PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sebagai negara kepulauan dengan
beragam suku bangsa dan budaya, Indonesia memiliki kekayaan adat istiadat. Hal
ini tentunya juga berdampak pada hukum adat yang tumbuh dan berkembang di
masing-masing daerah. Keberadaan hukum adat Indonesia yang dalam bahasa Belanda
disebut Adatrecht pertama kali
ditemukan oleh Snouck Hurgronje yang kemudian istilah ini digunakan oleh Mr. C.
Van Vollenhoven di tahun 1928. Ia menyatakan bahwa hukum Indonesia dan
kesusilaan masyarakat merupakan hukum adat[1]. Secara harafiah, Hukum adat diterjemahkan
sebagai hukum asli bangsa Indonesia dimana sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis
yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum
masyarakatnya. Peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan berkembang di
masyarakat sehingga hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis[2].
Dalam bukunya, Peter J. Burns juga membahas mengenai Adat[3].
Adat sebenarnya tak hanya ada di
Indonesia, tetapi juga sebenarnya ditemukan di negara Anglo-saxon yang
menjadikan kebiasaan sebagai hukum. Bentuk adat di negara penganut sistem common law dapat terlihat pada hukuman
yang dijatuhkan terhadap mereka yang melanggar peraturan setempat. Namun pada
bukunya, Peter lebih menjelaskan mengenai adat yang berlaku di Indonesia tak
hanya berkaitan dengan penjatuhan hukuman atas pelanggaran aturan yang ada dalam
bentuk tindak pidana, tetapi juga aturan lain di sejumlah masyarakat adat yang
ada di nusantara. Hukum adat pada perkembangannya memiliki dua artian, yakni[4]
:
1. Hukum
kebiasaan yang bersifat tradisional yang merupakan hukum yang dipertahankan dan
berlaku di lingkungan hukum adat tertentu.
2. Hukum
kebiasaan yang merupakan hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat dalam
hubungan pergaulan antara yang satu dan yang lain, dalam lembaga masyarakat
satu dan yang lainnya.
Meski definisi hukum
adat dari Vollenhoven menjadi begitu populer namun ada pendapat lain mengenai
hukum adat yang disampaikan oleh Ter Harr. Ia menjelaskan hukum adat sebagai
keutusan yang dibuat oleh oemuka adat di dalam masyarakat hukum adat. Keputusan
yang dituangkan dalam hukum adat tidak hanya dibuat oleh hakim, tetua adat,
kepala desa, pemuka agama, tetapi keputusan yang juga dibuat dalam suatu rapat
desa[5].
Hukum adat yang terdapat di Indonesia umumnya merupakan hukum adat yang
bersifat tidak tertulis.
Adat[6] di
Indonesia mengalami perkembangan sesuai dengan kondisi daerah masing-masing
dimana adat itu berada. Permasalahan adat
yang muncul biasanya diselesaikan dengan rapat masyarakat adat setempat.
Namun seiring dengan hadirnya kolonialisme oleh negara barat di Indonesia,
membawa sejumlah dampak bagi hukum adat itu sendiri Pada penerapat Adat di Indonesia yang mengalami masa
penjajahan oleh Belanda, terdapat institusi peradilan yang digunakan untuk
menangani beragam perkara di masyarakat Indonesia. Ada lima set lembaga
kehakiman yang pada dasarnya tidak sepenuhnya terpisah. Pemisahan yang
dilakukan tidak sepenuhnya sempurna. Kelima set lembaga kehakiman di Indonesia
pada masa penjajahan itu terdiri dari[7]
:
1. Government system;
2. Indigenous system;
3. Autonomous system;
4. Religious system;
5. Village Tribunnals.
Seluruh paket peradilan ini berkembang
berdampingan di Indonesia selama masa penjajahan Belanda. Sementara di masa
pendudukan Jepang belum ada perubahan berarti kecuali pendalaman mengenai
kemiliteran[8].
Dalam kaitannya dengan
perkembangan ilmu hukum, khususnya dengan kehadiran teori yang disampaikan oleh
Hegel dan Von Savigny, Indonesia sebagai negara dengan beragam adat beserta
hukumnya memiliki ideologi Politik yang dianut oleh bangsa ini. Perkembangan
hukum adat di Indonesia pada masa awal kemerdekaan digambarkan oleh Soepomo
yang menjelaskan bagaimana kemudian Pancasila menjadi dasar negara Indonesia.[9]
Ia juga menyampaikan mengenai tiga lembaga yang digagas Soekarno sebagai
Presiden Republik Indonesia yakni (1) gotong royong; (2) musyawarah; dan (3)
mufakat. Koentjaraningrat menegaskan dari ketiga lembaga itu yang terutama
adalah gotong- royong, sementara dua lembaga lainnya merupakan satu paket
kombinasi. Ketiga lembaga ini berkembang hingga saat ini di Indonesia yang
sudah mengalami orde lama, orde baru, masa reformasi, dan pasca reformasi.
1.2
RUMUSAN
MASALAH
Dari latar belakang yang telah
disampaikan sebelumnya, maka penulis merumuskan sejumlah masalah yang akan
dibahas pada penelitian ini sebagai berikut :
· Bagaimana interaksi
antara hukum adat dan politik hukum di Indonesia saat ini?
· Bagaimana perkembangan
peradilan di Indonesia saat ini terutama dalam kaitannya dengan hukum adat?
1.3 TUJUAN PEMBAHASAN
MASALAH
Penulisan
makalah ini dimaksudkan untuk :
1.
Dapat mengetahui
seperti apa interaksi antara hukum adat dan politik hukum di Indonesia pada
masa pasca reformasi saat ini.
2.
Menggambarkan
perkembangan sistem hukum dan peradillan di Indonesia dalam kaitannya dengan
hukum adat pada masa pasca reformasi.
1.4 METODE PENULISAN
Makalah ini merupakan makalah ini makalah
hukum normatif atau yang biasa dikenal dengan istilah makalah hukum doktrinal[10].
Hasil yang diinginkan dalam penulisan makalah ini bersifat deskriptif analitis
sehingga menitikberatkan pada penggunaan data sekunder melalui kepustakaan agar
dapat diperoleh penjelasan yang menyeluruh dan sistematis tentang pokok
permasalahan yang sudah disusun. Data sekunder yang digunakan merupakan bahan
yang relevan dengan permasalahan. Sementara bahan hukum tertier adalah bahan
yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder
seperti kamus dan ensiklopedi[11].
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 HUKUM ADAT
Manusia hidup di dunia ini berdampingan
bahkan berkelompok sehingga sering melakukan hubungan dengan sesamanya. Dalam
upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka mengupayakan dengan banyak cara
agar bisa bertahan. Sayangnya, ditengah upaya pemenuhan kebutuhan hidup itu,
maka diperlukan suatuu aturan yang bisa memberikan pembatasan diantara sesama
manusia. Ketentuan untuk membatasi kebebasan dalam bertingkah laku yang tibul
dari dalam pergaulan hidup atas dasar kesadaran biasanya dinamakan hukum.
Sehingga hukum itu sendiri dapat dirumuskan sebagai ketentuan yang timbul dari
pergaulan manusia berdasarkan kesadaran manusia itu sendiri sebagai gejala
sosial[12].
Hukum berfungsi menjaga ketertiban antar hubungan manusia dalam kehidupan
sosial. Hukum menjaga keutuhan hidup agar terwujud suatu keseimbangan psikis
dan fisik dlam kehidupan terutama kehidupan kelompol sosial tertentu agar
terwujud keadilan dalam kehidupan sosial. Fungsi lain dari hukum adalah
menciptakan norma itu sendiiri sebagai bahan mentah bagi kontrol sosial[13].
Tujuan dari hukum secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut[14]:
·
The
goal of promoting morality (untuk menegakkan
moral);
·
The
goal of reflecting custom (untuk merefleksikan
kebiasaan);
·
The
goal of social welfare (untuk kesejahteraan
masyarakat);
·
The
goal of serving power (untuk melayani
kekuasaan).
Jeremy
Bentham sebagai seorang utilitarian menganggap hukum bertujuan untuk mewujudkan
apa yang berfaedah bagi orang karena ia menitikberatkan pada usur kemanfaatan
dan bersifat umum.
Peraturan
hukum yang berlaku dalam suatu kelompok sosial tidak terpisah dan tidak
tersebar bebas melainkan dalam satu kesatuan yang masing-masing berlaku
sendiri. Hukum sebagai sistem hukum memiliki bentuk sistematika sendiri yang
didasarkan dalam pemikiran dan kehidupan sehari-hari[15].
Dimana sistem hukum itu didefinisikan sebagai berikut[16]:
“legal system is an operating set of
legal institutions, procedures, and rules. In this senses there are one federal
and fifty state legal system in the United States, separate legal system in
each of the other nations, and still other distinct legal system in such
organization as the European Economis community and the United Nations”
(sistem hukum
merupakan suatu perangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur, aturan
hukum, dalam konteks ini ada satu negara federal dengan lima puluh sistem di
Amerika Serikat, adanya sistem hukum setiap bangsa terpisah serta ada sistem
hukum yang berada seperti halnya dalam organisasi masyarakat ekonomi Eropa dan
PBB)
Salah satu sistem hukum yang ada di
Indonesia dan teridentifikasi di mata dunia adalah sistem hukum adat. Sistem
ini bersumber pada oeraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh berkembang dan
dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakat[17].
Terminologi hukum adat di Indonesia dipopulerkan oleh Van Vollenhoven, yang
kemudian didefinisikan oleh Terr Harr. Hukum adat di setiap daerah bersifat
unik dikarenakan setiap hukum adat dibuat sesuai dengan kebutuhan tiap
masyarakat adat. Ciri hukum adat, dapat dijelaskan sebagai berikut[18]
:
·
Tidak tertulis dalam
bentuk perundangan terkodifikasi;
·
Tidak tersusun secara
sistematis;
·
Tidak dihimpun dalam
bentuk kitab perundangan;
·
Tidak teratur;
·
Keputusannya tidak
memakai konsideran (pertimbangan );
·
Pasal-pasal aturannya
tidak sistematis dan tidak mempunyai penjelasan.
