BREAKING NEWS

Jumat, 06 April 2018

HUKUM ADAT DAN POLITIK HUKUM DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Sebagai negara kepulauan dengan beragam suku bangsa dan budaya, Indonesia memiliki kekayaan adat istiadat. Hal ini tentunya juga berdampak pada hukum adat yang tumbuh dan berkembang di masing-masing daerah. Keberadaan hukum adat Indonesia yang dalam bahasa Belanda disebut Adatrecht pertama kali ditemukan oleh Snouck Hurgronje yang kemudian istilah ini digunakan oleh Mr. C. Van Vollenhoven di tahun 1928. Ia menyatakan bahwa hukum Indonesia dan kesusilaan masyarakat merupakan hukum adat[1].  Secara harafiah, Hukum adat diterjemahkan sebagai hukum asli bangsa Indonesia dimana sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan berkembang di masyarakat sehingga hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis[2]. Dalam bukunya, Peter J. Burns juga membahas mengenai Adat[3].  Adat sebenarnya tak hanya ada di Indonesia, tetapi juga sebenarnya ditemukan di negara Anglo-saxon yang menjadikan kebiasaan sebagai hukum. Bentuk adat di negara penganut sistem common law dapat terlihat pada hukuman yang dijatuhkan terhadap mereka yang melanggar peraturan setempat. Namun pada bukunya, Peter lebih menjelaskan mengenai adat yang berlaku di Indonesia tak hanya berkaitan dengan penjatuhan hukuman atas pelanggaran aturan yang ada dalam bentuk tindak pidana, tetapi juga aturan lain di sejumlah masyarakat adat yang ada di nusantara. Hukum adat pada perkembangannya memiliki dua artian, yakni[4] :
1. Hukum kebiasaan yang bersifat tradisional yang merupakan hukum yang dipertahankan dan berlaku di lingkungan hukum adat tertentu.
2. Hukum kebiasaan yang merupakan hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat dalam hubungan pergaulan antara yang satu dan yang lain, dalam lembaga masyarakat satu dan yang lainnya.
Meski definisi hukum adat dari Vollenhoven menjadi begitu populer namun ada pendapat lain mengenai hukum adat yang disampaikan oleh Ter Harr. Ia menjelaskan hukum adat sebagai keutusan yang dibuat oleh oemuka adat di dalam masyarakat hukum adat. Keputusan yang dituangkan dalam hukum adat tidak hanya dibuat oleh hakim, tetua adat, kepala desa, pemuka agama, tetapi keputusan yang juga dibuat dalam suatu rapat desa[5]. Hukum adat yang terdapat di Indonesia umumnya merupakan hukum adat yang bersifat tidak tertulis.
Adat[6] di Indonesia mengalami perkembangan sesuai dengan kondisi daerah masing-masing dimana adat itu berada. Permasalahan adat yang muncul biasanya diselesaikan dengan rapat masyarakat adat setempat. Namun seiring dengan hadirnya kolonialisme oleh negara barat di Indonesia, membawa sejumlah dampak bagi hukum adat itu sendiri Pada penerapat Adat di Indonesia yang mengalami masa penjajahan oleh Belanda, terdapat institusi peradilan yang digunakan untuk menangani beragam perkara di masyarakat Indonesia. Ada lima set lembaga kehakiman yang pada dasarnya tidak sepenuhnya terpisah. Pemisahan yang dilakukan tidak sepenuhnya sempurna. Kelima set lembaga kehakiman di Indonesia pada masa penjajahan itu terdiri dari[7] :
1.      Government system;
2.      Indigenous system;
3.      Autonomous system;
4.      Religious system;
5.      Village Tribunnals.
Seluruh paket peradilan ini berkembang berdampingan di Indonesia selama masa penjajahan Belanda. Sementara di masa pendudukan Jepang belum ada perubahan berarti kecuali pendalaman mengenai kemiliteran[8].
Dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu hukum, khususnya dengan kehadiran teori yang disampaikan oleh Hegel dan Von Savigny, Indonesia sebagai negara dengan beragam adat beserta hukumnya memiliki ideologi Politik yang dianut oleh bangsa ini. Perkembangan hukum adat di Indonesia pada masa awal kemerdekaan digambarkan oleh Soepomo yang menjelaskan bagaimana kemudian Pancasila menjadi dasar negara Indonesia.[9] Ia juga menyampaikan mengenai tiga lembaga yang digagas Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia yakni (1) gotong royong; (2) musyawarah; dan (3) mufakat. Koentjaraningrat menegaskan dari ketiga lembaga itu yang terutama adalah gotong- royong, sementara dua lembaga lainnya merupakan satu paket kombinasi. Ketiga lembaga ini berkembang hingga saat ini di Indonesia yang sudah mengalami orde lama, orde baru, masa reformasi, dan pasca reformasi.
1.2  RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang yang telah disampaikan sebelumnya, maka penulis merumuskan sejumlah masalah yang akan dibahas pada penelitian ini sebagai berikut :
·    Bagaimana interaksi antara hukum adat dan politik hukum di Indonesia saat ini?
·  Bagaimana perkembangan peradilan di Indonesia saat ini terutama dalam kaitannya dengan hukum adat?

