google-site-verification: google9a13747b79e1f4cd.html CONTOH PERMOHONAN PRAPERADILAN | Artikel Law Office MAH
SEMUA ARTIKEL
M.Ardiansyah Hasibuan

CONTOH PERMOHONAN PRAPERADILAN


Prihal             : Permohonan Praperadilan                                     Medan, 08 Agustus 2018


Kepada Yth,
Ketua Pengadilan Negeri Medan
di-
            Medan


Dengan hormat,
            Yang bertanda tangan dibawah ini: M. ARDIANSYAH HASIBUAN, SH, adalah advokat/ Penasehat Hukum dari Kantor Hukum AMRIZAL-ARDIANSYAH & PARTNERS, berdomisili di Jalan Jermal XIV No. 16 Medan, Kelurahan Denai, Kecamatan Medan Denai-Sumatera Utara, Hp: 08126430431 – 081263870870, E-mail: ardiansyahamrizal@gmail.com, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 01 Agustus 2018 (kuasa terlampir), untuk dan atas nama, serta kepentingan hukum dari:
Nama                         : ..........................
Umur                          : 38 Tahun
Agama                       : Budha
Jenis Kelamin          : Perempuan
Pekerjaan                  : Ibu Rumah Tangga
Kewerganegaraan   : Indonesia
Alamat                        : ----------------------------------------
( Selanjutnya disebut sebagai--------------------------------------------------------- PEMOHON )

Dengan ini membuat, mendatangani serta mengajukan gugatan terhadap:
KEPALA KEPOLISIAN RESOR KOTA BESAR MEDAN (Ka.Polrestabes), Cq. Kepala Satuan (KASAT) Reskrim Kepolisian Resor Kota Besar (RESTABES) Medan, Cq. IPTU HERISON MANULLANG, Selaku KANIT Kepolisian Resor Kota Besar (RESTABES) Medan.
(Selanjutnya disebut sebagai ----------------------------------------------------------TERMOHON )


Adapun alasan – alasan/ dalil – dalil Permohonan Pemohon adalah sebagai berikut:
 I.       DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
a)    Bahwa tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
b)    Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan : Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
1.    Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2.    Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3.    Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
c)    Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah: Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
1.    sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
2.    ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
d)    Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut  ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
e)    Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
Mengadili,
Menyatakan :
Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
·         Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
·         Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
f)     Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka dan Penyitaan juga merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

II.       ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
A.   TENTANG PENETAPAN TERSANGKA ATAS DIRI PEMOHON TIDAK SAH
1.      Pemohon Tidak Pernah Di Periksa Sebagai Calon Tersangka.
a.    Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi ( MK ) bernomor 21/PPU-XII/2014. Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan” , “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”dalam pasal 1 angka 14, 17, dan pasal 21 ayat 1 KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai pasal 184 KUHAP, pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkostitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
b.    Bahwa Frasa ‘bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup’ dalam pasal 1 angka 14, pasal 21 ayat 1 KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangka. Kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya ( in absentia ).”
c.    Bahwa berdasarkan penjelasan pasal 17 KUHAP, “bukti permulaan yang cukup” adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan pasal 1 angka 14, sehingga tanpa bukti permulaan yang cukup, maka penyidik tidak dapat melakukan penangkapan.
d.    Bahwa Mahkamah konstitusi syarat minimum dua alat buti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak azasi seseorang agar seseorang ditetapkan sebagi tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti yang cukup itu.
e.    Bahwa berdasarkan dalil – dalil diatas, dihubungakan dengan Penangkapan atas diri Pemohon berdasarkan Surat Penangkapan Nomor: SP Kap/359/VII/RES.2.5/2018 Reskrim RESTABES MEDAN tanggal 30 Juli 2018, dimana Pemohon tidak pernah dipanggil sebagai saksi oleh termohon atas dugaan tindak pidana “Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat aksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (3) UU RI Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, jo. Pasal 45 ayat (3) UU RI Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, namun pemeriksaan pertama Pemohon pada tanggal 30 Juli 2018 pada saat Pemohon di tangkap dan dibawa ke Kantor Kepolisian Resor Kota Besar Medan, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada pemohon.
f.     Bahwa berdasarkan pasal 43 ayat 5 huruf (b) Undang – Undang Nomor 19 tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elektronik, menyebutkan: “b. memanggil setiap orang atau pihak lainnya untuk didengar atau diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi elektronik;
g.    Bahwa berdasarkan poin (f), Pemohon sebagai calon Tersangka dan pada saat ini telah ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon, tidak pernah diperiksa, dan terlebih lagi Termohon mengeluarkan Perintah Penangkapan atas kemerdekaan Pemohon;
h.    Bahwa dengan demikian jelas lah tindakan termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara aquo.