Ada
tiga jenis hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial, yaitu [19]:
a.
Masyarakat hukum desa;
b. Masyarakat hukum wilayah;
c. Masyarakat hukum
serikat desa.
Masyarakat
adat merupakan suatu kesatuan masyarakat yang bersifat otonom, yaitu mereka
mengatur sistem kehidupannya (politik, ekonomi, hukum). Ia lahir dan berkembang
bersama dan dijaga masyarakat itu sendiri[20]. Pada masyarakat adat, berlaku hukum adat
mereka masing-masing. Dimana sebelum ada unifikasi hukum, hukum adat menjadi
satu-satunya sumber hukum bagi masyarakat hukum adat[21].
Van Vollenhoven mengatakan ada 19 hukum adat yang berkembang di Indonesia,
mereka adalah [22]:
·
Aceh;
·
Gayo Alas Batak, dan
Nias;
·
Minangkabau, Mentawai;
·
Sumatera Selatan,
Enggano;
·
Melayu;
·
Bangka, Balitung;
·
Kalimantan;
·
Minahasa;
·
Gorontalo;
·
Toraja;
·
Sulawesi Utara;
·
Kepulauan Ternate;
·
Maluku;
·
Irian Barat;
·
Kepulauan Timor;
·
Bali, Lombok;
·
Jawa Tengah, Jawa
Timur, Madura;
·
Solo, Yogyakarta;
·
Jawa Barat; Jakarta.
Berdasarkan
sumber hukum dan tipe hukum adat dari sembilan belas daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum
adat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu[23]:
·
Hukum adat mengenai
tatanegara (tata susunan rakyat);
·
Hukum adat mengenai
warga (hukum warga);
·
Hukum adat mengenai
delik (hukum pidana).
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak ada
satupun pasal yang jelas mengatur mengenai hukum adat dan penerapannya. Tetapi
pada pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 termaktub semua aturan perundangan yang
masih berlaku selama tidak ada peraturan baru yang diterbitkan[24].
Hukum adat merupakan cerminan kehidupan masyarakat Indonesia dimana mereka
selalu berkembang denagn tipe yang mudah berubah dan elsatis[25].
Hukum adat pada hakekatnya merupajan huum yang lingkupnya adalah bagi masyarakat
tradisional yang merefleksikan norma, dimana hukum adat yang ada digolongkan
menjadi[26]
:
·
Hukum perkawinan
Mengatur
tentang perkawinan dan perceraian . Dalam hukum ini diatur pula hak dan
kewajiban yang muncul ketika terjadi perkawinan dan perceraian. Perbedaan yang
tajam dari hukum perkawinan di tiap daerah adalah mengenai harta bawaan dan
harta bersama karena untuk harta bawaan akan kembali ke keluarga asal,
sementara harta bersama akan dibagi berdaar keputusan pengadilan.
·
Hukum kewarisan
Aturan
mengenai kewarisan merupakan subjek yang mempengaruhi perubahan sosial,
berkembangnya hubungan kekeluargaan, berkaitan dengan pertumbuhan/penurunan
klan dan ikatan adat, dan juga pengaruh dari aturan kewarisan dari luar/asing.
Umumnya menggunakan sistem kewarisan bilateral.
·
Hukum agraria
Sebelum
ada UU Pokok Agraria, ada dua sistem hukum yang dipakai dalam hukum tanah,
yakni hukum kewarisan adat, dan hukum kewarisan perdata. Ada sejumlah karakteristik
yang berkaitan dengan hukum tanah dalam hukum adat. Hukum adat mengenal
pemisahan hak antara hak atas tanah dan hak atas benda di atas tanah. Hal unik
lainnya berkaitan dengan hukum tanah adat berkaitan dengan hutang.
·
Hukum pidana
Hukum
adat juga mengenal delik sebagai gangguan keseimbangan seorang anggota
masyarakat hukum adat maupun gangguan erhadap komunitasnya.
2.2 POLITIK HUKUM
Politik Hukum memiliki banyak definisi
yang disampaikan oleh para ahli. Tetapi Mahfud MD menyatakan bahwa politik
hukum adalah legal policy. Ia
meliputi proses pembuatan dan pelasanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat ke
arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan[27].
Legal policy yang akan atau telah
dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia meliputi[28]:
1. Pembangunan
hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi hukum agar
dapat sesuai dengan kebutuhan;
2. Pelaksanaan
ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan
para penegak hukum.
Jika
diterapkan dan dilaksanakan secara nasional, maka kegiatan yang dilakukan
meliputi hal dibawah ini ;
· Pelaksanaan secara
konsisten ketentuan hukum yang ada;
· Pembangunan hukum yang
berintikan pembaharuan atas hukum yang telah ada dan pembuatan hukum baru;
· Penegasan fungsi lembaga
penegak hukum serta pembinaan para anggotanya;
· Peningkatan kesadaran
hukum masyarakat menurut persepsi elite pengambilan kebijakan.
