BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah

Berbicara mengenai filsafat, maka filsafat sering
dipahami sebagai sebuah falsafah atau sebuah pandangan umum dan mendalam
tentang hidup yang dijalani manusia.Dalam pemahaman yang demikian, filsafat
ditangkap sebagai sesuatu yang abstrak[1].Filsafat
hukum merupakan cabang dari filsafat, filsafat hukum mempunyai fungsi yang
strategis dalam pembentukan hukum di Indonesia. Konsep dalam Islam, Islam
menilai hukum tidak hanya berlaku di dunia saja, akan tetapi juga di akhirat
karena putusan kebenaran atau ketetapan sanksi, disamping berhubungan dengan
manusia secara langsung, juga berhubungandengan Allah SWT,[2]
maka manusia disamping ia mengadopsi hukum-hukum yang langsung wahyu Tuhan yang
berbentuk kitab suci, manusia dituntut untuk selalu mencari formula kebenaran
yang berserakan dalam kehidupan masyarakat, manusia akan melihat dari kenyataan
empiris sebagai bekal mengkaji secara mendalam, memberikan makna filosofis
dengan mengetahui hakikat kebenaran yang hakiki. Kaitannya dengan pembentukan
hukum di Indonesia, setidaknya kita sadar bahwa hukum di bentuk karena
pertimbangan keadilan (gerechtigkeit) disamping sebagai kepastian hukum
(rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit)[3].
Keadilan berkaitan dengan pendistribusian hak dan kewajiban, diantara sekian
hak yang dimiliki manugerah alamiah langsung dari Allah SWT, yaitu hak asasi
manusia atau hak kodrati manusia, semua manusia tanpa pembedaan ras, suku,
bangsa, agama, berhak mendapatkan keadilan, maka di Indonesia yang notabene adalah
negara yang sangat heterogen tampaknya dalam membentuk formulasi hukum positif
agak berbeda dengan negara-negara yang kulturnya homogen, sangatlah penting
kiranya sebelum membentuk suatu hukum yang akan mengatur perjalanan masyarakat,
haruslah digali tentang filsafat hukum secara lebih komprehensif yang akan
mewujudkan keadilan yang nyata bagi seluruh golongan, suku, ras, agama yang ada
di Indonesia.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang masalah tersebut diatas, dapat dirumuskan ke dalam permasalahan,
yaitu:
1. Bagaimana
pandang Filsafat terhadap Hukum
2. Bagaimanakah
peran filsafat hukum dalam pembentukan hukum di Indonesia?
C. Tujuan
Penulisan
2. Memahami
peran serta filsafat hukum dalam pembentukan hukum di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
PANDANGAN
FILSAFAT TERHADAP HUKUM
Filsafat hukum merupakan bagian penelusuran
kebenaran yang tersaji dalam ruang lingkup filsafat.Filsafat adalah kegiatan
berpikir secara sistematikal yanghanya dapat merasa puas menerima hasil-hasil
yang timbul dari kegiatan berfikir itu sendiri.Filsafat tidak membatasi diri
hanya pada gejala-gejala indrawi, fisikal, psikhikal atau kerohanian saja. Ia
juga tidak hanya mempertanyakan ”mengapa” dan ”bagaimana”-nya gejala-gejala
ini, melainkan juga landasan dari gejala-gejala itu yang lebih dalam, ciri-ciri
khas dan hakikat mereka. Ia berupaya merefleksi hubungan teoritikal, yang di
dalamnya gejala- gejala tersebut dimengerti atau dipikirkan.[4]
Filsafat tidak akan pernah terlalu lekas puas dengan
suatu jawaban. Setiap dalil filsafat harus terargumentasikan atau dibuat dapat
dipahami secara rasional. Karena bagaimanapun filsafat adalah kegiatan
berfikir, artinya dalam suatu hubungan dialogikal dengan yang lain ia berupaya
merumuskan argumen- argumen untuk memperoleh pengkajian. Berikutnya filsafat
menurut hakikatnya bersifat terbuka dan toleran. Filsafat bukanlah kepercayaan
atau dogmatika, jika ia tidak lagi terbuka bagi argumentasi baru dan secara
kaku berpegangan pada pemahaman yang sekali telah diperoleh, tidak heran ketika
kefilsafatan secara praktikal akan menyebabkan kekakuan.[5]
Pendapat yang mengatakan bahwa karena fisafat hukum
merupakan bagian khusus dari filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat hukum
hanya mempelajari hukum secara khusus.Sehingga, hal-hal non hukum menjadi tidak
relevan dalam pengkajian filsafat hukum.Penarikan kesimpulan seperti ini
sepertinya tidak begitu tepat.Filsafat hukum sebagai suatu filsafat yang khusus
mempelajari hukum hanyalah suatu pembatasan akademik dan intelektual saja dalam
usaha studi dan bukan menunjukkan hakekat dari filsafat hukum itu sendiri.[6]Sebagai
filsafat, filsafat hukum semestinya memiliki sikap penyesuaian terhadap
sifat-sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya. Di samping
itu, hukum sebagai obyek dari filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat hukum.