2.    Penetapan Pemohon Sebagai Tersangka Tidak Berdasarkan Bukti Permulaan Yang Cukup
a.    Bahwa pasal 17 KUHAP menjelaskan bukti permulan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan pasal 1 angka 14 KUHAP.
b.    Bahwa merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2018, Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan” , “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”dalam pasal 1 angka 14, 17, dan pasal 21 ayat 1 KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai pasal 184 KUHAP, pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkostitusional bersyarat;
c.    Bahwa didalam pasal 184 KUHAP mengenai alat bukti yang sah ialah: (a) keterangan saksi; (b) keterangan ahli; (c) surat; (d) petunjuk; (e) keterangan terdakwa;
d.    Bahwa suatu bukti permulaan yang cukup harus diperoleh sebelum penyidik melakukan penangkapan atau sebelum penyidik memerintahkan kepada penyelidik untuk melakukan penangkapan.
e.    Bahwa sesuai dengan pasal 44 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, dinyatakan bahwa: Alat bukti Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di sidang Pengadilan menurut ketentuan Undang – Undang ini adalah sebagai berikut:
(a)  Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang – undangan; dan
(b)  Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta pasal 5 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
f.     Bahwa berdasarkan pasal 44 huruf (a), Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, frasa “ketentuan perundang – undangan”, yaitu adalah KUHAP yang sudah tertuang dalam pasal 184 KUHAP, sehingga timbul pertanyaan alat bukti apa  yang telah dimiliki Termohon dalam menetapkan status Pemohon sebagai Tersangka?, sementara Pemeriksaan terhadap diri Pemohon dilakukan pada hari selasa tanggal 31 Juli 2018, pukul 00.30 wib.
g.    Bahwa sesuai pasal 1 angka (1) dan angka (4) serta pasal 5 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menyatakan:
Pasal 1 angka 1 :
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Pasal 1 angka 4:
Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Pasal 5 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3):
(1)  Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2)  Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3)  Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UndangUndang ini.
h.    Bahwa perlu diperjelas kembali dalam pasal 5 ayat (3), dimana Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik. Hal mana pengertian Sistem Elektronik tertuang dalam pasal 1 angka 5 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elektronik, yaitu: “Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.”, artinya walaupun telah ada Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya, tanpa ada/ menggunakan Sistem Elektronik, maka dapat menjadikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya tidak sah.
i.      Bahwa tindakan Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka “Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat aksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (3) UU RI Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, jo. Pasal 45 ayat (3) UU RI Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tidak berdasarkan bukti permulaan yang cukup, sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP dan pasal 44 ayat (1) dan (2) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, karena Termohon melakukan penyitaan Handphone milik Pemohon yang diduga sebagai barang bukti (Sistem Elektronik) dalam dugaan tindak pidana Informasi Dan Transaksi Elektronik yaitu pada hari Selasa tanggal 31 Juli 2018 pada pukul 14.30 wib.
j.      Bahwa berdasarkan dalil yang Pemohon uraikan tentang Penetapan Pemohon sebagai Tersangka Tidak Berdasarkan Bukti Permulaan Yang Cukup, sehingga Mohon kepada Majelis Hakim dalam perkara aquo menyatakan Penetapan Tersangka Pemohon Tidak Sah dan Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum Yang Mengikat;

3.    Penetapan Pemohon Sebagai Tersangka Merupakan Kesewenang-Wenangan Dan Bertentangan Asas Kepastian Hukum
a.    Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
b.    Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu mengeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. DarI
c.    keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
d.    Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’
e.    Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit”  (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
f.     Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :
– ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
– dibuat sesuai prosedur; dan
– substansi yang sesuai dengan objek Keputusan
g.    Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :
·         “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
·         Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan
h.    Berdasarkan dalil - dalil mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Medan  yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

B.   PENANGKAPAN TERHADAP DIRI PEMOHON TIDAK SAH.
1.    Bahwa berdasarkan pasal 1 butir 20 KUHAP, menjelaskan pengertian penangkapan, yaitu: “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan Tersangka atau Terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini:
2.    Bahwa menurut Yahya Harahap (Pembahasan permasalahan dan Penerapan KUHAP, 2015, hal.158) penjelasan pasal 17 KUHAP, alasan dilakukan penangkapan atau syarat penangkapan yaitu:
-       seorang tersangka di duga keras melakukan tindak pidana;
-       dan dugaan yang kuat itu, didasarkan pada permulaan bukti yang cukup;
2.    Bahwa berdasarkan pasal 33 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, menyatakan: “Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 huruf b, dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu terhadap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup;
3.    Bahwa secara historis, Pemohon ditangkap oleh Termohon pada tanggal 30 Juli 2018 sekitar pukul 16.00 wib, di rumah keluarga Pemohon yang beralamat Komplek Duta Square Blok D, No. 15 Jakarta Barat, dan pada hari itu juga Pemohon dibawa ke Kantor Kepolisian Resor Kota Besar (RESTABES) Medan via Pesawat Terbang, dan sekitar pukul 22.30 wib, Pemohon bersama Termohon telah sampai di Medan;
4.    Bahwa tindakan Termohon melakukan Penangkapan terhadap Pemohon haruslah berdasarkan bukti permulaan yang cukup, dan berdasarkan dalil – dalil yang telah Pemohon uraikan diatas bahwasanya Penetapan Tersangka atas diri Pemohon tidak berdasarkan bukti yang cukup, sehingga tindakan Termohon melakukan Penangkapan berdasarkan Surat Penangkapan Nomor: SP Kap/359/VII/RES.2.5/2018 Reskrim RESTABES MEDAN tanggal 30 Juli 2018 adalah tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat;