Mantan
Ketua BPHN, T.M Radhie menjelaskan politik hukum sebagai suatu pernyataab
kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai
arah perkembangan hukum yang dibangun[29].
Dari pernyataan ini bisa dijelaskan bahwa politik hukum meliputi ius constitutun atau hukum yang berlaku
di wilayah negara pada saat ini dan ius
constituendum atau hukum yang akan atau seharusnya diberlakukan di masa
datang. Sementara itu, Padmo Wahjono mendefinisikan politik hukum sebagai
kebijakan dasar yang menentukan arah dan bentuk maupun isi dari hukum yang akan
dibentuk[30] Politik
hukum baru yang berisi upaya pembaharuan hukum menjadi keharusan ketika
kemerdekaan telah diproklamasikan. Proklamasi kemerdekaan telah membawa
Indonesia pada idealita dan realita hukum yang lain dari sebelumnya[31].
Salah satu dimensi politik dari demokrasi adalah kebebasan dan persamaan untuk
berperan serta (berpartisipasi) baik sebagai pelaksana (governing) maupun sebagai pengawas dan pengendali (controlling, directing) penyelenggaraan
negara atau pemerintahan[32].
Sehingga dapat disimpulkan bahwa politik
hukum adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pihak dan cara untuk
membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara.
Tujuan negara yang dimaksudkan dalam ranah Negara Kesatuan Republik Indonesia
terdapat pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang meliputi[33]:
1. Melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2. Memajukan
kesejahteraan umum;
3. Mencerdaskan
kehiduoan bangsa;
4. Ikut
melaksanakan ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.
Tujuan
negara diatas tentunya harus diraih oleh negara sebagai organisasi tertinggi
bangsa yang penyelenggaraannya didasarkan pada Pancasila.
2.3 INTERAKSI HUKUM ADAT
DAN POLITIK HUKUM DI INDONESIA KINI
Dalam konteks Indonesia, hukum adat
sesungguhnya merupakan sistem hukum rakyat (folk
law) khas Indonesia yang merupakan pengejawantahan dari the living law yang tumbuh dan
berkembang berdampingan (co-existance)dengan
sistem hukum lainnya yang hidup di negara ini. Hukum negara cenderung
menggusur, mengabaikan atau memarjinalkan eksistensi hak masyarakat lokal dan
sistem hukum rakyat adat dalam tataran implementasi dan penegakan hukum negara[34].
Keberadaan hukum adat diakui dalam batang tubuh UUD 1945 tepatnya pada pasal 18
B yabgn menyatakan :
Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republin Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.
Pengakuan
terhadap masyarakat adat ini tentunya juga termasuk pada hukum adatnya,
sehingga hukum adat bukanlah bergantung pada penguasa negara atau bergantung
pada politik hukum yang berlaku saat itu, tetapi ia merupakan bagian dari
konstitusi. Masyarakat adat mempunyai hak untuk menjaga dan memperkuat
ciri-ciri mereka di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya pasca
deklarasi PBB mengenai hak masyarakat adat yang menyatakan[35]
:
Mengakui
dan menegaskan kembali bahawa warga masyarkat adat diakui, tanpa perbedaan,
dalam semua hak asasi manusia yang diakui dalam hukum internasional, dan bahwa
masyarakat adat memiliki hak kolektif yang sangat diperlukan dalam kehidupan
dan keberadaan mereka dan pembangunan yang utuh sebagai kelompok masyarakat.
Dalam
konvensi PBB itu dinyatakan pula bahwa masyarakat hukum adat di negara merdeka
yang dianggap sebagau pribumi karena mereka adalah keturunan penduduk yang
endiami negara yang bersangkkutan atau berdasarkan wilayah geografis tempat
negara yang bersangkutan berada pada waktu penaklukan atau penajjahan atau
penetapan batas negara saat ini dan yang tanpa memandang status hukum mereka,
tetap mempertahankan beberapa atau seluruh institusi sosial, ekonomi, budaya
dan politik mereka sendidi. Sehingga di masa depan eksistensu hukum adat tidak
hanya menajdi perhatian pembangunan hukum nasional tetapi sekaligus akan
menjadi pertimbangan dalam pergaulan dunia Internasional. Dari hal ini maka
bisa dikatakan bahwa masyarakat adat juga memiliki kekuatan dalam memberikan
kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan institusi politik.
Bahkan UU RI No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
dalam Bab X menegaskan adanya partisipasi masyarakat yang diatur dalam pasal
53.[36]
Berdasarkan UU ini maka materi muatan peraturan perundangan mengandung beberapa
asas diantaranya asas bhineka tunggal ika, dimana asas ini mengandung makna
yang luas dan sekaligus menginsyaratkan masyarakat Indonesia yang pluralistik[37].
Peraturan perundang-undangan
nasional yang mengakomodasi hukum adat, atau peraturan perundangan di tingkat
daerah dengan sangat terbuka dan tidak tertutup kemungkinan hukum adat yang
biasanya tidak tertulis dan berkembang secara perlahan menajdi hukum yang
tertulis. Meskipun disadari ada banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan
hukum adat.