Dengan demikian secara timbal balik antara filsafat hukum dan filsafat saling
berhubungan.Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah
cabangfilsafat, yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari
hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang
mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan
objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang
disebut hakikat.[7]
Pertanyaan tentang apa hakikat hukum itu sekaligus merupakan
pertanyaan filsafat hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab
oleh ilmu hukum, tetapi jawaban yang diberikan ternyata serba tidak memuaskan.
Menurut Apeldorn, hal tersebut tidak lain karena ilmu hukum hanya memberikan
jawaban yang sepihak. Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum sebagaimana
dapat diamati oleh pancaindra manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat.Sementara itu pertimbangan nilai di balik
gejala-gejala hukum, luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma atau kaidah hukum,
tidak termasuk dalam dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada dunia nilai
(sollen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum.
Refleksi filsafat hukum melandaskan diri pada
kenyataan hukum, oleh karena itu ia merenungkan semua masalah fundamental dan
masalah marginal yang berkaitan dengan gejala hukum. Setidaknya refleksi
filsafat hukum berangkat dari bidang penyelidikan secara folosofis yang pada
gilirannya dapat menemukan penelusuran terhadap landasan (dasar-dasar)
kebenaran. Maka dengan itu, ada tiga bidang penyelidikan ilmu hukum dalam
kajian ”filsafat hukum”, antara lain:[8]
a.
Masalah
mengenai konsep atau sifat hukum.
Bidang
penyelidikan ini mencakup konsep-konsep pokok lainnya yang dianggap ada hubungannya
secara esensial dengan konsep tentang hukum, misalnya sumber, subyek hukum,
kewajiban hukum, kaedah hukum, dan juga sanksi hukum. Bidang penyelidikan yang
terutama ini lebih dikenal sebagai mazhab analitis, oleh karena ia bertujuan
untuk menganalisa dan memberi definisi kepada konsep-konsep yang disebut di
atas. Mazhab analitisdikemukakan oleh John Austin, yang memiliki ciri
formalisme yang metodis.
Hukum
sebagai dianggapnya sebagai suatu sistem kaedah-kaedah positif, yaitu
kaedah-kaedah yang efektif dalam kenyataannya.Ilmu hukum hanya bertujuan untuk
menentukan adanya kaedah-kaedah ini dalam hukum yang berlaku lepas dari
nilai-nilai etis dan pertimbangan-pertimbangan politis.Demikian juga mazhab
analitis tidak mempersoalkan masalah-masalah yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan sosial ke dalam mana hukum itu masuk-yaitu faktor-faktor sosial
yang menentukan penciptaan hukum dan pertumbuhannya dan akibat-akibat sosial
yang dihasilkan atau dimaksud untuk dihasilkan oleh kaedah-kaedah hukum.
b.
