(Studi
Hukum Undang – Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kemerdekaan pers merupakan salah satu
wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga
kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal
28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)
harus dijamin. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
demokratis. Kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati
nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat
hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan
kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pers Nasional sebagai
wahana komunikasi masa, penyebar informasi dan pembentuk opini harus dapat
melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan perananya dengan sebaikbaiknya berdasarkan
kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan
perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun
(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers).
Kemerdekaan pers adalah salah satu
perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis maka dibentuk
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam Pasal
3 ayat (1) menjelaskan fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan,
hiburan, dan kontrol sosial. Di era reformasi seperti sekarang justru kekerasan
terhadap pers mengalami peningkatan, kebebasan undang-undang pers sudah sangat
jelas, setiap proses kegiatan jurnalistik dilindungi hukum. kenyataannya masih
banyak jurnalis yang mendapat intimidasi dan kekerasan.
Undang-Undang Pers telah memberikan
jaminan keamanan terhadap wartawan atau insan pers dalam menjalankan tugasnya
guna memberikan keterangan informasi kepada publik. Akan tetapi setelah 18
tahun Undang-Undang Pers ini berdiri kebebasan pers belum sepenuhnya
terlaksana. Ada begitu banyak pelanggaran terhadap hak pers dalam hal ini hak
wartawan yang terjadi di Indonesia. Dari tahun ke tahun kasus kekerasan terhadap
wartawan mengalami peningkatan. Menurut catatan Lembaga Bantuan Hukun (LBH),
pelanggaran kebanyakan dilakukan oleh aparat penegak hukum dan juga oleh aparat
pemerintah dan masyarakat. Sebagai suatu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa,
Pers sesunggunhnya memiliki tugas melaksanakan kegiatan jurnalistik meliput
mencari, memperoleh, memiliki dan meyampaikan informasi yang baik dalam bentuk
tulisan suara gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun menggunakan
media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.
Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Pers[1].
Mengingat begitu pentingnya informasi, peranan wartawan pun menjadi penting, merekalah
yang memburu berita (fakta atau kejadian), meliput berbagai peristiwa, dan menuliskannya
untuk dikonsumsi khalayak. Sehingga dalam menjalankan profesinya, wartawan
memerlukan adanya suatu “Perlindungan hukum” sebagaimana yang tertuang dalam
Pasal 8 Undang-Undang Pers. Akan tetapi sekarang ini, bila diamati, entah
kurang saling mengerti, entah kurang penghargaan atau berburuk sangka terhadap
wartawan, timbul keadaan dimana wartawan merasa diri agak terbatas dalam gerak
dan ruang lingkupnya.Bahkan lebih beratnya lagi wartawan kejar dan dibayangi
oleh kegelisahan dan ketakutan dalam menjalankan tugasnya.[2]
B.
Rumusan Masalah
Permasalahan yang hendak diuraikan dalam tulisan ini yaitu :
1.
Bagaimana Politik Hukum dan
Perlindungan Hukum Terhadap Pers di Indonesia
2.
Bagaimana Politik Hukum Kebebasan
Pers dalam Undang – Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Politik Hukum dan Perlindungan
Pers di Indonesia
1.
Politik Hukum
Politik pada
umumnya diberi berbagai arti seperti kebijakan, seni kekuasaan, dan cara, akal
dan taktik. Intinya politik adalah cara mempengaruhi orang lain agar dapat
bertingkah laku sesuai dengan kehendak mempengaruhi yakni orang yang mempunyai
kekuasaan.[3] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
politik hukum didefinisikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi
garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan,
dan cara bertindak.[4]
Definisi dari KBBI tersebut lebih melihat politik hukum sebagai blueprint
terhadap sekalian kebijakan yang akan diambil dalam rangka penegakan hukum pada
segenap dimensi kehidupan masyarakat. Dengan demikian, politik hukum merupakan patronase bagi stakeholder dalam
melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya di bidang hukum.
Menurut Mahfud MD, ada hubungan kausalitas antara politik dan
hukum. Hubungan ini kemudian memunculkan pertanyaan tentang apakah hukum yang
mempengaruhi politik ataukah sebaliknya. Dalam hubungan tersebut diatas, hukum
lebih cenderung terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang
lebih besar dari pada hukum. Sehingga apabila harus berhadapan dengan politik,
maka hukum berada dalam kedudukan yang lebih lemah.[5]
Dengan menggunakan asumsi dasar bahwa hukum sebagai produk politik, maka
politik akan sangat menentukan kebijakan hukum. Secara lebih spesifik dapat
dikemukakan bahwa konfigurasi politik suatu negara akan melahirkan
karakteristik politik hukum tertentu di negara tersebut.[6]
2.
Perlindungan Hukum Terhadap
Pers di Indonesia
Perlindungan hukum menurut Philipus M.
Hadjon,[7]
selalu berkaitan dengan kekuasaan. Ada dua kekuasaan yang selalu menjadi
perhatian yakni kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubunganya
dengan kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan hukum bagi rakyat (yang
di perintah) terhadap pemerintah (yang memerintah) dalam hubungan dengan
kekuasaan ekonomi. Permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi si
lemah (ekonomi) terhadap si kuat (ekonomi). Sedangkan menurut Satjipto Raharjo,[8]
perlindungan Hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan
cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka
kepentinganya tersebut.
Perlindungan hukum terhadap Wartawan
adalah perlindungan hukum terhadap kebebasan pers, karena pada dasarnya
wartawan adalah pilar utama kemerdekaan pers. Sebagaimana ditegaskan dalam
pembukaan Dewan Pers Nomor: 5/Peraturan-D P/IV/2008. Pasal 8 Undang-Undang Pers
menyatakan bahwa “dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan
hukum”. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 8 disebutkan, yang dimaksud dengan
perlindungan hukum diatas adalah jaminan perlindungan dari pemerintah dan atau
masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan
peranan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dewan
pers dalam pembukaan peraturan Dewan Pers Nomor: 5/Peraturan-D P/IV/2008
menyatakan dalam menjalan tugas profesi wartawan mutlak mendapatkan
perlindungan hukum dari negara, masyarakat dan perusahaan pers.
Undang-Undang Pers menambahkan
Perusahaan Pers sebagai salah satu pihak yang
wajib memberi perlindungan hukum bagi Wartawan. Pada zaman sekarang ini
hukum banyak diwarnai dan dibahas dengan berbagai topik tak terkecuali
pembahasan mengenai perlindungan hukum. Dalam pembahasan tersebut secara tidak
langsung akan mengait eratkannya dengan pembuat hukum itu sendiri. Berbicara
mengenai perlindungan hukum, hal tersebut merupakan salah satu hal terpenting
dari unsur suatu negara hukum. Dianggap penting karena dalam pembentukan suatu
negara akan dibentuk pula hukum yang mengatur tiap-tiap warga negaranya.
Sudah lazim untuk diketahui bahwa suatu
negara akan terjadi suatu hubungan timbal balik antara warga negaranya sendiri.
Dalam hal tersebut akan melahirkan suatu hak dan kewajiban satu sama lain.
Perlindungan hukum akan menjadi hak tiap warga negaranya.
Namun disisi lain dapat dirasakan juga
bahwa perlindungan hukum merupakan kewajiban bagi negara itu sendiri, oleh
karenanya negara wajib memberikan perlindungan hukum kepada warga negaranya.
Perlindungan hukum adalah suatu
perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum ke dalam bentuk perangkat baik
yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang lisan maupun
yang tertulis. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum
sebagai suatu gambaran tersendiri dari fungsi hukum itu sendiri, yang memiliki
konsep bahwa hukum memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan
dan kedamaian. Pengertian lain mengenai perlindungan hukum dari beberapa ahli
dikemukakan sebagai berikut:[9]
- Satjipto Raharjo
mendefinisikan Perlindungan Hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi
manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada
masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.
- Philipus M. Hadjon
berpendapat bahwa Perlindungan Hukum adalah perlindungan akan harkat dan
martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh
subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan, serta sebagai
kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal
lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan
terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya
hak-hak tersebut.
- CST. Kansil
Perlindungan Hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat
penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari
gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.
- Muktie Fajar
Perlindungan Hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini
hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum,
terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh
manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta
lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk
melakukan suatu tindakan hukum.
Dalam menjalankan dan memberikan
perlindungan hukum dibutuhkannya suatu tempat atau wadah dalam pelaksanaannya
yang sering disebut dengan sarana perlindungan hukum. Sarana perlindungan hukum
dibagi menjadi dua macam yang dapat dipahami, sebagai berikut:[10]
1. Sarana Perlindungan Hukum Preventif
Pada perlindungan hukum preventif ini,
subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya
sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya
adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar
artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak
karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong
untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada
diskresi. Di indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.
2. Sarana Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum yang represif
bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh
Pengadilan Umum dan Peradilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori
perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah
bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep
tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada
pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.
Prinsip kedua yang mendasari
perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum.
Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama
dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.
Pers adalah lembaga sosial dan wahana
komunikasi masa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliuti mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik
dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar serta data dan grafik
maupun dalam bentuk lainya dengan menggunakan media cetak, media elektronik,
dan segala jenis saluran yang tersedia (Pasal 1 Undang-Undang Pers).
Fungsi dan peranan pers menurut Harold
D. Lasswell & Charles R. Wright:[11]
- Fungsi
media sebagai alat pengamat sosial (Social Surveillance)
Media massa
adalah badan atau lembaga yang seharusnya memberikan dan menyebarkan informasi
dan interpretasi (pemahaman) yang objektif terhadap peristiwa peristiwa yang
ada disekitar mereka (Social surveillance).