1.3  TUJUAN PEMBAHASAN MASALAH
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk :
1.  Dapat mengetahui seperti apa interaksi antara hukum adat dan politik hukum di Indonesia pada masa pasca reformasi saat ini.
2.  Menggambarkan perkembangan sistem hukum dan peradillan di Indonesia dalam kaitannya dengan hukum adat pada masa pasca reformasi.

1.4  METODE PENULISAN
Makalah ini merupakan makalah ini makalah hukum normatif atau yang biasa dikenal dengan istilah makalah hukum doktrinal[10]. Hasil yang diinginkan dalam penulisan makalah ini bersifat deskriptif analitis sehingga menitikberatkan pada penggunaan data sekunder melalui kepustakaan agar dapat diperoleh penjelasan yang menyeluruh dan sistematis tentang pokok permasalahan yang sudah disusun. Data sekunder yang digunakan merupakan bahan yang relevan dengan permasalahan. Sementara bahan hukum tertier adalah bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus dan ensiklopedi[11]. 
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 HUKUM ADAT
Manusia hidup di dunia ini berdampingan bahkan berkelompok sehingga sering melakukan hubungan dengan sesamanya. Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka mengupayakan dengan banyak cara agar bisa bertahan. Sayangnya, ditengah upaya pemenuhan kebutuhan hidup itu, maka diperlukan suatuu aturan yang bisa memberikan pembatasan diantara sesama manusia. Ketentuan untuk membatasi kebebasan dalam bertingkah laku yang tibul dari dalam pergaulan hidup atas dasar kesadaran biasanya dinamakan hukum. Sehingga hukum itu sendiri dapat dirumuskan sebagai ketentuan yang timbul dari pergaulan manusia berdasarkan kesadaran manusia itu sendiri sebagai gejala sosial[12]. Hukum berfungsi menjaga ketertiban antar hubungan manusia dalam kehidupan sosial. Hukum menjaga keutuhan hidup agar terwujud suatu keseimbangan psikis dan fisik dlam kehidupan terutama kehidupan kelompol sosial tertentu agar terwujud keadilan dalam kehidupan sosial. Fungsi lain dari hukum adalah menciptakan norma itu sendiiri sebagai bahan mentah bagi kontrol sosial[13]. Tujuan dari hukum secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut[14]:
·         The goal of promoting morality (untuk menegakkan moral);
·         The goal of reflecting custom (untuk merefleksikan kebiasaan);
·         The goal of social welfare (untuk kesejahteraan masyarakat);
·         The goal of serving power (untuk melayani kekuasaan).
Jeremy Bentham sebagai seorang utilitarian menganggap hukum bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah bagi orang karena ia menitikberatkan pada usur kemanfaatan dan bersifat umum.
 Peraturan hukum yang berlaku dalam suatu kelompok sosial tidak terpisah dan tidak tersebar bebas melainkan dalam satu kesatuan yang masing-masing berlaku sendiri. Hukum sebagai sistem hukum memiliki bentuk sistematika sendiri yang didasarkan dalam pemikiran dan kehidupan sehari-hari[15]. Dimana sistem hukum itu didefinisikan sebagai berikut[16]:
“legal system is an operating set of legal institutions, procedures, and rules. In this senses there are one federal and fifty state legal system in the United States, separate legal system in each of the other nations, and still other distinct legal system in such organization as the European Economis community and the United Nations”

(sistem hukum merupakan suatu perangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur, aturan hukum, dalam konteks ini ada satu negara federal dengan lima puluh sistem di Amerika Serikat, adanya sistem hukum setiap bangsa terpisah serta ada sistem hukum yang berada seperti halnya dalam organisasi masyarakat ekonomi Eropa dan PBB)

