Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa mengenai harta bersama, suami
atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Makna yang
dapat ditarik dari ketentuan pasal tersebut adalah sepanjang dalam ikatan
perkawinan tidak ada perjanjian mengenai pemisahan harta (perjanjian harta
terpisah), suami atau istri tidak dibenarkan secara hukum melakukan perbuatan
hukum mengalihkan hak kepemilikannya dalam bentuk apapun. Jika ketentuan pasal
di atas diabaikan, maka tindakan atau perbuatan hukum tersebut dapat dikatakan
sebagai perbuatan hukum yang tidak sah menurut hukum, yang artinya perbuatan
hukum dimaksud dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Harta
Bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Dalam ayat (2)-nya
dikatakan, bahwa Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta
benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Dari
klausul yang diatur Pasal 35 tersebut dapat diartikan bahwa sejak dimulainya
tali perkawinan dan selama perkawinan berlangsung, secara hukum, berlaku
percampuran harta kekayaan suami dan istri, baik harta bergerak dan tak
bergerak, baik yang sekarang maupun yang kemudian ada. Adapun kedudukan harta
bawaan yang merupakan perolehan dari pewarisan atau hibah tetap berada dibawah
penguasaan masing-masing pihak, sepanjang suami istri dimaksud tidak
mengaturnya secara tegas.
Dari pengertian Pasal 35
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimaksud yang sering menjadi
masalah adalah ketika harta bawaan tersebut dijual dimana hasil penjualannya
dibelikan suatu barang yang kemudian atas barang tersebut tercampur dalam harta
bersama, apakah hukum menganggap barang tersebut sebagai harta bersama dalam
perkawinan ? Menjawab permasalahan dimaksud pada akhirnya ditemukan suatu
pertanyaan, apakah dalam perkawinan tersebut terdapat perjanjian pemisahan
harta ? Jika memang ada perjanjian pemisahan harta maka barang tersebut tetap
berada pada penguasaan masing-masing pihak (suami atau istri). Jika ternyata
tidak ada maka barang tersebut dianggap sebagai harta bersama dalam perkawinan.
Klausul dalam pasal 35 dan pasal 36
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang harta bersama dan harta bawaan dalam
prakteknya memang memberatkan bagi suami atau istri untuk menikmati hak milik
atas harta yang jelas – jelas merupakan hasil perolehannya sendiri. Ketentuan
Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut tentunya dapat
merugikan hak-hak suami atau istri yang beritikad baik atas harta bersama
karena pada umumnya dalam suatu perkawinan, harta yang diperoleh melalui usaha
dan jerih payahnya suami atau istri dimasukkan begitu saja dalam perkawinannya.
Kebanyakan, entah itu karena norma ketimuran atau memang didasarkan pada sifat
untuk mengagungkan tali perkawinan, mereka (suami – istri) beranggapan tabu
untuk membicarakan pemisahan harta yang diperoleh atas usaha dan jerih payah
pasangannya. Mereka memahami jika dalam perkawinan terdapat perjanjian mengenai
pemisahan harta maka sesungguhnya mereka tidak percaya dengan pasangan
hidupnya.
Kembali pada konteks tindakan
terhadap harta bersama oleh suami atau istri yang harus mendapat persetujuan
suami istri tersebut dimana tanpa adanya persetujuan dapat mengakibatkan
batalnya perbuatan hukum suami atau istri terhadap harta bersama, sedikit
banyaknya telah memperangkap dan mematikan hak-hak kenikmatan suami atau istri
terhadap harta yang diperolehnya. Jika dikaitkan dengan ketentuan hak milik
sebagaimana diatur Pasal 570 KUHPerdata, jelas dan tegas ketentuan klausul
dalam pasal 35 dan pasal 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang harta
bersama dan harta bawaan sangat bertentangan. Pasal 570 KUHPerdata menyatakan
bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan
leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan
sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang
ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu
hak-hak orang lain.
0 komentar:
Posting Komentar