- Fungsi
media sebagai alat korelasi sosial (social correlation)
Media massa
seharusnya menyatukan kelompok kelompok sosial yang ada dengan jalan menyalurkan
informasi tentang pandangan pandangan yang ada sehingga tercapai suatu
konsensus.
- Fungsi
media sebagai alat Sosialisasi (Sosialization)
Media massa seharusnya sebagai alat sosialisasi tentang nilai
nilai sosial yang ada dan mewariskannya baik dari satu generasi ke generasi
berikutnya, dan dari satu kelompok ke kelompok lain.
Pers nasional telah diatur dalam
Undang-undang pers nasional yang memiliki fungsi sebagaimana diatur pada Pasal
3 Undang-Undang Pers mengatur bahwa pers nasional mempunyai fungsi sebagai
media informasi, pendidikan, hiburan dan kontak sosial, selain fungsi
tersebut,juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi dalam mewujudkan fungsi-fungsi
tersebut,maka wartawan dalam melaksanakan profesinya,harus mendapat perlindungan
hukum. Yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah jaminan perlindungan
pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak
kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Wartawan adalah orang yang secara
melakukan kegiatan jurnalistik, dengan berdasarkan kode etik jurnalistik. Kode
etik jurnalistik adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan
ditetapkan oleh dewan pers. Pers nasional dalam menyiarkan informasi tidak
menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk
kasus–kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat megakomodosikan
kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut.
Pasal 28 F (Perubahan dua undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) mengatur bahwa setiap orang berhak
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Dengan hak konstitusional pers
nasional memiliki kemerdekaan pers yang dijamin oleh peraturan
Perundang-undangan. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara
adalah bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau
penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin kemerdekaan pers
adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya pencegahan supermasi
hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan,dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan
dalam kode etik jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani lisan pers.
Tugas pers sangat berat karena pers juga
juga melaksanakan kontak sosial dan sangat penting pula untuk terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme maupun penyelewangan
dan penyimpangan lainnya. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan
peranannya, pers menghormati hal asasi setiap orang, karena itu dituntut pers
yang profesional dan terbuka dihormati oleh masyarakat sehingga akan terjalin
hubungan hubungan yang harmonis antara masyarakat dan pers dan juga terhadap
pohka pihak lain seperti pemerintah penegak hukum dan perusahaan. Dalam memaksimalkan
tugas pers, maka pers perlu memiliki kemerdekaan mencari dan menyampaikan
informasi untuk mewujudkan hak asasi manusia yang dijamin oleh undang-undang,
hak asasi dimaksud adalah bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan
memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak
asasi manusia, Pasal 19 yang berbunyi bahwa setiap orang berhak atas kebebasan memperluas
dan menyampaikan pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima dan
menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dengan tidak
memandang batas batas wilayah.
B. Politik Hukum Kebebasan Pers Dalam Undang –
Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Kebebasan pers atau sering disebut kemerdekaan pers,
dalam istilah Bahasa Inggris disebut freedom of the press. John C.
Nerone[12] mendefinisikan
Freedomof the press sebagai kebebasan berkomunikasi dan berekspresi
melalui media termasuk berbagai media elektronik dan cetak.
Kebebasan Pers adalah kebebasan menggunakan
pendapat, baik secara tulisan maupun lisan, melalui media pers, seperti harian,
majalah, dan buletin. Kebebasan pers adalah kebebasan dalam konsep, gagasan, prinsip,
dan nilai cetusan yang bersifat lahariah kemanusiaan di mana pun manusia
berada. Nilai kemanusiaan adalah naluri mengeluarkan perasaan hati kepada orang
lain sebagai pribadi yang suaranya ingin diperhitungkan dan timbul dari
keinginannya untuk menegaskan eksistensinya. Kebebasan berpikir dan
mengeluarkan pendapat (freedom of the opinion and expression) Kebebasan
berbicara (freedom of the speech) Kebebasan untuk menyampaikan,
mempunyai, dan menyiarkan pendapat melalui pers dijamin oleh konstitusi negara
di mana pun pers berada. Oleh sebab itu, jaminan kebebasan pers bersifat
universal. Hal ini dijamin dalam Piagam HAM PBB (Universal Declaration of Human
Rights) Pasal 19 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mengeluarkan
pendapat. Dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan
untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui
media apa pun dengan tidak memandang batas-batas wilayah.
Kebebasan berbicara untuk memperoleh informasi
merupakan salah satu hak asasi manusia. Hak asasi tersebut dijamin dalam
ketentuan perundang undangan dan merupakan hak setiap warga negara. Negara
Indonesia telah menjamin hak kebebasan berbicara dan informasi bagi warga
negara. Jaminan kebebasan berbicara dan informasi itu, antara lain sebagai
berikut :
-
Pasal 28 UUD 1945, "Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undangundang".
-
Pasal 28 F UUD 1945, "Setiap
orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia."
-
TAP MPR No. 20 XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia, Bab VI, Pasal 20 dan 21 yang isinya "Setiap orang
berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi
dan lingkungan sosialnya" dan "Setiap orang berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluaran yang tersedia".
-
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999,
utamanya dalam Pasal 14 Ayat (1) dan (2) tentang Hak Asasi Manusia yakni
"Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperolah informasi yang
diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya" dan
"Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana
yang tersedia".
Di masa berkuasanya rezim Orde Baru, otokrasi
kekuasaan yang tampil dalam keseharian dapat terlihat dengan tidak
terlaksanakannya Pasal 28 UUD 1945 secara sungguh-sungguh. Ketidak demokratisan
sistem hukum ketatanegaraan yang di bangun Orde Baru menisbikan peran dan
fungsi lembaga Pers. Pemberlakukan UU RI No. 21 tahun 1982, khususnya pada
Pasal 13 ayat (5) yang menyatakan bahwa ”setiap penerbitan pers yang
diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan
Pers selanjutnya disingkat ‘SIUPP’, yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Ketentuan-ketentuan tentang SIUPP akan diatur oleh
pemerintah setelah mendengarkanpertimbangan Dewan Pers”. Dari landasan hukum
inilah, Orde Baru membangung kebijakan sensor dan pelembagaan SIUPP (Surat Izin
Usaha Penerbitan) yang mengekang bagi pemberhentian Pers yang bersebarangan
dengan penguasaan. Dengan adanya Permenpen No. 01/Per/1984; tentang lembaga
SIUPP, dalam praktek kehidupan ketatanegaraan terjadi (contoh kasus) pembreidelan
Majalan Tempo dan Detak. Sehingga proses pembangunan dan pelaksanaan pemerataan
hasil-hasil pembangunan selama 32 tahun, tidaklah dapat dikontrol secara
transparan kepada publik melalui media massa.
Di masa pemerintahan B.J. Habibie, memulai proses
keterbukaan bagi lahirnya kran-kran demokrasi, salah satunya kebebasan dan
kemerdekaan pers. Lahirnya Permenpen No. 01/Per/1998 sebagai pengganti
Permenpen No.01/Per/1984 mempermudah pengajuan SIUPP dan berdampak lahirnya
pers dalam jumlah yang sangat menakjubkan, baik media cetak maupun media
elektronik. Sementara ditingkat aturan perundangan yang mengatur pers dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 21 tahun 1982, meletakkan jaminan kebebasan
kemerdekaan bagi lembaga pers. Akan tetapi, system hukum ketatanegaraan dalam
masa reformasi hingga tahun 2003 belumlah benar memberikan kebebasan dan
kemerdekaan sepenuhnya bagi pers.
Dalam masa reformasi perubahan yuridis atas
keberadaan pers merupakan prasyarat terjadinya liberalisasi sistem politik
sebagai upaya melahirkan media komunikasi sosial-politik dalam kehidupan bernegara.
Masa-masa transisional yang ditandai dengan membuka ruang-ruang komunikasi
publik (masyarakat) merupakan perwujudan hak-hak politik bagi setiap warga
negara atau kelompok-kelompok social mengenai kebebasan mendapatkan informasi
dan hak kemerdekaan atas menyampaikan pendapat/gagasan secara lisan maupun
tulisan atau cetak. Akan tetapi, euphoria politik dalam era reformasi sepanjang
kebebasan dan kemerdekaan pers ini tidaklah serta-merta memiliki persoalan di
kemudian hari dengan begitu saja. Keberadaan lembaga pers terkadang terkesan
masuk dalam situasi pro dan kontra dalam setiap dinamika peristiwa-peristiwa
politik yang sedang berkembang, 1998-2002. Kesan pro-kontra inipun, dalam waktu
seketika membangkitkan sikap kontra demokratis sebagai pendukung kekuatan
politik yang merasa dirugikan atas pemberitaan Pers. Kasus pendudukan dan
penyegelan ilegal kantor SKH Jawa Pos pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid
atau premanisme dalam kasus penyerangan kantor SKH Tempo di masa pemerintahan
Megawati Soekarnoputri.
Berangkat atas kasus tersebut, kebebasan dan
kemerdekaan Pers menjadi
penting
untuk ditelaah lebih jauh sebagai upaya membangun infrastruktur politik
ketatanegaraan Indonesia yang demokratis. Pilihan yang dilematis dihadapi oleh
kalangan Pers di era reformasi; di satu sisi, jikalau, pers di kekang maka
upaya pembangunan ketatanegaraan Indonesia yang demokrasi, mengalami perbaikan
arah reformasi. Disisi lain, kebebasan dan kemerdekaan Pers tanpa diikuti oleh
upaya transpormasi kultur demokrasi dari Pers kepada masyarakat pembaca sama
halnya dengan lahirkan anarkhisme atau pemicu lahirnya konflik horizontal di
kalangan massa rakyat.