Salah satu sistem hukum yang ada di Indonesia dan teridentifikasi di mata dunia adalah sistem hukum adat. Sistem ini bersumber pada oeraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakat[17]. Terminologi hukum adat di Indonesia dipopulerkan oleh Van Vollenhoven, yang kemudian didefinisikan oleh Terr Harr. Hukum adat di setiap daerah bersifat unik dikarenakan setiap hukum adat dibuat sesuai dengan kebutuhan tiap masyarakat adat. Ciri hukum adat, dapat dijelaskan sebagai berikut[18] :
·         Tidak tertulis dalam bentuk perundangan terkodifikasi;
·         Tidak tersusun secara sistematis;
·         Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan;
·         Tidak teratur;
·         Keputusannya tidak memakai konsideran (pertimbangan );
·         Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai penjelasan.
Ada tiga jenis hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial, yaitu [19]:
a.        Masyarakat hukum desa;
b.        Masyarakat hukum wilayah;
c.        Masyarakat hukum serikat desa.
Masyarakat adat merupakan suatu kesatuan masyarakat yang bersifat otonom, yaitu mereka mengatur sistem kehidupannya (politik, ekonomi, hukum). Ia lahir dan berkembang bersama dan dijaga masyarakat itu sendiri[20].  Pada masyarakat adat, berlaku hukum adat mereka masing-masing. Dimana sebelum ada unifikasi hukum, hukum adat menjadi satu-satunya sumber hukum bagi masyarakat hukum adat[21]. Van Vollenhoven mengatakan ada 19 hukum adat yang berkembang di Indonesia, mereka adalah [22]:
·         Aceh;
·         Gayo Alas Batak, dan Nias;
·         Minangkabau, Mentawai;
·         Sumatera Selatan, Enggano;
·         Melayu;
·         Bangka, Balitung;
·         Kalimantan;
·         Minahasa;
·         Gorontalo;
·         Toraja;
·         Sulawesi Utara;
·         Kepulauan Ternate;
·         Maluku;
·         Irian Barat;
·         Kepulauan Timor;
·         Bali, Lombok;
·         Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura;
·         Solo, Yogyakarta;
·         Jawa Barat; Jakarta.
Berdasarkan sumber hukum dan tipe hukum adat dari sembilan belas daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu[23]:
·         Hukum adat mengenai tatanegara (tata susunan rakyat);
·         Hukum adat mengenai warga (hukum warga);
·         Hukum adat mengenai delik (hukum pidana).
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak ada satupun pasal yang jelas mengatur mengenai hukum adat dan penerapannya. Tetapi pada pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 termaktub semua aturan perundangan yang masih berlaku selama tidak ada peraturan baru yang diterbitkan[24]. Hukum adat merupakan cerminan kehidupan masyarakat Indonesia dimana mereka selalu berkembang denagn tipe yang mudah berubah dan elsatis[25]. Hukum adat pada hakekatnya merupajan huum yang lingkupnya adalah bagi masyarakat tradisional yang merefleksikan norma, dimana hukum adat yang ada digolongkan menjadi[26] :
·         Hukum perkawinan
Mengatur tentang perkawinan dan perceraian . Dalam hukum ini diatur pula hak dan kewajiban yang muncul ketika terjadi perkawinan dan perceraian. Perbedaan yang tajam dari hukum perkawinan di tiap daerah adalah mengenai harta bawaan dan harta bersama karena untuk harta bawaan akan kembali ke keluarga asal, sementara harta bersama akan dibagi berdaar keputusan pengadilan.
·         Hukum kewarisan
Aturan mengenai kewarisan merupakan subjek yang mempengaruhi perubahan sosial, berkembangnya hubungan kekeluargaan, berkaitan dengan pertumbuhan/penurunan klan dan ikatan adat, dan juga pengaruh dari aturan kewarisan dari luar/asing. Umumnya menggunakan sistem kewarisan bilateral.
·         Hukum agraria
Sebelum ada UU Pokok Agraria, ada dua sistem hukum yang dipakai dalam hukum tanah, yakni hukum kewarisan adat, dan hukum kewarisan perdata. Ada sejumlah karakteristik yang berkaitan dengan hukum tanah dalam hukum adat. Hukum adat mengenal pemisahan hak antara hak atas tanah dan hak atas benda di atas tanah. Hal unik lainnya berkaitan dengan hukum tanah adat berkaitan dengan hutang.
·         Hukum pidana
Hukum adat juga mengenal delik sebagai gangguan keseimbangan seorang anggota masyarakat hukum adat maupun gangguan erhadap komunitasnya.

