google-site-verification: google9a13747b79e1f4cd.html Artikel Law Office MAH
SEMUA ARTIKEL
M.Ardiansyah Hasibuan
Sumber gambar: google.com

Dalam hukum pidana, delik atau tindak pidana dibagi menjadi dua jenis utama: "delik formil" dan "delik materil".

Berikut adalah pembahasan mengenai kedua jenis delik ini:


Defenisi Delik Formil
Delik formil adalah tindak pidana yang dianggap selesai atau terpenuhi dengan dilakukannya perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, tanpa memperhatikan apakah akibat dari perbuatan tersebut sudah terjadi atau belum. Fokus utama adalah tindakan itu sendiri.


Karakteristik Delik Formil:
Tidak memerlukan adanya akibat tertentu untuk dianggap selesai.

- Yang penting adalah perbuatan yang dilarang sudah dilakukan oleh pelaku.

- Contoh: Pencurian (Pasal 362 KUHP) dianggap selesai dengan tindakan mengambil barang milik orang lain tanpa izin, meskipun barang tersebut belum digunakan atau dijual.


Contoh Delik Formil dalam KUHP:

1. Pencurian (Pasal 362 KUHP)*: Tindak pidana ini selesai dengan tindakan mengambil barang milik orang lain tanpa izin.

2. Penipuan (Pasal 378 KUHP)*: Tindak pidana ini selesai dengan tindakan menggunakan tipu muslihat atau kebohongan untuk memperoleh keuntungan.

3. Pemerasan (Pasal 368 KUHP)*: Tindak pidana ini selesai dengan tindakan memaksa orang lain untuk memberikan sesuatu atau melakukan sesuatu dengan ancaman.


Defenisi Delik Materil:

- Delik materil adalah tindak pidana yang dianggap selesai atau terpenuhi dengan terjadinya akibat tertentu yang dilarang oleh undang-undang sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Fokus utama adalah akibat dari tindakan tersebut.


Karakteristik Delik Materil: 

- Memerlukan adanya akibat tertentu untuk dianggap selesai.

- Perbuatan pelaku harus menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.

- Contoh: Pembunuhan (Pasal 338 KUHP) dianggap selesai ketika perbuatan tersebut mengakibatkan kematian orang lain.


Contoh Delik Materil dalam KUHP:

1. Pembunuhan (Pasal 338 KUHP)*: Delik ini dianggap selesai ketika perbuatan tersebut mengakibatkan kematian orang lain.

2. Penganiayaan yang Mengakibatkan Luka Berat (Pasal 351 ayat (2) KUHP)*: Delik ini dianggap selesai ketika perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat pada korban.

3. Pencurian dengan Kekerasan yang Mengakibatkan Luka Berat (Pasal 365 ayat (2) KUHP): Delik ini dianggap selesai ketika perbuatan pencurian tersebut diikuti dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat pada korban.


Penerapan dalam Hukum Pidana

Delik Formil: Proses hukum dalam delik formil lebih sederhana karena hanya perlu membuktikan bahwa perbuatan yang dilarang telah dilakukan. Bukti yang diperlukan hanya mengenai tindakan pelaku.

Delik Materil: Proses hukum dalam delik materil lebih kompleks karena harus membuktikan bahwa perbuatan pelaku menyebabkan akibat tertentu yang dilarang. Bukti yang diperlukan harus menunjukkan hubungan sebab-akibat antara tindakan pelaku dan akibat yang terjadi.


Kesimpulan

Pemahaman tentang delik formil dan delik materil sangat penting dalam proses penegakan hukum pidana. Delik formil lebih fokus pada tindakan yang dilarang, sedangkan delik materil lebih fokus pada akibat dari tindakan tersebut. Dengan memahami perbedaan ini, penegak hukum dapat lebih efektif dalam menangani berbagai jenis tindak pidana.


Apakah ada hal lain yang ingin Anda ketahui atau butuh bantuan lebih lanjut dapat konsultasi dengan kami di Nomor WhatsApp: 0813 9914 9434 

Oleh: 
M.Ardiansyah Hasibuan,SH.,MH.,CPCLE.,C.Me.,CTA
(Konsultan Hukum Pajak)

Sumber gambar: pajak.io

Pendahuluan

Sengketa pajak terjadi ketika ada perbedaan pendapat antara wajib pajak dan otoritas pajak mengenai jumlah pajak yang harus dibayar, interpretasi peraturan pajak, atau penerapan hukum pajak. Sengketa pajak dapat muncul dari berbagai jenis pajak, termasuk pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai (PPN), dan bea masuk.


Penyebab Sengketa Pajak

1. Perbedaan Penafsiran Hukum Pajak. Kadang-kadang, wajib pajak dan otoritas pajak memiliki pandangan yang berbeda tentang bagaimana hukum pajak harus diterapkan.

2.Kesalahan Administratif.
Kesalahan dalam pengisian atau pengajuan formulir pajak dapat menyebabkan sengketa.

3. Pemeriksaan Pajak.
Hasil pemeriksaan pajak oleh otoritas pajak dapat mengungkapkan kewajiban pajak tambahan yang dipertanyakan oleh wajib pajak.

4. Perubahan Kebijakan Pajak.
Perubahan dalam peraturan atau kebijakan pajak dapat menyebabkan kebingungan dan perselisihan antara wajib pajak dan otoritas pajak.


Tata Cara Pengajuan Sengketa Pajak

Berikut adalah langkah-langkah yang harus diikuti jika Anda ingin mengajukan sengketa pajak di Indonesia:

1. Keberatan:

   - Pengajuan: Wajib pajak dapat mengajukan surat keberatan kepada otoritas pajak yang menerbitkan surat ketetapan pajak yang dipersengketakan.

   - Waktu Pengajuan: Keberatan harus diajukan dalam waktu 3 bulan sejak tanggal diterimanya surat ketetapan pajak.

   - Proses: Otoritas pajak akan meninjau keberatan tersebut dan memberikan keputusan dalam waktu 12 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima.


2. Banding:

   - Pengajuan: Jika wajib pajak tidak puas dengan keputusan keberatan, mereka dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.

   - Waktu Pengajuan: Banding harus diajukan dalam waktu 3 bulan sejak tanggal diterimanya keputusan keberatan.

   - Proses: Pengadilan Pajak akan meninjau dan memutuskan banding tersebut.


3. Peninjauan Kembali (PK):

   - Pengajuan: Jika wajib pajak atau otoritas pajak tidak puas dengan putusan Pengadilan Pajak, mereka dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) kepada Mahkamah Agung.

   - Waktu Pengajuan: PK harus diajukan dalam waktu 3 bulan sejak tanggal diterimanya putusan Pengadilan Pajak.

   - Proses: Mahkamah Agung akan meninjau dan memberikan keputusan atas permohonan PK.


Kesimpulan

Sengketa pajak adalah masalah yang kompleks dan seringkali memerlukan pemahaman mendalam tentang hukum dan peraturan pajak. Dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan, wajib pajak dapat menyelesaikan sengketa pajak dengan lebih efektif dan adil. Penting untuk selalu mencari nasihat dari profesional pajak atau konsultan hukum untuk memastikan bahwa semua langkah yang diambil sesuai dengan peraturan yang berlaku.


Semoga pemahaman ini membantu anda! Jika ada informasi tambahan yang Anda butuhkan atau topik lain yang ingin Anda bahas, jangan ragu untuk menghubungi kami.

Berikut adalah beberapa Undang - Undang yang kami sajikan. Silahkan download.....

  1. UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
  2. UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan
  3. UU Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian
  4. UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak
  5. UU Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial
  6. UU Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
  7. UU Nomor 41 Tahun 204 Tentang Wakaf
  8. UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
  9. UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
  10. UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
  11. UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
  12. UU Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
  13. UU Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan
  14. UU Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
  15. UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
  16. UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
  17. UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan

 

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Perjanjian atau kontrak berkembang pesat saat ini sebagai konsekuensi logis dari berkembangnya kerja sama bisnis antar pelaku bisnis. Banyak kerja sama bisnis dilakukan oleh pelaku bisnis dalam bentuk kontrak atau perjanjian tertulis. Bahkan dalam praktek bisnis telah berkembang pemahaman bahwa kerja sama bisnis harus diadakan dalam bentuk tertulis. Kontrak atau perjanjian tertulis adalah dasar bagi para pelaku bisnis atau para pihak untuk melakukan suatu penuntutan apabila salah satu pihak tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjian dalam suatu kontrak atau perjanjian. Sebenarnya secara yuridis selain kontrak yang dibuat secara tertulis, para pihak atau para pelaku bisnis dapat melakukan pembuatan kontrak secara lisan. Namun, kontrak yang dibuat secara lisan mengandung risiko yang sangat tinggi, karena akan menglami kesulitan dalam pembuktian jika terjadi sengketa hukum.