C.   PENYITAAN TERHADAP BARANG TERSANGKA SEBAGAI BARANG BUKTI YANG BUKAN SEBAGAI ALAT MELAKUKAN TINDAK PIDANA
1.    Bahwa Penyitaan adalah salah satu upaya paksa (dwang middelen) yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), yaitu dalam Pasal 1 angka 16 KUHAPPasal 38 s/d 46 KUHAPPasal 82 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP dalam konteks Praperadilan, Pasal 128 s/d 130 KUHAPPasal 194 KUHAP, dan Pasal 215 KUHAP.
2.    Bahwa Definisi dari Penyitaan telah dirumuskan dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP, yaitu:
“Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.”
3.    Bahwa dalam hal ini Pemohon dalam keterangannya pada Berita Acara Pemeriksaan pada hari selasa tanggal 31 Juli 2018 sekitar pukul 00.30 wib, yang tertuang dalam poin 10 (sepuluh). Dalam BAP tersebut, Pemohon menerangkan bahwa “saya tidak mengetahui lagi dimana keberadaan 1 (satu) unit HP android milik saya yang tersebut yang saya gunakan untuk memposting foto dan kata-kata (iblis yang mau membunuh saya udah di penjara) dalam akun facebook saya tersebut, karena HP saya tersebut sudah saya buang setelah mengalami kerusakan”,
4.    Bahwa sesaat di tangkap dari Jakarta Barat sampai ke Medan, Pemohon membawa 2 (dua) buah Handphone Android Merek Samsung, namun Termohon tetap berkeras untuk menahan salah salah satu dari Handphone Android Merek Samsung Duos berwarna putih, dengan alasan untuk pemeriksaan penyelidikan berdasarkan Berita Acara Penyitaan pada hari selasa tanggal 31 Juli 2018;
5.    Bahwa berdasarkan Keterangan Pemohon, telah dijelaskan bahwasanya Handphone yang digunakan Pemohon untuk memposting nyata telah Pemohon ungkapkan telah mengalami kerusakan dan sudah dibuang. Sehingga timbul pertanyaan, mengapa tidak kedua handphone milik Pemohon yang diletakkan penyitaan?. 
6.    Bahwa yang dikatakan sebagai barang bukti yang dapat disita adalah barang dan atau alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, maka tidak relevanlah Termohon menyita 1 ( satu ) buah unit buah HP android merek SAMSUNG DUOS warna putih yang telah Termohon persangkakan;
7.     Bahwa menurut M. Yahya Harahap (ibid, hal.266), Bentuk penyitaan terdiri dari:
-       Penyitaan Biasa
-       Penyitaan dalam keadaan perlu dan mendesak;
-       Penyitaan dalam keadaan tertangkap tangan
8.     Bahwa, jika dicermati tindakan Penyitaan yang dilakukan oleh Termohon adalah merupakan tindakan Penyitaan Biasa, dimana tata cara penyitaan tersebut harus ada “Surat Izin” dari Ketua Pengadilan Negeri, namun hingga permohonan aquo di didaftarkan pada Pengadilan Negeri Medan, Pemohon tidak pernah melihat atau Termohon tidak pernah memperlihatkan “Surat Izin” dari Ketua Pengadilan Negeri Medan. Sehingga Tindakan Termohon melakukan Penyitaan atas Handphone Merek Samsung Duos warna putih, adalah bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku;
9.    Bahwa berdasarkan yang telah Pemohon uraikan tentang Penyitaan Terhadap Barang Tersangka Sebagai Barang Bukti Yang Bukan Sebagai Alat Melakukan Tindak Pidana, maka Pemohon memohon kepada Majelis Hakim menyatakan Penyitaan terhadap Handphone Android Merek Samsung Duos warna putih tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;




   III.        PETITUM
Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili permohon A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :
1.    Mengabulkan permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
2.    Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana “Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat aksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (3) UU RI Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, jo. Pasal 45 ayat (3) UU RI Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
3.    Menyatakan tindakan penangkapan atas diri pemohon tersangka dalam dugaan tindak pidana “Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat aksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (3) UU RI Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, jo. Pasal 45 ayat (3) UU RI Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, adalah tidak sah dan tidak memiliki  kekuatan hukum mengikat;
4.    Menyatakan Tidak Sah dan Tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap Penyitaan Barang Milik Pemohon, berupa:
-       1 (satu) unit Handphone Android Merek Samsung Duos warna putih, dengan kondisi layar retak
5.    Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap Pemohon;
6.    Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
7.    Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.




Atau;
Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Medan, 07 Agustus 2018
Hormat Pemohon/ Kuasa Hukumnya,



M.ARDIANSYAH HASIBUAN, SH
Advokat

0 komentar:

Posting Komentar

Most Trending