhadap profesi ini. Selain itu permasalahan yang paling
krusial saat ini adalah tentang organisasi advokat.
Menurut
Gerry Spence keprofesionalan para lawyers, menjadi kurang berarti, bahkan
mengganggu apabila tidak diarahkan kepada tujuan kemanusiaan yang lebih tinggi.[13]
Kritik ini ditujukan karena ketidakmampuan (incompetence)
untuk memberikan pelayanan kepada publik. kenyataan yang ada dimasyarakat
adalah advokat hanya memberikan pelayanan sesuai dengan pesanan dari klien.
kritik yang disampaikan Spence ini merupakan tamparan keras bagi profesi advokat
di dunia pada umumnya.
IUS CONSTITUTUM
UNDANG-UNDANG NO. 18 TAHUN 2003
Undang-Undang
No. 18 Tahun 2003 mengamanatkan pembentukan organisasi profesi advokat
satu-satunya sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 ayat (1). Organisasi advokat
tersebut terbentuk paling lambat 2 (dua) tahun setelah undang-undang tersebut
diundangkan dengan kata lain paling lambat pada tahun 2005 telah terbentuk.
Untuk memenuhi ketentuan dalam undang-undang tersebut maka pada tanggal 21
desember 2004 di deklarasikan
Perhimpunan
Advokat Indonesia (PERADI) yang merupakan perwujudan dari single bar
association.
Hal
ini merupakan sinyal positif akan bersatunya profesi advokat Indonesia dalam
suatu wadah organisasi profesi sebagaimana amanat Undang-Undang No. 18 Tahun
2003 tersebut. Kemudian pada tanggal 30 Mei 2008 di deklarasikanlah Kongres
Advokat Indonesia (KAI) sebagai bentuk
perlawanan terhadap single bar association milik PERADI.
Saat
ini profesi advokat sudah kehilangan semangatnya untuk memiliki kepedulian
kemanusiaan diatas keprofesionalannya. Beberapa cenderung mementingkan materi
dari pada tujuan dari pada profesi ini sendiri. Ironisnya, profesi advokat yang
dijunjung sebagai profesi mulia kemudian di gerogoti dengan carut marut
organisasi advokat yang ada di indonesia. Hal yang paling sering kita dengar
yaitu perseteruan antara organisasi advokat Perhimpunan Advokat Indonesia
(PERADI) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI). Perseteruan ini didasarkan pada
wadah tunggal organisasi advokat(single
bar system) sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang
Advokat. Secara rinci pasal tersebut menjelaskan bahwa organisasi advokat
merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang
dibentuk sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dengan maksud dan tujuan
meningkatkan kualitas profesi advokat. Kesepakatan untuk membentuk wadah
tunggal organisasi profesi advokat dari segi ius constiutum sebenarnya telah
sesuai.Pembentukan organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) secara de
facto dan de jure pembentukan organisasi advokat ini sah secara hukum.
Dalam
perkembangannya, kemudian muncul permintaan dari organisasi advokat yaitu Kongres
Advokat Indonesia untuk merevisi undang-undangadvokat khusunya rumusan Pasal 4
ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) UU
No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Kedua
pasal itu yang masing-masing mengatur tentang sumpah advokat dan wadah
tunggal organisasi advokat dianggap sangat krusial terhadap perkembangan
dan kebutuhan advokat.Kedua pasal diatas kemudian yang menjadi pemicu munculnya
konflik antara organisasi advokat KAI dan PERADI.
IUS
OPERATUM
Dalam
pelaksanaan Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, Mahkamah Agung
Sebagai lembaga yang mempunyai kekuasaan menyelenggarakan lembaga peradilan
telah mengambil langkah-langkah konrit terkait konflik antara organisasi
advokat KAI dan PERADI. Terjadinya konflik antara PERADI dn KAI kemudian
berimbas pada para pencari keadilan. Terkait adanya polemik antara PERADI dan
KAI dalam hal pengambilan sumpah
advokat, maka kemudian Ketua Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Ketua Mahkamah
Agung No. 089/KMA/VI /2010 yang kemudian disampaikan kepada Ketua Pengadilan
Tinggi di seluruh Indonesiatanggal 25 Juni 2010.