Pada dasarnya suatu perjanjian atau kontrak berawal dari suatu perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan di antara para pihak, dan perumusan hubungan kontraktual tersebut pada umumnya diawali dengan proses negoisasi di antara para pihak tersebut. Sehingga dengan adanya kontrak perbedaan tersebut diakomodir dan selanjutnya dibingkai dengan perangkat hukum sehingga mengikat kedua belah pihak.

Dalam membuat suatu perjanjian atau kontrak sangat diperlukan pemahaman akan ketentuan-ketentuan hukum perikatan, selain itu juga diperlukan keahlian para pihak dalam pembuatan kontrak akan terhindar dari sengketa atau perselisihan yang sulit untuk diselesaikan. Oleh karena itu kontrak menjadi sangat penting sebagai pedoman kerja bagi para pihak yang terkait. Namun, dalam penyusunan kontrak perlu untuk memperhatikan perundang-undangan ketertiban umum, kebiasaan dan kesusilaan yang berlaku.

Perjanjian atau kontrak merupakan hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang mengikatkan diri berdasarkan kesepakatan untuk menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum itu berupa hak dan kewajiban secara timbal balik antara para pihak.

Hukum kontrak atau perjanjian di Indonesia masih menggunakan peraturan pemerintah kolonial Belanda yang terdapat dalam Buku III Burgerlijk Wetboek. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perata menganut sistem terbuka (open system), artinya bahwa para pihak bebas mengadakan kontrak dengan siapapun, menentukan syarat-syaratnya, pelaksanaannya, maupun bentuk kontraknya baik secara tertulis maupun lisan. Disamping itu, diperkenankan membuat kontrak, baik yang telah dikenal dalam KUH Peedata maupun di luar KUH Perdata. Hal ini sesuai dengan pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang berbunyi:“Semua perjanjian yangdibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”.

Dalam perancangan atau pembuatan kontrak hal penting yang harus diperhatikan oleh para pihak adalah syarat sahnya perjanjian atau kontrak sebagaimana diatur dalam pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang pada intinya mengatur tentang:

1. Sepakat para pihak

2. Kecakapan para pihak

3. Objek tertentu

4. Sebab yang halal.

Syarat 1 dan 2 disebut syarat subyektif, karena menyangkut subyek pembuat kontrak. Akibat hukum tidak dipenuhinya syarat subyektif maka kontrak dapat dibatalkan (vernietigbaar), artinya akan dibatalkan atau tidak, terserah pihak yang berkepentingan. Syarat 3 dan 4 disebut syarat obyektif, karena menyangkut obyek kontrak. Akibat hukum jika tidak dipenuhi syarat obyektif maka kontrak itu batal demi hukum, artinya kontrak itu sejak semula dianggap tidak pernah ada. Juga perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum adalah batal demi hukum.

 

1.2  Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapatlah di identifikasi masalah yaitu bagaimana cara menganalisis suatu kontrak dengan menggunakan teori dalam hukum kontrak.

 

1.3  Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menganalisis suatu kontrak dengan menggunakan teori dalam hukum kontrak.


TINJAUAN TEORITIS

2.1 Sistem Pengaturan Hukum Kontrak

Hukum kontrak adalah bagian hukum perdata (privat). Hukum ini memusatkan perhatian pada kewajiban untuk melaksanakan kewajiban sendiri (self imposed obligation). Disebut sebagai bagian dari hukum perdata disebabkan karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, murni menjadi urusan pihak-pihak yang berkontrak (Atiyah,1983: 1).