Masalah
tujuan atau cita-cita hukum
Bidang
penyelidikan ini memusatkan perhatiannya kepada prinsip rasional yang
memberikan kepada hukum “keabsahan-nya” atau “kekuatan mengikatnya” yang
khusus, dan merupakan kriterium bagi “benarnya” suatu kaedah hukum. Pada umunya
cita-cita hukum itu dianggap adalah keadilan.Disinilah muncul
pertanyaan-pertanyaan pokok tentang hubungan antara keadilan dan hukum positif;
peranan yang dimainkan oleh prinsip keadilan dalam perundang-undangan,
pengadilan dan sebagainya.Aliran hukum semacam ini sering dikenal sebagai ilmu
hukum etis atau filsafat hukum alam, aliran pikiran ini yang erat hubungannya
dengan pendekatan secara religius atau metafisis-filosofis, mempunyai sejarah
panjang.
Filsafat
hukum alam dimulai sejak sejak filsuf-filsuf Yunani pertama hingga zaman kita
sekarang ini.Filsafat ini mencapai puncak klasiknya dalam sistem-sistem
rasionalitas yang besar dalam abad ketujuh belas dan kedelapan belas.Sesudah
reaksi dari mazhab sejarah dan positivis dalam abad kesembilan belas, filsafat
hukum alam telah mendapat pengaruh lagi dalam abad sekarang ini.Dasar
filosofisnya pertama-tama dan secara utama adalah filsafat skolastik katolik
yang diteruskan dalam hukum alam kaum Thomis; dan berbagai perkembangan dari
sistem-sistem Kant dan Hegel.Teori-teori mengenai hukum alam telah juga
menemukan dasar dalam mazhab-mazhab filsafatlainnya (utilitarianisme, filsafat
solidaritas, intuisionisme Bergson, fenomenologisme Husserl dan lain-lain).
c.
Masalah
pola antar pengaruh hukum dan masyarakat
Bidang
penyelidikan ini mencakup pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan asal
usul historis dan pertumbuhan dari hukum dengan faktor-faktor sosial yang dalam
zaman kita menentukan isi variabel dari hukum, dengan bergantungnya hukum dan
pengaruh terhadap ekonomi dan kesadaran hukum rakyat, dengan akibat-akibat
sosial dari kaedah-kaedah hukum atau lembaga-lembaga tertentu, dengan kekuasaan
pembentuk undang-undang untuk membimbing perkembangan social, dengan hubugan
antara hukum yang “hidup” dengan hukum teoritis dan kekuatan-kekuatan yang
sebenarnya menjadi motif bagi penerapan hukum berlainan dengan alasan-alasan rasional
dalam setiap putusan.
Ketiga bidang penyelidikan filsafat
hukum ini merupakan suatu metode untuk mencari kebenaran, yang merupakan prinsip-prinsip
fundamental atau mendasar tentang hakikat hukum tersebut.Kerja filsafat
merupakan usaha- usaha untuk menguji prinsip-prinsip dasar tersebut. Secara
epistemologis ada tiga teori tentang kebenaran yakni: the correspondence theory of truth, the coherence theory of truth, dan
pragmatic theory of truth.[9]Ketiga
teori ini mendasarkan pengertian dalam pencarian kebenaran.Jadi tujuan filsafat
hukum dan ilmu hukum berbeda dari tujuan hukum.
Hukum itu sendiri bertujuan hendak
mencari keadilan, kepastian hukum, dan ketertiban.Tujuan hukum bersifat etis,
yakni bersumber pada kebaikan.Tiga teori kebenaran yang telah disebut dimuka,
dapat diterapkan dalam filsafat hukum, ilmu hukum, dan teknik hukum.Teori
korespondensi memandang bahwa suatu pernyataan adalah benar bila sesuai atau
sebanding dengan kenyataan yang menjadi objeknya, teori ini sesuai dengan
dimensi perilaku hukum dan menjadi bahan kajian sosiologi hukum dan antropologi
hukum.Kemudian teori koherensi berpendapat bahwa suatu pernyataan adalah benar apabila
sesuai dengan pernyataan sebelumnya, dalam pengertian inilah yangmenjadi
landasan bahan kajian filsafat hukum.Berbeda dengan teori pragmatik, bahwa
suatu pernyataan adalah benar bila berguna bagi kehidupan praktis, yang sesuai
dengan bahan kajian teknik hukum secara praktis.[10]
Teori koherensi mengantarkan kita,
sebagaimana berfikir secara kefilsafatan untuk memiliki karakteristik yang
bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara berfikir holistik tersebut, maka
siapa saja yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan
terbuka. Kemudian filsafat hukum dengan sifat universalitasnya, memandang
kehidupan secara menyeluruh, tidak memandang hanya bagian-bagian dari gejala
kehidupan saja atau secara partikular. Dengan demikian filsafat hukum dapat
menukik pada persoalan lain yang relevan atau menerawang pada keseluruhan dalam
perjalanan reflektifnya, tidak hanya memecahkan masalah-masalah yang
dihadapinya. Melihat fungsi filsafat hukum lebih jauh, ialah sebagai cara
pandang untuk berfikir secara kreatif dengan menetapkan nilai, menetapkan
tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru. Adanya karakteristik
khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas sekaligus juga menunjukkan letak
urgensinya.Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum dengan berbagai sifat
dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah
satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar terhadap orientasi
keadilan sosial selama ini.Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan dari
agenda refleksi filsafat hukum dalam bentuk konsepsi dan persepsi terhadap
pendekatan yang hendak dipakai dalam penyelesaian masalah-masalah social yang
terjadi.Pendekatan mana didasarkan pada sifat-sifat dan karakter yang melekat
pada filsafat hukum itu sendiri.
2.
PERAN
FILSAFAT HUKUM DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA
Salah satu tuntutan aspirasi masyarakat yang
berkembang dalam era reformasi sekarang ini adalah reformasi hukum menuju
terwujudnya supremasi sistem hukum di bawah sistem konstitusi yang berfungsi
sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan negara dan
kehidupan nasional sehari-hari. Dalam upaya mewujudkan sistem hukum yang
efektif itu, penataankembali kelembagaan hukum, didukung oleh kualitas sumber
daya manusia dan kultur dan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat,
seiring dengan pembaruan materi hukum yang terstruktur secara harmonis, dan
terus menerus diperbarui sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan. Dalam
upaya pembaruan hukum tersebut, penataan kembali susunan hirarkis peraturan
perundang-undangan kiranya memang sudah sangat tepat.Di samping itu, era Orde
Baru yang semula berusaha memurnikan kembali falsafah Pancasila dan pelaksanaan
UUD 1945 dengan menata kembali sumber tertib hukum dan tata-urut peraturan
perundang-undangan, dalam prakteknya selama 32 tahun belum berhasil membangun
susunan perundang-undangan yang dapat dijadikan acuan bagi upaya memantapkan
sistem perundang-undangan di masa depan. Lebih-lebih dalam prakteknya, masih
banyak produk peraturan yang tumpang tindih dan tidak mengikuti sistem yang
baku. Sementara itu, setelah lebih dari 50 tahun Indonesia merdeka, sangat
dirasakan adanya kebutuhan untuk mengadakan perubahan terhadap pasal- pasal
dalam UUD 1945 yang banyak pihak menilai ada pasal yang tidak relevan lagi
dengan perkembangan zaman. Ditambah lagi dengan munculnya kebutuhan untuk
mewadahi perkembangan otonomi daerah di masa depan yang dapat mendorong tumbuh
dan berkembangnya dinamika hukum adat di desa-desa yang cenderung diabaikan
atau malah sebaliknya dikesampingkan dalam setiap upaya pembangunan hukum
selama lebihdari 50 tahun terakhir.