Pada esensialnya keberadaan peran media massa (Pers)
memiliki 2 (dua) fungsi pokok, yakni; pertama, Kelembagaan Pers
merupakan media pendidikan politik massa rakyat. Kedua, kelembagaan Pers
merupakan media komunikasi politik. Perdebatan media massa itu harus independen
objektif ataupun pilihan keberpihakan yang sangat partisan. Karena, pemberitaan
yang terkesan pulgar mengambil sikap memihak akan cenderung menjadi pemberitaan
yang bersifat provokatif.
Pemberitaan dalam setiap media massa cukuplah
mempengaruhi perkembangan kepribadian bangsa dalam kehidupan bernegara.
Keberadaan pemberitaan Pers dalam meliput berbagai peristiwa SARA menjadi
sangat penting dan kasus maraknya pornografi dalam pemberitaan Pers. Disamping
itu, dalam konteks internal kalangan Pers sendiri memiliki persoalan yang
sangatlah signifkan. Dimana, pada sistem politik yang tidak demokratis, dalam
artian, seperti otoriter ataupun totaliter. Keberadaan Pers menjadi korban
kontrol secara ketat oleh negara, yakni rezim penguasa. Sementara, kemungkinan
di dalam sistem politik yang demokrasi, keberadaan media massa dikontrol oleh
modal dan keinginan pangsa-pasar. Kepemilikan modal yang kuat dari perseorangan
di dalam perusahaan Pers, memungkinkan lahirnya rezim pasar yang mengkooptasi
pemberitaan yang disajikan. Otomatis setiap pemberitaan sering lebih mengarah
pada akumulasi modal dengan cara lebih memprioritaskan isu-isu yang elitis sebagai
pemenuhan kebutuhan pangsa-pasar (pembaca). Akan tetapi, kemungkinan dengan
adanya unsur demokratis dari para jurnalis yang berada dalam struktur kelembagaan
Pers, memungkinkan untuk tetap terjaganya pemberitaan Pers yang disajikan
bersifat netral dan profesional.
Leo Batubara mengagas 7 (tujuh) formulasi peran dan
fungsi pers dalam
kehidupan
ketatanegaraan Indonesia demokratis, yakni: Pertama, upaya merubah
kultur penyelenggaraan negara, Kedua, mereformasi paradigma hukum
nasional dari kebiasaan mengkriminalisasikan pers ke arah dekriminalisasi pers
seperti yang lazim berlaku di negara-enagra demokrasi; Ketiga, membangun
model interaksi-pers, penyelenggara negara, dan masyarakat – berdasarkan sistem
: a) Pers bebas memerankan diri sebagai pemberi peringatan dini, wadah dialog
yang memberi pencerahan dan kekuatan keempat demokrasi. b). Peran dan tugas
pers nasional hanya efektif dan bermakna bila penyelenggaraan negara juga
melakukan reformasi sikap dengan belajar mendengar, merespon, dan
menindaklanjuti apa kata Pers profesional sebagai cermin suara hati bangsa. Keempat,
memberdayakan Undang-Undang RI Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers sebagai
landasan yuridis penyelenggaraan pers. Kelima, penegakan hukum hendaknya
responsif terhadap pelaku kekerasan terhadap wartawan dan pers. Keenam, memposisikan
wartawan selayaknya sebagai petugas palang merah. Ketujuh, melaksanakan
fungsi kontrol sosialnya dan peran pengawasan, kritik, serta koleksi. Pelaku
pers haruslah taat kepada prinsip profesionalisme pers.
Sementara, idealnya fungsi kontrol dan pengawasan
pers ini diatur dalam pasal 28 dan pasal 28F UUD 1945. Kontrol kekuasaan negara
di luar lembaga-lembaga kontrol negara yang konstitusional. Tidak menutup
kemungkinan Pers dapat pula berperan serta aktif memimpin secara ide dan
gagasan akan setiap pergeseran kultur masyarakat Indonesia yang sedang bergerak
menuju format tatanan sosial masyarakat yang demokratis. Peran Pers sebagai
fungsi sosial diartikan, sebagai pendidikan berorientasi partisipatif politik,
pembentukan nilai-nilai moral bangsa, serta sebagai kontrol atas penegakan dan
pemberlakuan hukum dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan.