Kontrak, dalam bentuk yang paling klasik, dipandang sebagai ekspresi kebebasan manusia untuk memilih dan mengadakan perjanjian. Kontrak merupakan wujud dari kebebasan (freedom of contract) dan kehendak bebas untuk memilih  (freedom  of  choice)  (Atiyah,1983: 5).

Sejak abad ke-19 prinsip-prinsip itu mengalami perkembangan dan berbagai pergeseran penting. Pergeseran demikian disebabkan oleh: pertama, tumbuhnya bentuk-bentuk kontrak standar; kedua, berkurangnya makna kebebasan memilih dan kehendak para pihak, sebagai akibat meluasnya campur tangan pemerintah dalam kehidupan rakyat; ketiga, masuknya konsumen sebagai pihak dalam berkontrak. Ketiga faktor ini berhubungan satu sama lain (Atiyah,1983:13).  Tetapi, prinsip kebebasan berkontrak dan kebebasan untuk memilih tetap dipandang sebagai prinsip dasar pembentukan kontrak.

 

2.2 Asas-Asas Hukum Kontrak

Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah:  asas  kebebasan  berkontrak (freedom of contract),  asas konsensualisme  (consensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad  baik (good  faith),  dan  asas kepribadian (personality). Berikut ini adalah penjelasan mengenai asas-asas dimaksud:

 

2.2.1 Asas  Kebebasan  Berkontrak (Freedom of Contract)

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPer, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: (1) membuat atau tidak membuat perjanjian; (2) mengadakan perjanjian dengan siapa pun; (3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta (4) menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini kemudian tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat menginginkan pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif, dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak namun perlu juga diawasi.  Pemerintah sebagaipengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Oleh karena itu, melalui intervensi pemerintah inilah terjadi pemasyarakatan hukum kontrak/ perjanjian.

 

2.2.2 Asas Konsensualisme (Concensualism)

Asas konsensualisme dapat disimpulkan  dalam  Pasal  1320  ayat  (1) KUHPer. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan  adalah  persesuaian  antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Di dalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah  contractus verbis literis dan contractus innominat. Artinya, bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPer  adalah   berkaitan  dengan bentuk perjanjian.

 

2.2.3 Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan  dalam   Pasal  1338  ayat  (1) KUHPer. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus  pactum  sudah  cukup dengan kata sepakat saja.

2.2.4 Asas Itikad Baik (Good Faith)

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal  1338  ayat  (3)  KUHPer  yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada  itikad  yang  pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.

Dalam hukum kontrak, itikad baik memiliki tiga fungsi : 

1)   Fungsi  standard:  Semua  kontrak  harus  ditafsirkan  sesuai  dengan itikad baik; 

2)   Fungsi menambah (aanvullende werking van de te goeder trouw).  Hakim  dapat  menambah  isi perjanjian  dan  menambah  kata-kata peraturan  perundang-undangan  yang  berkaitan  dengan perjanjian itu; 

3)  Fungsi membatasi  dan  meniadakan  (beperkende  en  derogerende werking van de te gorder trouw). Hakim dapat mengesampingkan isi perjanjian atau peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian  jika  terjadi  perubahan   keadaan  yang  dapat mengakibatkan ketidakadilan.

 

2.2.5 Asas Kepribadian (Personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam  Pasal  1315  dan Pasal  1340 KUHPer. Pasal 1315 KUHPer menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPer berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUHPer yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPer, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu, maka Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPer untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPer memiliki ruang lingkup yang luas.

 

2.3 Unsur-Unsur dalam Hukum Perjanjian

Dalam doktrin ilmu hukum dikenal ada tiga unsur dalam membuat suatu perjanjian;  unsur  esensialia, unsur  naturlia,  unsur  aksidentalia.  Pada  hakikatnya ketiga unsur tersebut merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam pasal 1320 dan  pasal 1339 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

1.   Essensialia: unsur  yang  mutlak  harus  ada  bagi  terjadinya  perjanjian  dan  tanpa unsur ini perjanjian tidak mungkin ada.  Bahwa unsur ini merupakan unsur yang  wajib  ada  dalam  suatu perjanjian  dan  tanpa  keberadaan  unsur  ini,  maka perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat  menjadi  beda,  dan  karenanya  menjadi  tidak  sejalan  dan sesuai  dengan kehendak para pihak. Contoh : causa yang halal contoh Pasal 1320 KUHPerdata, harga dan  barang  yang  disepakati  dalam  perjanjian  jual  beli, bentuk tertentu dalam perjanjian formal, dan lain sebagainya.