Surat
ini pada
pokoknya agar dalam mengambil sumpah para calon Advokat, dengan ketentuan bahwa
usul penyumpahan tersebut harus diajukanoleh Pengurus PERADI sesuai dengan jiwa
kesepakatan tanggal 24 Juni 2010.Surat tersebut dengan maksud dan tujuannya telah
konkrit, individual dan final adalah keputusan yang mempunyai akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata (organisasi profesi Advokat). Akibat
dikeluarkannya surat ini menimbulkan efek domino bagi anggota organisasi
advokat Konggres Advokat Indoesia. Advokat dari KAI tidak diperkenankan
mendampingi klien dimuka persidangan karena bukan merupakan usulan/rekomendasi
sumpah dari PERADI.
IUS CONSTITUENDUM
Ius
Constituendum atau hukum yang dicita-citakan haruslah memiliki manfaat yang lebih baik bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Untuk memperoleh manfaat dari ius constituendum di
masa mendatang, maka pola dan prosesnya harus mengacu pada politik hukum
nasioanl. Politik Hukum disini dimaksudkan sebagai legal policy yang akan atau
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah indonesia yang meliputi:[14]
1) Pembangunan
hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum
agar dapat sesuai dengan kebutuhan;
2) Pelaksanaan
ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum;
Dari
pengertian tersebut politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan
sifat dan kearah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan. Berdasarkan pada
pemaparan ius constitutum dan ius operatum diatas, maka sebagai langkah untuk
membuat suatu regulasi tentang organisasi advokat dimasa mendatang yang sesuai
dengan kebijakan politik hukum nasional, maka diperlukan kaidah-kaidah yang
mengatur agar konflik diantara organisasi advokat tidak menjadi semakin
meruncing.
Ius
constituendumnya yaitu berupa menyebutkan organisasi advokat PERADI yang telah
diakui oleh undang-undang dan penyelenggara peradilan tertinggi yaitu Mahkamah
Agung sebagai satu-satunya organisasi
advokat yang dapat mengusulkan penyumpahan terhadap advokat. Hal ini tidak
dimaksudkan untuk mengurangi kebebasan berorganisasi warga negara indonesia
untuk membuat atau mendirikan organisasi advokat lainnya, akan tetapi dimaksudkan
untuk menyelamatkan profesi advokat sebagai profesi mulia dan meminimalsir
pelanggaran kode etik advokat.
PASCA
DIKELUARKANNYA SURAT KETUA MAHKAMAH AGUNG NOMOR 73/KMA/HK.01/IX/2015 TAHUN 2015 TENTANG PENYUMPAHAN ADVOKAT.
Mahkamah Agung telah menerbitkan terkait penyumpahan advokat. Melalui
Surat Ketua MA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015,[15] Mahkamah Agung intinya menyatakan bahwa Ketua Pengadilan
Tinggi memiliki kewenangan untuk melakukan penyumpahan terhadap advokat yang
memenuhi syarat dari organisasi manapun.
Terdapat delapan butir yang termaktub dalam
Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015. Pertama,
bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,
sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau
berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah
domisili hukumnya.
Kedua, bahwa berdasarkan Surat Ketua MA Nomor 089/KMA/VI/2010
tanggal 25 Juni 2010 yang pada pokoknya Ketua Pengadilan Tinggi dapat mengambil
sumpah para advokat yang telah memenuhi syarat dengan ketentuan bahwa usul
penyumpahan tersebut harus diajukan oleh pengurus PERADI sesuai dengan jiwa
kesepakatan tanggal 24 Juni 2010, ternyata kesepakatan tersebut tidak dapat
diwujudkan sepenuhnya, bahkan PERADI yang dianggap sebagai wadah tunggal sudah
terpecah dengan masing-masing mengklaim sebagai pengurus yang sah. Di samping
itu, berbagai pengurus advokat dari organisasi lainnya juga mengajukan
permohonan penyumpahan.