Sebelum lahirnya UU No. 10 Tahun
2004 itu, sistem pemerintahan adat tergusur dengan adanya UU No. 5 tahun 1970
tentang Pemerintahan Desa. UU itu menempatkan kepala desa sebagai pemimpin
tertinggi padahal kepala desa diangkat oleh pemerintah bukan pilihan masyarakat
yang memilik Kepala Adat[38].
Dengan demikian bisa disimpulkan
bahwa kebijakan pemerintah melalui politik hukum-nya telah mengalami perubahan.
Masyarakat adat yang sebelumnya tergerus oleh UU yang dibuat oleh pemerintah di
masa Orde Baru, kini mulai diperhatikan kembali dengan kelahiran UU yang baru.
Diharapkan UU ini bisa mengakomodir keberadaan masyarakat yang merupakan bagian
dari budaya bangsa Indonesia.
2.4 PERADILAN DI INDONESIA
Sebelum masa penjajahan, penyelesaian
sengketa yang terjadi di masyarakat, baik untuk tindak pidana maupun sengketa
lainnya diselesaikan melalui musyawarah adat yang diselenggarakan secara
terbuka. Namun hal itu kemudian berubah ketika kolonialisme terjadi di
nusantara. Pada masa penjajahan Belanda, terjadi pemisahan hukum bagi seumlah kalangan
di tanah air. Politik hukum pemerintah penjajahan Belanda dapat dilihat sebagai
berikut[39]:
·
Hukum yang berlaku bagi
Golongan Eropa;
·
Hukum yang berlaku bagi
Golongan Indonesia;
·
Hukum yang berlaku bagi
golongan Timur Asing.
Adanya
hukum yang berbeda ini membuat sistem peradilan yang digunakan juga memiliki
perbedaan. Ada lima set peradilan yang digunakan pada masa penjajahan Belanda,
yang sudah disampaikan pada bagian sebelumnya, yakni[40]:
1.
Government
system
a.
European
Jurisdiction
i.
High
Court Bench, Council of Justice (Raad Van Justitie) in Java- Madura, in Other
Territories
ii.
Police
Court , criminal jusrisdiction
iii.
Residency
court in Java- Madura
b.
Native
Jurisdiction
i.
Country
Bench (landraad)in Java – Madura
ii.
Counrt
Court, criminal jurisdiction
iii.
District
court in Java Madura
iv.
Negorij
Rechtbank in the Moluccas
2.
Indigenous
system
·
Nominally
autonomous tribunals in the outer territories
·
Minor
assembly
·
Major
assembly
3.
Autonomous
system
·
In
the central principalities
·
In
the outer territories
4.
Religious
system
·
Appeal
court for Islamic cases
·
Priesterraad
Council of “priest” in Java – Madura
·
Sidang
Jumat in west sumatera
5.
Village
tribunals
·
Village
assembly
·
District
assembly
Selain
itu ada pula peradilan yang melaksanakan pengadilannya sendiri, yakni
pengadilan swapraja, pengadilan agama, dan pengadilan militer[41].
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia
pada tahun 1945, sistem peradilan negeri ini diatur dalam Konstitusi yaitu UUD
1945 dan peraturan perundang-udnangan lainnya. Dalam konstitusi dinyatakan
bahwa Mahkamah Agung merupakan institusi peradilan tertinggi dan mengatur organ
peradilan lainnya berdasarkan kekuasaan ekhakiiman yang dimilikinya. Hal ini
dinyatakan dalam pasal 24 UUD 1945. Pasal ini kemudian dijelaskan lebih lanjut
denagn UU No. 19 Tahun 1964 yang kemudian dirubah dengan nUU No. 14 Tahun 1970
tentang Kekuasaan Kehakiman. Perubahan ini terus berlanjut dengan adanya UU No.
35 tahun 1999 dan dirubah kembali dengan UU No. 4 Tahun 2004[42].
Pada pasal 10 UU No. 14 tahun 1970 ditetapkan bahwa kekuasan
kehakiman yang dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan[43]:
1. Peradilan
Umum
2. Peradilan
Agama
3. Peradilan
Militer
4. Peradilan
Tata Usaha Negara
Selain
itu, seiring dengan perubahan Peraturan Kepailitan dengan UU No.4 tahun 1998,
maka dikenalkanlah suatu pengadilan khusus yang akan menangani perkara niaga,
termasuk didalamnya perkara kepailitan. Hal ini kemudian ditekankan lagi dallam
UU Kepailitan yang baru yakni UU No. 37 tahun 2004 yang menggantikan UU
Kepailitan lama. Pengadilan ini dinamakan Pengadilan Niaga yang berada di empat
wilayah, yakni Makassar, Semarang, Surabaya, dan Medan.
Tak hanya Pengadilan Niaga, terdapat
pula Pengadilan Pajak, yang pada zaman dahulu namanya adalah institusi
pertimbangan pajak. Institusi ini ada pada tahun 1915 yang berkedudukan di
Jakarta. Pengadilan pajak didirikan karena adanya kebutuhan mendesak adanya
suatu lembaga yang dapat menangani perkara pajak dengan lebih efektif dan
efisien serta menyeluruh. Aturan mengenai Pengadilan Pajak ini diatur dalam UU
No. 14 Tahun 2000 yang berada di bawah kekuasaan Kementrian Keuangan[44].