Aturan mengenai pers mula-mula dimuat dalam
Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1966 No.40, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia (TLNRI) Tahun 1966 No.2815, yang telah diubah
terakhir dengan UU RI No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI
Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah
diubah dengan UU RI No. 4 Tahun 1967, yang dapat disebut UUP lama (UUPL). Pada
tanggal 23 September 1999, seiring dengan berlangsungnya reformasi sosial dan
reformasi hukum, dengan pertimbangan bahwa UUPL tersebut sudah tidak sesuai
lagi dengan tuntutan perkembangan zaman, maka diundangkanlah Undang-Undang RI
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Diundangkannya Undang-Undang Pers sekaligus
menyatakan bahwa UUPL tidak berlaku lagi. Selain itu, Undang-Undang RI Nomor 40
Tahun 1999 tentang Pers, PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap
Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum, Pasal 2
ayat (3) sepanjang menyangkut ketentuan mengenai buletin-buletin, surat-surat
kabar harian, majalah-majalah, dan penerbitan-penerbitan berkala, juga
dinyatakan tidak berlaku.
Dasar pertimbangan dilakukannya reformasi hukum pers
ada lima, yang dapat dilihat di bagian konsiderans menimbang dalam
undang-undangnya. Pertama,kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud
kedaulatan rakyat dan men jadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga
kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal
28 UUD NRI 1945 harus dijamin. Kedua, dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat
sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi
manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan
kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketiga,
pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan
pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya
dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga
harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dalam campur tangan
dan paksaan dari mana pun. Keempat, karena pers nasional berperan ikut menjaga
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Kelima, karena UUPL sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan
zaman.
Selain kelima dasar pertimbangan di atas, dalam
Penjelasan Umum Undang-Undang Pers disebutkan enam pokok pikiran yang
dirumuskan dalam membentuk Undang-Undang Pers (Andi Kawigonaatambusasi, 2012). Pertama,
agar pers berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan Pasal 28 UUD NRI
1945 maka perlu dibentuk Undang-Undang Pers. Kedua, adanya keyakinan
bahwa dalam kehidupan yang demokratis itu pertanggungjawaban kepada rakyat
terjamin, sistem penyelenggaraan negara yang transaparan berfungsi, serta
keadilan dan kebenaran terwujud. Ketiga, dipahami bahwa pers yang
memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat
penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin dengan Ketetapan
(TAP) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No. XVII/MPR/1998 Tentang HAM. Keempat,
diyakini bahwa pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula
untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi
nepotisme (KKN), maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya. Kelima,
dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak
asasi setiap orang, karena itu dituntut pers yang profesional dan terbuka
dikontrol oleh masyarakat. Keenam, untuk menghindari pengaturan yang
tumpang tindih, Undang-Undang Pers ini tidak mengatur ketentuan yang sudah
diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Senada dengan kelima dasar pertimbangan dan keenam
pokok pikiran diundangkannya Undang-Undang Pers di atas, pada akhir bulan April
2004 Komisi Konstitusi (KK) setuju memasukkan perlindungan kebebasan pers di
dalam UUD NRI 1945, dan akan diatur dalam Pasal 28 huruf G. Bunyi rumusan pasal
yang disepakati akan masuk dalam Pasal 28 huruf G UUD NRI 1945 itu adalah,
Negara melindungi kebebasan pers dan kebebasan menyatakan pendapat. Kebebasan
pers adalah bagian dari hak azasi manusia yang harus diakui dan dilindungi
dalam konstitusi. Penyebutan secara eksplisit ini sangat penting, dan
dimaksudkan agar pemerintah atau parlemen yang melaksanakan konstitusi tidak
seenaknya menjabarkan perlindungan kemerdekaan pers sesuai dengan politik hukum
penguasa saat itu.
Seperti sudah disebutkan di atas, Undang-Undang Pers
diundangkan pada tahun 1999, sedangkan baru pada akhir April 2004 menyetujui
dimasukkannya perlindungan negara atas kebebasan pers di dalam UUD NRI 1945.
Undang-Undang Pers menggunakan istilah kemerdekaan pers, dan menggunakan
istilah kebebasan pers. Dapat disimpulkan, bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan
prinsip antara istilah kemerdekaan pers dengan istilah kebebasan pers. Istilah
yang dipergunakan secara normatif adalah kemerdekaan pers, tetapi dalam bahasa
lisan, lebih suka digunakan istilah kebebasan pers. Kemerdekaan pers adalah
kebebasan pers, dan sebaliknya kebebasan pers adalah kemerdekaan pers.
Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, tidak dikenakan
penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, dan sebagai jaminan kemerdekaan
pers, pers nasional mempunyai hak men cari, memperoleh, dan menyebarluaskan
gagasan dan informasi. Kemerdekaan pers dengan demikian akan disebutkan secara
eksplisit dalam Pasal 28 huruf G UUD NRI 1945, dan dalam UU Pers.