Ketiga, bahwa UUD 1945 menjamin hak untuk bekerja dan
memperoleh penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak mendapatkan imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sesuai ketentuan Pasal 27 ayat(2) dan Pasal 28D ayat (2).
Keempat, bahwa di beberapa daerah tenaga advokat
dirasakan sangat kurang karena banyak advokat yang belum diambil sumpah atau
janji sehingga tidak bisa beracara di pengadilan sedangkan pencari keadilan
sangat membutuhkan advokat.
Kelima, bahwa advokat yang telah bersumpah atau
berjanji di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya,
sebelum maupun sesudah terbitnya UU Advokat, tetap dapat beracara di pengadilan
dengan tidak melihat latar belakang organisasinya.
Keenam, bahwa terhadap advokat yang belum bersumpah
atau berjanji, Ketua Pengadilan Tinggi berwenang melakukan penyumpahan terhadap
advokat yang memenuhi persyaratan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Advokat atas
permohonan dari beberapa organisasi advokat yang mengatasnamakan PERADI dan
pengurus organisasi advokat lainnya hingga terbentuknya UU Advokat yang baru.
Ketujuh, setiap kepengurusan advokat yang dapat
mengusulkan pengambilan sumpah atau janji harus memenuhi syarat-syarat
sebagaimana ditentukan dalam UU Advokat selain yang ditentukan dalam angka 6
tersebut di atas.
Kedelapan, dengan diterbitkannya surat ini, maka Surat
Ketua MA Nomor 089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010 perihal Penyumpahan Advokat
dan Surat Nomor 052/KMA/HK.01/III/2011 tanggal 23 Maret 2011 perihal Penjelasan
Surat Ketua MA Nomor 089/KMA/VI/2010 dinyatakan tidak berlaku.[16]
Didalam dunia advokat di
Indonesia juga harus mengalami sebuah perubahan yang sangat significant. Surat Ketua Mahkamah Agung
No.73/KMA/HK.01/IX/2015 tentang penyumpahan advokat. Kini Peradi bukan lagi
satu satunya organisasi yang bisa menghasilkan advokat yang bisa disumpah oleh
Pengadilan Tinggi. Berbagai organisasi advokat lainpun kini boleh mengajukan
penyumpahan calon Advokat mereka masing masing. Meski diwarnai berbagai pro dan kontra dengan
berbagai alasan dan pembenaran masing masing.[17]
Ketua Mahkamah Agung M. Hatta Ali baru saja menerbitkan Surat
KMA No. 73/KMA/HK.01/IX/2015 tertanggal 25 September 2015 terkait kewenangan
Pengadilan Tinggi menyumpah advokat yang memenuhi syarat dari organisasi
advokat manapun. Alasan pokok kebijakan ini terbit lantaran organisasi advokat
yang ada, khususnya Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) sudah terpecah-pecah, dengan terbitnya Surat Ketua Mahkamh Agung No. 73 tidak ada lagi wadah tunggal organisasi advokat
sesuai Pasal 28 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat karena PERADI
sudah pecah. Namun, kebijakan ini bersifat sementara sebelum terbentuknya
pilihan sistem organisasi advokat lagi. Karena itu, Mahkamah Agung memberi kesempatan para advokat yang memenuhi syarat dari
organisasi manapun untuk bisa disumpah di Pengadilan Tinggi.[18]
Pasca dikeluarkan Surat Ketua
Mahakamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015, semakin luasnya peluang Organisasi
Advokat selain PERADI dan KAI yang meminta penyumpahan Advokat kepada Ketua
Pengadilan Tinggi di wilayah hukumnya diseluruh Indonesia, yaitu Ikatan Advokat
Indonesia (IKADIN), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), dan organisasi –
organisasi advokat lainnya, sehingga para pencari hukum tidak susah lagi
mencari advokat – advokat dikarenakan minimnya para advokat.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian diatas, dapat diambil suatu kesimpulan yaitu organisasi advokat
harus diwujudkan dalam satu wadah (single bar association system). Tujuannya
adalah agar organisasi profesi advokat tetap konsisten menjadi pengawal
konstitusi dan kembali menjadi profesi yang mulia. Untuk itu politik hukum dalam Undang-Undang nomor
18 tahun 2003 Tentang Advokat haruslah mengacu pada perbaikan dan mengembalikan kewibawaan
profesi advokat untuk kemaslahatan pencari keadilan dan bukan untuk kepentingan
organisasi.
Setelah
lahirnya Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
73/KMA/HK.01/IX/2015, wadah tunggal (single bar) tidak tercapai, sehingga
Mahkamah Agung mengeluarkan surat tersebut untuk mengambil sumpah para advokat
dengan tidak melihat dari organisasi akan tetapi calon advokat harus lah sudah
memenuhi pasal 4 Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
2.
Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka saran yang dapat
diberikan adalah segera direvisinya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang
Advokat agar terciptanya wadah tunggal Advokat, sehingga para
pencari keadilan dan Aparat Penegak Hukum tidak multitafsir tentang keabsahan
organisasi advokat.
BUKU-BUKU
Hakim,
Abdul Aziz, 2011. Negara Hukum dan
Demokrasi di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Ishaq,
2010. Pendidikan Keadvokatan, Jakarta
: Sinar Grafika.
Mahfud
MD, Moch, 1998. Politik Hukum di
Indonesia, Yogyakarta : LP3ES.
------------------------,
2010. Membangun Politik Hukum, Menegakkan
Konstitusi, Jakarta : Rajawali Pers.
-----------------------, 2014, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers.
Pangaribuan,
Luhut M.P., 1996, advokat dan contempt of
court satu proses di dewan kehormatan profesi. Jakarta : Djambatan.
Rahardjo,
Satjipto, 2002. Sosiologi Hukum Perkembangan
Metode dan Pilihan Masalah. Surakarta : Muhammadiyah University Press
-----------------------,
2009. Hukum Progresif Sebuah Sintesa
Hukum Indonesia. Yogyakarta : Genta Publishing.
Rambe, Ropaun, 2001. Teknik Praktek Advokasi, Jakarta :
Grasindo.
Syaukani, I & Thohari, A. A. 2008. Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta:
Rajawali Pers.
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945
Undang-Undang nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat
Undang-Undang nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah
Agung
Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015
WEBSITE
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt560ba4a791ea0/jubir-ma--surat-kma-no-73--solusi-sementara. Diakses 10 Juli 2018
JURNAL/ARTIKEL
Mahayoni, Artikel, Perlunya Penguatan Peran dan
Fungsi Komisi Yudisial dalam Membangun Peradilan yang Bersih dan Berwibawa
[1] Ishaq,
2010. Pendidikan Keadvokatan, Jakarta
: Sinar Grafika.Hal.12
[2] Ibid.
hal.36
[3] Hakim,
Abdul Aziz, 2011. Negara Hukum dan
Demokrasi di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal.29-30.
[4] Imam Syaukani & Thohari, A. A. 2008. Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta:
Rajawali Pers. Hal.22
[5] Abdul
Aziz Hakim, Op.Cit.hal.13
[6] Ibid. hal.10
[7] Ropaun Rambe,
2001. Teknik Praktek Advokasi,
Jakarta : Grasindo.hal.41
[8] Luhut Pangaribuan M.P., 1996, Advokat
Dan Contempt Of Court Satu Proses Di Dewan Kehormatan Profesi. Jakarta :
Djambatan.hal.1
[9] Ropaun Rambe.Op.Cit. hal.33
[10] Ishaq.
Lok.Cit. hal 43
[11] Satjipto Sucipto, 2002. Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan
Pilihan Masalah. Surakarta : Muhammadiyah University Press. Hal.81
[12] Ishaq. Loc.Cit. hal.43
[13] Sucipto Raharjo. Op.Cit. hal
105
[14] Mahfud MD, Moch, 1998. Politik Hukum di Indonesia, Yogyakarta :
LP3ES. Hal.9
[15] Surat Ketua Mahkmah Agung
Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015
[17]
Mahayoni, Artikel, Perlunya Penguatan Peran dan
Fungsi Komisi Yudisial dalam Membangun Peradilan yang Bersih dan Berwibawa.
0 komentar:
Posting Komentar