Badan pengadilan tingkat pertama adalah
pengadilan negeri, yang ada disetiap kabupaten atau kota madya. Badan
pengadilan dalam tingkat kedua adalah pengadilan tinggi yang mengadili dalam
tingkat banding. Pengadilan tinggi dapat[45]
:
·
Memperkuat keputusan
pengadilan negeri, atau
·
Menolak keputusan
pengadilan negeri.
·
Pengadilan Tinggi dapat
memerintahkan pengadilan negeri untuk memeriksa kembali perkara yang telah
diputuskan.
Atas
keputusan pengadilan tinggi tidak ada lagi banding, hanya ada kemungkinan
diadakan kasasi oleh MA.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik
benang merah bahwa pasca kemerdekaan hukum yang berlaku di negara ini hanyalah
hukum negara dengan konstitusi sebagai sumber hukumnya. Segala macam sengketa
yang terjadi dimasyarakat diselesaikan dengan sistem peradilan yang diatur
dalam UU tentang Kekuasaan Kehakiman serta pengadilan lain yang memiliki
kewenangan dalam menuntaskan sengketa yang terjadi. Hal ini tentunya mengalami
perubahan jika dibandingkan dengan masa penjajahan, meskipun ada beberapa hal
yang masih dipertahankan. Sementara penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan
hukum adat dapat dituntaskan sesuai dengan materi yang disengketakan.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 KESIMPULAN
Dari
pembahasan yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan
sejumlah hal, yakni :
3. Hukum
adat merupakan hukum yang ada di Indonesia, sebagai bentuk konsekuensi dari
adanya masyarakat adat yang merupakan penduduk asli wilayah-wilayah di tanah
air. Kehadiran Hukum Adat dan masyarakat adat awalnya diabaikan dengan politik
hukum pemerintah masa orde baru yang membuat UU mengenai Desa. Tetapi seiring
dengan prubahan zaman dan rezim yang berkuasa, politik hukum yang ada di
Indonesia juga mengalami perubahan. Perubahan ini membawa hal baik bagi
masyarakat adat dan hukum adat, dimana kini mereka mendapat porsi untuk turut
berpartisipasi dalam pembangunan bangsa, khususnya dibidang hukum.
4. Peradilan
di Indonesia mengalami perubahan meskipun tatanan lama yang ada tidak
ditinggalkan begitu saja. Tingkatan pengadilan yang ada di daerah merupakan
adopsi dari sistem masa kolonial dimana ada pengadilan di daerah distrik, dan
kabupaten/ kota. Tingkatan ini berubah menjadi pengadilan negeri ditingkat
kabupaten/kota, pengadilan tinggi yang merupakan pengadilan banding serta
lembaga tertinggi yang menangani semua masalah itu adalah Mahkamah Agung.
5. Selain
itu, lingkup penanganan perkara dalam peradilan yang ada sekarang sudah
dilakukan spesifikasi, meskipun beberapa peradilan konsepnya sudah ada sejak
masa penjajahan Belanda, seperti peradilan Agama dan Pengadilan Militer. Sementara untuk
penanganan sengketa yang berkaitan denagn hukum adat, saat ini kamar pengadilan
yang menangani disesuaikan dengan materi sengketanya. Hal ini tidak sama
seperti masa penjajahan dimana ada pengadilan rakyat yang dilakukan untuk
menuntaskan perkara adat mereka. Sekalipun pengadilan adat ini masih ada
jumlahnya di Indonesia sudah tidak sebanyak dahulu.
3.2 SARAN
Masyarakat adat sebagai bagian dari
sebuah negara, sudah selayaknya mendapat perhatian dari pemerintah. Adat
sebagai budaya, perlu dilestarikan dan mendapat jaminan keberlangsungannya. Guna menjamin kelestarian adat,
termasuk hukum adat di Nusantara perlu politik hukum dari pemerintah agar dalam
kebijakannya lebih berpihak pada mereka. Sehingga sekalipun kedudukan hukum
adat berada di bawah hukum negara dengan sanksi yang ringan, namun hukum adat
tetap dapat digunakan untuk menuntaskan sengketa antara sesama masyarakat adat
di wilayah tertentu tanpa harus dihapuskan keberadaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Haki Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, makalah pada
Kerja Latihan Bantuan Hukum, LBH Surabaya, September 1985.
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian
Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta,
2002.
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada, cetakan keempat Maret 2012.
Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal: revitalisasi hukum adat Nusantara, Jakarta
: Grasindo.
Prof. Dr. Bagir Manan,SH, MCL, Politik Hukum Otonomi Sepanjang Peraturan
Perundang-Undangan Pemerintah Daerah,dalam
Martin H. Hutabarat,SH, Zairin, SH, Dahlan Thaib, SH, Msi, Hukum Dan Politik Indonesia Tnjauan Analitis
dekrit Presiden dan Otonomi Daerah,Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,1996
Bushar Muhammad, Asas_Asas Hukum Adat, Suatu
Pengantar, Cet. ke 4, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983.
Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia,
Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990.
Dr. Peter J. Burns, The Leiden Legacy, Concept of Law in
Indonesia, Jakarta : PT. Pradnya Paramitha, dalam Politik Hukum 2, Satya
Arinanto, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Fletcher, George P, Basic Concepts of Legal
Thougt, Oxford University Press, New York, 1996.
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan
Pilar-Pilar Demokrasi, Cet. I, Konstitusi Press, 2005.
J.H Merryman, The Civil Law Tradition : An Introduction to the Legal System of
Western Europe and Latin America, 2Ed, Stanford University Press, Standford
California, 1985.
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial¸diterjemahkan
oleh M. Khozim, Bandung : Penerbit Nusa media, cetakan kelima Mei 2013
Lili Rasyidi & Ira Rasyidi, Pengantar
Filsafat dan Teori Hukum, Cet. ke VIII, PT Citra Adtya Bakti, Bandung 2001.
—————————–, Pengantar Filsafat Hukum, Cet.
III, CV Mandar Maju, Bandung, 2002.
Lippman, Walter. Filsafat Publik, Terjemahan
dari buku aslinya yang berjudul ” The Publik Philosophy,oleh A.
Rahman Zainuddin, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Mieke Komar, at al., Mochtar Kusumaatmadja:
Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR.
Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, Alumni, Bandung, 1999.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet.
ke 27, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.
Moh. Koesnoe, Pokok Permasalahan Hukum Kita Dewasa Ini, dalam Artidjo Alkostar
dan M. Soleh Amin, Pembangunan Hukum Da
Perspektif Nasional, LBH Yogyakarta dan Rajawali, Jakarta, 1986.
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, cetakan keempat Februari 2011.
----------------------- Membangun Politik Hukum, menegakkan
konstitusi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Perkasa, cetakan ketiga Oktober
2012
Otje Salman, Teori Hukum, Mengingat Mengumpulkan
dan Membuka Kembali, PT Refika Aditama, Bandung, 2004.
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, cet ii, Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1986.
Prof.
Dr. Paulus E. Lolutung, SH, Susanti Adi Nugroho, SH, MH, Sistem Hukum Indonesia, Jakarta : Mahkamah Agung RI dan Fakultas
Hukum UI, 2005
R.
Abdul djamali, SH, Pengantar Hukum
Indonesia edisi Revisi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, September 2011.
Yuliandri,
Asas-asas Pembentuan Peraturan
Perundang-Undangan Yang Baik, Jakarta : Raja Grafiti Persada, 2009.
SUMBER LAIN
Boy Yendra Tamin, Sistem Hukum Adat Ditengah Kuatnya Sistem Hukum Global, http://www.boyyendratamin.com,
diupload pada Desember 2011, diunduh
pada Minggu 26 April 2015.
Franc
Sefenfoldism, Hukum Adat Di Indonesia, https://www.academia.edu/8292427/HUKUM_ADAT_DI_INDONESIA,
diakses pada Minggu 26 April 2015.
Hamdan
Zoelva, Hukum dan Politik dalam Sistem
Hukum Indonesia, https://hamdanzoelva.wordpress.com / diunggah pada 20
Februari 2008, diakses pada Minggu 26 April 2015.
Hukum adat , http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat,
diakses pada Minggu 26 April 2015.
Manda Wibisono, Sistem Hukum pada Masa Pendudukan Jepang, https://mandawibisono.wordpress.com.
Teuku Mohammad Radhie, Pembaharuan dan Politik Hukum dalam Rangka
Pembangunan Nasional¸dalam majalah Prisma
No.6 Tahun II Desember 1973
[1] R.
Abdul djamali, SH, Pengantar Hukum
Indonesia edisi Revisi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, September 2011, hal 72.
[2] Hukum
adat , http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat,
diakses pada Minggu 26 April 2015
[3] Dr.
Peter J. Burns, The Leiden Legacy,
Concept of Law in Indonesia, Jakarta : PT. Pradnya Paramitha, dalam Politik
Hukum 2 hal 239.
[4] Franc
Sefenfoldism, Hukum Adat Di Indonesia, https://www.academia.edu/8292427/HUKUM_ADAT_DI_INDONESIA,
diakses pada Minggu 26 April 2015/
[5] Prof.
Dr. Paulus E. Lolutung, SH, Susanti Adi Nugroho, SH, MH, Sistem Hukum Indonesia, Jakarta : Mahkamah Agung RI dan Fakultas
Hukum UI, 2005, hal 34.
[6] Adat
sering dipandang sebagai suatu tradisi
sehingga terkesan sangat ketinggalan jaman, tidak sesuai dengan ajaran agama
dan lainnya. Sehingga kemudian dimaklumi bahwa adat merupakan suatu aturan
tanpa adanya sanksi riil dalam masyarakat yang erat kaitannya dengan soal
pantangan untuk dilakukan (tabu dan kualat).
[7] Dr.