2.   Naturalia: unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan  pembawaan  atau  melekat  pada perjanjian.  Unsur  ini  sudah  diatur dalam Undang-undang, namun dapat disimpangi oleh para pihak. Sehingga dapat dikatakan  bahwa  Unsur  naturalia  adalah unsur yang  pasti  ada  dalam  suatu perjanjian  tertentu,  setelah  unsur esensialianya diketahui  secara  pasti.  Contoh : penjual  harus menjamin  vrijwaring  contoh Pasal  1476  dan  1491  KUHPerdata,  namun para pihak dapat menyimpangi ketentuan ini.

3.   Accidentalia: unsur  yang  harus  dimuat  atau  disebut  secara  tegas  atau diperjanjikan  secara  tegas dalam  perjanjian.    Sehingga  dapat  dikatakan  bahwa unsur  ini  adalah  unsur  pelengkap  dalam suatu  perjanjian,  yang  merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan  kehendak  para  pihak,  yang  merupakan  persyaratan  khusus  yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Dengan demikian maka unsur ini  pada  hakikatnya bukan  merupakan  suatu  bentuk  prestasi  yang  harus dilaksanakan  atau  dipenuhi  oleh  para  pihak. Contohnya  dalam  jual  beli  ada ketentuan  mengenai tempat dan saat penyerahan benda yang diperjualbelikan. HASIL PEMBAHASAN

Dengan  mengambil  contoh  dokumen  kontrak/perjanjian kerjasama antara Tubagus Hendrawan, S.Pd. dengan Abdullah Rauf, S.com, tanggal 12 Maret 2014 tentang Perjanjian kerja sama modal usaha dengan jenis usaha ekspor furniture, berikut hasil analisis dan evaluasi dokumen kontrak tersebut.

 

3.1    Asas-Asas dan Ketentuan Umum dalam Hukum Perjanjian

3.1.1  Asas Kebebasan Berkontrak  (Freedom of Contract)

Asas Kebebasan Berkontrak dapat kita lihat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang berbunyi bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Pasal 1338 ayat (1) KUH Pdt ini seolah-olah membuat pernyataan bahwa kita bebas untuk membuat perjanjian apa saja dan perjanjian tersebut akan mengikat kita sebagaimana undang-undang. Kebebasan berkontrak disini hanya dibatasi oleh ketertiban umum dan kesusilaan.

Berdasarkan uraian yang telah di paparkan diatas, bahwa perjanjian kontrak tersebut tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum dan kesusilaan sehingga kontrak ini di buat sah secara hukum dan mengikat para pihak yang membuat perjanjian ini.

 

3.1.2   Asas Konsensualisme (concensualism)

Ketentuan mengenai Asas Konsensualisme ini dapat kita lihat dalam Pasal 1320 KUHPdt Untuk validitas sebuah kontrak/perjanjian maka diperlukan 4 (empat)  kualifikasi sebagai berikut:

a.       Sepakat mereka yang mengikat dirinya (The Consent);

b.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (The Capacity);

c.       Suatu hal tertentu (Particular Object);

d.      Suatu sebab yang halal (A Lawful Cause).

 

Keempat hal tersebut akan dibahas sebagai berikut:

a.      Sepakat mereka yang mengikat dirinya (The Consent);

Kesepakatan dapat dicapai jika terdapat penawaran (offer), yang menawarkan (offeror)  dan yang menerima tawaran (offeree). Offeror  membuat   penawaran untuk offeree; Offeree memiliki kebebasan untuk menerima penawaran dan membuat sebuah kontrak/perjanjian sehingga kesepakatan  dicapai dan kontrak/ perjanjian dibuat pada saat yang sama ketika penawaran diterima. Hal tersebut digambarkan sebagai berikut: 

Pada surat perjanjian/kontrak antara Tubagus Hendrawan, S.Pd. sebagai pihak pertama dengan Abdullah Rauf, S.Com. sebagai pihak kedua yang  bertindak sebagai Offeror adalah Abdullah Rauf, S.Com. dan yang bertindak sebagai Offeree adalah Tubagus Hendrawan, S.Pd. dan  keduanya  bersepakat bahwa Abdullah Rauf, S.Com. akan melaksanakan perkerjaan (offer) selaku pengelola modal dari Pihak Pertama bertanggungjawab untuk mengelola usaha dengan jenis usaha ekspor furniture dalam surat perjanjian yang di buat pada tanggal 12 Maret 2014. Maka syarat validitas kontrak yang pertama sudah terpenuhi.

 

b.  Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan (The Capacity)

Seseorang yang mempunyai kualifikasi dalam membuat kontrak/ perjanjian  adalah  yang sudah  berusia diatas  21  tahun  atau  sudah  menikah  atau   didalam  perwalian  dan  memiliki otoritas untuk  memutuskan atau  menandatangani   kesepakatan  yang  mewakili perusahaan/ organisasi. Pada  surat  perjanjian/kontrak   ini dibuat  antara Bapak Tubagus Hendrawan, S.Pd disebutkan dalam kontrak informasinya lahir pada tanggal 09 Desember 1979 (35 tahun pada tahun di buat perjanjian, 2014) dengan Bapak Abdullah Rauf, S.Com. disebutkan dalam kontrak informasinya lahir pada tanggal  03 Februari 1974 (40 tahun pada tahun di buat perjanjian, 2014) sehingga  keduanya  memilki  otoritas  untuk membuat perjanjian/ kontrak maka  syarat  validitas  kedua  kontrak  ini  juga  telah terpenuhi.

 

c.  Suatu hal tertentu (Particular Object)

Objek yang disepakati dalam perjanjian/kontrak adalah hal tertentu /khusus dan setidaknya jenis pekerjaan tersebut dikenal dan harus merupakan barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian   (Pasal  1332  KUH  Perdata  RI). Dalam kontrak/perjanjian ini objek yang  disepakati   adalah modal usaha untuk jenis usaha ekspor furniture,  pekerjaan   ini  memenuhi  syarat  pasal  1332  KUH  Perdata yaitu merupakan barang/jasa yang dapat diperdagangkan.

 

d.  Suatu sebab yang halal (A Lawful Cause)

Syarat  terakhir  dari  suatu  kontrak  atau  perjanjian  adalah  isi  dari  kontrak  adalah  hal  yang tidak boleh  bertentangan  dengan  hukum,  kebijakan  publik dan moralitas. Dalam hal ini perjanjian kerjasama pengelolaan modal usaha untuk jenis usaha ekspor furniture adalah pekerjaan yang tidak bertentangan dengan hukum, kebijakan publik dan moralitas bangsa, sehingga kontrak ini memenuhi syarat keempat dalam pembentukkan kontrak/perjanjian.

Dari  pembahasan  diatas  maka  disimpulkan  kontrak/perjanjian  antara  Bapak Tubagus Hendrawan, S.Pd selaku pihak pertama dengan Bapak Abdullah Rauf, S.Com selaku pihak kedua ini telah  memenuhi  4 syarat  keabsahan  kontrak/perjanjian   (validity  of  contract)  sehingga  bisa dinyatakan  valid.  Dampak  dari pembuatan   kontrak  yang  dinyatakan   valid  adalah  mengikat berdasarkan hukum untuk kedua belah pihak yang bersepakat yaitu dalam hal ini antara Bapak Tubagus Hendrawan, S.Pd selaku pihak pertama dengan Bapak Abdullah Rauf, S.Com selaku pihak kedua. Prinsip kontrak mengikat  ini  dinamakan  Pacta  Sunt Servanda. Berdasarkan  pasal 1866 KUH Perdata Republik Indonesia, surat perjanjian/kontrak antara Bapak Tubagus Hendrawan, S.Pd selaku pihak pertama dengan Bapak Abdullah Rauf, S.Com selaku pihak kedua dibuat secara  tertulis  yang  tertuang  dalam  surat   kontrak/ perjanjian  sehingga  dokumen  ini  dapat menjadi instrumen  utama  bukti  jika  ada   sengketa  perdata  dikemudian  hari  ini  (written evidence).  

 

3.1.3   Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)

Daya mengikat perjanjian dapat kita lihat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt yang menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Pernyataan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt tersebut menunjukkan bahwa undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan posisi para pihak sejajar dengan pembuat undang-undang. Maka perjanjian antara pihak pertama dan pihak kedua diatas berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak dan menimbulkan akibat hukum apabila salah satu dari para pihak tidak menjalankan ketentuan sebagaimana telah di atur dalam perjanjian tersebut.

 

3.1.4   Asas Itikad Baik  (Good Faith/Tegoeder Trouw)

Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan dengan jelas bahwa hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak, asas konsesualisme, serta daya mengikatnya perjanjian. Asas-asas yang dimaksud dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Pdt harus dipahami sebagai asas-asas yang tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan satu sistem yang pada dan integratif dengan ketentuan-ketentuan lainnya. Sehubungan dengan daya mengikatnya perjanjian yang berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (pacta sunt servanda), pada situasi tertentu daya berlakunya dibatasi, diantaranya yaitu oleh itikad baik.

Pengertian itikad baik menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt bersifat dinamis. Dinamis disini dapat diartikan bahwa perbuatan harus dilaksanakan dengan kejujuran yang berjalan dalam hati sanubari seorang manusia. Manusia sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat yang merugikan pihak lain, atau mempergunakan kata-kata yang membingungkan pada saat kedua belah pihak membuat suatu perjanjian. Para pihak dalam suatu perjanjian tidak boleh mempergunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri pribadi.

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal  1338  ayat  (3)  KUHPer  yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada  itikad  yang  pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.

Dalam kontrak/perjanjian ini para pihak memiliki itikad baik yaitu kedua belah pihak bersepakat untuk mematuhi semua isi perjanjian yang telah disepakati bersama dan apabila salah satu pihak tidak dapat menjalankan isi dari perjanjian tersebut maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan nya secara musyawarah dan apabila tidak dapat diselesaikan secara musyawarah maka para pihak telah memilih wilayah hukum pengadilan negeri dimana para pihak berdomisili untuk menyerahkan kasus tersebut ke meja hijau. 

 

3.1.5 Asas Kepribadian (personality)

Suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang membuatnya, sedang pihak ketiga tidak ada sangkut pautnya. Perikatan hukum yang lahir dari perjanjian memiliki dua sisi, yaitu sisi kewajiban-kewajiban (obligations) yang dipikul oleh suatu pihak dan sisi hak-hak (rights) atau manfaat, yang diperoleh oleh pihak lainnya, yaitu hak-hak untuk menuntut dilaksanakannya hal-hal yang telah disepakati dalam perjanjian.

Pada surat perjanjian/kontrak yang di atas maka akibat hukumnya adalah mengikat para pihak antara Bapak Tubagus Hendrawan selaku pihak pertama dengan Bapak Abdullah Rauf selaku pihak kedua, dimana pihak pertama mempunyak hak untuk mendapatkan keuntungan bagi hasil usaha menurut persentase keuntungan yang telah disepakati bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan mempunyai kewajibanmenyerahkan sejumlah uang tertentu kepada Pihak Kedua untuk dipergunakan sebagai modal usaha untuk jenis usaha ekspor furniture. Dan pihak kedua mempunyak hak menerima modal dalam bentuk uang dari Pihak Pertama yang diserahkan pada saat perjanjian ini disepakati dan ditandatangani. dan mempunyai kewajibanselaku pengelola modal dari Pihak Pertama bertanggungjawab untuk mengelola usaha untuk jenis usaha ekspor furniture.

 

3.2 Unsur-Unsur dalam Hukum Perjanjian

3.2.1 Unsur Essensial

Bagian ini merupakan sifat yang harus ada di dalam perjanjian sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta (constructieve oordeel). Unsur-unsur essensial yang terdapat dalam surat perjanjian kerja sama ini antara lain :

1.   Adanya pihak pertama yaitu TUBAGUS HENDRAWAN, S.Pd dalam hal ini bertindak untuk dan atas namanya sendiri selaku pemilik modal.

