1. Dengan
Tetap Mengacu kepada UU. No. 1 Tahun
1974 / PP. No. 9 Tahun 1975, INPRES No. 1 Tahun 1991 (KHI. Tahun 1991), HIR.,
PP. No. 10 Tahun 1983 / PP No. 45 Tahun 1990 dan Ketentuan-Ketentuan Khusus
Perkawinan dan Perceraian Bagi Anggota TNI / POLRI;
2. Apabila Pemohon /
Gugatan Cerai diajukan oleh anggota TNI (aktif), maka
persyaratan administratifnya harus dilengkapi dengan SURAT IZIN untuk melakukan
perceraian dari Atasan / Komandan yang bersangkutan (Langsung dapat diproses
lanjut) ;
3. Apabila Permohon /
Gugatan Cerai tersebut belum dilengkapi dengan SURAT
IZIN, Majelis Hakim dalam persidangan lansung memerintahkan kepada
yang bersangkutanm untuk mendapatkan izin tersebut keatasan /
komandannya, perintah tersebut dimuat dalam Berita Acara
Persidangan, (sidang pertama ditunda / belum dapat di mediasi);
4. Penundaan persidangan
minimal 6 bulan, terhitung sejak Tanggal Surat Permohonan
Izin Cerai diajukan keatasan / komandannya (bukan
dihitung sejak penundaan persidangan), karena memungkinkan penundaan
telah 5 bulan sementara permohonan izin ke atasan / komandannya bari 1 bulan)
maka kemungkinan proses penerbitan izin pada atasan sedang berlangsung majelis
telah menyidangkannya dapat mengakibatkan pertentangan / komplik antar instansi
/ lembaga atau Pengadilan Agama dengan Komando;
5.
Apabila penundaan telah
berjalan 6 bulan, kemudian masa permohonan izin keatasan / komandannya belum
cukup 6 bulan, maka seharusnya ditunda lagi untuk
mencukupi 6 bulan (masa proses pada atasan/komandannya);
6.
Apabila, tetap hendak
melanjutkan perkara tanpa memenuhi syarat 6 bulan dan atau
tanpa SURAT IZIN dari atasan / komandannya maka (“demi” perlindungan hukum atas
majelis hakim), maka yang bersangkutan harus / wajib membuat SURAT PERNYATAAN
MENERIMA RESIKO akibat perceraian tanpa izin, lalu mejelis hakim lebih dahulu
memberitahukan / menasehatkan kemungkinan resiko baik yang sifatnya teringan
seperti ; sanksi admnistratif pemindahan, penurunan /
penundaan kenaikan pangkat pangkat, gaji dll., dan atau resiko
terburuk dengan sebuah pemecatan, kalau sudang mengerti dan
tetap hendak diproses lanjut, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan, dengan
memerintahkan untuk menempuh MEDIASI (Perma No. 1 Tahun 2008),
kemudian selanjutnya (memasuki ranah yusticial), biaya upaya perdamaian
selanjutnya memeriksa pokok perkara;
7. Surat
Panglima TNI 20 September 2010 kepada Ketua MARI, tentang perceraian bagi anggota TNI,
telah dijawab oleh Ketua MARI, pada pokoknya Hakim tetap mengacu kepada SEMA
Nomor 5 Tahun 1984 (Peraturan Pelaksanaan PP No.10 Tahun 1983), bahwa
apabila telah melampaui 6 bulan tidak ada izin (PNS/TNI/POLRI), majelis harus
memandang tidak diberi izin, namun TIDAK dapat MENGHALANGI lagi,
majelis hakim untuk memeriksa perkara lebih lanjut, sepeti layaknya perkara biasa,
apabila posita terbukti = dikabulkan dan apabila posita tidak terbukti =
ditolak, tanpa ada kaitannya lagi dengan tidak adanya izin dari
atasan/komandannya;
8.
Apabila Gugatan
Cerai diajukan oleh ISTERI (Bukan Anggota TNI / POLRI), karena
ia (ISTERI) tersebut menikah dengan anggota TNI/POLRI maka secara otomatis
telah terikat sebagai Kalurga Bersar TNI/POLRI, maka Penggugat harus
menghargai Institusi TNI/POLRI, meskipun ia telah membenci
Suamiinya yang TNI / POLRI, maka tetap harus melakukan tindakan sebagai
berikut;
- Isteri tersebut, melaporkan keadaan rumah
tangganya kepada atasan / komandan suami dengan rencana gugatan perceraiannya
tersebut;
- Kalau perkara sudah terdaftar, sementara Majelis
Hakim telah mengetahui bahwa Tergugatnya (suaminya) itu adalah anggota TNI /
POLRI, maka harus memerintahkan kepada penggugat untuk melaporkan hal
tersebut, sesuai maksud huruf (a) di atas, dengan memberi kesempatan
selama 6 bulan (kentuan administratif) ketentuannya konkordan dengan ketentuan
PP.No.10 Tahun 1983);
- Perintah kepada Tergugat tersebut harus dimuat
dalam Berita Acara Persidangan dan dapat dibuat dalam bentuk Putusan Sela
(melokalisir keadaan perkara);
- Perintah Majelis Hakim tersebut disampaikan
kepada Pimpinan pengadilan (Ketua / Wakil Ketua) Pengadilan Agama karena
(Majelis hakim tidak boleh bersurat langsung kepada atasan / komandan
suaminuya);
- Pimpinan Pengadilan memberikan SURAT PERINTAH /
PENGANTAR kepada Penggugat isteri tersebut untuk MENGHADAP atasan /
komandan suami, minta SURAT KETERANGAN, (Jiwa PP.No.45 Tahun 1990) atau bentuk
surat lainnya dari Kantor TNI / POLRI yang isinya membenarkan atau tidak
membenarkan mengajukan proses ke pengadilan (Semua surat tersebut hanyalah
persyaratan administrative saja) kalau tidak dapat diperoleh surat tersebut
dengan berbagai hambatan di Kantor Suami kemudian lewat 6 bulan (dihitung sejak
pelaporan), maka tidak ada halangan hukum lagi, bagi majelis hakim untuk
melanjutkan pemeriksaan perkara, maka perkara tetap berlanjut dan harus
diputus, apabila posita tidak terbukti = ditolak, apabila posita terbukti =
dikabulkan, tanpa ada kaitannya lagi dengan Surat Izin atau Surat Keterangan
atau bentuk Serat Persetujuan lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar