BREAKING NEWS

Category 1

Category 2

Category 3

Category 4

Category 5

Selasa, 18 November 2025

KEDUDUKAN HUKUM PENGGUGAT INTERVENSI (TUSSENKOMST) DALAM HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA

https://artikel.mah.my.id/2025/11/kedudukan-hukum-penggugat-intervensi.html
 

Abstrak

Intervensi atau tussenkomst merupakan salah satu lembaga hukum acara perdata yang memberikan kesempatan kepada pihak ketiga untuk ikut serta dalam suatu perkara yang sedang berjalan di pengadilan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan hukum penggugat intervensi dalam sistem hukum acara perdata Indonesia, termasuk jenis-jenis intervensi, syarat-syarat, hak dan kewajiban, serta implikasinya terhadap proses peradilan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggugat intervensi memiliki kedudukan hukum yang sah sebagai pihak dalam perkara, dengan pembedaan antara intervensi accessoir (memihak) dan principaal (mandiri). Kedudukan ini memberikan hak prosesual yang berbeda tergantung jenis intervensinya, namun tetap harus memenuhi syarat kepentingan hukum langsung terhadap objek sengketa.

Kata Kunci: Intervensi, Tussenkomst, Hukum Acara Perdata, Voeging, Vrijwaring


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum acara perdata Indonesia mengenal berbagai lembaga hukum yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan bagi para pencari keadilan. Salah satu lembaga yang penting namun seringkali kurang mendapat perhatian adalah lembaga intervensi atau tussenkomst. Intervensi memungkinkan pihak ketiga yang memiliki kepentingan hukum untuk ikut serta dalam suatu perkara perdata yang sedang berjalan di pengadilan.

Dalam praktik peradilan, seringkali terjadi situasi di mana putusan pengadilan terhadap suatu perkara dapat mempengaruhi kepentingan pihak lain yang tidak terlibat langsung dalam perkara tersebut. Untuk melindungi kepentingan hukum pihak ketiga dan mencegah putusan yang saling bertentangan, maka lembaga intervensi menjadi relevan dan penting untuk dikaji secara mendalam.

Permasalahan muncul ketika belum ada keseragaman pemahaman mengenai kedudukan hukum penggugat intervensi, terutama terkait dengan hak dan kewajibannya dalam proses peradilan, serta perbedaan antara berbagai jenis intervensi yang dikenal dalam sistem hukum acara perdata.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

  1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai intervensi dalam sistem hukum acara perdata Indonesia?
  2. Bagaimana kedudukan hukum penggugat intervensi dalam perkara perdata?
  3. Apa saja jenis-jenis intervensi dan bagaimana implikasinya terhadap hak dan kewajiban penggugat intervensi?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

  1. Menganalisis pengaturan hukum mengenai intervensi dalam sistem hukum acara perdata Indonesia
  2. Menjelaskan kedudukan hukum penggugat intervensi dalam perkara perdata
  3. Mengidentifikasi jenis-jenis intervensi dan implikasinya terhadap hak dan kewajiban penggugat intervensi

D. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (legal research) dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder berupa literatur dan jurnal hukum, serta bahan hukum tersier berupa kamus hukum. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, dan analisis data menggunakan metode kualitatif dengan pola berpikir deduktif.


II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Hukum Acara Perdata

Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara menjaga berlakunya hukum perdata materiil. Hukum acara perdata mengatur proses penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan, mulai dari pengajuan gugatan hingga eksekusi putusan.

Dalam sistem hukum acara perdata Indonesia, yang bersumber dari Herziene Indonesisch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura serta Rechtsreglement Buitengewesten (RBg) untuk luar Jawa dan Madura, terdapat berbagai asas penting seperti asas sederhana, cepat, dan biaya ringan, asas hakim aktif, serta asas audi et alteram partem (mendengar kedua belah pihak).

B. Pihak dalam Perkara Perdata

Pihak dalam perkara perdata pada prinsipnya adalah penggugat dan tergugat. Penggugat adalah pihak yang merasa haknya dilanggar dan mengajukan gugatan ke pengadilan, sedangkan tergugat adalah pihak yang digugat karena dianggap melanggar hak penggugat.

Namun dalam perkembangannya, hukum acara perdata juga mengenal kemungkinan adanya pihak lain dalam suatu perkara, seperti:

  • Turut tergugat
  • Turut penggugat
  • Pihak intervensi
  • Kuasa hukum

C. Kepentingan Hukum (Legal Standing)

Kepentingan hukum merupakan syarat fundamental dalam hukum acara perdata. Seseorang baru dapat mengajukan gugatan atau ikut dalam suatu perkara jika ia memiliki kepentingan hukum (legal standing). Kepentingan hukum ini harus bersifat langsung, konkret, dan aktual terhadap objek sengketa, bukan sekadar kepentingan moral atau ekonomi semata.


III. PEMBAHASAN

A. Pengaturan Hukum Intervensi dalam Sistem Hukum Acara Perdata Indonesia

1. Dasar Hukum Intervensi

Lembaga intervensi atau tussenkomst dalam hukum acara perdata Indonesia diatur dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) Pasal 279 sampai dengan Pasal 283. Meskipun HIR dan RBg tidak mengatur secara eksplisit mengenai intervensi, dalam praktik peradilan di Indonesia tetap mengakui dan menerapkan lembaga ini berdasarkan asas konkordansi dan yurisprudensi.

Pasal 279 Rv menyatakan bahwa setiap pihak ketiga yang berkepentingan dalam suatu perkara yang sedang berjalan dapat ikut serta dalam perkara tersebut, baik untuk membantu salah satu pihak maupun untuk kepentingannya sendiri.

2. Pengertian Intervensi

Intervensi adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak ketiga untuk masuk atau ikut serta dalam suatu perkara perdata yang sedang diperiksa oleh pengadilan, karena pihak ketiga tersebut mempunyai kepentingan hukum terhadap objek sengketa atau putusan yang akan dijatuhkan dalam perkara tersebut.

Sudikno Mertokusumo mendefinisikan intervensi sebagai campur tangan atau masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara yang sedang berjalan antara pihak-pihak lain, karena ia mempunyai kepentingan terhadap perkara tersebut.

3. Prinsip-Prinsip Intervensi

Beberapa prinsip yang mendasari lembaga intervensi adalah:

a. Prinsip Kepentingan Hukum: Pihak ketiga harus memiliki kepentingan hukum yang langsung terhadap objek sengketa

b. Prinsip Efisiensi Peradilan: Intervensi dimaksudkan untuk menghindari putusan yang saling bertentangan dan menghemat biaya serta waktu

c. Prinsip Perlindungan Hukum: Memberikan kesempatan kepada pihak ketiga untuk melindungi kepentingan hukumnya

d. Prinsip Non-Prejudice: Intervensi tidak boleh merugikan pihak-pihak yang berperkara

B. Kedudukan Hukum Penggugat Intervensi dalam Perkara Perdata

1. Status Hukum Penggugat Intervensi

Penggugat intervensi memiliki kedudukan hukum sebagai pihak dalam perkara (party to the case). Kedudukan ini memberikan konsekuensi hukum bahwa penggugat intervensi:

a. Terikat dengan putusan pengadilan dalam perkara tersebut b. Memiliki hak dan kewajiban prosesual sebagaimana pihak dalam perkara c. Dapat mengajukan upaya hukum sesuai dengan jenis intervensi yang dilakukan d. Harus hadir dalam persidangan dan dapat memberikan keterangan

Kedudukan sebagai pihak dalam perkara membedakan penggugat intervensi dengan saksi atau pihak lain yang hanya memberikan keterangan namun tidak terikat dengan putusan.

2. Syarat-Syarat Intervensi

Untuk dapat diterima sebagai penggugat intervensi, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Syarat Materiil:

  • Memiliki kepentingan hukum langsung terhadap objek sengketa
  • Kepentingan tersebut bersifat konkret dan aktual
  • Ada hubungan hukum dengan salah satu pihak atau objek sengketa
  • Tidak merugikan pihak-pihak yang berperkara

b. Syarat Formil:

  • Perkara masih dalam proses pemeriksaan (belum berkekuatan hukum tetap)
  • Diajukan melalui gugatan intervensi tertulis
  • Memuat alasan dan dasar kepentingan hukum yang jelas
  • Diajukan pada tingkat pemeriksaan yang sesuai (pengadilan negeri, tinggi, atau kasasi)

3. Prosedur Pengajuan Intervensi

Prosedur pengajuan intervensi adalah sebagai berikut:

a. Pihak ketiga mengajukan permohonan intervensi secara tertulis kepada majelis hakim yang memeriksa perkara

b. Dalam permohonan harus dijelaskan:

  • Identitas pemohon intervensi
  • Perkara yang akan diintervensi
  • Alasan dan dasar hukum intervensi
  • Kepentingan hukum yang dimiliki
  • Petitum atau tuntutan (dalam voeging principaal)

c. Majelis hakim akan mempertimbangkan terlebih dahulu apakah intervensi dapat diterima (ontvankelijk)

d. Jika diterima, pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan melibatkan pihak intervensi

e. Jika ditolak, perkara dilanjutkan tanpa melibatkan pihak ketiga tersebut

C. Jenis-Jenis Intervensi dan Implikasinya terhadap Hak dan Kewajiban

1. Voeging (Intervensi Sukarela)

Voeging adalah bentuk intervensi di mana pihak ketiga atas kehendak sendiri (sukarela) masuk dalam suatu perkara yang sedang berjalan karena merasa memiliki kepentingan hukum. Voeging terbagi menjadi dua jenis:

a. Voeging Accessoir (Intervensi Memihak)

Pengertian dan Karakteristik:

Voeging accessoir adalah intervensi di mana pihak ketiga masuk dalam perkara untuk membantu atau mendukung salah satu pihak yang berperkara (penggugat atau tergugat). Pihak intervensi dalam hal ini tidak mengajukan tuntutan sendiri yang berdiri sendiri, melainkan semata-mata untuk memperkuat posisi pihak yang didukungnya.

Karakteristik voeging accessoir:

  • Bersifat accessoir atau tambahan
  • Tidak dapat mengajukan tuntutan yang bertentangan dengan pihak yang didukung
  • Nasibnya mengikuti pihak yang didukung (accessorium sequitur principale)
  • Kedudukan subordinat terhadap pihak principal

Hak-Hak dalam Voeging Accessoir:

Pihak intervensi accessoir memiliki hak-hak sebagai berikut:

  • Memberikan keterangan dan penjelasan untuk menguatkan posisi pihak yang didukung
  • Mengajukan bukti-bukti yang mendukung
  • Mengajukan saksi yang relevan
  • Memberikan kesimpulan atau tanggapan
  • Hadir dalam persidangan
  • Mengetahui perkembangan perkara

Kewajiban dalam Voeging Accessoir:

  • Mengikuti sikap dan strategi hukum pihak yang didukung
  • Tidak mengajukan tuntutan yang berbeda atau bertentangan
  • Tunduk pada putusan yang dijatuhkan
  • Membayar biaya perkara sesuai ketentuan
  • Tidak memperlambat proses pemeriksaan

Implikasi Putusan:

Putusan terhadap pihak yang didukung secara otomatis berlaku juga bagi pihak intervensi accessoir. Jika pihak yang didukung kalah, maka pihak intervensi juga dianggap kalah. Upaya hukum (banding, kasasi) hanya dapat dilakukan jika pihak principal juga mengajukannya.

b. Voeging Principaal (Intervensi Mandiri)

Pengertian dan Karakteristik:

Voeging principaal adalah intervensi di mana pihak ketiga masuk dalam perkara dengan kepentingan hukum sendiri yang berdiri sendiri (mandiri/independen). Pihak intervensi dalam hal ini mengajukan tuntutan atau gugatan tersendiri yang dapat berbeda dengan tuntutan penggugat atau pembelaan tergugat.

Karakteristik voeging principaal:

  • Bersifat mandiri dan independen
  • Memiliki tuntutan hukum sendiri
  • Kedudukan setara dengan pihak asli
  • Dapat memiliki kepentingan yang berbeda
  • Putusan dapat berbeda dengan pihak asli

Hak-Hak dalam Voeging Principaal:

Pihak intervensi principaal memiliki hak-hak penuh sebagai pihak dalam perkara:

  • Mengajukan gugatan/tuntutan sendiri
  • Mengajukan dan memeriksa bukti-bukti secara mandiri
  • Mengajukan saksi dan ahli
  • Memberikan replik dan duplik
  • Mengajukan kesimpulan
  • Mengajukan upaya hukum (verzet, banding, kasasi) secara mandiri
  • Mendapatkan putusan tersendiri
  • Mengajukan permohonan eksekusi

Kewajiban dalam Voeging Principaal:

  • Mengajukan gugatan intervensi yang lengkap dan jelas
  • Membuktikan kepentingan hukumnya
  • Menghadiri persidangan
  • Membayar biaya perkara sendiri
  • Tunduk pada hukum acara yang berlaku
  • Tidak menyalahgunakan hak prosesual

Implikasi Putusan:

Putusan terhadap pihak intervensi principaal bersifat mandiri dan dapat berbeda dengan putusan terhadap pihak asli. Misalnya, dalam sengketa tanah, penggugat asli dapat kalah tetapi pihak intervensi principaal dapat menang jika dapat membuktikan kepemilikannya. Upaya hukum dapat dilakukan secara independen tanpa tergantung pihak lain.

2. Vrijwaring (Intervensi Paksa)

Pengertian dan Karakteristik:

Vrijwaring adalah bentuk intervensi di mana salah satu pihak dalam perkara (penggugat atau tergugat) memanggil pihak ketiga untuk turut serta dalam perkara tersebut. Pihak ketiga dalam hal ini tidak masuk secara sukarela, melainkan dipaksa masuk oleh salah satu pihak yang berperkara.

Vrijwaring biasanya terjadi dalam kasus-kasus:

  • Hubungan hukum berantai (misalnya jual beli berantai)
  • Penjaminan atau penanggungan
  • Kuasa atau perwakilan
  • Hubungan kerja atau kontrak

Karakteristik vrijwaring:

  • Bersifat paksa (tidak sukarela)
  • Pihak ketiga dipanggil oleh pihak dalam perkara
  • Biasanya ada hubungan hukum beruntun
  • Bertujuan untuk melimpahkan tanggung jawab
  • Dapat berjenjang (vrijwaring bertingkat)

Contoh Kasus Vrijwaring:

A menggugat B atas sengketa tanah. B merasa bahwa tanah tersebut dibeli dari C yang menjamin keabsahan kepemilikan. B kemudian memanggil C untuk turut serta dalam perkara (vrijwaring). Jika B kalah, B dapat menuntut ganti rugi dari C.

Hak-Hak dalam Vrijwaring:

Pihak yang dipanggil dalam vrijwaring memiliki hak:

  • Membela diri terhadap tuntutan
  • Mengajukan bukti-bukti
  • Mengajukan bantahan dan pembelaan
  • Mengajukan upaya hukum
  • Mendapat putusan tersendiri mengenai tanggung jawabnya

Kewajiban dalam Vrijwaring:

  • Memenuhi panggilan pengadilan
  • Memberikan keterangan yang diminta
  • Mempertanggungjawabkan hubungan hukumnya dengan pihak yang memanggil
  • Tunduk pada putusan
  • Melaksanakan kewajiban jika dinyatakan bertanggung jawab

Implikasi Putusan:

Putusan dalam vrijwaring dapat bersifat berlapis. Hakim akan memutus:

  1. Perkara pokok antara penggugat asli dan tergugat asli
  2. Tanggung jawab pihak yang dipanggil (tergugat vrijwaring) terhadap tergugat asli

Jika tergugat asli kalah dan harus membayar ganti rugi kepada penggugat, kemudian tergugat vrijwaring juga dinyatakan bertanggung jawab, maka tergugat vrijwaring harus mengganti kerugian tergugat asli.

3. Perbandingan Jenis-Jenis Intervensi

AspekVoeging AccessoirVoeging PrincipaalVrijwaring
InisiatifPihak ketiga sendiriPihak ketiga sendiriPihak dalam perkara
SifatSukarela, memihakSukarela, mandiriPaksa
TuntutanTidak ada tuntutan sendiriAda tuntutan mandiriTergantung posisi
KedudukanAccessoir/pembantuPrincipaal/setaraTergugat/turut tergugat
PutusanMengikuti pihak yang didukungMandiri/terpisahMandiri tentang tanggung jawab
Upaya HukumTergantung pihak principalMandiriMandiri
TujuanMembantu pihak tertentuMelindungi kepentingan sendiriMelimpahkan tanggung jawab

D. Yurisprudensi dan Praktik Peradilan

1. Putusan Mahkamah Agung tentang Intervensi

Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam berbagai putusannya telah memberikan pedoman mengenai intervensi:

Putusan MA No. 492 K/Sip/1970: Menegaskan bahwa intervensi hanya dapat diterima jika pemohon memiliki kepentingan hukum langsung terhadap objek sengketa, bukan sekadar kepentingan ekonomi atau moral.

Putusan MA No. 3201 K/Pdt/1984: Menyatakan bahwa intervensi yang diajukan setelah perkara diputus pada tingkat pertama tidak dapat diterima karena tidak memenuhi syarat formil.

Putusan MA No. 1148 K/Sip/1973: Menegaskan bahwa dalam voeging principaal, pihak intervensi memiliki kedudukan yang setara dengan pihak asli dan berhak mengajukan upaya hukum secara mandiri.

2. Praktik Intervensi di Pengadilan

Dalam praktik peradilan di Indonesia, intervensi paling sering terjadi dalam:

a. Sengketa Tanah: Pihak ketiga yang mengklaim hak atas tanah yang disengketakan

b. Sengketa Waris: Ahli waris lain yang tidak diikutsertakan dalam gugatan

c. Sengketa Perdata Lainnya: Kreditor dalam perkara kepailitan, pembeli dalam sengketa jual beli, dll.

Kendala yang sering dihadapi dalam praktik:

  • Pemahaman yang belum seragam di kalangan praktisi hukum
  • Keterlambatan pengajuan intervensi
  • Kesulitan membuktikan kepentingan hukum langsung
  • Potensi penyalahgunaan untuk menunda proses peradilan

E. Analisis Kritis

1. Kelemahan Pengaturan Intervensi

Pengaturan intervensi dalam sistem hukum acara perdata Indonesia memiliki beberapa kelemahan:

a. Ketidaklengkapan Regulasi: HIR dan RBg tidak mengatur intervensi secara eksplisit, sehingga harus merujuk pada Rv yang sebenarnya bukan merupakan hukum nasional

b. Ketidakseragaman Praktik: Perbedaan pemahaman dan penerapan di berbagai tingkat pengadilan

c. Tidak Ada Batasan Waktu Jelas: Tidak ada ketentuan tegas mengenai batas waktu pengajuan intervensi

d. Potensi Penyalahgunaan: Intervensi dapat disalahgunakan untuk mengulur waktu pemeriksaan perkara

2. Perlunya Pembaruan Hukum Acara Perdata

Untuk mengatasi kelemahan tersebut, diperlukan:

a. Kodifikasi Lengkap: Memasukkan pengaturan intervensi secara komprehensif dalam RUU Hukum Acara Perdata

b. Kriteria Jelas: Menetapkan kriteria yang lebih jelas mengenai kepentingan hukum langsung

c. Batasan Waktu: Menentukan batas waktu pengajuan intervensi pada setiap tingkat peradilan

d. Sanksi: Memberikan sanksi bagi penyalahgunaan hak intervensi

e. Pedoman Teknis: Menerbitkan pedoman teknis atau SEMA untuk menyeragamkan praktik

3. Kontribusi Intervensi terhadap Keadilan

Meskipun memiliki kelemahan, lembaga intervensi memberikan kontribusi positif:

a. Perlindungan Hukum: Melindungi kepentingan pihak ketiga yang terpengaruh putusan

b. Efisiensi Peradilan: Menghindari putusan yang saling bertentangan dan mengurangi jumlah perkara

c. Akses Keadilan: Memberikan akses kepada pihak ketiga untuk membela haknya

d. Kepastian Hukum: Menyelesaikan sengketa secara komprehensif dalam satu perkara


IV. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:

  1. Pengaturan Hukum Intervensi: Intervensi diatur dalam Pasal 279-283 Rv dan diterapkan dalam praktik peradilan Indonesia meskipun HIR dan RBg tidak mengatur secara eksplisit. Lembaga ini diakui dalam yurisprudensi dan doktrin hukum sebagai bagian dari sistem hukum acara perdata Indonesia.
  2. Kedudukan Hukum Penggugat Intervensi: Penggugat intervensi memiliki kedudukan hukum sebagai pihak dalam perkara yang terikat dengan putusan pengadilan. Kedudukan ini memberikan hak dan kewajiban prosesual, dengan tingkat yang berbeda tergantung jenis intervensi yang dilakukan. Untuk dapat diterima, penggugat intervensi harus memenuhi syarat materiil (kepentingan hukum langsung) dan syarat formil (diajukan pada waktu yang tepat dengan alasan yang jelas).
  3. Jenis-Jenis Intervensi dan Implikasinya:
    • Voeging Accessoir: Memberikan hak terbatas untuk membantu pihak yang didukung, dengan nasib yang mengikuti pihak tersebut
    • Voeging Principaal: Memberikan hak penuh sebagai pihak mandiri dengan tuntutan tersendiri dan putusan yang independen
    • Vrijwaring: Melibatkan pihak ketiga secara paksa dengan tujuan melimpahkan tanggung jawab dalam hubungan hukum beruntun

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis menyarankan:

  1. Kepada Pembuat Undang-Undang:
    • Segera menyelesaikan RUU Hukum Acara Perdata yang memuat pengaturan lengkap dan jelas mengenai intervensi
    • Menetapkan kriteria objektif mengenai kepentingan hukum langsung dan batasan waktu pengajuan intervensi
    • Memasukkan sanksi bagi penyalahgunaan hak intervensi untuk mengulur waktu
  2. Kepada Mahkamah Agung:
    • Menerbitkan SEMA atau Perma yang memberikan pedoman teknis mengenai penerapan intervensi
    • Melakukan sosialisasi dan pelatihan kepada hakim mengenai berbagai jenis intervensi dan implikasinya
    • Membangun basis data yurisprudensi tentang intervensi untuk panduan praktisi hukum
  3. Kepada Praktisi Hukum:
    • Meningkatkan pemahaman mengenai lembaga intervensi dan penggunaannya secara tepat
    • Tidak menyalahgunakan intervensi sebagai sarana mengulur waktu pemeriksaan perkara
    • Menggunakan intervensi sebagai strategi hukum yang efektif untuk melindungi kepentingan klien
  4. Kepada Akademisi:
    • Melakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas intervensi dalam praktik peradilan
    • Mengembangkan konsep dan teori intervensi yang sesuai dengan konteks hukum Indonesia
    • Memasukkan materi intervensi secara komprehensif dalam kurikulum pendidikan hukum

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Mertokusumo, Sudikno. (2010). Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Harahap, M. Yahya. (2016). Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.

Soeparmono, R. (2005). Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi. Bandung: Mandar Maju.

Syahrani, Riduan. (2013). Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. (2009). Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Reglement op de Rechtsvordering (Rv), Staatsblad 1847 Nomor 52 jo. Staatsblad 1849 Nomor 63.

Herziene Indonesisch Reglement (HIR), Staatsblad 1941 Nomor 44.

Rechtsreglement Buitengewesten (RBg), Staatsblad 1927 Nomor 227.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

C. Yurisprudensi

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 492 K/Sip/1970 tentang Kepentingan Hukum dalam Intervensi.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3201 K/Pdt/1984 tentang Syarat Formil Pengajuan Intervensi.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1148 K/Sip/1973 tentang Kedudukan Intervensi Principaal.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 879 K/Sip/1972 tentang Vrijwaring dalam Perkara Perdata.

D. Jurnal dan Artikel Ilmiah

Asikin, Zainal. (2015). "Problematika Intervensi dalam Hukum Acara Perdata Indonesia". Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 45, No. 2, hlm. 215-234.

Nugroho, Susanti Adi. (2017). "Kedudukan Pihak Ketiga dalam Perkara Perdata: Analisis terhadap Lembaga Intervensi". Jurnal Yudisial, Vol. 10, No. 1, hlm. 77-96.

Hartono, Sunaryati. (2012). "Pembaruan Hukum Acara Perdata: Urgensi Pengaturan Intervensi dalam RUU HAP". Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1, No. 2, hlm. 297-315.

Rahardjo, Handri. (2018). "Voeging dan Vrijwaring: Perbandingan dalam Sistem Civil Law dan Common Law". Jurnal Hukum Acara Perdata, Vol. 4, No. 1, hlm. 45-67.

Widjaja, Gunawan. (2014). "Efektivitas Lembaga Intervensi dalam Penyelesaian Sengketa Perdata di Indonesia". Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 33, No. 3, hlm. 189-206.

E. Sumber Lain

Remy, Sjahdeini Sutan. (2016). "Intervensi dalam Perkara Perdata: Teori dan Praktik". Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Hukum Acara Perdata, Jakarta, 15 Maret 2016.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. (2019). Laporan Penelitian tentang Implementasi Intervensi dalam Praktik Peradilan. Jakarta: MA-RI.

Selasa, 11 November 2025

PERLINDUNGAN HUKUM NASABAH KREDIT MACET: LARANGAN PENGENAAN BUNGA BERJALAN BERDASARKAN YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG DAN REGULASI OJK

 ABSTRAK

Artikel ini membahas perlindungan hukum bagi nasabah yang mengalami kredit macet terkait larangan pengenaan bunga berjalan atau bunga berjangka. Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 2899 K/Pdt/1994 tanggal 15 Februari 1996, terdapat prinsip hukum yang membatasi pembebanan bunga kepada debitur yang telah dinyatakan wanprestasi. Prinsip ini diperkuat dengan kerangka regulasi terkini melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan serta POJK Nomor 22/POJK.07/2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan. Artikel ini menganalisis landasan hukum, implikasi praktis, serta hak-hak nasabah dalam menghadapi situasi kredit bermasalah, dengan tujuan memberikan pemahaman komprehensif mengenai batas-batas kewenangan lembaga keuangan dalam mengenakan bunga kepada nasabah kredit macet.

Kata Kunci: Kredit Macet, Bunga Berjalan, Yurisprudensi Mahkamah Agung, POJK, Perlindungan Konsumen Keuangan, Wanprestasi


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kredit perbankan merupakan salah satu instrumen pembiayaan yang vital dalam perekonomian Indonesia. Dalam praktiknya, tidak semua fasilitas kredit berjalan lancar. Kondisi ekonomi yang tidak stabil, bencana alam, pandemi, atau berbagai faktor lainnya dapat menyebabkan nasabah mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban pembayaran kreditnya, yang kemudian dikategorikan sebagai kredit macet atau Non-Performing Loan (NPL).

Permasalahan yang sering muncul adalah pembebanan bunga yang terus berjalan meskipun kredit telah dinyatakan macet. Praktik ini menimbulkan beban finansial yang berlipat ganda bagi nasabah dan menimbulkan pertanyaan mengenai keadilan serta perlindungan hukum bagi debitur yang sedang dalam kesulitan ekonomi.

B. Rumusan Masalah

  1. Bagaimana ketentuan hukum mengenai pengenaan bunga terhadap kredit macet berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung?
  2. Bagaimana pengaturan perlindungan konsumen dalam POJK No. 6/POJK.07/2022 dan POJK No. 22/POJK.07/2023 terkait kredit bermasalah?
  3. Apa implikasi hukum bagi lembaga keuangan yang tetap mengenakan bunga berjalan pada kredit macet?

C. Tujuan Penulisan

Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman komprehensif mengenai perlindungan hukum nasabah kredit macet, khususnya terkait larangan pengenaan bunga berjalan berdasarkan yurisprudensi dan regulasi yang berlaku di Indonesia.


II. LANDASAN TEORITIS

A. Pengertian Kredit Macet

Kredit macet (Non-Performing Loan) adalah kredit yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor kesengajaan atau faktor eksternal di luar kemampuan debitur. Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, kredit macet adalah kredit dengan kolektibilitas 5 (lima), yaitu kredit yang pembayaran angsuran pokok dan/atau bunganya telah lewat 270 hari atau lebih.

B. Konsep Bunga Berjalan

Bunga berjalan (interest on arrears) adalah bunga yang terus dikenakan terhadap sisa pokok pinjaman yang belum dibayar, termasuk setelah kredit dinyatakan macet. Praktik ini menjadi kontroversial karena dapat memperbesar beban utang debitur secara eksponensial.

C. Prinsip Wanprestasi dalam Hukum Perdata

Wanprestasi adalah tidak terpenuhinya kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang lahir dari perjanjian maupun perikatan yang lahir dari undang-undang. Dalam kasus kredit, wanprestasi terjadi ketika debitur tidak melaksanakan kewajibannya membayar angsuran sesuai kesepakatan.


III. YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2899 K/PDT/1994

A. Ringkasan Putusan

Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 2899 K/Pdt/1994 tanggal 15 Februari 1996 merupakan putusan landmark yang memberikan perlindungan kepada debitur dalam hal pembebanan bunga. Putusan ini menegaskan prinsip fundamental dalam hukum perjanjian kredit di Indonesia.

B. Kaidah Hukum (Rechtsregel)

Kaidah hukum yang dapat ditarik dari putusan ini adalah:

"Terhadap kredit yang telah dinyatakan macet, lembaga keuangan tidak dapat mengenakan bunga berjalan atau bunga berjangka karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan dan dapat menyebabkan pembesaran utang yang tidak terkendali."

C. Ratio Decidendi (Pertimbangan Hukum)

Mahkamah Agung dalam putusannya memberikan pertimbangan sebagai berikut:

  1. Prinsip Keseimbangan: Pengenaan bunga berjalan setelah kredit macet menimbulkan ketidakseimbangan yang signifikan antara kreditur dan debitur, di mana debitur yang sudah dalam kesulitan justru dibebani dengan kewajiban yang terus membesar.
  2. Prinsip Kepatutan: Pembebanan bunga yang terus menerus tanpa batas waktu bertentangan dengan prinsip kepatutan dalam hukum perjanjian, terutama ketika debitur telah kehilangan kemampuan ekonomis.
  3. Pencegahan Pembesaran Utang Tidak Wajar: Bunga berbunga (anatocisme) atau pembebanan bunga yang terus-menerus dapat menyebabkan utang membengkak hingga jauh melampaui pokok pinjaman awal, yang bertentangan dengan tujuan awal pemberian kredit.

D. Implikasi Hukum

Yurisprudensi ini memberikan pedoman bagi hakim-hakim di tingkat bawah dalam memutus perkara sejenis. Meskipun yurisprudensi tidak bersifat mengikat secara mutlak dalam sistem hukum Indonesia, namun memiliki nilai persuasif yang kuat dan sering dijadikan rujukan dalam praktik peradilan.


IV. PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN (POJK)

A. POJK No. 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan

1. Prinsip Perlindungan Konsumen

POJK ini mengatur prinsip-prinsip dasar perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan, yang meliputi:

  • Transparansi: Pelaku usaha jasa keuangan wajib memberikan informasi yang jelas, akurat, dan tidak menyesatkan mengenai produk dan/atau layanan.
  • Perlakuan yang Adil: Konsumen berhak mendapat perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif.
  • Keandalan: Pelaku usaha harus menjamin keandalan produk dan/atau layanan yang ditawarkan.
  • Kerahasiaan dan Keamanan Data: Perlindungan atas data dan informasi konsumen.
  • Penanganan Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa: Mekanisme yang efektif untuk menangani keluhan konsumen.

2. Ketentuan tentang Bunga dan Biaya

POJK mengatur bahwa:

  • Setiap pengenaan biaya, termasuk bunga, harus dijelaskan secara transparan sejak awal.
  • Pelaku usaha jasa keuangan dilarang mengenakan biaya yang tidak wajar atau tersembunyi.
  • Dalam hal terjadi kredit bermasalah, pelaku usaha harus mengutamakan penyelesaian secara musyawarah dengan mempertimbangkan kemampuan konsumen.

3. Hak Konsumen dalam Kredit Bermasalah

  • Hak untuk mendapatkan restrukturisasi kredit
  • Hak untuk mendapatkan penjelasan mengenai perhitungan sisa utang
  • Hak untuk mengajukan keberatan atas pengenaan biaya yang tidak sesuai
  • Hak untuk mendapatkan penyelesaian sengketa yang adil

B. POJK No. 22/POJK.07/2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan

POJK ini merupakan pembaruan dan penguatan dari regulasi sebelumnya dengan penambahan beberapa aspek penting:

1. Penguatan Edukasi Keuangan

Lembaga keuangan diwajibkan untuk:

  • Memberikan literasi keuangan kepada konsumen
  • Menjelaskan risiko produk keuangan secara komprehensif
  • Menyediakan simulasi perhitungan kredit yang mudah dipahami

2. Pengaturan Khusus untuk Kredit Bermasalah

POJK ini secara spesifik mengatur:

  • Kewajiban Restrukturisasi: Lembaga keuangan wajib menawarkan opsi restrukturisasi kepada nasabah yang mengalami kesulitan pembayaran.
  • Pembatasan Pengenaan Biaya Tambahan: Biaya-biaya tambahan seperti denda dan bunga keterlambatan harus dibatasi dan tidak boleh melebihi batas kewajaran.
  • Larangan Pengenaan Bunga Berlipat: Pengaturan yang melarang praktik bunga berbunga atau kapitalisasi bunga yang berlebihan.

3. Mekanisme Penyelesaian Sengketa

  • Pendirian Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS)
  • Kewajiban lembaga keuangan untuk menyelesaikan keluhan dalam jangka waktu tertentu
  • Sanksi bagi lembaga keuangan yang tidak kooperatif dalam penyelesaian sengketa


V. ANALISIS HUKUM: LARANGAN PENGENAAN BUNGA BERJALAN PADA KREDIT MACET

A. Sinkronisasi antara Yurisprudensi dan Regulasi OJK

Terdapat keselarasan antara prinsip yang ditetapkan dalam Yurisprudensi MA No. 2899 K/Pdt/1994 dengan semangat perlindungan konsumen dalam POJK No. 6/POJK.07/2022 dan POJK No. 22/POJK.07/2023. Keduanya sama-sama bertujuan untuk:

  1. Mencegah pembesaran utang yang tidak terkendali
  2. Memberikan perlindungan kepada debitur yang beritikad baik namun mengalami kesulitan ekonomi
  3. Mendorong penyelesaian kredit bermasalah melalui jalur restrukturisasi daripada eksekusi yang merugikan

B. Argumentasi Hukum Larangan Bunga Berjalan

1. Prinsip Proporsionalitas

Pengenaan bunga berjalan setelah kredit dinyatakan macet bertentangan dengan prinsip proporsionalitas karena:

  • Debitur yang sudah dalam kondisi kesulitan justru dibebani tambahan kewajiban
  • Utang dapat membengkak hingga berkali lipat dari pokok pinjaman awal
  • Tujuan kredit sebagai instrumen pembiayaan produktif menjadi kontraproduktif

2. Prinsip Pacta Sunt Servanda dan Batas-batasnya

Meskipun perjanjian harus ditaati (pacta sunt servanda), prinsip ini memiliki batasan:

  • Itikad Baik: Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik dari kedua belah pihak
  • Keadaan Memaksa (Force Majeure): Kondisi yang berada di luar kendali debitur dapat menjadi alasan pembebasan atau keringanan kewajiban
  • Kepatutan dan Keadilan: Pelaksanaan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat

3. Doktrin Clausula Rebus Sic Stantibus

Doktrin ini menyatakan bahwa perjanjian mengikat selama keadaan tetap seperti pada saat perjanjian dibuat. Jika terjadi perubahan keadaan yang fundamental, perjanjian dapat disesuaikan. Dalam konteks kredit macet:

  • Perubahan kondisi ekonomi makro (krisis ekonomi, pandemi)
  • Kehilangan pekerjaan atau sumber pendapatan
  • Bencana alam atau keadaan darurat lainnya

C. Praktik Industri dan Kesenjangan Implementasi

Meskipun terdapat landasan hukum yang jelas, dalam praktik masih ditemukan:

  1. Kesenjangan Informasi: Banyak nasabah yang tidak mengetahui hak-haknya
  2. Klausula Baku yang Merugikan: Perjanjian kredit seringkali berisi klausula yang menguntungkan bank secara sepihak
  3. Inkonsistensi Penerapan: Tidak semua lembaga keuangan menerapkan prinsip perlindungan konsumen dengan baik
  4. Keterbatasan Akses ke Bantuan Hukum: Debitur sering kesulitan mendapatkan pendampingan hukum


VI. HAK-HAK NASABAH KREDIT MACET

A. Hak untuk Tidak Dikenakan Bunga Berjalan

Berdasarkan yurisprudensi dan regulasi yang ada, nasabah memiliki hak untuk tidak dikenakan bunga berjalan setelah kreditnya dinyatakan macet, terutama jika:

  • Kredit macet disebabkan oleh kondisi force majeure
  • Nasabah telah berupaya menyelesaikan dengan itikad baik
  • Pengenaan bunga menyebabkan utang membengkak secara tidak wajar

B. Hak atas Restrukturisasi Kredit

Nasabah berhak untuk mengajukan restrukturisasi kredit yang meliputi:

  • Penjadwalan ulang pembayaran
  • Perpanjangan jangka waktu kredit
  • Pengurangan tunggakan bunga
  • Konversi sebagian atau seluruh kredit menjadi penyertaan modal sementara
  • Penurunan suku bunga

C. Hak atas Informasi yang Jelas

Nasabah berhak mendapatkan:

  • Rincian perhitungan sisa utang secara transparan
  • Penjelasan mengenai komponen-komponen yang ditagihkan
  • Informasi mengenai opsi penyelesaian yang tersedia
  • Akses terhadap dokumen perjanjian dan perubahannya

D. Hak untuk Mengajukan Keberatan dan Komplain

Nasabah dapat mengajukan keberatan melalui:

  • Layanan pengaduan internal lembaga keuangan
  • Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
  • Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS)
  • Jalur litigasi melalui pengadilan


VII. KEWAJIBAN LEMBAGA KEUANGAN

A. Kewajiban Transparansi

Lembaga keuangan wajib:

  • Menjelaskan secara rinci mengenai risiko kredit macet sejak awal
  • Memberikan simulasi perhitungan yang mudah dipahami
  • Menginformasikan perubahan ketentuan yang mempengaruhi nasabah

B. Kewajiban Melakukan Restrukturisasi

Sebelum melakukan eksekusi jaminan atau langkah hukum lainnya, lembaga keuangan wajib:

  • Menganalisis kemampuan nasabah
  • Menawarkan skema restrukturisasi yang layak
  • Memberikan kesempatan yang cukup bagi nasabah untuk memenuhi kewajiban

C. Kewajiban Menghormati Hak Konsumen

Lembaga keuangan dilarang:

  • Melakukan intimidasi atau tekanan psikologis
  • Mengenakan biaya yang tidak sesuai dengan perjanjian
  • Menggunakan jasa debt collector yang tidak berizin
  • Melakukan eksekusi tanpa melalui prosedur yang sah


VIII. MEKANISME PENEGAKAN HUKUM

A. Pengawasan oleh OJK

OJK memiliki kewenangan untuk:

  • Melakukan pemeriksaan terhadap lembaga keuangan
  • Memberikan sanksi administratif
  • Mencabut izin usaha dalam pelanggaran berat
  • Memerintahkan pengembalian dana kepada konsumen

B. Jalur Penyelesaian Sengketa

1. Internal Dispute Resolution (IDR)

Langkah pertama adalah pengaduan ke layanan konsumen lembaga keuangan dengan batas waktu penyelesaian maksimal 20 hari kerja.

2. Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS)

Jika IDR tidak berhasil, konsumen dapat mengajukan ke LAPS yang meliputi:

  • Mediasi
  • Ajudikasi
  • Arbitrase

3. Jalur Litigasi

Sebagai upaya terakhir, konsumen dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dengan menggunakan yurisprudensi MA No. 2899 K/Pdt/1994 sebagai dasar argumentasi.

C. Sanksi bagi Lembaga Keuangan

Lembaga keuangan yang melanggar ketentuan dapat dikenakan:

  • Teguran tertulis
  • Denda administratif
  • Pembatasan kegiatan usaha
  • Pembekuan kegiatan usaha tertentu
  • Pencabutan izin usaha


IX. STUDI KASUS DAN IMPLEMENTASI

A. Contoh Kasus

Kasus Ilustrasi: PT Bank ABC memberikan kredit kepada Tuan Budi sebesar Rp 500.000.000 dengan bunga 12% per tahun. Akibat pandemi, usaha Tuan Budi bangkrut dan kredit menjadi macet dengan sisa pokok Rp 300.000.000. Bank tetap mengenakan bunga berjalan sehingga dalam 3 tahun utang membengkak menjadi Rp 420.000.000.

Penyelesaian Berdasarkan Hukum:

  1. Tuan Budi dapat mengajukan keberatan atas pengenaan bunga berjalan dengan dasar Yurisprudensi MA No. 2899 K/Pdt/1994
  2. Utang yang dapat ditagihkan adalah pokok pinjaman (Rp 300.000.000) ditambah bunga yang wajar hingga kredit dinyatakan macet
  3. Bank wajib menawarkan restrukturisasi sesuai POJK

B. Best Practice Penanganan Kredit Macet

  1. Early Warning System: Deteksi dini nasabah yang berpotensi mengalami kesulitan
  2. Proactive Communication: Komunikasi aktif dengan nasabah sebelum kredit menjadi macet
  3. Flexible Restructuring: Menawarkan berbagai opsi restrukturisasi yang sesuai dengan kondisi nasabah
  4. Fair Collection Practice: Praktik penagihan yang menghormati hak dan martabat nasabah


X. KESIMPULAN

  1. Landasan Hukum yang Jelas: Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 2899 K/Pdt/1994 memberikan dasar hukum yang kuat bahwa nasabah kredit macet tidak dapat dikenakan bunga berjalan secara terus-menerus.
  2. Penguatan melalui Regulasi OJK: POJK No. 6/POJK.07/2022 dan POJK No. 22/POJK.07/2023 memperkuat perlindungan konsumen dengan mengatur kewajiban lembaga keuangan untuk bertindak adil dan transparan.
  3. Prinsip Keseimbangan: Hukum menghendaki adanya keseimbangan antara kepentingan kreditur untuk mendapatkan pelunasan dan perlindungan terhadap debitur yang mengalami kesulitan.
  4. Pentingnya Restrukturisasi: Restrukturisasi kredit merupakan solusi yang lebih adil dibandingkan pembebanan bunga berjalan yang dapat menyebabkan utang membengkak tidak terkendali.


XI. PENUTUP

Perlindungan hukum bagi nasabah kredit macet merupakan manifestasi dari prinsip keadilan dalam sistem hukum Indonesia. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 2899 K/Pdt/1994 bersama dengan POJK No. 6/POJK.07/2022 dan POJK No. 22/POJK.07/2023 memberikan kerangka hukum yang komprehensif untuk melindungi nasabah dari praktik pembebanan bunga yang tidak adil.

Namun, implementasi di lapangan masih memerlukan peningkatan kesadaran dari semua pihak. Nasabah perlu memahami hak-haknya, lembaga keuangan perlu menerapkan prinsip-prinsip good governance dan fair treatment, sementara regulator perlu memastikan enforcement yang efektif.

Dengan pemahaman dan implementasi yang baik atas ketentuan-ketentuan ini, diharapkan dapat tercipta ekosistem pembiayaan yang sehat, adil, dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Mahkamah Agung Republik Indonesia, Yurisprudensi Nomor 2899 K/Pdt/1994, tanggal 15 Februari 1996
  2. Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan OJK Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan
  3. Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan OJK Nomor 22/POJK.07/2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan
  4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
  5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
  6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
  7. Subekti, R. (2001). Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa
  8. Muhammad, Abdulkadir. (2004). Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti
  9. Sjahdeini, Sutan Remy. (2009). Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia
  10. Fuady, Munir. (2013). Hukum Perkreditan Kontemporer. Bandung: Citra Aditya Bakti

Minggu, 09 Februari 2025

Kedudukan Hukum yang Tidak Tepat dalam Menerima Cesie, Ini Solusi Hukumnya


Dalam hukum perdata, cesie (cessie) adalah perjanjian yang memindahkan hak dan kewajiban seseorang kepada pihak lain. Namun, dalam prakteknya, seringkali terjadi kesalahan dalam menerima cesie, yang dapat menyebabkan konsekuensi hukum yang tidak diinginkan.


Kedudukan Hukum yang Tidak Tepat

Dalam menerima cesie, kedudukan hukum penerima cesie haruslah jelas dan tepat. Namun, seringkali terjadi kesalahan dalam menentukan kedudukan hukum penerima cesie, sehingga dapat menyebabkan konsekuensi hukum yang tidak diinginkan.


Dasar Hukum:

- Pasal 1319 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian harus dibuat dengan itikad baik dan tidak boleh bertentangan dengan hukum, keadilan, dan kesusilaan.

- Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian harus dibuat dengan kesepakatan antara para pihak dan tidak boleh dipaksakan.

- Pasal 1347 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian harus dibuat dengan jelas dan tidak boleh memuat ketidakjelasan.


Akibat Hukum

Kesalahan dalam menentukan kedudukan hukum penerima cesie dapat menyebabkan akibat hukum sebagai berikut:

1. Perjanjian cesie dapat dibatalkan atau dinyatakan tidak sah (Pasal 1320 KUHPerdata).

2. Penerima cesie dapat diwajibkan untuk mengembalikan hak dan kewajiban yang dipindahkan melalui cesie (Pasal 1349 KUHPerdata).

3. Penerima cesie dapat diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang dirugikan (Pasal 1365 KUHPerdata).

4. Penerima cesie dapat dianggap sebagai pihak yang tidak berhak untuk menerima cesie, sehingga dapat menyebabkan kerugian bagi pihak lain.

5. Penerima cesie dapat diwajibkan untuk mengembalikan biaya dan ongkos yang telah dikeluarkan dalam proses cesie.


Solusi Hukum

Untuk mengatasi kesalahan dalam menerima cesie, beberapa solusi hukum dapat diambil, seperti:

1. Pembatalan Perjanjian Cesie: Jika kesalahan dalam menerima cesie disebabkan oleh ketidakjelasan atau kesalahan dalam perjanjian, maka perjanjian cesie dapat dibatalkan (Pasal 1320 KUHPerdata).

2. Pengembalian Hak dan Kewajiban: Jika kesalahan dalam menerima cesie disebabkan oleh ketidakjelasan atau kesalahan dalam perjanjian, maka penerima cesie dapat diwajibkan untuk mengembalikan hak dan kewajiban yang dipindahkan melalui cesie (Pasal 1349 KUHPerdata).

3. Ganti Rugi: Jika kesalahan dalam menerima cesie menyebabkan kerugian bagi pihak lain, maka penerima cesie dapat diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang dirugikan (Pasal 1365 KUHPerdata).

4. Pengajuan Gugatan: Jika kesalahan dalam menerima cesie disebabkan oleh ketidakjelasan atau kesalahan dalam perjanjian, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada penerima cesie untuk meminta pembatalan perjanjian cesie atau pengembalian hak dan kewajiban.

5. Mediasi: Jika kesalahan dalam menerima cesie disebabkan oleh ketidakjelasan atau kesalahan dalam perjanjian, maka pihak-pihak yang terkait dapat melakukan mediasi untuk mencapai kesepakatan yang adil dan wajar.


Kesimpulan

Dalam menerima cesie, kedudukan hukum penerima cesie haruslah jelas dan tepat. Kesalahan dalam menentukan kedudukan hukum penerima cesie dapat menyebabkan akibat hukum yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa penerima cesie memiliki kapasitas hukum yang cukup, hubungan hukum yang jelas, dan kemampuan untuk melaksanakan kewajiban yang dipindahkan melalui cesie.

Selasa, 26 November 2024

Penerapan Delik Formal dan Delik Materil Dalam KUHP

Sumber gambar: google.com

Dalam hukum pidana, delik atau tindak pidana dibagi menjadi dua jenis utama: "delik formil" dan "delik materil".

Berikut adalah pembahasan mengenai kedua jenis delik ini:


Defenisi Delik Formil
Delik formil adalah tindak pidana yang dianggap selesai atau terpenuhi dengan dilakukannya perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, tanpa memperhatikan apakah akibat dari perbuatan tersebut sudah terjadi atau belum. Fokus utama adalah tindakan itu sendiri.


Karakteristik Delik Formil:
Tidak memerlukan adanya akibat tertentu untuk dianggap selesai.

- Yang penting adalah perbuatan yang dilarang sudah dilakukan oleh pelaku.

- Contoh: Pencurian (Pasal 362 KUHP) dianggap selesai dengan tindakan mengambil barang milik orang lain tanpa izin, meskipun barang tersebut belum digunakan atau dijual.


Contoh Delik Formil dalam KUHP:

1. Pencurian (Pasal 362 KUHP)*: Tindak pidana ini selesai dengan tindakan mengambil barang milik orang lain tanpa izin.

2. Penipuan (Pasal 378 KUHP)*: Tindak pidana ini selesai dengan tindakan menggunakan tipu muslihat atau kebohongan untuk memperoleh keuntungan.

3. Pemerasan (Pasal 368 KUHP)*: Tindak pidana ini selesai dengan tindakan memaksa orang lain untuk memberikan sesuatu atau melakukan sesuatu dengan ancaman.


Defenisi Delik Materil:

- Delik materil adalah tindak pidana yang dianggap selesai atau terpenuhi dengan terjadinya akibat tertentu yang dilarang oleh undang-undang sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Fokus utama adalah akibat dari tindakan tersebut.


Karakteristik Delik Materil: 

- Memerlukan adanya akibat tertentu untuk dianggap selesai.

- Perbuatan pelaku harus menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.

- Contoh: Pembunuhan (Pasal 338 KUHP) dianggap selesai ketika perbuatan tersebut mengakibatkan kematian orang lain.


Contoh Delik Materil dalam KUHP:

1. Pembunuhan (Pasal 338 KUHP)*: Delik ini dianggap selesai ketika perbuatan tersebut mengakibatkan kematian orang lain.

2. Penganiayaan yang Mengakibatkan Luka Berat (Pasal 351 ayat (2) KUHP)*: Delik ini dianggap selesai ketika perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat pada korban.

3. Pencurian dengan Kekerasan yang Mengakibatkan Luka Berat (Pasal 365 ayat (2) KUHP): Delik ini dianggap selesai ketika perbuatan pencurian tersebut diikuti dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat pada korban.


Penerapan dalam Hukum Pidana

Delik Formil: Proses hukum dalam delik formil lebih sederhana karena hanya perlu membuktikan bahwa perbuatan yang dilarang telah dilakukan. Bukti yang diperlukan hanya mengenai tindakan pelaku.

Delik Materil: Proses hukum dalam delik materil lebih kompleks karena harus membuktikan bahwa perbuatan pelaku menyebabkan akibat tertentu yang dilarang. Bukti yang diperlukan harus menunjukkan hubungan sebab-akibat antara tindakan pelaku dan akibat yang terjadi.


Kesimpulan

Pemahaman tentang delik formil dan delik materil sangat penting dalam proses penegakan hukum pidana. Delik formil lebih fokus pada tindakan yang dilarang, sedangkan delik materil lebih fokus pada akibat dari tindakan tersebut. Dengan memahami perbedaan ini, penegak hukum dapat lebih efektif dalam menangani berbagai jenis tindak pidana.


Apakah ada hal lain yang ingin Anda ketahui atau butuh bantuan lebih lanjut dapat konsultasi dengan kami di Nomor WhatsApp: 0813 9914 9434 

Jumat, 15 November 2024

Sengketa Pajak dan Tata Cara Pengajuannya

Oleh: 
M.Ardiansyah Hasibuan,SH.,MH.,CPCLE.,C.Me.,CTA
(Konsultan Hukum Pajak)

Sumber gambar: pajak.io

Pendahuluan

Sengketa pajak terjadi ketika ada perbedaan pendapat antara wajib pajak dan otoritas pajak mengenai jumlah pajak yang harus dibayar, interpretasi peraturan pajak, atau penerapan hukum pajak. Sengketa pajak dapat muncul dari berbagai jenis pajak, termasuk pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai (PPN), dan bea masuk.


Penyebab Sengketa Pajak

1. Perbedaan Penafsiran Hukum Pajak. Kadang-kadang, wajib pajak dan otoritas pajak memiliki pandangan yang berbeda tentang bagaimana hukum pajak harus diterapkan.

2.Kesalahan Administratif.
Kesalahan dalam pengisian atau pengajuan formulir pajak dapat menyebabkan sengketa.

3. Pemeriksaan Pajak.
Hasil pemeriksaan pajak oleh otoritas pajak dapat mengungkapkan kewajiban pajak tambahan yang dipertanyakan oleh wajib pajak.

4. Perubahan Kebijakan Pajak.
Perubahan dalam peraturan atau kebijakan pajak dapat menyebabkan kebingungan dan perselisihan antara wajib pajak dan otoritas pajak.


Tata Cara Pengajuan Sengketa Pajak

Berikut adalah langkah-langkah yang harus diikuti jika Anda ingin mengajukan sengketa pajak di Indonesia:

1. Keberatan:

   - Pengajuan: Wajib pajak dapat mengajukan surat keberatan kepada otoritas pajak yang menerbitkan surat ketetapan pajak yang dipersengketakan.

   - Waktu Pengajuan: Keberatan harus diajukan dalam waktu 3 bulan sejak tanggal diterimanya surat ketetapan pajak.

   - Proses: Otoritas pajak akan meninjau keberatan tersebut dan memberikan keputusan dalam waktu 12 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima.


2. Banding:

   - Pengajuan: Jika wajib pajak tidak puas dengan keputusan keberatan, mereka dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.

   - Waktu Pengajuan: Banding harus diajukan dalam waktu 3 bulan sejak tanggal diterimanya keputusan keberatan.

   - Proses: Pengadilan Pajak akan meninjau dan memutuskan banding tersebut.


3. Peninjauan Kembali (PK):

   - Pengajuan: Jika wajib pajak atau otoritas pajak tidak puas dengan putusan Pengadilan Pajak, mereka dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) kepada Mahkamah Agung.

   - Waktu Pengajuan: PK harus diajukan dalam waktu 3 bulan sejak tanggal diterimanya putusan Pengadilan Pajak.

   - Proses: Mahkamah Agung akan meninjau dan memberikan keputusan atas permohonan PK.


Kesimpulan

Sengketa pajak adalah masalah yang kompleks dan seringkali memerlukan pemahaman mendalam tentang hukum dan peraturan pajak. Dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan, wajib pajak dapat menyelesaikan sengketa pajak dengan lebih efektif dan adil. Penting untuk selalu mencari nasihat dari profesional pajak atau konsultan hukum untuk memastikan bahwa semua langkah yang diambil sesuai dengan peraturan yang berlaku.


Semoga pemahaman ini membantu anda! Jika ada informasi tambahan yang Anda butuhkan atau topik lain yang ingin Anda bahas, jangan ragu untuk menghubungi kami.

Jumat, 09 Februari 2024

UNDANG - UNDANG

 
Copyright © 2014 Artikel Law Office MAH

Powered by JoJoThemes