Didalam Pasal 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 telah disebutkan bahwa
Pancasila adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia.[11]Mengingat
falsafah Pancasila adalah merupakan ruh perjuangan dari para pejuang bangsa,
yang merupakan alat pemersatu, dari yang sebelumnya terkotak-kotak oleh daerah,
ras, suku, agama, golongan, dan lain sebagainya.Mengingat masyarakat Indonesia
sangat heterogen, maka dengan kembali pada Pancasila, cita-cita luhur para
pejuang untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur sejahtera
dimungkinkan dapat tercapai.Dilihat dari materinya Pancasila digali
daripandangan hidup bangsa Indonesia yang merupakan jiwa dan kepribadian bangsa
Indonesia sendiri.Dasar negara Pancasila terbuat dari materi atau bahan dalam
negeri yang merupakan asli murni dan menjadi kebanggaan bangsa, tidak merupakan
produk impor dari luar negeri, meskipun mungkin saja mendapat pengaruh dari
luar negeri.[12]
Pancasila merupakan Grundnorm atau sumber dari segala sumber hukum di
Indonesia, rumusan Pancasila ini dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD
1945, maka dapat dikatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah filsafat hukum
Indonesia, maka Batang Tubuh berikut dengan Penjelasan UUD 1945 adalah teori
hukumnya, dikatakan demikian karena dalam Batang Tubuh UUD 1945 itu akan
ditemukan landasan hukum positif Indonesia. Teori Hukum tersebut meletakkan
dasar-dasar falsafat hukum positif kita.[13]
Negara di dunia yang menganut paham negara teokrasi
menganggap sumber dari segala sumber hukum adalah ajaran-ajaran Tuhan yang
berwujud wahyu, yang terhimpun dalam kitab-kitab suci atau yang serupa denga
itu, kemudian untuk negara yang menganut paham negara kekuasaan (rechstaat) yang dianggap sebagai sumber
dari segala sumber hukum adalah kekuasaan. Lain halnya dengan negara yang
menganut paham kedaulatan rakyat, yang dianggap sebagai sumber dari segala
sumber hukum adalah kedaulatan rakyat, dan Indonesia menganut paham kedaulatan
rakyat dari Pancasila.Akan tetapi berbeda dengan konsep kedaulatan rakyat oleh
Hobbes (yang mengarah pada ke absolutisme) dan John Locke (yang mengarah pada
demokrasi parlementer).Rumusan Pancasila yang dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan
UUD 1945 adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia yang merupakan
produk filsafat hukum negara Indonesia.
Pancasila ini muncul diilhami dari banyaknya suku,
ras, kemudian latar belakang, serta perbedaan ideologi dalam masyarakat yang
majemuk, untuk itu muncullah filsafat hukum untuk menyatukan masyarakat
Indonesia dalam satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa, dan prinsip
kekeluargaan, walau tindak lanjut hukum-hukum yang tercipta sering terjadi
hibrida (percampuran), terutama dari hukum Islam,hukum adat, dan hukum barat
(civil law/khususnya negara Belanda). Hukum Islam sering dijadikan dasar
filsafat hukum sebagai rujukan mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah
umat muslim, contoh konkrit dari hukum Islam yang masuk dalam konstitusi Indonesia
melalui produk filsafat hukum adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Didalamnya terdapat pasal tentang bolehnya poligami bagi laki-laki
yaitu dalam Pasal 3 ayat 1, Pasal 4 ayat 1,2, dan Pasal 5 ayat 1 dan 2, walau
banyak pihak yang protes pada pasal kebolehan poligami tersebut. Namun di sisi
lain tidak sedikit pula yang mempertahankan pasal serta isi dari Undang-Undang
Perkawinan tersebut.
DPR adalah lembaga yang berjuang mengesahkan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang diundangkan pada
tanggal 2 Januari tahun 1974, dan sampai sekarang masih berlaku tanpa adanya
perubahan, ini bukti nyata dari perkembangan filsafat hukum yang muncul dari
kebutuhan masyarakat perihal penuangan hukum secara konstitusi kenegaraan, yang
mayoritas masyarakat Indonesia adalah agama Islam, yang menganggap ayat-ayat
ahkam dalam kitab suci Al-Qur’an adalah mutlak untuk diikuti dalam hukum. Hukum
adat juga sedikit banyak masuk dalam konstitusi negara Indonesia, contoh adanya
Undang-undang Agraria, kemudian munculnya Undang-undang Otonomi daerah, yang
pada intinya memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang sangat heterogen.
Maka dengan filsafat hukum yang dikembangkan melalui ide dasar Pancasila akan
dapat mengakomodir berbagai kepentingan, berbagai suku, serta menyatukan
perbedaan ideologi dalam masyarakat yang sangat beraneka ragam.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Filsafat Hukum adalah cabang dari filsafat yang
mempelajari hukum yang benar, atau dapat juga kita katakan Filsafat Hukum adalah
merupakan pembahasan secara filosofis tentang hukum, yang sering juga
diistilahkan lain dengan Jurisprudence, adalah ilmu yang mempelajari
hukum secara filosofis, yang objeknya dikaji secara mendalam sampai pada
inti atau dasarnya, yang disebut hakikat. Filsafat hukum mengajak berfikir
kritis dan radikal dalam menyikapi masalah, atau dalam artian memahami hukum
tidak dalam arti hukum positif semata, karena jika kita hanya mempelajari arti
hukum dalam arti positif semata, tidak akan mampu memanfaatkan dan
mengembangkan hukum secara baik, jika demikian adanya ketika ia menjadi seorang
pengadil (hakim) misalnya, ia hanya menjadi ”corong undang-undang” belaka.
Filsafat hukum adalah induk dari semua disiplin
yuridis, karena filsafat hukum membahas masalah-masalah yang paling fundamental
yang timbul dalam hukum, contoh kasus jika ada masalah- masalah yang melampaui
kemampuan berpikir manusia, maka filsafat hukum akan merupakan kegiatan yang
tidak pernah berakhir, karena mencoba memberikan jawaban pada pertanyaan-pertanyaan
abadi. Kemudian untuk waktu yang lama, dalam sejarah filsafat hukum, orang
berpendapat bahwa landasan hukum itu adalah hukum kodrat (filsafat hukum
kodrat) yaitu yang berpandangan terdapat suatu kodrat ideal yang abadi, yang
takkan berubah sepanjang masa, namun hal ini memunculkan pertanyaan tentang
keterikatan denfan tempat dan waktu, orang akan memegang suatu prinsip hukum
pada suatu waktu, akan tetapi dilain waktu (masa yang akan datang) apakah hukum
akan tetap stagnan dan tetap, maka orang banyak bersepakat bahwa hukum akan
selalu dinamis seiring dengan perubahan waktu dan tempat, dengan cara
berfilsafat hukum melalui realitas-realitas yang terjadi dalam masyarakat luas.
Secara spekulatif dan secara kritis filsafat hukum berusaha untuk memeriksa
gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespondensi
dan fungsi hukum yang diciptakan.Indonesia memang menganutpaham kedaulatan
rakyat dari Pancasila, kaitannya filsafat hukum terhadap pembentukan hukum di
Indonesia adalah filsafat hukum sangat berperan dalam perubahan hukum kearah
lebih demokratis, lebih mengarah pada kebutuhan masyarakat yang hakiki.