2.   Adanya pihak kedua yaitu ABDULLAH RAUF, S. Com, dalam hal ini bertindak untuk dan atas namanya sendiriselaku pengelola modal.

3.   Adanya Modal Pihak Pertama diserahkan kepada Pihak Kedua setelah akad ditandatangani oleh kedua belah pihak, melalui transfer ke nomor rekening 0234.567.8910 Bank BCA Cabang Sleman an. Abdullah Rauf. 

4.   Adanya harga dari obyek perjanjian kerja sama yaitu sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

5.   Adanya kesepakatan antara pihak pemilik modal dan pengelola modal sehingga perjanjian kerja sama tersebut dapat terjadi.

 

3.2.2 Unsur Naturalia

Bagian ini merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian. Menjamin adanya keadilan di antar kedua belah pihak Waktu perjanjian kerja sama dan ditanda tangani perjanjian pada Kamis, tanggal 12 bulan Maret 2014.

 

3.2.3 Unsur Accidentalia

Bagian ini merupakan sifat yang melekat pada perjanjian dalam hal secara tegas diperjanjikan oleh para pihak

      Identitas para pihak

a.    Pihak pertama

Nama                           TUBAGUS HENDRAWAN, S.Pd

No. KTP                      30312345678900

Tempat Tanggal Lahir Yogyakarta, 09 Desember 1979

Alamat                        Jalan Timoho no. 5B Gedong kuning Yogyakarta

Status                          : Pemilik modal

b.   Pihak kedua

Nama                           ABDULLAH RAUF, S. Com

No. KTP/Identitas      30412345678901

Tempat Tanggal Lahir Sleman, 03 Februari 1974        

Alamat                         :Jalan Gejayan no.  22 Soropadan Condong Catur Sleman

Status                            : Pengelola modal

 

      Penutup surat perjanjian

Demikian Kontrak ini dibuat dan diselesaikan pada hari dan tanggal seperti tersebut pada bagian awal Kontrak ini. Segera, setelah Kontrak ini dibuat, Para Pihak dan Istri Pihak Kedua, lalu menandatangani Kontrak ini diatas materai, dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta tanpa adanya unsur paksaan dari pihak manapun serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.


PENUTUP

4.1 Simpulan

Untuk memahami dan membentuk suatu perjanjian, maka para pihak harus memenuhi syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPer, yakni syarat subjektif: adanya kata sepakat untuk mengikatkan dirinya dan kecakapan  para  pihak  untuk  membuat suatu  perikatan,  sedangkan  syarat objektif adalah suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Oleh sebab itu, dalam melakukan perbuatan hukum membuat  suatu kontrak/perjanjian haruslah pula memahami asas-asas yang berlaku dalam dasar suatu kontrak/perjanjian antara lain: asas kebebasan berkontrak, asas konsesnsualisme, asas kepastian hukum/pacta sunt servanda, asas itikad baik dan asas kepribadian.

 

4.2 Saran

Dalam pembuatan suatu perjanjian atau kontrak para pihak untuk memperhatikan beberapa prinsip yang sangat mendasar dalam pembuatan kontrak tersebut. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah memahami akan  syarat-syarat sahnya suatu perjanjian atau kontrak, dan asas-asas serta unsur-unsur dalam suatu perjanjian atau kontrak. 


DAFTAR PUSTAKA

 

A.      Buku dan Karya Ilmiah Lainnya

 

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian : Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komesial, Yogyakarta : Laks Bang Mediatama, 2008.

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011.

Joni Emizon, Dasar-dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak, Palembang: Penerbit Universitas Sriwijaya, 1998.

Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003.

Muhammad Noor, “Penerapan Prinsip-Prinsip Hukum Perikatan dalam Pembuatan Kontrak”, Volume 14, Nomor 1, Juni 2015.

M. Muntarom, “Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan dalam Pembuatan Kontrak”, Jurnal SUHUF, Vol. 26, No. 1, Mei 2014: 48-56.

Sugiastuti, Natasya Yunita, “Validity of Contract, from The Point of  View of the Indonesian Contract Law” Bahan ajar Contract Management, Trisakti International Business School, 2013

 

B.       Peraturan Perundang-Undangan 

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Most Trending