Selain dasar hukum yang disebutkan di atas, dikenal
pula Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Ada tujuh butir kode etik dalam KEWI
yang dimuat dalam Surat Keputusan (SK) Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000, tanggal 20
Juni 2000. Para wartawan Indonesia yang melaksanakan tugasnya, wajib memahami
dan mematuhi KEWI yang dapat disebut sebagai hukum disiplin bagi mereka. KEWI
itu diibaratkan sebagai lilin pemandu bagi para wartawan agar tidak terjerumus
ke dalam kegagalan.
Ada tujuh butir kode etik dalam KEWI yang dimuat
dalam Surat Keputusan (SK) Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000, tanggal 20 Juni 2000,
yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.
Wartawan Indonesia Menghormati Hak
Masyarakat Untuk Memperoleh Informasi Yang Benar.
2.
Wartawan Indonesia Menempuh Tatacara
Yang Etis Untuk memperoleh Dan Menyiarkan Informasi Serta Memberikan Identitas
Kepada Sumber Informasi.
3.
Wartawan Indonesia Menghormati Asas
Rraduga Tak Bersalah, Tidak Mencampurkan Fakta Dengan Opini, Berimbang, Dan
Selalu Meneliti Kebenaran Informasi Serta Tidak Melakukan Plagiat.
4.
Wartawan Indonesia Tidak Menyiarkan
Informasi Yang Bersifat Dusta, Fitnah, Sadis, Cabul, Serta Tidak Menyebutkan
Identitas Korban Kejahatan Susila.
5.
Wartawan Indonesia Tidak Menerima Suap
dan Tidak Menyalahgunakan Profesi.
6.
Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak,
Menghargai Ketentuan Embargo, Informasi Latar Belakang, dan Off The Record Sesuai
Kesepakatan.
7.
Wartawan Indonesia Segera Mencabut Dan
Meralat Kekeliruan Dalam Pemberitaan Serta Melayani Hak Jawab.
Ciri-ciri yang menonjol lainnya dalam sistem
kebebasan pers Indonesia adalah sebagai berikut[13] Pertama,
pers khususnya suratkabar, adalah penerbitan yang setiap harinya menjual
“kabar” atau “berita”. Jadi, kalau kita berbicara mengenai kebebasan pers, maka
yang menjadi inti sebenarnya adalah kebebasan untuk mencari, menulis, mencetak
dan menyebar-luaskan berita melalui media yang bersangkutan. Kedua,
sistem kebebasan pers Indonesia yang diabdikan untuk “memperjuangkan kebenaran
dan keadilan atas dasar kebebasan pers yang bertanggung jawab”, seperti tercantum
dalam Pasal 2, Ayat 2-c, UU Pokok Pers No. 21 Tahun 1982. Memperjuangkan kebenaran
merupakan ciri dari tata kehidupan masyarakat yang demokratis. Dan ini berarti
bahwa dalam usaha memperjuangkan suatu kebenaran, wajar apabila ada pendapat
yang berlainan dalam masyarakat. Kritik adalah pencerminan adanya pendapat yang
berlainan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem kebebasan pers
Indonesia sebenarnya telah memiliki landasan filosofis yang mendasar, yang intinya
mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa yang telah menjadi sebagian dari kepribadiannya
sejak berabad-abad lamanya. Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kehidupan
pers tersebut sepenuhnya mencerminkan jiwa dan semangat daripada konsep dasar
dan sekaligus juga landasan strategis dari sistem pers Indonesia sebagai
terkandung dalam GBHN.
Undang-Undang Pokok Pers boleh dibilang merupakan “lex
spesialis” yang memberi pedoman dan aturan permainan bagi kehidupan pers
nasional. Materi dan substansi keseluruhannya mencerminkan identitas pers
Indonesia, yang berarti juga sekaligus mencerminkan identitas sistem kebebasan
pers Indonesia.
Pers sebagai media informasi merupakan pilar keempat
demokrasi yang berjalan seiring dengan penegakan hukum untuk terciptanya
keseimbangan dalam suatu negara. Oleh karena itu sudah seharusnya jika pers
sebagai media informasi dan juga sering menjadi media koreksi dijamin
kebebasannya dalam menjalankan profesi kewartawananya. Hal ini penting untuk
menjaga obyektifitas dan transparansi dalam dunia pers, sehingga pemberitaan
dapat dituangkan secara sebenar-benarnya tanpa ada rasa takut atau dibawah
ancaman, sebagaimana pada masa Orde Baru berkuasa dengan istilah selfcensorship.