2.2  POLITIK HUKUM
Politik Hukum memiliki banyak definisi yang disampaikan oleh para ahli. Tetapi Mahfud MD menyatakan bahwa politik hukum adalah legal policy. Ia meliputi proses pembuatan dan pelasanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan[27]. Legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia meliputi[28]:
1.      Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan;
2.      Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
Jika diterapkan dan dilaksanakan secara nasional, maka kegiatan yang dilakukan meliputi hal dibawah ini ;
·     Pelaksanaan secara konsisten ketentuan hukum yang ada;
·    Pembangunan hukum yang berintikan pembaharuan atas hukum yang telah ada dan pembuatan hukum baru;
·    Penegasan fungsi lembaga penegak hukum serta pembinaan para anggotanya;
·    Peningkatan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi elite pengambilan kebijakan.
Mantan Ketua BPHN, T.M Radhie menjelaskan politik hukum sebagai suatu pernyataab kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun[29]. Dari pernyataan ini bisa dijelaskan bahwa politik hukum meliputi ius constitutun atau hukum yang berlaku di wilayah negara pada saat ini dan ius constituendum atau hukum yang akan atau seharusnya diberlakukan di masa datang. Sementara itu, Padmo Wahjono mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah dan bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk[30] Politik hukum baru yang berisi upaya pembaharuan hukum menjadi keharusan ketika kemerdekaan telah diproklamasikan. Proklamasi kemerdekaan telah membawa Indonesia pada idealita dan realita hukum yang lain dari sebelumnya[31]. Salah satu dimensi politik dari demokrasi adalah kebebasan dan persamaan untuk berperan serta (berpartisipasi) baik sebagai pelaksana (governing) maupun sebagai pengawas dan pengendali (controlling, directing) penyelenggaraan negara atau pemerintahan[32].  Sehingga dapat disimpulkan bahwa politik hukum adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pihak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Tujuan negara yang dimaksudkan dalam ranah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdapat pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang meliputi[33]:
1.      Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2.      Memajukan kesejahteraan umum;
3.      Mencerdaskan kehiduoan bangsa;
4.      Ikut melaksanakan ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Tujuan negara diatas tentunya harus diraih oleh negara sebagai organisasi tertinggi bangsa yang penyelenggaraannya didasarkan pada Pancasila. 
   
2.3  INTERAKSI HUKUM ADAT DAN POLITIK HUKUM DI INDONESIA KINI
Dalam konteks Indonesia, hukum adat sesungguhnya merupakan sistem hukum rakyat (folk law) khas Indonesia yang merupakan pengejawantahan dari the living law yang tumbuh dan berkembang berdampingan (co-existance)dengan sistem hukum lainnya yang hidup di negara ini. Hukum negara cenderung menggusur, mengabaikan atau memarjinalkan eksistensi hak masyarakat lokal dan sistem hukum rakyat adat dalam tataran implementasi dan penegakan hukum negara[34]. Keberadaan hukum adat diakui dalam batang tubuh UUD 1945 tepatnya pada pasal 18 B yabgn menyatakan :
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republin Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.

Pengakuan terhadap masyarakat adat ini tentunya juga termasuk pada hukum adatnya, sehingga hukum adat bukanlah bergantung pada penguasa negara atau bergantung pada politik hukum yang berlaku saat itu, tetapi ia merupakan bagian dari konstitusi. Masyarakat adat mempunyai hak untuk menjaga dan memperkuat ciri-ciri mereka di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya pasca deklarasi PBB mengenai hak masyarakat adat yang menyatakan[35] :
Mengakui dan menegaskan kembali bahawa warga masyarkat adat diakui, tanpa perbedaan, dalam semua hak asasi manusia yang diakui dalam hukum internasional, dan bahwa masyarakat adat memiliki hak kolektif yang sangat diperlukan dalam kehidupan dan keberadaan mereka dan pembangunan yang utuh sebagai kelompok masyarakat.

Dalam konvensi PBB itu dinyatakan pula bahwa masyarakat hukum adat di negara merdeka yang dianggap sebagau pribumi karena mereka adalah keturunan penduduk yang endiami negara yang bersangkkutan atau berdasarkan wilayah geografis tempat negara yang bersangkutan berada pada waktu penaklukan atau penajjahan atau penetapan batas negara saat ini dan yang tanpa memandang status hukum mereka, tetap mempertahankan beberapa atau seluruh institusi sosial, ekonomi, budaya dan politik mereka sendidi. Sehingga di masa depan eksistensu hukum adat tidak hanya menajdi perhatian pembangunan hukum nasional tetapi sekaligus akan menjadi pertimbangan dalam pergaulan dunia Internasional. Dari hal ini maka bisa dikatakan bahwa masyarakat adat juga memiliki kekuatan dalam memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan institusi politik. Bahkan UU RI No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Bab X menegaskan adanya partisipasi masyarakat yang diatur dalam pasal 53.[36] Berdasarkan UU ini maka materi muatan peraturan perundangan mengandung beberapa asas diantaranya asas bhineka tunggal ika, dimana asas ini mengandung makna yang luas dan sekaligus menginsyaratkan masyarakat Indonesia yang pluralistik[37].
Peraturan perundang-undangan nasional yang mengakomodasi hukum adat, atau peraturan perundangan di tingkat daerah dengan sangat terbuka dan tidak tertutup kemungkinan hukum adat yang biasanya tidak tertulis dan berkembang secara perlahan menajdi hukum yang tertulis. Meskipun disadari ada banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum adat.
Sebelum lahirnya UU No. 10 Tahun 2004 itu, sistem pemerintahan adat tergusur dengan adanya UU No. 5 tahun 1970 tentang Pemerintahan Desa. UU itu menempatkan kepala desa sebagai pemimpin tertinggi padahal kepala desa diangkat oleh pemerintah bukan pilihan masyarakat yang memilik Kepala Adat[38].
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah melalui politik hukum-nya telah mengalami perubahan. Masyarakat adat yang sebelumnya tergerus oleh UU yang dibuat oleh pemerintah di masa Orde Baru, kini mulai diperhatikan kembali dengan kelahiran UU yang baru. Diharapkan UU ini bisa mengakomodir keberadaan masyarakat yang merupakan bagian dari budaya bangsa Indonesia. 


2.4  PERADILAN DI INDONESIA
Sebelum masa penjajahan, penyelesaian sengketa yang terjadi di masyarakat, baik untuk tindak pidana maupun sengketa lainnya diselesaikan melalui musyawarah adat yang diselenggarakan secara terbuka. Namun hal itu kemudian berubah ketika kolonialisme terjadi di nusantara. Pada masa penjajahan Belanda, terjadi pemisahan hukum bagi seumlah kalangan di tanah air. Politik hukum pemerintah penjajahan Belanda dapat dilihat sebagai berikut[39]:
·         Hukum yang berlaku bagi Golongan Eropa;
·         Hukum yang berlaku bagi Golongan Indonesia;
·         Hukum yang berlaku bagi golongan Timur Asing.
Adanya hukum yang berbeda ini membuat sistem peradilan yang digunakan juga memiliki perbedaan. Ada lima set peradilan yang digunakan pada masa penjajahan Belanda, yang sudah disampaikan pada bagian sebelumnya, yakni[40]:
1.      Government system
a.      European Jurisdiction
                                                                    i.            High Court Bench, Council of Justice (Raad Van Justitie) in Java- Madura, in Other Territories
                                                                    ii.            Police Court , criminal jusrisdiction
                                                                  iii.            Residency court in Java- Madura
b.      Native Jurisdiction
                                                                      i.            Country Bench (landraad)in Java – Madura
                                                                    ii.            Counrt Court, criminal jurisdiction
                                                                  iii.            District court in Java Madura
                                                                   iv.            Negorij Rechtbank in the Moluccas
2.      Indigenous system
·         Nominally autonomous tribunals in the outer territories
·         Minor assembly
·         Major assembly
3.      Autonomous system
·         In the central principalities
·         In the outer territories
4.      Religious system
·         Appeal court for Islamic cases
·         Priesterraad Council of “priest” in Java – Madura
·         Sidang Jumat in west sumatera
5.      Village tribunals
·         Village assembly
·         District assembly
Selain itu ada pula peradilan yang melaksanakan pengadilannya sendiri, yakni pengadilan swapraja, pengadilan agama, dan pengadilan militer[41].
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, sistem peradilan negeri ini diatur dalam Konstitusi yaitu UUD 1945 dan peraturan perundang-udnangan lainnya. Dalam konstitusi dinyatakan bahwa Mahkamah Agung merupakan institusi peradilan tertinggi dan mengatur organ peradilan lainnya berdasarkan kekuasaan ekhakiiman yang dimilikinya. Hal ini dinyatakan dalam pasal 24 UUD 1945. Pasal ini kemudian dijelaskan lebih lanjut denagn UU No. 19 Tahun 1964 yang kemudian dirubah dengan nUU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Perubahan ini terus berlanjut dengan adanya UU No. 35 tahun 1999 dan dirubah kembali dengan UU No. 4 Tahun 2004[42].  Pada pasal 10  UU No. 14 tahun 1970 ditetapkan bahwa kekuasan kehakiman yang dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan[43]:
1.      Peradilan Umum
2.      Peradilan Agama
3.      Peradilan Militer
4.      Peradilan Tata Usaha Negara
Selain itu, seiring dengan perubahan Peraturan Kepailitan dengan UU No.4 tahun 1998, maka dikenalkanlah suatu pengadilan khusus yang akan menangani perkara niaga, termasuk didalamnya perkara kepailitan. Hal ini kemudian ditekankan lagi dallam UU Kepailitan yang baru yakni UU No. 37 tahun 2004 yang menggantikan UU Kepailitan lama. Pengadilan ini dinamakan Pengadilan Niaga yang berada di empat wilayah, yakni Makassar, Semarang, Surabaya, dan Medan.
Tak hanya Pengadilan Niaga, terdapat pula Pengadilan Pajak, yang pada zaman dahulu namanya adalah institusi pertimbangan pajak. Institusi ini ada pada tahun 1915 yang berkedudukan di Jakarta. Pengadilan pajak didirikan karena adanya kebutuhan mendesak adanya suatu lembaga yang dapat menangani perkara pajak dengan lebih efektif dan efisien serta menyeluruh. Aturan mengenai Pengadilan Pajak ini diatur dalam UU No. 14 Tahun 2000 yang berada di bawah kekuasaan Kementrian Keuangan[44].
Badan pengadilan tingkat pertama adalah pengadilan negeri, yang ada disetiap kabupaten atau kota madya. Badan pengadilan dalam tingkat kedua adalah pengadilan tinggi yang mengadili dalam tingkat banding. Pengadilan tinggi dapat[45] :
·         Memperkuat keputusan pengadilan negeri, atau
·         Menolak keputusan pengadilan negeri.
·         Pengadilan Tinggi dapat memerintahkan pengadilan negeri untuk memeriksa kembali perkara yang telah diputuskan.
Atas keputusan pengadilan tinggi tidak ada lagi banding, hanya ada kemungkinan diadakan kasasi oleh MA.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik benang merah bahwa pasca kemerdekaan hukum yang berlaku di negara ini hanyalah hukum negara dengan konstitusi sebagai sumber hukumnya. Segala macam sengketa yang terjadi dimasyarakat diselesaikan dengan sistem peradilan yang diatur dalam UU tentang Kekuasaan Kehakiman serta pengadilan lain yang memiliki kewenangan dalam menuntaskan sengketa yang terjadi. Hal ini tentunya mengalami perubahan jika dibandingkan dengan masa penjajahan, meskipun ada beberapa hal yang masih dipertahankan. Sementara penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan hukum adat dapat dituntaskan sesuai dengan materi yang disengketakan. 
 
BAB III
KESIMPULAN
3.1 KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan sejumlah hal, yakni :
3.      Hukum adat merupakan hukum yang ada di Indonesia, sebagai bentuk konsekuensi dari adanya masyarakat adat yang merupakan penduduk asli wilayah-wilayah di tanah air. Kehadiran Hukum Adat dan masyarakat adat awalnya diabaikan dengan politik hukum pemerintah masa orde baru yang membuat UU mengenai Desa. Tetapi seiring dengan prubahan zaman dan rezim yang berkuasa, politik hukum yang ada di Indonesia juga mengalami perubahan. Perubahan ini membawa hal baik bagi masyarakat adat dan hukum adat, dimana kini mereka mendapat porsi untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan bangsa, khususnya dibidang hukum.
4.      Peradilan di Indonesia mengalami perubahan meskipun tatanan lama yang ada tidak ditinggalkan begitu saja. Tingkatan pengadilan yang ada di daerah merupakan adopsi dari sistem masa kolonial dimana ada pengadilan di daerah distrik, dan kabupaten/ kota. Tingkatan ini berubah menjadi pengadilan negeri ditingkat kabupaten/kota, pengadilan tinggi yang merupakan pengadilan banding serta lembaga tertinggi yang menangani semua masalah itu adalah Mahkamah Agung.
5.      Selain itu, lingkup penanganan perkara dalam peradilan yang ada sekarang sudah dilakukan spesifikasi, meskipun beberapa peradilan konsepnya sudah ada sejak masa penjajahan Belanda, seperti peradilan Agama dan  Pengadilan Militer. Sementara untuk penanganan sengketa yang berkaitan denagn hukum adat, saat ini kamar pengadilan yang menangani disesuaikan dengan materi sengketanya. Hal ini tidak sama seperti masa penjajahan dimana ada pengadilan rakyat yang dilakukan untuk menuntaskan perkara adat mereka. Sekalipun pengadilan adat ini masih ada jumlahnya di Indonesia sudah tidak sebanyak dahulu.

3.2  SARAN
Masyarakat adat sebagai bagian dari sebuah negara, sudah selayaknya mendapat perhatian dari pemerintah. Adat sebagai budaya, perlu dilestarikan dan mendapat jaminan keberlangsungannya. Guna menjamin kelestarian adat, termasuk hukum adat di Nusantara perlu politik hukum dari pemerintah agar dalam kebijakannya lebih berpihak pada mereka. Sehingga sekalipun kedudukan hukum adat berada di bawah hukum negara dengan sanksi yang ringan, namun hukum adat tetap dapat digunakan untuk menuntaskan sengketa antara sesama masyarakat adat di wilayah tertentu tanpa harus dihapuskan keberadaannya.
  

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Haki Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, makalah pada Kerja Latihan Bantuan Hukum, LBH Surabaya, September 1985.
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 2002.
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, cetakan keempat Maret 2012.
Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal: revitalisasi hukum adat Nusantara, Jakarta : Grasindo.
Prof. Dr. Bagir Manan,SH, MCL, Politik Hukum Otonomi Sepanjang Peraturan Perundang-Undangan Pemerintah Daerah,dalam  Martin H. Hutabarat,SH, Zairin, SH, Dahlan Thaib, SH, Msi, Hukum Dan Politik Indonesia Tnjauan Analitis dekrit Presiden dan Otonomi Daerah,Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,1996
Bushar Muhammad, Asas_Asas Hukum Adat, Suatu Pengantar, Cet. ke 4, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983.
Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990.
Dr. Peter J. Burns, The Leiden Legacy, Concept of Law in Indonesia, Jakarta : PT. Pradnya Paramitha, dalam Politik Hukum 2, Satya Arinanto, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Fletcher, George P, Basic Concepts of Legal Thougt, Oxford University Press, New York, 1996.
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cet. I, Konstitusi Press, 2005.
J.H Merryman, The Civil Law Tradition : An Introduction to the Legal System of Western Europe and Latin America, 2Ed, Stanford University Press, Standford California, 1985.
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial¸diterjemahkan oleh M. Khozim, Bandung : Penerbit Nusa media, cetakan kelima Mei 2013
Lili Rasyidi & Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. ke VIII, PT Citra Adtya Bakti, Bandung 2001.
—————————–, Pengantar Filsafat Hukum, Cet. III, CV Mandar Maju, Bandung, 2002.
Lippman, Walter. Filsafat Publik, Terjemahan dari buku aslinya yang berjudul ” The Publik Philosophy,oleh A. Rahman Zainuddin, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Mieke Komar, at al., Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, Alumni, Bandung, 1999.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. ke 27, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.
Moh. Koesnoe, Pokok Permasalahan Hukum Kita Dewasa Ini, dalam Artidjo Alkostar dan M. Soleh Amin, Pembangunan Hukum Da Perspektif Nasional, LBH Yogyakarta dan Rajawali, Jakarta, 1986.
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, cetakan keempat Februari 2011.
----------------------- Membangun Politik Hukum, menegakkan konstitusi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Perkasa, cetakan ketiga Oktober 2012
Otje Salman, Teori Hukum, Mengingat Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT Refika Aditama, Bandung, 2004.
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, cet ii, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986.
Prof. Dr. Paulus E. Lolutung, SH, Susanti Adi Nugroho, SH, MH, Sistem Hukum Indonesia, Jakarta : Mahkamah Agung RI dan Fakultas Hukum UI, 2005
R. Abdul djamali, SH, Pengantar Hukum Indonesia edisi Revisi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, September  2011.
Yuliandri, Asas-asas Pembentuan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, Jakarta : Raja Grafiti Persada, 2009.

  
SUMBER LAIN
Boy Yendra Tamin, Sistem Hukum Adat Ditengah Kuatnya Sistem Hukum Global, http://www.boyyendratamin.com, diupload  pada Desember 2011, diunduh pada Minggu 26 April 2015.
Franc Sefenfoldism, Hukum Adat Di Indonesia, https://www.academia.edu/8292427/HUKUM_ADAT_DI_INDONESIA, diakses pada Minggu 26 April 2015.
Hamdan Zoelva, Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia, https://hamdanzoelva.wordpress.com / diunggah pada 20 Februari 2008, diakses pada Minggu 26 April 2015.
Hukum adat , http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat, diakses pada Minggu 26 April 2015.
Manda Wibisono, Sistem Hukum pada Masa Pendudukan Jepang, https://mandawibisono.wordpress.com.
Teuku Mohammad Radhie, Pembaharuan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional¸dalam majalah Prisma No.6 Tahun II Desember 1973




        




[1] R. Abdul djamali, SH, Pengantar Hukum Indonesia edisi Revisi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, September  2011, hal 72.
[2] Hukum adat , http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat, diakses pada Minggu 26 April 2015
[3] Dr. Peter J. Burns, The Leiden Legacy, Concept of Law in Indonesia, Jakarta : PT. Pradnya Paramitha, dalam Politik Hukum 2 hal 239.
[4] Franc Sefenfoldism, Hukum Adat Di Indonesia, https://www.academia.edu/8292427/HUKUM_ADAT_DI_INDONESIA, diakses pada Minggu 26 April 2015/
[5] Prof. Dr. Paulus E. Lolutung, SH, Susanti Adi Nugroho, SH, MH, Sistem Hukum Indonesia, Jakarta : Mahkamah Agung RI dan Fakultas Hukum UI, 2005, hal 34.
[6] Adat  sering dipandang sebagai suatu tradisi sehingga terkesan sangat ketinggalan jaman, tidak sesuai dengan ajaran agama dan lainnya. Sehingga kemudian dimaklumi bahwa adat merupakan suatu aturan tanpa adanya sanksi riil dalam masyarakat yang erat kaitannya dengan soal pantangan untuk dilakukan (tabu dan kualat).
[7] Dr. Peter J. Burns, Op Cit. Hal  293 – 294.
[8] Manda Wibisono, Sistem Hukum pada Masa Pendudukan Jepang, https://mandawibisono.wordpress.com, diunggah  pada 4 Oktoner 2011, diakses pada Minggu 26 April 2015.
[9] Ibid hal. 341.
[10] Tim penyusun Sekjekn DPR RI, Modul Perancangan Undang-Undang, Sekretariat Jendral DPR RI, Jakarta, 2008, hal 5
[11] Ibid , hal 8
[12] R. Abdul djamali, SH, Op Cit hal 2.
[13] Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial¸diterjemahkan oleh M. Khozim, Bandung : Penerbit Nusa media, cetakan kelima Mei 2013,  hal 21.
[14] Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, cetakan keempat Maret 2012, hal  7.
[15] R. Abdul djamali, SH, Op Cit hal 4.
[16] J.H Merryman, The Civil Law Tradition : An Introduction to the Legal System of Western Europe and Latin America, 2Ed, Stanford University Press, Standford California, 1985, hal 1.
[17] R. Abdul djamali, SH, Op Cit hal 73.
[18] Franc Sefenfoldism, Loc Cit hal 2.
[19] Prof. Dr. Paulus E. Lolutung, SH, Susanti Adi Nugroho, SH, MH,Op Cit hal 35.
[20] Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal: revitalisasi hukum adat Nusantara, Jakarta : Grasindo, hal 13.
[21] Prof. Dr. Paulus E. Lolutung, SH, Susanti Adi Nugroho, SH, MH,Op Cit hal 36.
[22] Ade Saptomo, Op Cit hal 14.
[23] R. Abdul djamali, SH, Op Cit hal 74.
[24] Prof. Dr. Paulus E. Lolutung, SH, Susanti Adi Nugroho, SH, MH,Op Cit hal 35
[25] R. Abdul djamali, SH, Op Cit hal 74.
[26] Prof. Dr. Paulus E. Lolutung, SH, Susanti Adi Nugroho, SH, MH,Op Cit hal 26.
[27] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, cetakan keempat Februari 2011, hal 17.
[28] Abdul Haki Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, makalah pada Kerja Latihan Bantuan Hukum, LBH Surabaya, September 1985.
[29] Teuku  Mohammad Radhie, Pembagaruan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional¸dalam majalah Prisma No.6 Tahun II Desember 1973, hal 3.
[30]Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, cet ii, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986, hal 160.
[31] Moh. Koesnoe, Pokok Permasalahan Hukum Kita Dewasa Ini, dalam Artidjo Alkostar dan M. Soleh Amin, Pembangunan Hukum Da Perspektif Nasional, LBH Yogyakarta dan Rajawali, Jakarta, 1986, hal 106.
[32] Dr. Bagir Manan,SH, MCL, Politik Hukum Otonomi Sepanjang Peraturan Perundang-Undangan Pemerintah Daerah,dalam  Martin H. Hutabarat,SH, Zairin, SH, Dahlan Thaib, SH, Msi, Hukum Dan Politik Indonesia Tnjauan Analitis dekrit Presiden dan Otonomi Daerah,Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,1996, hal 142.
[33] Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, menegakkan konstitusi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Perkasa, cetakan ketiga Oktober 2012, hal 17.
[34] Boy Yendra Tamin, Sistem Hukum Adat Ditengah Kuatnya Sistem Hukum Global, http://www.boyyendratamin.com, diupload  pada Desember 2011, diunduh pada Minggu 26 April 2015
[35] Konvensi Masyarakat Hukum adat, 1989
[36] Hamdan Zoelva, Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia, https://hamdanzoelva.wordpress.com / diunggah pada 20 Februari 2008, diakses pada Minggu 26 April 2015.
[37] Yuliandri, Asas-asas Pembentuan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, Jakarta : Raja Grafiti Persada, 2009, hal 31.
[38] Franc Sefenfoldism, ibid.
[39] R. Abdul djamali, SH, Op Cit hal 30
[40] Dr. Peter J. Burns, Op Cit hal 293 - 294
[41] R. Abdul djamali, SH, Op Cit hal 44 – 45.
[42] Prof. Dr. Paulus E. Lolutung, SH, Susanti Adi Nugroho, SH, MH,Op Cit hal 58.
[43] Website Staff UI, Sistem Peradilan, http://staff.ui.ac.id, diakses pada Minggu 26 April 2015.
[44] Prof. Dr. Paulus E. Lolutung, SH, Susanti Adi Nugroho, SH, MH,Op Cit hal 62 – 63.
[45] Website Staff UI, ibid.

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 Artikel Law Office MAH

Powered by JoJoThemes