Filsafat hukum mengubah tata urutan Peraturan
Perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia, dimulai dari berlakunya
tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang didasari TAP XX/MPRS Tahun 1966,
kemudian tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang didasari TAP
III/MPR/2000, sampai terakhir adalah tata urutan Peraturan Perundang-undangan
yang didasari Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 sebagai penggangti
Undang-Undang No.10 Tahun 2004, pengubahan itu atas dasar pembaharuan yang
didasari pada asas kemanfaatan dan asas keadilan, jadi pembaharuan hukum lewat
filsafat hukum di Indonesia ada pada teori hukumnya hal ini telah sesuai dengan
bunyi kalimat kunci. Penjelasan UUD 1945: Undang-Undang dasar menciptakan
pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan dalam pasal-pasalnya, maka
perubahan hukum di Indonesia adalah didasarkan dari ide-ide pasal-pasal dalam
Batang Tubuh berikut dengan Penjelasan UUD 1945 (sebagai teori hukumnya). Kita
harus tahu pula bahwa fungsi hukum nasional adalah untuk pengayoman, maka
perubahan atau pembangunan hukum Indonesia harus melalui proses filsafat hukum
yang didalamnya mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum
sesuai dengan tingkat-tingkat kemajuan pembangunan disegala bidang, juga mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat luas yang cenderung majemuk, yang mana hukum yang
diciptakan adalah merupakan rules for the game of life, hukum diciptakan untuk
mengatur prilaku anggota masyarakat agar tetap berada pada koridor nilai-nilai
sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dan yang terpenting
hukum diciptakan sebagai pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakat luas, tanpa
membedakan ras, golongan, suku, partai, agama, atau pembedaan lain.
B.
SARAN
1. Bagi
pemegang kekuasaan di Indonesia terutama (legislatif, Eksekutif, dan
yudikatif), agar selalu belajar dan mengkaji lebih jauh tentang filsafat hukum,
serta pemahaman terhadap Grundnorm atau sumber dari segala sumber hukum di
Indonesia (Pancasila), agar pembaharuan atau hukum yang diciptakan adalah benar-benar
merupakan rules for the game of life bagi masyarakat luas.
2. Sering
dilakukan diskusi (pembahasan ulang) oleh pakar filsafat hukum terhadap
perundang-undangan yang masih belum memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat
luas, dan tentunya peran diskusi ilmiah antar pakar filsafat hukum di indonesia
sangatlah urgen untuk dilakukan dalam mengubah hukum yang hanya mengedepankan
legalitas belaka, tanpa melihat living law yang terjadi dalam masyarakat, serta
mengingat sekian lama Indonesia di doktrin oleh Belanda untuk ”dipaksa”,
memakai sistem Civil law yang bermuara pada legalitas belaka, yang terkadang
sering tidak bermuara pada keadilan yang seutuhnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Cahyadi,
Antonius dan E. Fernando M. Manulang. 2008. Pengantar ke Filsafat Hukum. Jakarta:
Kencana.
Darji
Darmodiharjo dan Arief Sidharta. 1995. Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2006.
Pokok-Pokok
Filafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia). Cet. VI. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama. Darmadi, Sugiyanto. 1998.
Kedudukan
Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat. Bandung: Mandar Maju. Muchsin. 2006.
Ikhtisar Filsafat Hukum.
Jakarta: Badan Penerbit Iblam. Prasetyo, Teguh. 2007. Ilmu Hukum dan
Filsafat Hukum. Cet. II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
S.Tasrif.
1986. Bunga Rampai Filsafat Hukum. Jakarta: Abardin. Sidharta, Arief. 2007.
Meuwissen
Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum.
Bandung: Refika Aditama. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
[1]Antonius Cahyadi dan E. Fernando
M. Manulang, Pengantar ke Filsafat Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hal 3
[2]Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, Cet ke2, Badan Penerbit Iblam,
Jakarta, 2006, hal.24
[3]Darji Darmodiharjo dan
Sidharta, Pokok-Pokok Filafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia),
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet, VI Mei 2006, hal. 154
[4]Arief
Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat
Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007, hal 1
[5]Ibid,
hal 1
[6]Sugiyanto
Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar Maju, Bandung,
1998, hal 18
[7]Darji
Darmodiharjo dan Arief Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hal 10- 11
[8]S.Tasrif,
Bunga Rampai Filsafat Hukum, Abardin, Jakarta, 1986, hal 13-15
[9]Teguh
Prasetyo, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Cet. II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2007, hal 16
[10]Ibid,
hal 16
[11]Undang-Undang
No. 12 Tahun 2011 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang
diundangkan pada tanggal 12 Agustus 2011
[12]Darji
Darmodiharjo, dan Shidarta, Op. Cit, hal.229
[13]Ibid,
hal 230
0 komentar:
Posting Komentar