Oleh karena itu jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan
pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari perwujudan negara
yang demokratis dan berdasarkan atas hukum. Namun demikian, perlu disadari
bahwa insan pers tetaplah warga negara biasa yang tunduk terhadap hukum yang
berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, bagaimanapun juga asas persamaan dihadapan
hukum atau equality before the law tetap berlaku terhadap semua warga negara
Indonesia termasuk para wartawan, yang notabene adalah insan pers. Dengan demikian
para insan pers di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau memiliki kekebalan (immune)
sebagai subyek dari hukum pidana dan harus tetap tunduk terhadap Kitab Undang-undang
Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari kedua pokok permasalahan adalah
:
1. Perlindungan hukum
terhadap Wartawan adalah perlindungan hukum terhadap kebebasan pers, karena
pada dasarnya wartawan adalah pilar utama kemerdekaan pers. Sebagaimana
ditegaskan dalam pembukaan Dewan Pers Nomor: 5/Peraturan-DP/IV/2008. Pasal 8
Undang-Undang Pers menyatakan bahwa “dalam melaksanakan profesinya wartawan
mendapat perlindungan hukum”. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 8 disebutkan,
yang dimaksud dengan perlindungan hukum diatas adalah jaminan perlindungan dari
pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak,
kewajiban dan peranan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dewan pers dalam pembukaan peraturan Dewan Pers Nomor: 5/Peraturan-D
P/IV/2008 menyatakan dalam menjalan tugas profesi wartawan mutlak mendapatkan
perlindungan hukum dari negara, masyarakat dan perusahaan pers. Undang-Undang
Pers menambahkan Perusahaan Pers sebagai salah satu pihak yang wajib memberi
perlindungan hukum bagi Wartawan.
2. Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi
manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat
untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki
dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers
itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung
jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama. Dalam melaksanakan
fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang,
karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh
masyarakat sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun
1999 tentang Pers.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Aziz, Hakim, 2011. Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
Andi Kawigunatambusai, Sistem Hukum Pers Indonesia https://andikawigunatambusai.wordpress.com/2012/01/20/sistem-hukum-pers-indonesia/ . Diakses pada tanggal 10 Juli 2018.
Anonim, Pengertian Perlindungan Perlindungan Hukum Menurut Para
Ahli, http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/ diakses pada tanggal 10 Juli 2018.
CST. Kancil, Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1986.
__________ dan Christine ST. Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi
Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 2003.
E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum (Norma-Norma Bagi Penegak
Hukum), Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Edi Susanto, dkk. Hukum
Pers Di Indonesia, Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2014
G. Floyd Arpan, Wartawan Pembina Mayarakat, Bandung: Bina
Cipta, 1970.
Kusumayuda, Pemasyarakatan Pers Nasional Sebagai Pers Pancasila,
Jakarta: Departemen Penerangan, 1987.
M. Asep Syamsul Romli, Jurnalistik Praktis Untuk Pemula,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.
Moh.Mahfud MD, Politik
Hukum di Indonesia, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, Cet.6, 2014
Nerone, John C., Freedom of The Media is the Freedom of
Communication and Expression Through Medium Including Various Electronic Media
and Published Materials, Last Rites: Resiviting Four Press,
1995.
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia,
Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
Satjipto Raharjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia,
Jakarta: Kompas, 2003.
Sentosa Sembiring, Himpunan Perundang-Undangan Indonesia
Tentang Penyiaran dan Pers, Bandung: Nuansa Aulia, 2005.
Syaukani, I
& Thohari, A. A. 2008. Dasar-Dasar
Politik Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
Wikrama Iryans Abidin, Politik
Hukum Pers Indonesia, Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia,2005
[1] Sentosa Sembiring, 2005, Himpunan Perundang-Undangan Indonesia Tentang Penyiaran dan Pers, Bandung: Nuansa Aulia. Hal.183
[2]
G. Floyd Arpan, 1970, Wartawan
Pembina Mayarakat, Bandung: Bina Cipta.Hal.38
[3] Hakim, Abdul
Aziz, 2011. Negara Hukum dan Demokrasi di
Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal.29-30.
[4] Imam Syaukani
& Thohari, A. A. 2008. Dasar-Dasar
Politik Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. Hal.22
[5] Abdul
Aziz Hakim, Op.Cit.hal.13
[6] Ibid. hal.10
[7]
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia,
Surabaya: Bina Ilmu, 1987.Hal. 2
[8]
Satjipto Raharjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia,
Jakarta: Kompas, 2003.Hal. 121
[9]
Anonim, Pengertian Perlindungan Perlindungan Hukum Menurut Para
Ahli, http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/ diakses pada tanggal 10 Juli 2018.
[10] CST. Kancil. Op.Cit. Hal.21-22
[11]
Kusumayuda, 1987, Pemasyarakatan Pers Nasional Sebagai Pers
Pancasila, Jakarta: Departemen Penerangan. Hal.31
[12]
Nerone, John C., 1995, Freedom
of The Media is the Freedom of Communication and Expression Through Medium
Including Various Electronic Media and Published Materials, Last
Rites: Resiviting Four Press. Hal.77
[13]
CST.Kansil dan Christine ST. Kansil, 2003, Pokok-Pokok
Etika Profesi Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita. Hal.17
0 komentar:
Posting Komentar