Peter J. Burns, Op Cit. Hal 293 – 294.
[8] Manda
Wibisono, Sistem Hukum pada Masa
Pendudukan Jepang, https://mandawibisono.wordpress.com,
diunggah pada 4 Oktoner 2011, diakses
pada Minggu 26 April 2015.
[9] Ibid
hal. 341.
[10] Tim
penyusun Sekjekn DPR RI, Modul
Perancangan Undang-Undang, Sekretariat Jendral DPR RI, Jakarta, 2008, hal 5
[11] Ibid
, hal 8
[12] R.
Abdul djamali, SH, Op Cit hal 2.
[13] Lawrence
M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu
Sosial¸diterjemahkan oleh M. Khozim, Bandung : Penerbit Nusa media, cetakan
kelima Mei 2013, hal 21.
[14] Ade
Maman Suherman, Pengantar Perbandingan
Sistem Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, cetakan keempat Maret
2012, hal 7.
[15] R.
Abdul djamali, SH, Op Cit hal 4.
[16] J.H
Merryman, The Civil Law Tradition : An
Introduction to the Legal System of Western Europe and Latin America, 2Ed,
Stanford University Press, Standford California, 1985, hal 1.
[17] R.
Abdul djamali, SH, Op Cit hal 73.
[18] Franc
Sefenfoldism, Loc Cit hal 2.
[19] Prof.
Dr. Paulus E. Lolutung, SH, Susanti Adi Nugroho, SH, MH,Op Cit hal 35.
[20] Ade
Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal:
revitalisasi hukum adat Nusantara, Jakarta : Grasindo, hal 13.
[21] Prof.
Dr. Paulus E. Lolutung, SH, Susanti Adi Nugroho, SH, MH,Op Cit hal 36.
[22] Ade
Saptomo, Op Cit hal 14.
[23] R.
Abdul djamali, SH, Op Cit hal 74.
[24] Prof. Dr.
Paulus E. Lolutung, SH, Susanti Adi Nugroho, SH, MH,Op Cit hal 35
[25] R.
Abdul djamali, SH, Op Cit hal 74.
[26] Prof. Dr.
Paulus E. Lolutung, SH, Susanti Adi Nugroho, SH, MH,Op Cit hal 26.
[27] Moh.
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada, cetakan keempat Februari 2011, hal 17.
[28] Abdul
Haki Garuda Nusantara, Politik Hukum
Nasional, makalah pada Kerja Latihan Bantuan Hukum, LBH Surabaya, September
1985.
[29] Teuku
Mohammad Radhie, Pembagaruan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional¸dalam
majalah Prisma No.6 Tahun II Desember
1973, hal 3.
[30]Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, cet
ii, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986, hal 160.
[31] Moh.
Koesnoe, Pokok Permasalahan Hukum Kita
Dewasa Ini, dalam Artidjo Alkostar dan M. Soleh Amin, Pembangunan Hukum Da Perspektif Nasional, LBH Yogyakarta dan
Rajawali, Jakarta, 1986, hal 106.
[32] Dr.
Bagir Manan,SH, MCL, Politik Hukum
Otonomi Sepanjang Peraturan Perundang-Undangan Pemerintah Daerah,dalam Martin H. Hutabarat,SH, Zairin, SH, Dahlan
Thaib, SH, Msi, Hukum Dan Politik
Indonesia Tnjauan Analitis dekrit Presiden dan Otonomi Daerah,Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan,1996, hal 142.
[33] Moh.
Mahfud MD, Membangun Politik Hukum,
menegakkan konstitusi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Perkasa, cetakan ketiga
Oktober 2012, hal 17.
[34] Boy
Yendra Tamin, Sistem Hukum Adat Ditengah Kuatnya
Sistem Hukum Global, http://www.boyyendratamin.com,
diupload pada Desember 2011, diunduh
pada Minggu 26 April 2015
[35] Konvensi
Masyarakat Hukum adat, 1989
[36] Hamdan
Zoelva, Hukum dan Politik dalam Sistem
Hukum Indonesia, https://hamdanzoelva.wordpress.com / diunggah pada 20
Februari 2008, diakses pada Minggu 26 April 2015.
[37] Yuliandri,
Asas-asas Pembentuan Peraturan
Perundang-Undangan Yang Baik, Jakarta : Raja Grafiti Persada, 2009, hal 31.
[38] Franc
Sefenfoldism, ibid.
[39] R.
Abdul djamali, SH, Op Cit hal 30
[40] Dr.
Peter J. Burns, Op Cit hal 293 - 294
[41] R.
Abdul djamali, SH, Op Cit hal 44 – 45.
[42] Prof. Dr.
Paulus E. Lolutung, SH, Susanti Adi Nugroho, SH, MH,Op Cit hal 58.
[43] Website
Staff UI, Sistem Peradilan, http://staff.ui.ac.id, diakses pada Minggu
26 April 2015.
[44] Prof. Dr.
Paulus E. Lolutung, SH, Susanti Adi Nugroho, SH, MH,Op Cit hal 62 – 63.
[45] Website
Staff UI, ibid.

Posting Komentar